Bab 4

"Maaf bu, lebih baik anda tunggu di luar saja!" Seseorang wanita berseragam putih menarik tubuhku. Memaksaku untuk meninggalkan ruangan.

"Ada apa dengan suami saya, sus?" tanyaku panik. Aku berusaha untuk memaksakan diri untuk tetap berada di samping Mas Reyhan. Berseragam putih yang baru saja mengecek keadaan Mas Reyhan terus mendorong ku keluar.

"Ibu tunggu di luar saja dulu. Keadaan pasien menurun," jawab suster setelah berhasil mengusirku. Ia menutup rapat pintu ruangan tempat selama ini Mas Reyhan dirawat. Bersamaan dengan Dokter Dean yang masuk ke dalam dengan wajah cemas.

Aku tergugu dalam tangis. Duduk bersimpug di lantai depan pintu ruangan yang tertutup rapat. Tanpa boleh aku melihat keadaan suamiku.

Ribuan doa telah aku layangkan di setiap sepertiga malam. Hingga menjelang fajar, sholawat tidak intinya membasahi bibir ini. Tetapi Mengapa kepiluan ini tidak kunjung isai. Hanya satu yang aku pinta sembuhkan Mas Reyhan.

Seseorang membuka pintu, cepat aku bangkit dari lantai. "Sus, kenapa suami saya, Sus?" cercarku pada wanita berwajah panik yang baru saja membuka pintu.

"Cepat, ayo cepat!" seru Dokter Dean keluar dari dalam kamar. Tanpa memperdulikan aku, ia berjalan lebih dulu di ikuti ranjang pasien Mas Reyhan yang di dorong keluar oleh beberapa perawat.

"Mas Reyhan!" pekikku histeris.

Aku berlari mengikuti para perawat yang mendorong cepat ranjang pasien Mas Reyhan masuk ke dalam ruang ICU! Tetapi lagi-lagi mereka mendorong ku dan tidak mengizinkan aki masuk

Sekalipun aku terus memaksa, mereka sama sekali tidak menghiraukan aku bahkan tangisanku.

Bruak... bruak...

"Buka pintu nya, suster!" pekikku memukuli pintu ruang ICU yang sudah tertutup rapat.

"Tolong biarkan aku masuk!" lirihku menangis sesegukan. Terapi tidak ada yang peduli. Aku menangis seorang diri dalam kenestapaan ini.

Mataku terasa sakit. Pasti bengkak karena terlalu banyak menangis. Hampir 3 jam aku menunggu seseorang membuka kan pintu ruangan ICU itu. Hingga akhirnya sosok Dokter Dean yang aku tunggu muncul.

"Bagaimana dengan keadaan suami saya, Dokter?: tanyaku panik. Suara ku bergetar hebat.

Wajah mendung itu cukup menjadi pertanda. "Kita bicara di ruangan saya saja ya, Bu." ucap Dokter Dean menatap iba kepadaku. Lalu berjalan melewati begitu saja. Menyelusuri lorong menuju ruangannya.

Di ruangan bersuhu dingin ini mengapa tubuhku terasa sangat panas sekali. Beberapa kali aku mengusap pelipisku yang telah kembali basah oleh keringat. Sementara tanganku masih genetaran sejak tadi.

"Ibu Shanaya!" panggil Dokter Dean mengalihkan tatapanku.

"I-Iya!" jawabku terbata.

"Kita harus segera melakukan tindakan operasi pada Pak Reyhan. Ada pendarahan di kepalanya."

Deg!

Jantungku seperti lolos dari tempurungnya, "Operasi?" Pekik ku menatap nanar.

Dokter Dean hanya mengangguk lembut dengan tatapan serius.

"Apakah hal itu bisa membuat suami saya sadar?" lirihku. Bayangan lelaki berpakaian putih itu melamun dalam pandanganku.

"Saya tidak bisa memastikannya, Bu. Tetapi yang pasti kita harus segera melakukan tindakan itu. Karena jika di biarkan, kemungkinan Pak Reyhan tidak akan tertolong."

Ah mendung hitam lagi. Aku sangat benci sekali.

Kuremas kuat ujung pakaian yang ku kenakan.

○○○

Cukup lama aku memikirkan langkah terbaik yang harus aku lakukan. Uang lima puluh juta itu tidaklah mudah untuk kudapatkan dalam waktu singkat. Sementara sisa uang menjual tanah saja hanya tersisa tiga juta. Semua harus untuk membiayai pengobatan Mas Reyhan.

Kuseka air mata yang jatuh. Orang-orang yang berlalu lalang di sepanjang lorong ICU tampak berkabut di pandanganku. Aku mengusap kasar mataku.

"Berhentilah menangis, Shanaya Almira Frederica!" hardikku pada diriku sendiri. Kesal tidak tahu harus seperti apa.

Perlahan aku mengeluarkan ponsel jadul dengan layar sudah retak dari dalam saku pakaian yang aku kenakan. Mengusap lembut pada layar ponsel. Muncul foto bahagia antara Mas Reyhan dan Zahra saat kami berlibur ke kebun binatang kala itu. Aku pikir senyuman mereka akan kekal selamanya. Tetapi ternyata aku salah besar. Mereka menggoreskan luka yang tidak akan pernah mungkin aku lupakan.

[Sonia, aku menerima tawaran dari mu.]

Aku membaca dengan seksama pesan yang sudah aku tulis. Sepekian detik aku berpikir, hingga pada akhirnya aku menyerah dan menekan tombol send pada layar ponsel.

"Maafkan aku! Maafkan aku Mas!" lirihku menundukkan wajahku semakin dalam. "Maaf aku tidak bisa menjaga kesetiaanku."

○○○

Akhir bulan Oktober, jangan tanya tentang bulan ini. Setelah bulan-bulan sebelumnya lama tidak turun hujan. Saat ini setiap sore hujan turun. Seperti saat ini, beruntungnya saat aku tiba di sebuah Cafe tempat aku dan Sonia janjian. Hujan baru saja turun, jadi aku terselamatkan dari dinginnya air hujan.

"Mau pesan apa, Mbak?" Sonia menyambutku hangat. Senyum merekah dari bibirnya. Bahkan ia menarik kursi untuk aku duduk.

"Teh hangat saja," jawabku lirih.

"Aduh, Mbak Naya jangan seperti orang susah deh." celetuk Sonia sembari sibuk membuka buku menu di tangannya. "Masa, jauh-jauh ke Cafe cuman mau teh manis saja." gumam nya.

"Kami pesan Coffee Caramel satu dan Coffee milk tea satu," ucap Sonia pada pelayan yang sudah menunggu sejak tadi.

"Baik, silahkan tunggu sebentar!" wanita yang mengenakan pakaian pelayan itu pun pergi.

"Bagaimana, Mbak Naya sudah memutuskan, kan?" Sonia menarik tubuhnya ke dekat meja. Dari wajahnya terlihat jika ia sangat antusias sekali.

Aku mengangguk lesu. Tanpa menjawab apapun. Pasrah.

"Bagus, Mbak Naya!" Sonia tersenyum puas. "Aku sudah menelpon orangnya. Dia sedang dalam perjalanan menuju ke sini."

"Apa?" Aku menggebrak meja, terkejut. Mataku membulat sempurna menatap Sonia yang Refleks menarik tubuhnya menjauh dari meja.

"I-iya Mbak. Dia sedang jalan ke sini!" jawab Sonia terbata.

"Kenapa secepat itu, Sonia?" pekikku kesal. Harusnya tidak langsung seperti ini.

"Ya biar urusannya segera selesai." jawab Sonia dengan wajah terheran-heran. "Mas Reyhan butuh uang secepatnya, kan?" Sonia menaikkan kedua alisnya.

Ah, iya. Suamiku harus segera di operasi.

"Iya, Sonia. Kakak kamu butuh uang itu secepatnya," lirihku dengan nada lesu. Pada akhirnya aku yang harus mengalah.

Sonia tersenyum lebar. Suasana kembali hening hingga seorang pelayan wanita datang membawakan pesan untuk kami.

"Terima ...!" ucapan Sonia terhenti. Matanya membola menatap ke arah pintu masuk Cafe.

Aku penasaran dengan apa yang Sonia lihat. Aku pun menoleh ke arah pintu. Karena posisiku memunggungi pintu.

Sosok lelaki dengan rambut yang di penuhi uban sedang melambaikan tangannya pada Sonia.

"Ya Tuhan, apa jangan-jangan lelaki tua itu yang akan jadi suamiku?" batin ku sama sekali tidak terima.

"Maaf Mbak Sonia saya sedikit terlambat!" ucap lelaki tua itu saat tiba di meja kami. Ia mengukir senyuman sok imut yang menurutku tidak pantas sekali. Dan sempat-sempatnya lelaki itupun tersenyum hangat padaku.

"Jadi ini orangnya?" Lelaki tua itu menatapku. Rasanya ingin sekali aku menghilang dan membatalkan semua keputusanku.

"Tidak, aku tidak mau menikah dengan lelaki tua ini!" jeritku dalam hati.

...----------------...

...----------------...

...----------------...

Terpopuler

Comments

Alanna Th

Alanna Th

tapi sonia benar y uangnya dpake utk reyhan smp sembuh?

2024-04-09

0

Desak Putu Ayu Srinadi

Desak Putu Ayu Srinadi

Masih Syukur Dinikahi demi Menyelamatkan Nyawa Suami.. Kupikir dijual adik ipar untuk dijadikan Pelacur..

2023-11-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!