Sudah hampir tiga puluh menit aku menunggu Sonia. Bahkan tepi barat sejak tadi menguning perlahan telah berganti gelap. Tetapi wanita itu tidak kunjung juga datang.
Aku membuang nafas panjang. Bangun dari bangku yang berada di depan beranda rumah, berjalan menuju ke arah pintu masuk.
"Ambil saja kembaliannya, Pak!"
Sayup-sayup suara Sonia menghentikan langkah kakiku. Aku menoleh pada sosok yang berjalan cepat ke arahku. Setelah mobil berwarna biru yang berhenti di depan rumah melaju, pergi.
"Maaf, Mbak. Tadi aku dan ibu mertua ku ke mall dulu." Sonia meringis saat tiba di hadapanku. Dari auranya tampak jika dia sedang bahagia.
Aku mengangguk, ekor mataku melirik pada dua kantong plastik besar yang ada di tangan Sonia.
"Ibu dimana? Belum tidur, kan?" Sonia menyerobot masuk. Membuat aku yang masih berdiri di luar pintu sedikit menggeser tubuhku untuk memberikan jalan pada Sonia.
"Ibu baru saja selesai sholat maghrib." jawabku menatap punggung Sonia yang berjalan mendahuluiku.
Dengan langkah cepat Sonia berjalan menuju kamar Ibu. Sementara aku, memilih untuk menunggu di ruang keluarga yang juga sekaligus ruang televisi.
Sesekali aku mendengar Sonia tertawa dari dalam kamar ibu. Entah apa yang sedang ia bicarakan bersama ibu di dalam sana. Karena yang ada di dalam pikiranku saat ini adalah ucapan Sonia di telepon yang membuatku semakin penasaran.
Suara dari pintu mengalihkan tatapanku pada Sonia yang muncul dari balik pintu kamar ibu. Senyuman lebar terukir dari bibir Sonia. Aku rasa anak itu sedang sangat bahagia sekali. Sampai-sampai senyumannya tidak berhenti-henti.
"Ini oleh-oleh untuk Mbak Naya?" Sonia meletakkan kantong plastik berisi sesuatu di atas meja.
Dahiku berkerut. Sekilas menatap kantong plastik yang berada di atas meja dan Sonja secara bergantian.
"Apa ini?"
"Buka saja, mbak!" senyuman tidak memudar sedikitpun dari bibir Sonia. Matanya berbinar penuh semangat.
Tanganku terulur meraih kantong plastik dan mulai membukanya. Dua potong pakaian dengan warna senada ada di kantong plastik itu.
"Apa ini, Son?" Dahiku berkerut, karena terkejut. Aku mengambil salah satu pakaian, dari dress nya sepertinya ini pakaian mahal.
"Itu semua untuk Mbak Naya." celetuk Sonia membuatku terheran-heran. Tumben sekali membelikanku pakaian apalagi barang mahal seperti ini.
Aku masih tidak percaya, kenapa Sonia begitu baik padaku? bukankah dia sedang marah padaku karena aku tidak jadi bertukar warisan dengannya? Apakah baju-baju ini, kabar gembira yang Sonia katakan tadi di telepon?
"Semua untuk ku?." mataku membulat tidak percaya. Aku meletakkan kedua tangan di dada.
Sonia mengangguk lembut. Ia tersenyum ke arahku. "Iya, itu semua untuk Mbak Naya."jawab Sonia.
"Tetapi untuk apa?" tanyaku dengan bingung.
"Tentu untuk Mbak Shanaya pakai dong." jawab Sonia santai. Senyum nya bersahabat dan mengembang.
Aku masih tidak percaya, cukup lama aku tertegun memeganggi pakaian yang Sonia berikan padaku.
"Jadi kabar bahagia yang kamu katakan itu ini?" Aku menggerakkan pakaian yang Sonia berikan sesaat, bukan tidak senang hanya saja bukan ini yang aku inginkan.
"Bukan, bukan ini Mbak." Sonia menggerakkan telapak tangannya di udara.
"Lalu?" kedua alis ku terangkat.
"Kabar gembira ini pasti akan membuat Mbak Naya senang." Sonia bercerita antusias, ia menarik tubuhnya sedikit ke depan. Tatapan nya berbinar kepadaku.
"Apa Sonia?" Desakku semakin penasaran.
"Ada seseorang yang akan membantu pengobatan Mas Reyhan sampai sembuh."
Hatiku mendadak sejuk, tanpa kusadari senyuman sudah melengkung pada bibirku. Aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan ini.
Sonia tersenyum sesaat, "Tenang Mbak, tenang!." ucapnya, Sonia menyingkirkan jemari ku yang melingkar pada pergelangan tangannya.
Dada nya bergerak naik turun. Gerimis haru berjatuhan membasahi pipiku. Ini seperti mimpi untukku.
"Cepat katakan sesuatu!" Aku memburui, sudah tidak sabar siapa kah orang berhati malaikat itu.
"Seseorang itu akan menanggung biaya pengobatan Mas Rayhan sampai sembuh, tetapi dengan satu syarat ..." Sonia menggantung kalimatnya, semakin membuatku penasaran.
"Syarat?" Aku tersentak. "Apa semacam hutang?"
Sonia menggelengkan kepala. "Tidak, mbak. Ini bukan hutang piutang."
"Lalu?"
"Semuanya gratis..." ucap Sonia senang. Namun keadaan justru berbalik kepadaku. Bagaimana zaman sekarang ada orang yang memberikan uang dengan cuma-cuma. Aku rasa itu mustahil sekali.
"Aku tidak mau kalau harus hutang!" cebikku memutar tubuhku ke arah berlawanan dari tempat Sonia duduk.
Sonia menarik bahuku. Tubuhku berputar kembali ke arahnya.
"Tidak Mbak, bukan begitu." cetusnya. "Orang itu mau membayar biaya pengobatan Mas Reyhan sampai sembuh, asalkan Mbak Shanaya mau menikah dengannya."
Aku tersedak. Padahal aku tidak sedang makan apapun. Tetapi seperti ada yang mencekik kerongkongan ku. Sesaat aku seperti lupa cara memasukkan oksigen dalam paru-paru ku, sesak.
"Mbak, minum dulu Mbak." Sonia khawatir, ia menyodorkan segelas air putih yang berada di atas meja kepadaku.
Gila, ini sangat gila. Apa Sonia mau menjualku?
"Maksud kamu apa, Sonia?" Tanyaku pada Sonia setelah aku sedikit tenang. Ada rasa kesal menyelinap masuk.
"Orang itu akan menanggung biaya pengobatan Mas Reyhan, Mbak. Asalkan Mbak Naya mau menikah dengannya." Sonia mengulang kembali penjelasan nya dan semakin membuatku kesal.
"Tidak!" sentakku meradang. "Aku tidak akan mengkhianati pernikahanku dengan Mas Reyhan, Sonia." Wajahku merah padam. Mudah sekali Sonia berkata seperti itu padaku.
Sonia menatapku sinis, "Jadi Mbak Shanaya lebih memilih Mas Reyhan mati perlahan?" Cebik Sonia membulatkan kedua matanya.
Mataku memanas, Satu persatu air mata luruh, dadaku semakin sesak. Sampai mati pun aku tidak akan pernah meninggalkan Mas Reyhan. Lelaki yang telah menemaniku dalam keadaan susah ataupun senang.
"Terserah, Mbak Naya! Aku hanya ingin menyelamatkan Mas Reyhan." Sonia meledak-ledak. Gerombolan air mata membasahi pipinya. "Jika Mbak Naya tetap pada pendirian Mbak Naya. Aku pastikan umur Mas Reyhan tidak akan lama." Sonia memberikan penekanan pada ujung kalimatnya. "Atau mungkin Mbak Naya ingin melihat Mas Reyhan mati?" cerca nya. Pikiran konyol apa itu, Sonia.
"Tapi tidak untuk menikah lagi, Sonia." Pekik ku. Nyeri rasanya ulu hati. Kenapa takdir tidak sekalipun berpihak padaku?.
"Hanya itu satu-satu nya cara untuk mendapatkan uang yang banyak, Mbak. Ini demi Mas Reyhan." Bantah nya bersungguh-sungguh. Seolah dirinya sudah yang paling benar.
Aku tergugu. Wanita mana yang tega meninggalkan suaminya yang sakit demi menikah dengan lelaki lain. Dengan alasan apapun itu. Tetap itu adalah sebuah pengkhianatan yang tidak termaafkan.
"Ini konyol, Sonia?" Isakku sesegulan. Menundukkan wajahku semakin dalam. "Aku tidak akan meninggalkan Mas Reyhan."
Sonia mengusap wajahnya kasar. "Coba Mbak Naya pikirkan setelah uang hasil menjual tanah itu habis dan Mas Reyhan belum sembuh. lalu apa yang akan Mbak Reyhan lakukan untuk membiayai pengobatan Mas Reyhan? Hah...?" Sonia berkacak pinggang menatap ku penuh amarah.
Aku diam seperti seorang pecundang. Kalah sebelum berperang.
Sejenak aku dan Sonia salim terdiam. Nafas Sonia yang menderu terdengar hampir di telingaku.
"Kecuali Mbak Shanaya menginginkan kematian Mas Reyhan!" pekik Sonia menatapku sinis.
...----------------...
...----------------...
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Desak Putu Ayu Srinadi
Yaah..Lebih Penting Kehidupan Suami dari Kesetiaan kepada Suami..
2023-11-14
0