Angin dari timur menyapu lembut pada pori-pori kulitku. Terasa begitu hangat bersama sinar matahari yang perlahan menyapa tepi bumi.
Semalam tidurku memang sangat nyenyak sekali. Setelah dua minggu aku hampir kurang istirahat karena harus bolak balik ke rumah sakit untuk menunggu Mas Reyhan. Malam ini, aku bisa tidur nyenyak. Karena Sonia bersedia menggantikan aku menunggu Mas Reyhan di rumah sakit.
Sebenarnya aku ingin membawa Mas Reyhan pulang ke rumah. Tetapi Dokter melarangnya. Saat ini, hidup Mas Reyhan hanya bergantung pada peralatan medis yang menempel pada tubuhnya. Jika tidak, aku tidak tahu lagi. Yang pasti aku ingin sekali Mas Reyhan tetap hidup sampai nanti.
Sonia berlari tergopoh-gopoh turun dari mobil taksi yang berhenti tepat di depan rumah. Sesaat ia mengatur nafasnya yang naik turun saat tiba di hadapanku.
"Bagaimana Sonia?." ucapku tidak peduli pada Sonia yang baru sampai tengah mengatur nafasnya.
"Kita duduk di dalam saja, Mbak. Tidak enak sama tetangga!." Sonia berjalan masuk menyerobotku yang sejak tadi berdiri di halaman rumah.
Aku sedikit beruntung dengan keberadaan Sonia selama dua minggu yang sulit ini. Sonia mau bergantian menjaga Mas Reyhan dan ibu denganku. Jika aku berada di rumah sakit, maka Sonia yang akan menjaga ibu. Jika Sonia menjaga Mas Reyhan aku yang ada di rumah untuk Ibu. Jika Sonia mengajar, maka aku akan meminta tolong pada Sari untuk menjaga Ibu. Aku rasa, Sonia sudah cukup banyak berubah dari semua ujian yang kita alami bersama selama ini.
Suami Sonia yang korupsi, membuat Sonia banyak berubah sampai detik ini. Sedikitnya aku sangat bersyukur akan hal itu.
"Bagaimana kata pihak rumah sakit?." Aku masih penasaran.
Aku sengaja meminta tolong pada Sonia untuk bicara pada pihak rumah sakit perihal biaya pengobatan Mas Reyhan yang belum Aku selesaikan . Hari terakhir aku bertemu dengan pihak rumah sakit, mereka mengatakan akan melepaskan semua alat-alat medis dari tubuh Mas Reyhan jika aku tidak bisa segera melunasi tunggakan pembayaran itu.
Wajah Sonia berubah muram. Menatap serius kepadaku. Tolong, aku mohon kali ini saja jangan kabar buruk lagi. Biarkan aku sedikit waktu, sedikit saja.
Pelipisku terasa basah. Aku mengusapnya dengan lembut. Waktu berjalan seperti melambat. Entah mengapa, situasi yang tidak menyenangkan seperti berlalu sangat lama.
"Tetap tidak bisa Mbak. Kita harus segera membayar biaya rumah sakit Mas Reyhan. Pihak rumah sakit hanya memberikan waktu tiga hari untuk kita melunasi semua tunggakan yang ada."
Aku membuang nafas kasar. Menghempaskan tubuhku pada sandaran bangku. Ada beban berat yang menghantam dadaku, terasa sesak.
"Tiga hari, Son? Apakah tidak bisa seminggu lagi saja?." Aku memohon.
Sonia menggelengkan kepalanya. "Tidak Mbak, jika selama tiga hari pengobatan Mas Reyhan tidak di bayar. Semua alat-alat medis pada tubuh Mas Reyhan akan di lepas dan setelah itu...!" Sonia menggantung kalimatnya seraya mengedikkan bahu. Aku tahu ujung dari kalimat itu.
Mendadak kepalaku berdenyut. Hanya tanah yang berada di ujung jalan warisan dari ibu itulah salah satunya harta yang aku miliki saat ini. Jika aku menjual tanah itu dan Sonia menjual rumah ini untuk menutupi kasus Aditya, suaminya. Lalu di mana Ibu dan aku akan tinggal.
Tadi aku juga sudah bicara sama dokter, bisa saja kita membawa pulang Mas Reyhan tetapi tidak dalam waktu dekat ini. Mungkin dua minggu lagi sampai luka di kepala Mas Reyhan membaik. Siapa tahu juga Mas Reyhan bisa sadar dari komanya. Tetapi jika Mas Reyhan masih koma, alat-alat itu tidak boleh lepas dari tubuhnya."
Aku tersenyum getir. Ucapan Sonia adalah doa yang selalu aku panjatkan setiap waktu berharap Mas Rehan bisa segera sadar.
"Berapa Son, total tagihannya?." lirihku dengan suara yang lemas. Aku hampir melupakan jumlah yang harus aku bayar.
"Sekitar delapan puluh juta Mbak." jawab Sonia.
Aku termenung lagi. Tetapi tidak dengan benakku. Aku terus berpikir keras untuk mendapatkan uang sebanyak itu.
"Itu hanya biaya pengobatan Mas Reyhan selama dua minggu. Memang mahal sih Mbak, soalnya tidak di tanggung BPJS." Sonia menjelaskan.
"Delapan puluh juta!." lirihku mengalihkan tatapanku pada wanita yang duduk di kursi roda. Dengan sebuah murotal yang ada di atas pangkuannya. Meskipun ibu kesulitan untuk berbicara, tetapi ia ingin sekali menghafal alquran. Aku tidak tau bagaimana caranya, mungkin beliau akan membacanya di dalam hati.
"Bagaimana kalau kita menjual warisan Mas Reyhan dari Ibu, Sonia?" kata-kata itu terlontar dari bibirku begitu saja.
Sonia menatapku serius. "Terus , Mbak Naya tidak jadi bertukar warisan denganku?." celetuk Sonia bersungut-sungut.
Aku diam cukup lama. Tidak tahu harus menjawab apa.
"Ya terserah Mbak Naya, sih. Kalau memang Mbak Naya tidak jadi bertukar warisan aku terpaksa menjual rumah ini," ucap Sonia terdengar mengancam.
Aku membuang nafas panjang. Sekilas melirik pada Ibu yang duduk di kursi roda ruang tamu rumah. Wanita itu tampak sekali serius.
"Lalu bagaimana dengan Ibu, Sonia?" Lirihku dengan wajah mengiba.
"Ya, seperti apa yang aku katakan kemarin. Aku akan membawa ibu ke panti jompo. Lagi pula, mbak Naya tidak akan mungkin mengurus dua orang yang menyusahkan sekaligus?" Sonja menaikkan kedua alisnya. Tatapannya berubah kesal padaku.
Tubuhku terasa lemas. Menatap pada Sonia yang bangkit dari bangku yang ada di hadapanku.
○○○
Bimbang menyelimuti hatiku . Kutatap lekat wajah Mas Reyhan yang tidak berubah dari hari-hari lalu. kedua matanya terpejam dengan sebuah selang yang menempel pada hidungnya, pergerakan Mas Reyhan sudah seperti pangeran tidur yang entah kapan akan terbangun.
Aku meraih tangan Mas Reyhan mengecup punggung tangannya untuk sesaat.
"Apakah kamu tidak merindukan aku, Mas?" lirihku. Gerombolan air mata berjatuha membasahi pipi. Aki terisak. Ini teramat sakit.
"Bangunlah, Mas. Katakan kepadaku! Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu bangun?"
"Mas, maafkan aku. Sepertinya kita belum di percaya oleh Allah lagi. Awal bulan lalu aku sudah datang bulan." Aku tersenyum getir.
Aku berucap seperti orang tidak waras. Berbicara sendiri seolah Mas Reyhan sedang mendengarkan aku.
Hening, lagi-lagi suara mesin monitor pengontrol detak jantung membuatku muak. Aku ingin suara itu berhenti, dan berganti dengan suara tawa Mas Reyhan.
Getaran ponsel yang berada di dalam tas mengalihkan tatapanku. Getarannya yang lama menandakan jika ada sebuah panggilan masuk.
"Sonia!." lirihku saat melihat nama Sonia pada layar ponsel yang berkedip.
"Ada apa? Bukankah dia sedang marah padaku karena aku menjual tanah warisan Mas Reyhan!" gumamku sebelum menekan tombol hijau pada sudut layar ponsel.
"Halo, Son!" ucapku setelah mendekatkan ponsel ke telinga.
"Mbak Naya, ada kabar gembira untuk Mbak Naya." Suara di balik telepon terdengar bersemangat.
"Kabar gembira apa, Sonia?." tanyaku penasaran.
"Mbak Naya tidak perlu mengkhawatirkan biaya pengobatan Mas Reyhan. Aku sudah punya jawabannya," jawab Sonia terdengar antusias dari balik telepon.
...----------------...
...----------------...
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Evy
ceritanya bagus dan menarik...tapi kok sepi ...
2024-02-29
1