Beberapa alat medis menempel pada tubuh Mas Reyhan, lelaki yang kini terbaring di atas ranjang pasien. Sementara suara monitor yang berada di samping ranjang terus berbunyi nyaring. Memecah keheningan di dalam ruangan berdinding serba putih tempatku berada saat ini.
Tiga hari sudah berlalu, setelah kejadian naas yang menimpa Mas Reyhan, suamiku. Aku pikir aku akan kehilangan lelaki itu untuk selamanya. Tetapi ternyata Allah masih memberikan aku kesempatan sekali lagi untuk melihatnya.
Setelah kami kehilangan permata kecil kami Zahra dalam insiden kebakaran. Aku hanya memiliki Mas Reyhan di dunia. Jadi aku amat sangat terpukul saat menerima kabar jika Mas Reyhan mengalami kecelakaan.
Detak jarum jam saling bersahutan dengan bunyi nyaring monitor yang mengontrol detak jantung Mas Reyhan. Di dalam ruangan ini aku hanya sendiri. Sonia dan Bang Roby saling bergantian menjaga ibu di rumah. Tidak peduli mereka terpaksa atau tidak, karena aku pun tidak mungkin meninggalkan Mas Reyhan sendirian di sini.
Tatapanku beralih pada sosok lelaki yang mengenakan jas hitam yang muncul di balik pintu ruangan. Dia adalah atasan di tempat Mas Reyhan bekerja, Pak Ahmad. Dua kali aku bertemu dengan lelaki itu. Yang pertama adalah saat pertama kali Mas Reyhan di larikan ke rumah sakit. Lelaki itu mengatakan akan menjamin semua biaya pengobatan pegawainya yang menjadi korban kecelakaan itu dan sekarang.
"Apakah saya bisa bicara dengan anda, Ibu Shanaya?" Lelaki yang menghentikan langkahnya tidak jauh dari ambang pintu itu menatap ke arahku.
Aku mengangguk tanpa menjawab apapun. Sesaat aku menatap pada Mas Reyhan sebelum melangkahkan kaki meninggalkan ruangan dengan udara dingin yang menusuk tulang.
Suara riuh ramai langkah kaki memenuhi lorong rumah sakit. Aku dan lelaki berjas hitam itu kini duduk pada sebuah bangku yang memang disediakan sebagai tempat tunggu di depan ruang ICU.
"Apakah Dokter sudah menemui anda, Bu?" kata lelaki berjas hitam yang duduk di sampingku, dari tutur katanya yang lembut aku yakin Pak Ahmad adalah orang baik. Mas Reyhan sering menceritakan kebaikannya padaku.
Menggelengkan kepalaku, "Belum." jawabku lirih.
Tatapan mata itu seperti sebuah pertanda buruk. Tapi apa? Ah rasanya aku sudah bosan sekali dengan takdir buruk yang menimpa hidupku. Apakah yang Ibu tuliskan dalam buku diarynya itu adalah benar, jika aku hanyalah anak pembawa sial. Hingga ibu harus menghukumku tumbuh tanpa seorang ayah.
Stop Naya, kamu sudah mengubur dalam-dalam masa lalu itu dan jangan membukanya lagi.
"Mungkin sebentar lagi Dokter akan menginformasikannya pada Ibu Naya, tentang keadaan Pak Reyhan." Lelaki yang duduk di sampingku melirik pada arloji yang melingkar pada pergelangan tangannya. Tampak memburu waktu.
Aku mengangguk mengerti ini memang masih terlalu pagi untuk seorang dokter datang ke rumah sakit.
"Saya ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya pada Ibu." lelaki yang duduk tidak jauh dariku memasang wajah tidak enak.
"Untuk apa, Pak?." jawabku sedikit penasaran.
Lelaki itu membuang nafas panjang sebelum ia memulai kalimatnya. "Sepertinya saya tidak bisa menanggung semua biaya pengobatan Pak Reyhan sampai pulih seperti sedia kala."
Ah, baru kemarin hatiku sedikit lega karena pengobatan Mas Reyhan yang ditanggung perusahaan. Kini Harapan itu harus pupus.
Pak Ahmad memasang wajah sedih. "Saya hanya bisa membantu pengobatan Pak Reyhan sampai hari ini saja, Bu." lirihnya memasang wajah penuh penyesalan.
"Tapi, Pak. Bukankah bapak sendiri yang sudah berjanji akan menanggung semua biaya pengobatan suami saya?." ucapku lirih, menekan sesak yang meremas dada. Sosok lelaki yang duduk di samping ku berubah kabur, pasti karena air mata yang mulai memenuhi pelupuk.
Hanya helaan nafas kasar. Lelaki bertubuh subur itu membuang tatapannya sekilas padaku. "Sekali lagi saya minta maaf, Bu Naya. Saya pikir keadaan Pak Reyhan tidak seburuk ini." suara laki-laki itu terdengar lirih.
Deg!.
Detak jantungku berpacu lebih cepat. Menatap serius pada Pak Ahmad. Padahal sampai detik ini dokter belum mengatakan apapun padaku.
"Menurut penuturan Dokter, Pak Reyhan butuh perawatan dalam waktu yang panjang. Jadi tidak mungkin perusahaan akan menanggung semua biaya itu, Bu."
Dahiku berkerut. Satu persatu air mata jatuh membasahi pipi tanpa bisa aku tahan. "Maksud Bapak bagaimana? kenapa suami saya harus mendapatkan perawatan dalam waktu panjang?." cercarku penasaran.
"Tolong katakan pada saya, Pak?" Aku mengguncang pergelangan tangan Pak Ahmad. Sementara tangis sama sekali tidak dapat aku bendung. Rasa takut Kian menyiksa batinku.
Lelaki itu berusaha menyingkirkan jemariku yang melingkar di pergelangan tangannya. Aku menguatkan genggaman tanganku, tidak peduli jika saat ini aku menjadi bahan tontonan pengunjung rumah sakit.
"Ibu Naya, tenang! tenang Bu!." lelaki itu menarik tubuhnya menjauh dariku.
Aku menangis sesenggukan. "Katakan pada saya apa yang sebenarnya terjadi pada suami saya?."
"Baik saya akan mengatakannya tetapi tolong lepaskan tangan saya dulu, Bu!." mohon lelaki bertubuh subur itu. "Saya tidak ingin orang-orang berpikir buruk tentang saya."
Aku mengalah dan melepaskan genggaman tanganku. Apa yang Pak Ahmad katakan memang ada benarnya juga. Sejak tadi kami telah menjadi pusat perhatian para pengunjung rumah sakit.
Tidak lama sekitar 30 menit aku dan lelaki bertubuh subur itu menunggu di depan sebuah ruangan. Saat lelaki berseragam putih muncul dari ujung lorong. Pak Ahmad bangkit dari sampingku.
"Dokter sudah datang, anda bisa menanyakan keadaan Pak Reyhan kepada beliau." sesaat lelaki bertubuh subur yang berdiri di hadapanku melirik pada Dokter yang berjalan mendekat.
"Saya harus segera kembali ke kantor Bu Naya." Lelaki itu menatapku iba.
"Semoga keadaan Pak Reyhan segera membaik. Saya atas nama perusahaan memohon maaf yang sebesar-besarnya jika tidak bisa membantu terlalu banyak." lelaki itu menutup kalimatnya saat dokter masuk ke dalam ruangan yang berada di depan bangku tumbuh tempatku duduk saat ini.
Aku tertegun, tidak bisa berkata-kata perlahan aku bangkit dengan langkah gontai. Menuju pintu yang berjarak hanya satu meter di hadapanku. Ringan aku mengetuk daun pintu ruangan. Suara seorang lelaki menyambutku dari dalam ruangan.
"Masuk!"
Udara dingin menyentuh pori-pori kulitku saat aku membuka pintu. Aroma obat-obatan khas, menusuk pangkal hidung.
"Silahkan duduk!." ucap Dokter Andrean atau biasa di sapa dengan Dokter Dean.
"Saya ingin menanyakan keadaan suami saya, Dokter? Mengapa sampai hari ini dia belum sadarkan diri?" lirihku dengan suara berat.
Wajah Dokter Dean berubah seketika. Senyuman ramah yang terulas mendadak sinar.
Dokter Dean menghela nafas panjang. Menarik sedikit tubuhnya dengan sandaran bangku. Sejenak lelaki berseragam putih itu menjatuhkan tatapan iba padaku.
"Maaf jika saya harus menyampaikan kabar tidak menyenangkan ini pada anda." lelaki itu menjeda ucapannya menatapku serius. Degupan jantungku berpacu lebih cepat. Gerombolan air mata sudah mengantri di pelupuk mata. Siap untuk jatuh.
"Kita sudah menunggu selama tiga hari dan sampai detik ini tidak ada perkembangan sedikitpun dari Pak Reyhan dan saya menyimpulkan jika benturan yang sangat keras pada kepala Pak Reyhan itu menyebabkan beliau koma."
"Apa? suamiku koma?." sentakku.
Langit ku mendadak gelap. Ribuan tanya memenuhi isi kepalaku dan sangat ramai sekali.
...----------------...
...----------------...
...----------------...
Angin dari timur menyapu lembut pada pori-pori kulitku. Terasa begitu hangat bersama sinar matahari yang perlahan menyapa tepi bumi.
Semalam tidurku memang sangat nyenyak sekali. Setelah dua minggu aku hampir kurang istirahat karena harus bolak balik ke rumah sakit untuk menunggu Mas Reyhan. Malam ini, aku bisa tidur nyenyak. Karena Sonia bersedia menggantikan aku menunggu Mas Reyhan di rumah sakit.
Sebenarnya aku ingin membawa Mas Reyhan pulang ke rumah. Tetapi Dokter melarangnya. Saat ini, hidup Mas Reyhan hanya bergantung pada peralatan medis yang menempel pada tubuhnya. Jika tidak, aku tidak tahu lagi. Yang pasti aku ingin sekali Mas Reyhan tetap hidup sampai nanti.
Sonia berlari tergopoh-gopoh turun dari mobil taksi yang berhenti tepat di depan rumah. Sesaat ia mengatur nafasnya yang naik turun saat tiba di hadapanku.
"Bagaimana Sonia?." ucapku tidak peduli pada Sonia yang baru sampai tengah mengatur nafasnya.
"Kita duduk di dalam saja, Mbak. Tidak enak sama tetangga!." Sonia berjalan masuk menyerobotku yang sejak tadi berdiri di halaman rumah.
Aku sedikit beruntung dengan keberadaan Sonia selama dua minggu yang sulit ini. Sonia mau bergantian menjaga Mas Reyhan dan ibu denganku. Jika aku berada di rumah sakit, maka Sonia yang akan menjaga ibu. Jika Sonia menjaga Mas Reyhan aku yang ada di rumah untuk Ibu. Jika Sonia mengajar, maka aku akan meminta tolong pada Sari untuk menjaga Ibu. Aku rasa, Sonia sudah cukup banyak berubah dari semua ujian yang kita alami bersama selama ini.
Suami Sonia yang korupsi, membuat Sonia banyak berubah sampai detik ini. Sedikitnya aku sangat bersyukur akan hal itu.
"Bagaimana kata pihak rumah sakit?." Aku masih penasaran.
Aku sengaja meminta tolong pada Sonia untuk bicara pada pihak rumah sakit perihal biaya pengobatan Mas Reyhan yang belum Aku selesaikan . Hari terakhir aku bertemu dengan pihak rumah sakit, mereka mengatakan akan melepaskan semua alat-alat medis dari tubuh Mas Reyhan jika aku tidak bisa segera melunasi tunggakan pembayaran itu.
Wajah Sonia berubah muram. Menatap serius kepadaku. Tolong, aku mohon kali ini saja jangan kabar buruk lagi. Biarkan aku sedikit waktu, sedikit saja.
Pelipisku terasa basah. Aku mengusapnya dengan lembut. Waktu berjalan seperti melambat. Entah mengapa, situasi yang tidak menyenangkan seperti berlalu sangat lama.
"Tetap tidak bisa Mbak. Kita harus segera membayar biaya rumah sakit Mas Reyhan. Pihak rumah sakit hanya memberikan waktu tiga hari untuk kita melunasi semua tunggakan yang ada."
Aku membuang nafas kasar. Menghempaskan tubuhku pada sandaran bangku. Ada beban berat yang menghantam dadaku, terasa sesak.
"Tiga hari, Son? Apakah tidak bisa seminggu lagi saja?." Aku memohon.
Sonia menggelengkan kepalanya. "Tidak Mbak, jika selama tiga hari pengobatan Mas Reyhan tidak di bayar. Semua alat-alat medis pada tubuh Mas Reyhan akan di lepas dan setelah itu...!" Sonia menggantung kalimatnya seraya mengedikkan bahu. Aku tahu ujung dari kalimat itu.
Mendadak kepalaku berdenyut. Hanya tanah yang berada di ujung jalan warisan dari ibu itulah salah satunya harta yang aku miliki saat ini. Jika aku menjual tanah itu dan Sonia menjual rumah ini untuk menutupi kasus Aditya, suaminya. Lalu di mana Ibu dan aku akan tinggal.
Tadi aku juga sudah bicara sama dokter, bisa saja kita membawa pulang Mas Reyhan tetapi tidak dalam waktu dekat ini. Mungkin dua minggu lagi sampai luka di kepala Mas Reyhan membaik. Siapa tahu juga Mas Reyhan bisa sadar dari komanya. Tetapi jika Mas Reyhan masih koma, alat-alat itu tidak boleh lepas dari tubuhnya."
Aku tersenyum getir. Ucapan Sonia adalah doa yang selalu aku panjatkan setiap waktu berharap Mas Rehan bisa segera sadar.
"Berapa Son, total tagihannya?." lirihku dengan suara yang lemas. Aku hampir melupakan jumlah yang harus aku bayar.
"Sekitar delapan puluh juta Mbak." jawab Sonia.
Aku termenung lagi. Tetapi tidak dengan benakku. Aku terus berpikir keras untuk mendapatkan uang sebanyak itu.
"Itu hanya biaya pengobatan Mas Reyhan selama dua minggu. Memang mahal sih Mbak, soalnya tidak di tanggung BPJS." Sonia menjelaskan.
"Delapan puluh juta!." lirihku mengalihkan tatapanku pada wanita yang duduk di kursi roda. Dengan sebuah murotal yang ada di atas pangkuannya. Meskipun ibu kesulitan untuk berbicara, tetapi ia ingin sekali menghafal alquran. Aku tidak tau bagaimana caranya, mungkin beliau akan membacanya di dalam hati.
"Bagaimana kalau kita menjual warisan Mas Reyhan dari Ibu, Sonia?" kata-kata itu terlontar dari bibirku begitu saja.
Sonia menatapku serius. "Terus , Mbak Naya tidak jadi bertukar warisan denganku?." celetuk Sonia bersungut-sungut.
Aku diam cukup lama. Tidak tahu harus menjawab apa.
"Ya terserah Mbak Naya, sih. Kalau memang Mbak Naya tidak jadi bertukar warisan aku terpaksa menjual rumah ini," ucap Sonia terdengar mengancam.
Aku membuang nafas panjang. Sekilas melirik pada Ibu yang duduk di kursi roda ruang tamu rumah. Wanita itu tampak sekali serius.
"Lalu bagaimana dengan Ibu, Sonia?" Lirihku dengan wajah mengiba.
"Ya, seperti apa yang aku katakan kemarin. Aku akan membawa ibu ke panti jompo. Lagi pula, mbak Naya tidak akan mungkin mengurus dua orang yang menyusahkan sekaligus?" Sonja menaikkan kedua alisnya. Tatapannya berubah kesal padaku.
Tubuhku terasa lemas. Menatap pada Sonia yang bangkit dari bangku yang ada di hadapanku.
○○○
Bimbang menyelimuti hatiku . Kutatap lekat wajah Mas Reyhan yang tidak berubah dari hari-hari lalu. kedua matanya terpejam dengan sebuah selang yang menempel pada hidungnya, pergerakan Mas Reyhan sudah seperti pangeran tidur yang entah kapan akan terbangun.
Aku meraih tangan Mas Reyhan mengecup punggung tangannya untuk sesaat.
"Apakah kamu tidak merindukan aku, Mas?" lirihku. Gerombolan air mata berjatuha membasahi pipi. Aki terisak. Ini teramat sakit.
"Bangunlah, Mas. Katakan kepadaku! Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu bangun?"
"Mas, maafkan aku. Sepertinya kita belum di percaya oleh Allah lagi. Awal bulan lalu aku sudah datang bulan." Aku tersenyum getir.
Aku berucap seperti orang tidak waras. Berbicara sendiri seolah Mas Reyhan sedang mendengarkan aku.
Hening, lagi-lagi suara mesin monitor pengontrol detak jantung membuatku muak. Aku ingin suara itu berhenti, dan berganti dengan suara tawa Mas Reyhan.
Getaran ponsel yang berada di dalam tas mengalihkan tatapanku. Getarannya yang lama menandakan jika ada sebuah panggilan masuk.
"Sonia!." lirihku saat melihat nama Sonia pada layar ponsel yang berkedip.
"Ada apa? Bukankah dia sedang marah padaku karena aku menjual tanah warisan Mas Reyhan!" gumamku sebelum menekan tombol hijau pada sudut layar ponsel.
"Halo, Son!" ucapku setelah mendekatkan ponsel ke telinga.
"Mbak Naya, ada kabar gembira untuk Mbak Naya." Suara di balik telepon terdengar bersemangat.
"Kabar gembira apa, Sonia?." tanyaku penasaran.
"Mbak Naya tidak perlu mengkhawatirkan biaya pengobatan Mas Reyhan. Aku sudah punya jawabannya," jawab Sonia terdengar antusias dari balik telepon.
...----------------...
...----------------...
...----------------...
Sudah hampir tiga puluh menit aku menunggu Sonia. Bahkan tepi barat sejak tadi menguning perlahan telah berganti gelap. Tetapi wanita itu tidak kunjung juga datang.
Aku membuang nafas panjang. Bangun dari bangku yang berada di depan beranda rumah, berjalan menuju ke arah pintu masuk.
"Ambil saja kembaliannya, Pak!"
Sayup-sayup suara Sonia menghentikan langkah kakiku. Aku menoleh pada sosok yang berjalan cepat ke arahku. Setelah mobil berwarna biru yang berhenti di depan rumah melaju, pergi.
"Maaf, Mbak. Tadi aku dan ibu mertua ku ke mall dulu." Sonia meringis saat tiba di hadapanku. Dari auranya tampak jika dia sedang bahagia.
Aku mengangguk, ekor mataku melirik pada dua kantong plastik besar yang ada di tangan Sonia.
"Ibu dimana? Belum tidur, kan?" Sonia menyerobot masuk. Membuat aku yang masih berdiri di luar pintu sedikit menggeser tubuhku untuk memberikan jalan pada Sonia.
"Ibu baru saja selesai sholat maghrib." jawabku menatap punggung Sonia yang berjalan mendahuluiku.
Dengan langkah cepat Sonia berjalan menuju kamar Ibu. Sementara aku, memilih untuk menunggu di ruang keluarga yang juga sekaligus ruang televisi.
Sesekali aku mendengar Sonia tertawa dari dalam kamar ibu. Entah apa yang sedang ia bicarakan bersama ibu di dalam sana. Karena yang ada di dalam pikiranku saat ini adalah ucapan Sonia di telepon yang membuatku semakin penasaran.
Suara dari pintu mengalihkan tatapanku pada Sonia yang muncul dari balik pintu kamar ibu. Senyuman lebar terukir dari bibir Sonia. Aku rasa anak itu sedang sangat bahagia sekali. Sampai-sampai senyumannya tidak berhenti-henti.
"Ini oleh-oleh untuk Mbak Naya?" Sonia meletakkan kantong plastik berisi sesuatu di atas meja.
Dahiku berkerut. Sekilas menatap kantong plastik yang berada di atas meja dan Sonja secara bergantian.
"Apa ini?"
"Buka saja, mbak!" senyuman tidak memudar sedikitpun dari bibir Sonia. Matanya berbinar penuh semangat.
Tanganku terulur meraih kantong plastik dan mulai membukanya. Dua potong pakaian dengan warna senada ada di kantong plastik itu.
"Apa ini, Son?" Dahiku berkerut, karena terkejut. Aku mengambil salah satu pakaian, dari dress nya sepertinya ini pakaian mahal.
"Itu semua untuk Mbak Naya." celetuk Sonia membuatku terheran-heran. Tumben sekali membelikanku pakaian apalagi barang mahal seperti ini.
Aku masih tidak percaya, kenapa Sonia begitu baik padaku? bukankah dia sedang marah padaku karena aku tidak jadi bertukar warisan dengannya? Apakah baju-baju ini, kabar gembira yang Sonia katakan tadi di telepon?
"Semua untuk ku?." mataku membulat tidak percaya. Aku meletakkan kedua tangan di dada.
Sonia mengangguk lembut. Ia tersenyum ke arahku. "Iya, itu semua untuk Mbak Naya."jawab Sonia.
"Tetapi untuk apa?" tanyaku dengan bingung.
"Tentu untuk Mbak Shanaya pakai dong." jawab Sonia santai. Senyum nya bersahabat dan mengembang.
Aku masih tidak percaya, cukup lama aku tertegun memeganggi pakaian yang Sonia berikan padaku.
"Jadi kabar bahagia yang kamu katakan itu ini?" Aku menggerakkan pakaian yang Sonia berikan sesaat, bukan tidak senang hanya saja bukan ini yang aku inginkan.
"Bukan, bukan ini Mbak." Sonia menggerakkan telapak tangannya di udara.
"Lalu?" kedua alis ku terangkat.
"Kabar gembira ini pasti akan membuat Mbak Naya senang." Sonia bercerita antusias, ia menarik tubuhnya sedikit ke depan. Tatapan nya berbinar kepadaku.
"Apa Sonia?" Desakku semakin penasaran.
"Ada seseorang yang akan membantu pengobatan Mas Reyhan sampai sembuh."
Hatiku mendadak sejuk, tanpa kusadari senyuman sudah melengkung pada bibirku. Aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan ini.
Sonia tersenyum sesaat, "Tenang Mbak, tenang!." ucapnya, Sonia menyingkirkan jemari ku yang melingkar pada pergelangan tangannya.
Dada nya bergerak naik turun. Gerimis haru berjatuhan membasahi pipiku. Ini seperti mimpi untukku.
"Cepat katakan sesuatu!" Aku memburui, sudah tidak sabar siapa kah orang berhati malaikat itu.
"Seseorang itu akan menanggung biaya pengobatan Mas Rayhan sampai sembuh, tetapi dengan satu syarat ..." Sonia menggantung kalimatnya, semakin membuatku penasaran.
"Syarat?" Aku tersentak. "Apa semacam hutang?"
Sonia menggelengkan kepala. "Tidak, mbak. Ini bukan hutang piutang."
"Lalu?"
"Semuanya gratis..." ucap Sonia senang. Namun keadaan justru berbalik kepadaku. Bagaimana zaman sekarang ada orang yang memberikan uang dengan cuma-cuma. Aku rasa itu mustahil sekali.
"Aku tidak mau kalau harus hutang!" cebikku memutar tubuhku ke arah berlawanan dari tempat Sonia duduk.
Sonia menarik bahuku. Tubuhku berputar kembali ke arahnya.
"Tidak Mbak, bukan begitu." cetusnya. "Orang itu mau membayar biaya pengobatan Mas Reyhan sampai sembuh, asalkan Mbak Shanaya mau menikah dengannya."
Aku tersedak. Padahal aku tidak sedang makan apapun. Tetapi seperti ada yang mencekik kerongkongan ku. Sesaat aku seperti lupa cara memasukkan oksigen dalam paru-paru ku, sesak.
"Mbak, minum dulu Mbak." Sonia khawatir, ia menyodorkan segelas air putih yang berada di atas meja kepadaku.
Gila, ini sangat gila. Apa Sonia mau menjualku?
"Maksud kamu apa, Sonia?" Tanyaku pada Sonia setelah aku sedikit tenang. Ada rasa kesal menyelinap masuk.
"Orang itu akan menanggung biaya pengobatan Mas Reyhan, Mbak. Asalkan Mbak Naya mau menikah dengannya." Sonia mengulang kembali penjelasan nya dan semakin membuatku kesal.
"Tidak!" sentakku meradang. "Aku tidak akan mengkhianati pernikahanku dengan Mas Reyhan, Sonia." Wajahku merah padam. Mudah sekali Sonia berkata seperti itu padaku.
Sonia menatapku sinis, "Jadi Mbak Shanaya lebih memilih Mas Reyhan mati perlahan?" Cebik Sonia membulatkan kedua matanya.
Mataku memanas, Satu persatu air mata luruh, dadaku semakin sesak. Sampai mati pun aku tidak akan pernah meninggalkan Mas Reyhan. Lelaki yang telah menemaniku dalam keadaan susah ataupun senang.
"Terserah, Mbak Naya! Aku hanya ingin menyelamatkan Mas Reyhan." Sonia meledak-ledak. Gerombolan air mata membasahi pipinya. "Jika Mbak Naya tetap pada pendirian Mbak Naya. Aku pastikan umur Mas Reyhan tidak akan lama." Sonia memberikan penekanan pada ujung kalimatnya. "Atau mungkin Mbak Naya ingin melihat Mas Reyhan mati?" cerca nya. Pikiran konyol apa itu, Sonia.
"Tapi tidak untuk menikah lagi, Sonia." Pekik ku. Nyeri rasanya ulu hati. Kenapa takdir tidak sekalipun berpihak padaku?.
"Hanya itu satu-satu nya cara untuk mendapatkan uang yang banyak, Mbak. Ini demi Mas Reyhan." Bantah nya bersungguh-sungguh. Seolah dirinya sudah yang paling benar.
Aku tergugu. Wanita mana yang tega meninggalkan suaminya yang sakit demi menikah dengan lelaki lain. Dengan alasan apapun itu. Tetap itu adalah sebuah pengkhianatan yang tidak termaafkan.
"Ini konyol, Sonia?" Isakku sesegulan. Menundukkan wajahku semakin dalam. "Aku tidak akan meninggalkan Mas Reyhan."
Sonia mengusap wajahnya kasar. "Coba Mbak Naya pikirkan setelah uang hasil menjual tanah itu habis dan Mas Reyhan belum sembuh. lalu apa yang akan Mbak Reyhan lakukan untuk membiayai pengobatan Mas Reyhan? Hah...?" Sonia berkacak pinggang menatap ku penuh amarah.
Aku diam seperti seorang pecundang. Kalah sebelum berperang.
Sejenak aku dan Sonia salim terdiam. Nafas Sonia yang menderu terdengar hampir di telingaku.
"Kecuali Mbak Shanaya menginginkan kematian Mas Reyhan!" pekik Sonia menatapku sinis.
...----------------...
...----------------...
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!