NovelToon NovelToon

Hey You, I Love You !

Prolog

"Ini untukmu! Semoga kau cepat mendapatkan pasangan hidupmu", ucapnya pada Ben lalu segera beranjak ke arah tempat duduk tak jauh dari sana.

Ben tak mengucapkan sepatah kata pun. Kalimat Tuan Reymond sungguh menggema di telinganya. Kalimat sederhana itu amat mengena di hatinya kini. Memang, selama ini hidupnya hanya berjalan begitu saja tanpa ada satu wanita pun yang mengisi hari-harinya. Hanya Ana, hanya gadis remaja yang sudah menjadi wanita dewasa itu yang pernah mengisi relung-relung yang biasanya kosong.

Ya, tapi kini keputusannya sudahlah tepat dengan membuat Ana bahagia dengan melepaskannya kepada pria yang sangat dicintainya. Mungkin ini juga salah satu pertanda bahwa ia juga harus memikirkan kebahagiaan hatinya sendiri. Ia menatap rangkaian bunga itu lama, nampak tertegun untuk beberapa saat. Lalu ia menatap ke arah Relly yang berada di hadapannya. Menatap dengan penuh tanda tanya, namun yang ditatap seakan mengerti apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Relly mengangguk seraya menipiskan bibirnya ke arah tuannya itu. Lalu ditatapnya Ana di seberang pandangannya yang tengah berada di rangkulan tangan suaminya kini, wanita itu pun seakan mengerti. Lalu Ana juga mengangguk sambil tersenyum kepadanya.

"Baiklah, aku terima!", ucapnya sambil lalu dan berbalik untuk duduk di samping Tuan Reymond. Ia menyilangkan kakinya lalu duduk bersandar dengan santainya tanpa mempedulikan suara bising dari mulut Sam yang tak terima jika buket bunga itu tak menjadi miliknya. Tangannya terus memainkan rangkaian bunga itu dengan mata yang menatap lurus ke depan. Tatapannya ambigu tak terbaca.

***

Keesokan harinya,

Di sisi kota lainnya, di terik mentari yang sama. Nampak sebuah mobil ikut meramaikan lalu lintas kota. Setelah setengah jam, mobil itu mengarah ke pinggiran kota yang lalu lintasnya mulai sedikit lengang. Gedung-gedung bertingkat juga sudah berkurang, berganti dengan pepohonan tinggi menjulang pada setiap sisi jalan. Ben, pria dengan topi koboi itu membuka jendela mobilnya lalu ia nyalakan sebatang rokok yang sudah menempel pada bibirnya. Kepulan asap pertama mulai membumbung bersama lajunya kendaraan itu. Matanya yang tajam bagai elang, menerawang, membelah setiap sudut jalan tanpa orang tau apa arti tatapannya.

Saat ini ia harus menemui salah satu teman lamanya. Mereka pernah sama-sama menjadi kaki tangan Tuan Danu sebelumnya. Namun karena keluarganya, orang itu keluar dari Geng Harimau Putih dan lebih memilih untuk berkumpul bersama keluarganya. Tinggallah Ben seorang yang menjadi kaki tangan paling setia hingga akhirnya ia dijadikan ketua menggantikan Tuan Danu yang memilih untuk meneruskan bisnis ayahnya.

Mobil mereka sampai di pekarangan sebuah rumah, tidak terlalu mewah namun tetap memiliki kesan tak sederhana. Tengah malam tadi, tiba-tiba temannya ini menghubunginya dan meminta sebuah bantuan. Dan tidak mungkin juga bagi Ben untuk menolak permintaan yang sekiranya memiliki nilai urgensi ini. Namun dirinya masih bertanya-tanya ada masalah apa gerangan, hingga ia memintanya langsung datang ke rumahnya. Pertanyaan ini ia simpan hingga nanti ia bisa langsung mengajukannya sendiri.

"Silahkan, Tuan! Tuan Victor sudah menunggu anda di kamarnya", seorang pelayan menyapanya di ambang pintu rumah. Lalu membimbingnya menuju kamar utama tuan rumah itu.

"Silahkan Tuan!", setelah sampai pada kamar yang dituju pelayan itu membukakan pintu dan menghela tangannya untuk Ben memasuki kamar itu beserta Relly yang selalu setia mengekorinya sejak tadi.

Beberapa langkah ia memasuki kamar itu. Yang sampai pada indera penciumannya adalah wangi disenfektan khas rumah sakit. Ia tak membenci aroma ini, hanya ia tak nyaman dengan hal yang berbau rumah sakit. Baginya hal itu mengingatkan dirinya dengan sudah berapa nyawa yang terenggut oleh tangannya sendiri. Namun apa mau dikata, memang itulah apa yang ia jalankan saat ini. Pikiran itu mungkin akan datang sambil lalu.

"Ben, kau kah itu?", suara lemah seorang pria tiba-tiba terdengar dari arah ranjang.

"Victor!", seru Ben seraya menghampiri teman lamanya itu.

"Bagaimana kabarmu, Ben?", tanya Victor setelah melepas pelukannya dengan teman lamanya itu.

"Aku jelas baik-baik saja. Lalu ada apa denganmu?", tanya Ben balik yang bingung dengan keadaan temannya ini.

"Leukimia, Ben. Aku telah lama mengidap penyakit ini, bahkan sebelum aku memutuskan untuk pergi", senyum pria itu terurai meski tak sesuai dengan keadaannya saat ini. Tubuhnya kurus kering dan rambut di kepalanya hanya menyisakan beberapa helai saja yang terlihat hampir botak.

"Apa maksudmu, teman?", Ben mengernyitkan alisnya dalam.

"Setelah mengetahui aku mengidap penyakit sialan ini, aku memutuskan untuk pergi meninggalkan kalian. Awalnya aku berpikir untuk kembali ke negara ku dan berkumpul dengan keluargaku di akhir masa hidupku. Nyatanya keluarga kami malah berantakan setelah ayahku memutuskan untuk menikah lagi, lalu aku kembali pergi ke sini untuk menenangkan diri sampai tiba nanti ajal menjemput", tutur Victor dengan gamblang.

"Hentikan ucapanmu!", Ben benci mendengar hal-hal yang menyangkut kematian. Rasanya miris sekali saat mendengar seorang pesakitan mengucapkan kalimat-kalimat terakhirnya.

"Baiklah, baiklah! Aku ingin meminta bantuanmu, Ben. Itu pun jika kau masih menganggapku sebagai temanmu", pria itu menampilkan senyum termanisnya pada wajahnya yang sudah sangat tirus.

"Hey, apa maksud ucapanmu?! Katakanlah bagaimana bisa aku membantumu?", ucap Ben.

"Temukanlah adikku!", Victor memasang wajah seriusnya.

"Sebelum aku pergi, aku ingin sekali bertemu dengannya. Aku menyesal tidak membawanya pergi bersamaku waktu itu. Kudengar ia sering kali disiksa oleh istri ayahku. Tolong temukan dia dan bawa dia kepadaku! Aku tak ingin menyesal karena belum menyelamatkan dia dari neraka itu", jelas Victor sungguh-sungguh.

"Baiklah! Aku berjanji!", keheningan membentang sebelum akhirnya Ben memberi jawaban.

"Terima kasih, teman!", begitu senangnya Victor kembali memeluk Ben dengan eratnya.

"Apa kau mau membunuhku?!", Victor terkekeh setelah sadar membuat temannya kesulitan bernafas.

"Siapa namanya?", tanya Ben singkat.

"Rose Benneth!", ya karena dia sendiri bernama Victor Benneth. Dengan seksama Ben mengingat hal itu dalam benaknya.

"Rose Benneth!", ucap Ben dalam hatinya.

***

Dalam perjalanan kembali ke hotel, Ben kembali mengepulkan asapnya keluar jendela dengan tatapan yang sulit diartikan. Di tangannya terdapat sebuah foto seorang gadis dengan rambut pirang keemasan tengah memegang sekeranjang bunga dan tersenyum ceria. Rasanya menghangatkan memandangi foto itu hingga ia sejenak berpikir bahwa senyuman itu ditujukan kepadanya. Lalu ia merutuki kebodohannya sendiri.

"Bodoh!", gumamnya dalam hati.

"Relly, kau ingat apa yang harus kita lakukan selanjutnya?", tanyanya pada pria yang tengah duduk di balik kemudi.

"Saya ingat, Tuan! Han sudah mengabari saya untuk menjalankan bagian kita besok, karena hari ini nampaknya wanita itu terlaku shock", jelas Relly pada bosnya itu.

"Cih, apa kita masih harus berbelas kasihan kepada wanita licik itu?!", ucapan Ben pelan tidak bernada tinggi namun sangat tajam hingga mampu menusuk ke dalam.

"Mata ini?!", gumam Ben dalam hati.

Ben kembali memandangnya foto yang ia pegang. Kembali mengepulkan asap rokoknya keluar, mata pria itu juga kembali menerawang.

"Relly, segera cari informasi mengenai wanita ini. Secepat mungkin! Aku tak ingin mengecewakan temanku yang satu ini", Ben paham waktunya sempit. Hidupnya entah bertahan sampai kapan lagi, meskipun dokter memvonis hidupnya masih beberapa bulan lagi, namun umur manusia siapa yang bisa mengaturnya.

"Rose Benneth!", gumam Ben lagi dalam hatinya.

Istri kelima

Dua bulan yang lalu,

Di negara F, seorang wanita muda berjalan terseok-seok dengan pakaiannya yang agak berantakan. Sudut bibirnya berdarah dan wajahnya dipenuhi lebam berwarna biru keunguan. Setengah menangis ia berlari berusaha menjauh dari arah yang menurutnya dapat menyelamatkan dirinya dari semua marabahaya.

FLASHBACK ON

Baru saja, ia dijual oleh ibu tirinya kepada seorang pria yang lebih pantas ia jadikan ayahnya sendiri. Ibu tirinya berhutang terlampau banyak kepada pria tua itu. Bukan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, tetapi untuk memenuhi gaya hidupnya yang terlalu jauh dari apa yang ia punya. Pada akhirnya, Rose lah yang harus menanggung semuanya.

Rose mempunyai saudara tiri yang juga seorang wanita, umur mereka pun hanya berpaut 1 tahun. Pria tua itu awalnya tertarik dengan saudara tiri Rose yang bernama Mirabel. Tapi atas hasutan ibu dan anak itu, akhirnya pria tua itu lebih tertarik dengan Rose. Ia akan menganggap urusan di antara mereka selesai jika Rose bisa menjadi istri kelimanya. Pria itu menatap Rose yang sedang menyapu halaman dengan mata buasnya. Tentu saja hal itu membuat kedua anak dan ibu itu begitu kegirangan.

"Rose!", panggil Nyonya Mira dengan suara yang begitu lembut.

"Ada apa Nyonya tua itu memanggilku dengan suara yang menjijikan seperti itu?!", gerutu Rose dalam hatinya.

Ia menghentikan kegiatannya, menyandarkan sapu panjangnya pada sebuah pohon rindang tak jauh darinya. Dengan wajah enggan ia melangkah ke arah ibu tirinya itu. Rasanya ada yang tidak beres dengan senyum-senyum yang mereka pasang pada wajah mereka.

"Ada apa dengan pria tua itu?! Matanya seakan dia siap memakanku saja!", lagi batin Rose tak suka.

"Ya, ada apa Nyonya?", ia bertanya dengan sopan namun tetap tak menyembunyikan wajah enggannya. Rose hanya menggunakan dress rumahan yang amat sederhana bahkan nampak usang. Ia mengepang rambut emasnya ke belakang dan menyisakan beberapa anak rambut di samping telinganya. Tampilannya sangat sederhana, bahkan tak ada kesan mencolok sedikit pun. Tapi jika sudah cantik pada dasarnya, seorang putri yang dipaksa memakai tampilan seorang pembantu pun akan tetap kelihatan bersinar. Begitulah Rose digambarkan, tampilan usangnya tak menutupi aura kecantikan yang ia miliki saat ini.

"Panggil aku ibu, sayang! Aku juga ibumu!", Nyonya Mira memasang senyum menawannya.

"Cih,, apa-apaan dia?! Bukankah jika sekali saja aku menyebutnya ibu dia akan menyiramku dengan air panas?!", ucap Rose dalam hati.

"Ya, baiklah ibu! Ada apa memanggilku? Pekerjaanku belum selesai!", ucap Rose dengan wajah enggannya.

"Kenalkan ini adalah Tuan Rogh!", Nyonya Mira memberi isyarat dengan matanya pada Rose untuk mengulurkan tangannya terlebih dahulu.

"Halo, apa kabar Tuan Rogh! Saya Rose!", ia memilih untuk membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada pria tua yang berada di hadapannya.

"Kenapa kau begitu sungkan, Rose. Seharusnya kau menyalami Tua Rogh dengan benar, kan!", Mirabel menarik paksa tangan Rose untuk bersalaman dengan pria tua itu.

"Ta,, tanganku kotor! Aku belum mencuci tanganku sehabis bekerja tadi!", seru Rose yang berusaha melepaskan tangannya dari cekalan tangan Mirabel.

"Hallo Nona Rose! Panggil saja aku Rogh! Jangan terlalu sungkan denganku ya!", sapa Tua Rogh yang sudah menggenggam erat tangan Rose. Ibu jarinya mengusap lembut punggung tangan Rose dan matanya berkedip memandangi dirinya dengan tatapan memangsa.

Buru-buru Rose menarik paksa tangannya. Memiringkan tubuhnya sambil bergidik ngeri sambil menatap pria tua itu dengan waspada. Lalu firasat buruk datang, ia melempar tatapan tajam ke arah ibu dan juga saudara tirinya.

"Ah, Rose! Bagaimana jika kau menemani Tua Rogh dulu di sini! Ibu masih ada beberapa pekerjaan di belakang!", Nyonya Mira dan juga putrinya segera bangkit dari duduknya.

"Pekerjaan apa? Semua pekerjaan sudah aku selesaikan kecuali menyapu halaman!", seru Rose masih dengan tatapan tajamnya. Ia mengerutkan alisnya dalam seraya menatap ibu tirinya lama, mencari tau apa yang sedang mereka rencanakan sebenarnya.

"Ah, menyapu halaman! Mirabel, kau bisa meneruskannya bukan! Ibu harus menyiapkan makan malam, ya makan malam!", Nyonya Mira mendorong tubuh putrinya ke arah depan dan memberi isyarat untuk menuruti perintahnya saat ini.

"Tapi Ma,,,!", bibir Mirabel mencebik kesal. Rasanya malas sekali ia harus mengerjakan pekerjaan kasar seperti itu. Ia tentu tak ingin kukunya yang sudah dicat dengan indahnya harus rusak karena pekerjaan kasar itu.

Bibir Nyonya Mira bergumam tidak jelas dengan mata yang membulat besar. Memberi isyarat kepada putrinya bahwa ini merupakan perintah yang tak terbantahkan. Mirabel menghembuskan nafasnya kasar sebelum akhirnya menurut dan melangkah keluar. Baik, biar ia mengalah dulu saat ini, daripada ia harus meladeni mata keranjang yang lebih pantas menjadi ayahnya itu.

Keheningan membentang di ruang tamu itu. Saat ini ayahnya yang merupakan seorang direktur di salah satu perusahaan, tengah berdinas di luar kota. Jadi saat ini, Rose hanya bisa bergantung pada dirinya sendiri. Setiap kali Tuan Benneth tidak ada, maka ia akan berubah menjadi upik abu yang harus siap mengerjakan seluruh pekerjaan rumah dan tentunya melayani ibu dan saudara tirinya. Namun jika ayahnya berada di rumah, ia akan berdiam diri di kamar layaknya seorang putri dari rumah ini. Tapi ia juga harus menjaga sikap dan perilakunya, karena ayahnya tidak menyukai seorang wanita yang tidak memiliki tata krama. Jadi ada atau pun tidak ada ayahnya, rasanya sama-sama menyiksa dirinya. Ia tak bisa menjadi dirinya sendiri.

Sibuk dengan pikiran itu, Rose tak menyadari tangan nakal Tuan Rogh mulai menyentuh jemarinya yang berada di atas pahanya. Tuan Rogh menggenggam paksa tangannya dengan seringai lebar di bibirnya.

"Jangan malu-malu, sayang!", ucap Tuan Rogh dengan mata kurang ajar yang mencoba menggodanya.

Sambil berusaha menarik tangannya, wajah Rose berkerut semua. Ia menatap pria tua itu dengan pandangan heran dan menjijikan.

"Ayolah, Rose sayang! Sebentar lagi kita akan menikah. Jadi kau jangan sungkan dan malu-malu begini terhadapku!", tangan yang satunya ia gunakan untuk mengelus-elus lengan Rose yang putih mulus dengan tatapan lapar.

Serasa disambar petir, tubuhnya memaku tiba-tiba. Saat ini otaknya tengah bekerja keras mencerna apa yang pria itu ucapkan barusan. Apa-apaan dengan ini semua. Siapa yang berani mempermainkan masa depannya. Rose menggeram marah ketika ia menyadari siapa dalang dibalik semua ini.

"Ibumu sudah menyerahkan dirimu untuk aku jadikan istriku yang kelima. Dia sudah menjualmu kepadaku untuk melunasi hutang-hutangnya!", bisik Tuan Rogh dengan nada menggoda di telinga Rose.

Wanita itu terkesiap, ia semakin waspada menatap pria tua di sebelahnya. Rose menjauhkan tubuhnya dari sana. Lalu tertahan karena tangannya masih tercekal oleh tangan pria itu. Tatapan lapar Tuan Rogh semakin menjadi. Ia menarik tangan Rose hingga tubuhnya mendekat, sangat dekat dengan tubuh pria itu. Tuan Rogh memiringkan kepalanya siap mendaratkan bibir busuknya pada bibir Rose. Wajah mesum pria tua itu nampak jelas di matanya.

"Oh Tuhan, tolong bantu aku!", jerit Rose dalam hatinya.

Otak Rose dipaksa bekerja keras untuk mencari cara lepas dari cengkeraman pria itu.

"Vas bunga!", batin Rose.

Ia melihat vas bunga kecil yang terbuat dari keramik berdiri di atas meja di hadapannya. Sambil terus menjauhkan diri dari tubuh Tuan Rogh yang semakin mendekat, tangannya yang bebas ia gunakan untuk menjangkau vas bunga itu.

prraakk

Cairan merah keluar dari kepala Tuan Rogh. Mengucur deras hingga membuat sebagian wajahnya berwarna merah. Darah segar itu mengalir akibat vas bunga yang Rose layangkan ke kepalanya. Hanya itu ide gila yang ia pikirkan untuk menyelamatkan hidupnya. Hanya itu yang bisa ia gunakan untuk membuatnya tak menyesali apapun yang akan terjadi nanti. Rose sudah siap menghadapi resiko yang akan ia ambil.

Tubuh Tuan Rogh memaku, tangannya terulur mencoba menyentuh kepalanya yang terasa basah. Ia mengecek cairan apa yang membasahi kepalanya saat ini.

"Sial!", umpatnya kemudian setelah menyadari cairan itu adalah darah.

plaakk

Tubuh Rose terhempas ke lantai akibat dari tamparan keras yang dilayangkan oleh Tuan Rogh. Ia memegangi pipinya yang merah dan panas. Ujung bibirnya terasa perih, dapat ia rasakan dengan ujung lidahnya bahwa itu terluka dan berdarah.

"Kurang ajar! Berapa nyawamu berani menentangku!", teriak Tuan Rogh penuh amarah.

Keributan itu berhasil memancing pasangan ibu dan anak itu datang mendekat karena rasa penasaran yang meliputi diri mereka masing-masing. Lalu keduanya kompak menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangan mereka masing-masing. Mereka tak menyangka bahwa Rose yang biasanya pendiam dan penurut akan melakukan tindakan impulsif yang amat beresiko seperti sekarang ini

Lalu keegoisan tetap menutup penuh hati mereka. Setelah melihat pemandangan di hadapan mereka, yang terbesit adalah setelah ini bagaimana mereka akan selamat dari Tuan Rogh yang nampak murka. Buru-buru Nyonya Mira mendekat, tetap berusaha menenangkan amarah pria tua itu.

"Oh, astaga! Tuan apa yang terjadi dengan kepalamu?! Rose, apa yang terjadi? Mengapa bisa seperti ini? Mirabel, cepat ambil kotak obat. Luka Tuan Rogh harus segera ditangani", Nyonya Mira memasang wajah khawatirnya seraya mengajak Tuan Rogh untuk duduk kembali.

Masih bersimpuh di lantai, Rose enggan menjelaskan satu hal pun. Yang pasti, menurutnya ibu dan saudara tirinya itu pasti sudah tau apa yang sebenarnya terjadi. Jadi ia tak perlu repot-repot menceritakan dengan detail apa saja yang ia alami. Mata Rose menatap tajam ke arah wanita paruh baya yang menjadi ibu tirinya ini. Lalu bergantian ke arah Tuan Rogh yang sedang ditangani dan kepada Mirabel yang juga sedang menatapnya dengan tatapan jijik.

Melarikan diri - 1

Masih dengan mulut yang tak berhenti menggerutu dan menghujat ke sana-sini. Tuan Rogh masih duduk di hadapan Nyonya Mira yang sedang membebatkan perban di kepalanya. Sedangkan Rose, ia tak berani bangun dari tempatnya. Ia cukup menyadari seberapa kesalahan yang ia anggap benar tentunya. Semua wanita mungkin akan melakukan hal yang sama ketika ada lelaku kurang ajar akan melakukan pelecehan terhadap dirinya.

"Kau harus membayarnya! Ingat kata-kata ku, kau harus membayar apa yang telah kau lakukan padaku hari ini!", Tuan Rogh bangkit mengacungkan telunjuknya ke arah wajah Rose sambil memaki.

"Dan kau, hutangmu kuanggap belum lunas jika kau tidak memberikan dia untuk ku jadikan istriku yang kelima. Besok, aku akan datang lagi menjemputnya. Pastikan dia berdandan cantik dan tidak membangkang lagi. Karena besok adalah hari pernikahan kami!", meskipun kesal Tuan Rogh tak ingin melepaskan mangsanya begitu saja. Kapan lagi ia akan mendapatkan wanita muda yang segar untuk ia jadikan peliharaannya.

"Baik Tuan, aku sendiri yang akan memastikannya!", Nyonya Mira membungkuk memberi hormat pada Tuan Rogh yang mulai melangkah keluar dari rumah itu.

"Dasar tidak tau diuntung!", hardik Nyonya Mira sambil menarik paksa rambut Rose yang membuat si empunya meringis kesakitan.

"Jika kau menikah dengannya, kau akan menjadi nyonya muda dan hidupmu akan terjamin selamanya. Aku memberikan kesempatan emas bagimu, tapi kau malah menyia-nyiakannya!", ibu tirinya itu semakin menarik rambutnya hingga ia memekik menahan sakit.

Mirabel nampak puas dengan tontonan yang ibunya berikan. Melihat saudara tirinya itu menderita adalah sebuah kesenangan tersendiri baginya. Rasa iri dan dengki sudah cukup menutupi hati nuraninya untuk memberi belas kasihan kepada wanita yang ia anggap sempurna. Kaya, memiliki kakak yang amat menyayanginya, pintar, cerdas, pandai memasak, semua talenta yang Rose miliki membuatnya iri hingga menggila. Lebih parahnya, seorang pemuda bernama Eric yang ia sukai ternyata malah menyukai Rose, saudara tirinya itu. Hal itu makin dan makin membuat Mirabel membenci Rose seutuhnya.

"Bukan! Kau menikahkan aku dengan pria busuk itu supaya kau bisa melunasi hutang-hutangnmu, kan?", dengan berani Rose menatap Nyonya Mira sampai jauh ke dalam.

"Dasar kurang ajar! Kita adalah keluarga, bukan?! Jadi sebagai keluarga, bukankah sudah semestinya kita saling berbagi beban!", Nyonya Mira berucap sambil merapatkan giginya. Lalu ia melebarkan seringainya dengan tatapan kejam.

"Kau harus tau posisimu!", tangannya menghempas kepala Rose hingga hampir membentur lantai.

"Kakak! Aku butuh dirimu, kak! Tolong aku!", jerit Rose dalam hatinya.

Ia berusaha tak menangis, karena jika satu tetesan saja air matanya jatuh maka ibu dan saudara tirinya itu akan merasa senang karena sudah berhasil menyiksa dan membuatnya tak bahagia. Jika ada kakaknya, mungkin ia masih memiliki tameng untuk melindunginya. Tapi setelah kakaknya pergi karena tidak menyetujui pernikahan ayah dan ibu tirinya ini, Rose hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Ia harus kuat, apapun yang terjadi ia harus kuat.

"Aku? Atau kau yang harus tau posisimu?!", ucap Rose lambat-lambat tak melepas tatapan tajamnya pada Nyonya Mira.

"Hey, berani sekali kau membalikkan ucapanku!", lagi satu pukulan ia terima pada pipi yang satunya.

"Masuk kamar! Kau harus mempersiapkan diri untuk besok!", tak ingin berdebat lagi Nyonya Mira mengakhirinya dengan perintah.

"Baiklah!", Rose mencoba berdiri.

"Tapi pekerjaanku belum selesai!", ucapnya sambil menatap tajam ke arah Mirabel.

"Mirabel akan meneruskan sisanya", keputusan telah dibuat. Nama yang disebutkan membalas tatapan tajam saudara tirinya. Lalu seulas seringai terbit pada bibir Rose, ia menang. Karena ia yakin, Mirabel pasti sangat keberatan dengan tugas yang diberikan oleh ibunya sendiri. Wanita itu tak akan pernah mau melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar yang akan membuatnya tidak cantik, pikirnya.

"Mama!", teriak Mirabel tidak setuju dengan ucapan mamanya.

"Lakukan saja apa yang diperintahkan oleh Nyonya!", ucapan Rose bernada sindiran.

Mirabel segera menghampiri Rose dan siap melayangkan sebuah tamparan di wajahnya. Namun tertahan oleh tangan Rose yang sudah mencengkeramnya di udara. Ia menatap tajam saudara tirinya itu.

"Berhenti bersikap kurang ajar kepadaku! Kau harus tau posisimu di rumah ini. Aku adalah tuan rumah di sini, tapi kalian memperlakukan aku layaknya budak. Apakah itu layak?! Seharusnya siapa yang menjadi budak di sini. Kau dan kau! Kalian datang ke rumah ini bukankah hanya untuk menikmati harta yang dimiliki oleh ayahku yang tidak seberapa ini. Kalian pikir aku tidak tau?!", Rose menghempaskan tangan Mirabel dengan kasar. Menunjukkan kekuasaan atas dirinya sendiri di sini, di rumahnya sendiri.

plak

Sebuah tamparan mendarat pada pipi Rose secara tiba-tiba. Seseorang datang dari arah belakang tubuh Mirabel.

"Ayah!", gumam Rose lirih sambil memegangi pipinya yang terasa kebas karena sakit dari tamparan sebelumnya. Sakit, hatinya yang sakit saat ini. Ayahnya adalah keluarga sedarah satu-satunya yang ia miliki saat ini. Orang yang seharusnya datang membelanya, kini malah menjadi tameng bagi orang baru yang amat dibencinya.

"Sejak kapan kau bersikap kurang ajar seperti itu?! Siapa yang mengajarimu mengucapkan kata-kata sampah itu?! Apakah kakakmu?!", bentak Tuan Benneth pada putrinya sendiri.

"Wah!", sorak Mirabel dalam hati.

"Selama ini aku diam, ayah! Bagaimana pun mereka memperlakukan aku, aku selalu mengalah dan menurut. Bagaimana pun yang terjadi padaku, ayah bahkan tak pernah bertanya sedikitpun. Tapi aku tidak akan tinggal diam ketika masa depanku dipermainkan. Mereka menjualku kepada pria tua yang umurnya sama seperti ayah. Demi apa? Demi membayar hutang-hutangnya!", Rose mengacungkan telunjuknya ke arah wajah Nyonya Mira dengan tegas tanpa ada rasa takut sedikitpun. Perasaannya yang ia simpan selama ini, ia tumpahkan seada-adanya. Sesaat ayahnya nampak tertegun dengan fakta yang baru saja ia dengar.

"Rose!", seru Tuan Benneth tak suka dengan sikap putrinya yang tidak sopan menurutnya.

"Katakan apa yang terjadi Mira?", kini ia mengalihkan wajahnya pada ibu dan anak yang sedang saling bergandengan dengan wajah panik dan tubuh gemetar.

Akhirnya dengan terbata, Mira dan putrinya menceritakan duduk permasalahan itu dari awal hingga akhir. Tak ada yang ia tutupi, bahkan saat ia menceritakan perihal ia akan menyerahkan Rose sebagai pelunas hutangnya. Masih dengan tubuh yang gemetar, Mira mengakhiri ceritanya sambil tertunduk menyembunyikan ketakutannya.

Tuan Benneth melonggarkan dasinya dan melemparkan jas yang ia pakai ke sofa. Lalu ia mendudukkan dirinya sambil menghembuskan nafasnya kasar. Ia meraup kasar wajahnya dengan satu tangan, merasa frustasi dengan apa masalah yang harus ia hadapi. Kali ini ia menatap wajah Rose dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

"Ratusan juta?! Kau memang sudah gila, Mira!", Tuan Benneth menyandarkan seluruh punggungnya sampai kepalanya mendongak ke atas. Ia pejamkan matanya sambil mencari solusi dari masalah ini. Uang sebanyak itu, darimana ia bisa mendapatkannya. Saat ini ia merasa seperti berada di jalan buntu.

Rose tak bergeming dari tempatnya. Ia menatap nanar ke arah dua wanita dan satu pria di hadapannya. Miris rasanya kenyataan ini.

"Rose!", panggil Tuan Benneth dengan ekspresi wajah yang sulit dijelaskan.

Rose tak menjawab, namun ia memandang ayahnya dengan mata nyalang. Ia sedang mempersiapkan mentalnya untuk hasil terburuk sekalipun. Rose sudah berusaha berpikir realistis, bahwa bagaimanapun jua bukan kapasitas keluarganya bisa mendapatkan uang senilai ratusan juta hanya dalam waktu sebentar saja. Tapi tetap saja, berpikir bahwa ayahnya akan menyerah dengan keadaan adalah hal yang paling sulit ia terima. Sakit rasanya, seperti dikoyak perasaannya kini.

"Apa ayah? Ayah akan membela mereka lagi, kan?! Harusnya aku mendengarkan kakak dan ikut dengannya waktu itu, sehingga aku tak perlu menerima kenyataan pahit seperti ini. Aku bertahan di sini karena aku masih memiliki ayah. Aku masih bertahan tetap tinggal di sini karena masih banyak kenangan tentang ibu yang tersisa di sini", air mata yang sejak tadi ia tahan tak mampu lagi berdiam di tempatnya. Satu persatu mereka meluncur melewati pipinya.

"Tapi kita tidak punya pilihan lain!", wajah Tuan Benneth berubah pias dengan suara yang lemah.

"Kenapa itu harus aku?! Kenapa bukan dia?", jari telunjuk Rose menunjuk ke arah Mirabel dengan tegas. Ekspresi dingin yang ia keluarkan, membuat Mirabel tanpa sadar bergidik ngeri.

"Tapi orang itu memilih dirimu! Bukan aku!", sahut Mirabel mencoba membela diri.

"Diam! Apa kau sudah diijinkan untuk berbicara?!", bentakan Rose mampu menyiutkan nyali Mirabel sehingga ia mengeratkan pegangannya pada lengan ibunya.

"Rose!", seru Tuan Benneth supaya semuanya berhenti berteriak. Baru saja ia kembali dari tugas luar kota, masih dengan lelahnya ia harus menangani masalah pelik ini.

Rose mendelikkan matanya ke arah Tuan Benneth. Rasa kecewanya sudah amat dalam. Ia memutar tubuhnya dengan cepat, lalu pergi dari tempat itu secepat mungkin. Ia mengangkat kakinya dari rumahnya yang menyakitkan itu tanpa tujuan. Otaknya hanya memberi ide untuk pergi sejauh mungkin dari tempat itu, tapi tidak memberi tau arah dan tujuannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!