Masih dengan mulut yang tak berhenti menggerutu dan menghujat ke sana-sini. Tuan Rogh masih duduk di hadapan Nyonya Mira yang sedang membebatkan perban di kepalanya. Sedangkan Rose, ia tak berani bangun dari tempatnya. Ia cukup menyadari seberapa kesalahan yang ia anggap benar tentunya. Semua wanita mungkin akan melakukan hal yang sama ketika ada lelaku kurang ajar akan melakukan pelecehan terhadap dirinya.
"Kau harus membayarnya! Ingat kata-kata ku, kau harus membayar apa yang telah kau lakukan padaku hari ini!", Tuan Rogh bangkit mengacungkan telunjuknya ke arah wajah Rose sambil memaki.
"Dan kau, hutangmu kuanggap belum lunas jika kau tidak memberikan dia untuk ku jadikan istriku yang kelima. Besok, aku akan datang lagi menjemputnya. Pastikan dia berdandan cantik dan tidak membangkang lagi. Karena besok adalah hari pernikahan kami!", meskipun kesal Tuan Rogh tak ingin melepaskan mangsanya begitu saja. Kapan lagi ia akan mendapatkan wanita muda yang segar untuk ia jadikan peliharaannya.
"Baik Tuan, aku sendiri yang akan memastikannya!", Nyonya Mira membungkuk memberi hormat pada Tuan Rogh yang mulai melangkah keluar dari rumah itu.
"Dasar tidak tau diuntung!", hardik Nyonya Mira sambil menarik paksa rambut Rose yang membuat si empunya meringis kesakitan.
"Jika kau menikah dengannya, kau akan menjadi nyonya muda dan hidupmu akan terjamin selamanya. Aku memberikan kesempatan emas bagimu, tapi kau malah menyia-nyiakannya!", ibu tirinya itu semakin menarik rambutnya hingga ia memekik menahan sakit.
Mirabel nampak puas dengan tontonan yang ibunya berikan. Melihat saudara tirinya itu menderita adalah sebuah kesenangan tersendiri baginya. Rasa iri dan dengki sudah cukup menutupi hati nuraninya untuk memberi belas kasihan kepada wanita yang ia anggap sempurna. Kaya, memiliki kakak yang amat menyayanginya, pintar, cerdas, pandai memasak, semua talenta yang Rose miliki membuatnya iri hingga menggila. Lebih parahnya, seorang pemuda bernama Eric yang ia sukai ternyata malah menyukai Rose, saudara tirinya itu. Hal itu makin dan makin membuat Mirabel membenci Rose seutuhnya.
"Bukan! Kau menikahkan aku dengan pria busuk itu supaya kau bisa melunasi hutang-hutangnmu, kan?", dengan berani Rose menatap Nyonya Mira sampai jauh ke dalam.
"Dasar kurang ajar! Kita adalah keluarga, bukan?! Jadi sebagai keluarga, bukankah sudah semestinya kita saling berbagi beban!", Nyonya Mira berucap sambil merapatkan giginya. Lalu ia melebarkan seringainya dengan tatapan kejam.
"Kau harus tau posisimu!", tangannya menghempas kepala Rose hingga hampir membentur lantai.
"Kakak! Aku butuh dirimu, kak! Tolong aku!", jerit Rose dalam hatinya.
Ia berusaha tak menangis, karena jika satu tetesan saja air matanya jatuh maka ibu dan saudara tirinya itu akan merasa senang karena sudah berhasil menyiksa dan membuatnya tak bahagia. Jika ada kakaknya, mungkin ia masih memiliki tameng untuk melindunginya. Tapi setelah kakaknya pergi karena tidak menyetujui pernikahan ayah dan ibu tirinya ini, Rose hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Ia harus kuat, apapun yang terjadi ia harus kuat.
"Aku? Atau kau yang harus tau posisimu?!", ucap Rose lambat-lambat tak melepas tatapan tajamnya pada Nyonya Mira.
"Hey, berani sekali kau membalikkan ucapanku!", lagi satu pukulan ia terima pada pipi yang satunya.
"Masuk kamar! Kau harus mempersiapkan diri untuk besok!", tak ingin berdebat lagi Nyonya Mira mengakhirinya dengan perintah.
"Baiklah!", Rose mencoba berdiri.
"Tapi pekerjaanku belum selesai!", ucapnya sambil menatap tajam ke arah Mirabel.
"Mirabel akan meneruskan sisanya", keputusan telah dibuat. Nama yang disebutkan membalas tatapan tajam saudara tirinya. Lalu seulas seringai terbit pada bibir Rose, ia menang. Karena ia yakin, Mirabel pasti sangat keberatan dengan tugas yang diberikan oleh ibunya sendiri. Wanita itu tak akan pernah mau melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar yang akan membuatnya tidak cantik, pikirnya.
"Mama!", teriak Mirabel tidak setuju dengan ucapan mamanya.
"Lakukan saja apa yang diperintahkan oleh Nyonya!", ucapan Rose bernada sindiran.
Mirabel segera menghampiri Rose dan siap melayangkan sebuah tamparan di wajahnya. Namun tertahan oleh tangan Rose yang sudah mencengkeramnya di udara. Ia menatap tajam saudara tirinya itu.
"Berhenti bersikap kurang ajar kepadaku! Kau harus tau posisimu di rumah ini. Aku adalah tuan rumah di sini, tapi kalian memperlakukan aku layaknya budak. Apakah itu layak?! Seharusnya siapa yang menjadi budak di sini. Kau dan kau! Kalian datang ke rumah ini bukankah hanya untuk menikmati harta yang dimiliki oleh ayahku yang tidak seberapa ini. Kalian pikir aku tidak tau?!", Rose menghempaskan tangan Mirabel dengan kasar. Menunjukkan kekuasaan atas dirinya sendiri di sini, di rumahnya sendiri.
plak
Sebuah tamparan mendarat pada pipi Rose secara tiba-tiba. Seseorang datang dari arah belakang tubuh Mirabel.
"Ayah!", gumam Rose lirih sambil memegangi pipinya yang terasa kebas karena sakit dari tamparan sebelumnya. Sakit, hatinya yang sakit saat ini. Ayahnya adalah keluarga sedarah satu-satunya yang ia miliki saat ini. Orang yang seharusnya datang membelanya, kini malah menjadi tameng bagi orang baru yang amat dibencinya.
"Sejak kapan kau bersikap kurang ajar seperti itu?! Siapa yang mengajarimu mengucapkan kata-kata sampah itu?! Apakah kakakmu?!", bentak Tuan Benneth pada putrinya sendiri.
"Wah!", sorak Mirabel dalam hati.
"Selama ini aku diam, ayah! Bagaimana pun mereka memperlakukan aku, aku selalu mengalah dan menurut. Bagaimana pun yang terjadi padaku, ayah bahkan tak pernah bertanya sedikitpun. Tapi aku tidak akan tinggal diam ketika masa depanku dipermainkan. Mereka menjualku kepada pria tua yang umurnya sama seperti ayah. Demi apa? Demi membayar hutang-hutangnya!", Rose mengacungkan telunjuknya ke arah wajah Nyonya Mira dengan tegas tanpa ada rasa takut sedikitpun. Perasaannya yang ia simpan selama ini, ia tumpahkan seada-adanya. Sesaat ayahnya nampak tertegun dengan fakta yang baru saja ia dengar.
"Rose!", seru Tuan Benneth tak suka dengan sikap putrinya yang tidak sopan menurutnya.
"Katakan apa yang terjadi Mira?", kini ia mengalihkan wajahnya pada ibu dan anak yang sedang saling bergandengan dengan wajah panik dan tubuh gemetar.
Akhirnya dengan terbata, Mira dan putrinya menceritakan duduk permasalahan itu dari awal hingga akhir. Tak ada yang ia tutupi, bahkan saat ia menceritakan perihal ia akan menyerahkan Rose sebagai pelunas hutangnya. Masih dengan tubuh yang gemetar, Mira mengakhiri ceritanya sambil tertunduk menyembunyikan ketakutannya.
Tuan Benneth melonggarkan dasinya dan melemparkan jas yang ia pakai ke sofa. Lalu ia mendudukkan dirinya sambil menghembuskan nafasnya kasar. Ia meraup kasar wajahnya dengan satu tangan, merasa frustasi dengan apa masalah yang harus ia hadapi. Kali ini ia menatap wajah Rose dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
"Ratusan juta?! Kau memang sudah gila, Mira!", Tuan Benneth menyandarkan seluruh punggungnya sampai kepalanya mendongak ke atas. Ia pejamkan matanya sambil mencari solusi dari masalah ini. Uang sebanyak itu, darimana ia bisa mendapatkannya. Saat ini ia merasa seperti berada di jalan buntu.
Rose tak bergeming dari tempatnya. Ia menatap nanar ke arah dua wanita dan satu pria di hadapannya. Miris rasanya kenyataan ini.
"Rose!", panggil Tuan Benneth dengan ekspresi wajah yang sulit dijelaskan.
Rose tak menjawab, namun ia memandang ayahnya dengan mata nyalang. Ia sedang mempersiapkan mentalnya untuk hasil terburuk sekalipun. Rose sudah berusaha berpikir realistis, bahwa bagaimanapun jua bukan kapasitas keluarganya bisa mendapatkan uang senilai ratusan juta hanya dalam waktu sebentar saja. Tapi tetap saja, berpikir bahwa ayahnya akan menyerah dengan keadaan adalah hal yang paling sulit ia terima. Sakit rasanya, seperti dikoyak perasaannya kini.
"Apa ayah? Ayah akan membela mereka lagi, kan?! Harusnya aku mendengarkan kakak dan ikut dengannya waktu itu, sehingga aku tak perlu menerima kenyataan pahit seperti ini. Aku bertahan di sini karena aku masih memiliki ayah. Aku masih bertahan tetap tinggal di sini karena masih banyak kenangan tentang ibu yang tersisa di sini", air mata yang sejak tadi ia tahan tak mampu lagi berdiam di tempatnya. Satu persatu mereka meluncur melewati pipinya.
"Tapi kita tidak punya pilihan lain!", wajah Tuan Benneth berubah pias dengan suara yang lemah.
"Kenapa itu harus aku?! Kenapa bukan dia?", jari telunjuk Rose menunjuk ke arah Mirabel dengan tegas. Ekspresi dingin yang ia keluarkan, membuat Mirabel tanpa sadar bergidik ngeri.
"Tapi orang itu memilih dirimu! Bukan aku!", sahut Mirabel mencoba membela diri.
"Diam! Apa kau sudah diijinkan untuk berbicara?!", bentakan Rose mampu menyiutkan nyali Mirabel sehingga ia mengeratkan pegangannya pada lengan ibunya.
"Rose!", seru Tuan Benneth supaya semuanya berhenti berteriak. Baru saja ia kembali dari tugas luar kota, masih dengan lelahnya ia harus menangani masalah pelik ini.
Rose mendelikkan matanya ke arah Tuan Benneth. Rasa kecewanya sudah amat dalam. Ia memutar tubuhnya dengan cepat, lalu pergi dari tempat itu secepat mungkin. Ia mengangkat kakinya dari rumahnya yang menyakitkan itu tanpa tujuan. Otaknya hanya memberi ide untuk pergi sejauh mungkin dari tempat itu, tapi tidak memberi tau arah dan tujuannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Szee
Seorang ayah harusnya mampu menjadi pengayom buat putrinya
Apa jadinya jika seorang ayah malahan lebih mementingkan istri barunya yang bahkan dengan tega menjual putri kandungnya sendiri??
Wajar saja jika akhirnya Rose memilih melarikan diri dari rumah, semoga anda tidak akan menyesal nantinya wahai tuan Benneth
2021-08-03
2
Yuli
bapak goblok
2021-06-12
0
Gia Gigin
Rose miris juga perjalanan hidup mu 😭
2021-04-21
0