Suamiku Koma, Aku Di Jual Adik Ipar
Beberapa alat medis menempel pada tubuh Mas Reyhan, lelaki yang kini terbaring di atas ranjang pasien. Sementara suara monitor yang berada di samping ranjang terus berbunyi nyaring. Memecah keheningan di dalam ruangan berdinding serba putih tempatku berada saat ini.
Tiga hari sudah berlalu, setelah kejadian naas yang menimpa Mas Reyhan, suamiku. Aku pikir aku akan kehilangan lelaki itu untuk selamanya. Tetapi ternyata Allah masih memberikan aku kesempatan sekali lagi untuk melihatnya.
Setelah kami kehilangan permata kecil kami Zahra dalam insiden kebakaran. Aku hanya memiliki Mas Reyhan di dunia. Jadi aku amat sangat terpukul saat menerima kabar jika Mas Reyhan mengalami kecelakaan.
Detak jarum jam saling bersahutan dengan bunyi nyaring monitor yang mengontrol detak jantung Mas Reyhan. Di dalam ruangan ini aku hanya sendiri. Sonia dan Bang Roby saling bergantian menjaga ibu di rumah. Tidak peduli mereka terpaksa atau tidak, karena aku pun tidak mungkin meninggalkan Mas Reyhan sendirian di sini.
Tatapanku beralih pada sosok lelaki yang mengenakan jas hitam yang muncul di balik pintu ruangan. Dia adalah atasan di tempat Mas Reyhan bekerja, Pak Ahmad. Dua kali aku bertemu dengan lelaki itu. Yang pertama adalah saat pertama kali Mas Reyhan di larikan ke rumah sakit. Lelaki itu mengatakan akan menjamin semua biaya pengobatan pegawainya yang menjadi korban kecelakaan itu dan sekarang.
"Apakah saya bisa bicara dengan anda, Ibu Shanaya?" Lelaki yang menghentikan langkahnya tidak jauh dari ambang pintu itu menatap ke arahku.
Aku mengangguk tanpa menjawab apapun. Sesaat aku menatap pada Mas Reyhan sebelum melangkahkan kaki meninggalkan ruangan dengan udara dingin yang menusuk tulang.
Suara riuh ramai langkah kaki memenuhi lorong rumah sakit. Aku dan lelaki berjas hitam itu kini duduk pada sebuah bangku yang memang disediakan sebagai tempat tunggu di depan ruang ICU.
"Apakah Dokter sudah menemui anda, Bu?" kata lelaki berjas hitam yang duduk di sampingku, dari tutur katanya yang lembut aku yakin Pak Ahmad adalah orang baik. Mas Reyhan sering menceritakan kebaikannya padaku.
Menggelengkan kepalaku, "Belum." jawabku lirih.
Tatapan mata itu seperti sebuah pertanda buruk. Tapi apa? Ah rasanya aku sudah bosan sekali dengan takdir buruk yang menimpa hidupku. Apakah yang Ibu tuliskan dalam buku diarynya itu adalah benar, jika aku hanyalah anak pembawa sial. Hingga ibu harus menghukumku tumbuh tanpa seorang ayah.
Stop Naya, kamu sudah mengubur dalam-dalam masa lalu itu dan jangan membukanya lagi.
"Mungkin sebentar lagi Dokter akan menginformasikannya pada Ibu Naya, tentang keadaan Pak Reyhan." Lelaki yang duduk di sampingku melirik pada arloji yang melingkar pada pergelangan tangannya. Tampak memburu waktu.
Aku mengangguk mengerti ini memang masih terlalu pagi untuk seorang dokter datang ke rumah sakit.
"Saya ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya pada Ibu." lelaki yang duduk tidak jauh dariku memasang wajah tidak enak.
"Untuk apa, Pak?." jawabku sedikit penasaran.
Lelaki itu membuang nafas panjang sebelum ia memulai kalimatnya. "Sepertinya saya tidak bisa menanggung semua biaya pengobatan Pak Reyhan sampai pulih seperti sedia kala."
Ah, baru kemarin hatiku sedikit lega karena pengobatan Mas Reyhan yang ditanggung perusahaan. Kini Harapan itu harus pupus.
Pak Ahmad memasang wajah sedih. "Saya hanya bisa membantu pengobatan Pak Reyhan sampai hari ini saja, Bu." lirihnya memasang wajah penuh penyesalan.
"Tapi, Pak. Bukankah bapak sendiri yang sudah berjanji akan menanggung semua biaya pengobatan suami saya?." ucapku lirih, menekan sesak yang meremas dada. Sosok lelaki yang duduk di samping ku berubah kabur, pasti karena air mata yang mulai memenuhi pelupuk.
Hanya helaan nafas kasar. Lelaki bertubuh subur itu membuang tatapannya sekilas padaku. "Sekali lagi saya minta maaf, Bu Naya. Saya pikir keadaan Pak Reyhan tidak seburuk ini." suara laki-laki itu terdengar lirih.
Deg!.
Detak jantungku berpacu lebih cepat. Menatap serius pada Pak Ahmad. Padahal sampai detik ini dokter belum mengatakan apapun padaku.
"Menurut penuturan Dokter, Pak Reyhan butuh perawatan dalam waktu yang panjang. Jadi tidak mungkin perusahaan akan menanggung semua biaya itu, Bu."
Dahiku berkerut. Satu persatu air mata jatuh membasahi pipi tanpa bisa aku tahan. "Maksud Bapak bagaimana? kenapa suami saya harus mendapatkan perawatan dalam waktu panjang?." cercarku penasaran.
"Tolong katakan pada saya, Pak?" Aku mengguncang pergelangan tangan Pak Ahmad. Sementara tangis sama sekali tidak dapat aku bendung. Rasa takut Kian menyiksa batinku.
Lelaki itu berusaha menyingkirkan jemariku yang melingkar di pergelangan tangannya. Aku menguatkan genggaman tanganku, tidak peduli jika saat ini aku menjadi bahan tontonan pengunjung rumah sakit.
"Ibu Naya, tenang! tenang Bu!." lelaki itu menarik tubuhnya menjauh dariku.
Aku menangis sesenggukan. "Katakan pada saya apa yang sebenarnya terjadi pada suami saya?."
"Baik saya akan mengatakannya tetapi tolong lepaskan tangan saya dulu, Bu!." mohon lelaki bertubuh subur itu. "Saya tidak ingin orang-orang berpikir buruk tentang saya."
Aku mengalah dan melepaskan genggaman tanganku. Apa yang Pak Ahmad katakan memang ada benarnya juga. Sejak tadi kami telah menjadi pusat perhatian para pengunjung rumah sakit.
Tidak lama sekitar 30 menit aku dan lelaki bertubuh subur itu menunggu di depan sebuah ruangan. Saat lelaki berseragam putih muncul dari ujung lorong. Pak Ahmad bangkit dari sampingku.
"Dokter sudah datang, anda bisa menanyakan keadaan Pak Reyhan kepada beliau." sesaat lelaki bertubuh subur yang berdiri di hadapanku melirik pada Dokter yang berjalan mendekat.
"Saya harus segera kembali ke kantor Bu Naya." Lelaki itu menatapku iba.
"Semoga keadaan Pak Reyhan segera membaik. Saya atas nama perusahaan memohon maaf yang sebesar-besarnya jika tidak bisa membantu terlalu banyak." lelaki itu menutup kalimatnya saat dokter masuk ke dalam ruangan yang berada di depan bangku tumbuh tempatku duduk saat ini.
Aku tertegun, tidak bisa berkata-kata perlahan aku bangkit dengan langkah gontai. Menuju pintu yang berjarak hanya satu meter di hadapanku. Ringan aku mengetuk daun pintu ruangan. Suara seorang lelaki menyambutku dari dalam ruangan.
"Masuk!"
Udara dingin menyentuh pori-pori kulitku saat aku membuka pintu. Aroma obat-obatan khas, menusuk pangkal hidung.
"Silahkan duduk!." ucap Dokter Andrean atau biasa di sapa dengan Dokter Dean.
"Saya ingin menanyakan keadaan suami saya, Dokter? Mengapa sampai hari ini dia belum sadarkan diri?" lirihku dengan suara berat.
Wajah Dokter Dean berubah seketika. Senyuman ramah yang terulas mendadak sinar.
Dokter Dean menghela nafas panjang. Menarik sedikit tubuhnya dengan sandaran bangku. Sejenak lelaki berseragam putih itu menjatuhkan tatapan iba padaku.
"Maaf jika saya harus menyampaikan kabar tidak menyenangkan ini pada anda." lelaki itu menjeda ucapannya menatapku serius. Degupan jantungku berpacu lebih cepat. Gerombolan air mata sudah mengantri di pelupuk mata. Siap untuk jatuh.
"Kita sudah menunggu selama tiga hari dan sampai detik ini tidak ada perkembangan sedikitpun dari Pak Reyhan dan saya menyimpulkan jika benturan yang sangat keras pada kepala Pak Reyhan itu menyebabkan beliau koma."
"Apa? suamiku koma?." sentakku.
Langit ku mendadak gelap. Ribuan tanya memenuhi isi kepalaku dan sangat ramai sekali.
...----------------...
...----------------...
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments