Bab 5

Lelaki berperawakan kurus tinggi itu duduk pada bangku yang berada di sampingku. Keringat dingin seketika bercucuran membasahi tubuhku. Rasa dingin yang sejauh tadi menyiksa tubuhku, mendadak sirna.

"Aku harus mengatakannya. Aku tidak mau menikah dengan lelaki tua ini," gumam ku di dalam hati penuh keyakinan. Tidak sudi, sungguh tidak sudi.

"Maaf Pak, jika saya mengabari bapak mendadak seperti ini," Sonia menyunggingkan senyuman penuh penyesalan.

"Tidak apa-apa Mbak Sonia!" jawab lelaki yang duduk di sampingku terdengar sok keren di telingaku.

Kuberanikan melirik wajahnya dari dekat. Karena sejak tadi aku tidak berani menatapnya dengan seksama.

"Astaghfirullahaladzim!" Cepat aku membungkam mulutku yang hampir saja keceplosan saat melihat dua gigi emas yang menghiasi deretan gigi lelaki yang duduk di sampingku saat dia tersenyum.

"Mbak, kenapa?" Sonia menatapku curiga. Lelaki dengan dua gigi emas yang duduk di sampingku pun ikut menoleh.

"Tidak!" jawabku cepat seraya memggelengkan kepala ku.

Kuturunkan tangan yang menutupi mulutku dan berusaha bersikap biasa saja. Takut jika lelaki itu akan tersinggung atas sikap.

"Oh!" Sonia menganggukan kepala nya memasang wajah kesal. Tanda jika sikapku kurang pantas di depan lelaki itu. Tetapi aku tidak peduli. Pokoknya aku tetap tidak sudi jika harus menikah dengan lelaki tua ini.

Sonia mengalihkan tatapan nya pada lelaki yang duduk di sampingku. "Seperti apa yang sudah saya katakan pada Pak Hendra kemarin, saya menyetujui semua persyaratan yang Pak Hendra berikan," Sonia menjeda ucapannya. "Iyah kan Mbak, Naya?" mengalihkan tatapannya kepadaku.

Aku tergagap dengan wajah bingung. Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang Sonia bicarakan pada lelaki bernama Hendra itu. Apakah sebelumnya Sonia sudah bertemu dengan lelaki itu?.

"Mbak Naya?" Sonia menaikkan sedikit nada suaranya, penuh penekanan. Kedua matanya membulat ke arahku dengan kedua alis terangkat-angkat.

"I-iya!" jawabku terbata.

Pak Hendra melirik padaku. Menatapku dengan senyuman yang aku sendiri tidak tau maksud dari senyuman itu. Lalu mengalihkan lagi tatapan nya pada Sonia.

"Baiklah, saya akan memberikan uang untuk proses perceraiannya. Saya rasa proses persidangan lebih cepat jika salah satunya sudah meninggal seperti ini."

"APA? Maksud Anda?" Refleks aku memotong pembicaraan Pak Hendra. Lelaki itu pun menoleh ke arahku.

"Mbak Naya?" desis Sonia memicingkan mata nya ke arahku. Gigi nya menggigit, mengeratkan.

"Kenapa? Apakah ada yang salah dengan ucapan saya?" Pak Hendra menatap padaku dan Sonia secara bergantian dengan wajah kebingungan. Meletakkan satu tangannya pada dada.

"Oh, tidak Pak Hendra. Kakak saya hanya terkejut saja. Karena beberapa minggu yang lalu suaminya meninggal dunia!" Sela Sonia dengan senyuman yang membuatku murka.

Dahiku berkerut. Menatap kesal pada Sonia. Jadi, dia telah berbohong pada Pak Hendra tentang keadaan yang sebenarnya? Awas saja kamu, Sonia.

Beberapa kali Sonia memberikan kode untuk tidak banyak bicara. Aku memilih acuh dan memalingkan wajahku setiap kali Sonia melirik padaku.

"Ini adalah surat perjanjian yang saya katakan pada Mbak Sonia kemarin," Pak Hendra menatap padaku dan Sonia secara bergantian setelah meletakkan selembar kertas di atas meja.

Sonia meraih selembar kertas itu. Bibir nya mengukir senyuman sangat bersahabat sekali. Sesaat setelah tatapannya tertuju pada kertas yang ada di atas meja.

"Baik Pak Hendra, apapun isi perjanjian dalan surat ini. Kami setuju. Asalkan Pak Hendra tidak ingkar dengan janji yang Pak Hendra katakan sebelumnya kepada saya," balas Sonia. Ekor matanya melirik padaku di ujung kalimatnya.

Aku memilih diam, memasang wajah kesal. Melipat kedua tanganku, menatap penuh perhitungan pada Sonia. Menghitung mundur detik demi detik hanya ada aku dan Sonia.

Senyuman mengembang dari bibir lelaki bernama Hendra itu. Gigi emas nya sungguh menyilaukan pandanganku. Apakah saking kayanya Pak Hendra, gigi saja sampai ia buat dari emas?.

"Saya akan mengirimkan sisa pembayaran nya ke rekening Mbak Sonia. Anggap saja waktu itu sebagai bonus untuk Mbak Sonia." Pak Hendra bangkit dari bangku. Di sambut oleh Sonia yang ikut bangkit dengan senyuman bahagia. Dan terpaksa akupun harus mengikuti mereka.

"Iyah Pak Hendra tenang saja. Semua urusan denganku akan cepat beres!"

"Saya harus dalam jangka waktu satu bulan saya bisa membawa Mbak Shanaya ke Batam," Pak Hendra menoleh ke arahku. Bagaimana dia tahu namaku? pasti dari Sonia.

"Batam?" pekikku terkejut. "Untuk apa kita ke Batam? Ti-tidak aku tidak ..." Aku menatap tak terima pada Pak Hendra. Mendadak wajah lelaki itu berubah.

Belum juga aku menyelesaikan kalimat ku, Sonia sudah lebih dulu menyela.

"Maaf Pak Hendra!" Sonia meringis, memaksakan senyuman pada bibirnya. Lalu melirik kesal padaku. "Saya memang belum menceritakan pada kakak saya," lirihnya menjatuhkan tatapan akhir pada wajah Pak Hendra.

Lelaki dengan rambut uban putih itu menatapku dengan senyuman. Mengangkat tas kerja nya yang berada di atas meja.

"Silahkan Mbak Shanaya baca dulu surat perjanjiannya, jika bingung bisa telepon saja. Jika perlu saya akan meninggalkan nomer telepon untuk ..."

"Tidak, Pak. Tidak perlu." jawabku cepat. Antara takut dan kesal. Sebisa mungkin aku menekan gejolak yang memburu di dalam dada hingga Pak Hendra benar-benar pergi.

"Terima kasih, Pak Hendra. Sampai jumpa!" Sonia melambaikan tangan nya pada Pak Hendra yang hampir menghilang di balik pintu Cafe.

Setelah lelaki itu benar-benar menghilang, aku menyambar surat perjanjian yang sudah berpindah tangan Sonia.

"Kamu benar-benar gila, Sonia!" omelku menghempaskan tubuhku pada bangku, dan cepat membaca isi surat perjanjian itu.

Aku tidak mendengar jawaban apapun dari bibir Sonia. Hanya helaan nafas panjang yang beberapa kali aku dengar.

Aku mulai membaca surat perjanjian itu dari Pak Hendra. Poin penting dalam surat itu, aku harus memberikan anak untuk ...

Aku mengangkat wajahku cepat, menatap Sonia yang rupanya sedang mengawasiku dengan tatapan datar. Seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

"Apakah lelaki yang akan menikahiku adalah kakek tua itu?" lirihku dengan nada mengej. jika iya, aku tidak akan sudi.

"Tidak! bukan dia," tegas Sonia memasang wajah serius. "Dia masih berada di Batam!" tutur Sonia.

Ah! aku membuang nafas berat. Menghempaskan tubuhku sesaat pada sandaran bangku. Aku sedikit lega. Aku menarik tubuhku kembali setelah degupan jantungku mulai berangsur normal.

"Jadi setelah aku memiliki anak, aku bisa terbebas dari kontrak ini?"

Sonia menganggukan kepalanya. "Yups, betul sekali!: cetusnya dengan tatapan yang tidak berubah sama sekali, masih datar dan serius. Apakah dia sedang mengintimidasi ku sekarang?

Ah!

Aku membenamkan wajahku di atas meja. Ini sangat rumit sekali untukku.

Bagaimana jika setelah aku kembali Mas Reyhan tidak menerima ku lagi, Son?" lirihku penuh sesak.

"Mbak Naya tenang saja. Ini adalah rahasia antara aku dan Mbak Naya. Aku akan menutup rapat semua ini." ucapan itu terdengar sangat menyakinkan aku.

Perlahan aku mengangkat wajahku. Menatap Sonia ragu. Takut jika wanita itu akan mengelak di kemudian hari.

"Mbak Naya tidak punya puluhan lain. Hanya ini yang bisa Mbak Naya lakukan untuk menolong Mas Reyhan!"

Aku tidak bergeming. Hatiku di buat kembali bimbang. Apakah iya aku harus pergi? Apakah ini memang jalan takdir ku?

"Lalu siapa yang akan mengurus Kakak kamu dan juga Ibu jika aku benar-benar pergi, Sonia?" dua orang itu sangat berharga sekali dalam hidupku. Mereka adalah rumah tempatku pulang, setelah aku tidak memiliki siapapun di dunia ini.

Sonia meraih tanganku, menggenggam nya erat. Aku bisa merasakan tatapannya begitu hangat dan sangat tulus sekali.

"Mbak Naya tidak perlu khawatir. Aku yang akan menjaga Ibu dan Kakak." gerombolan air mata memenuhi pelupuk mata, suara nya terdengar bergetar seperti menahan tangisan.

"Aku sudah memutuskan untuk mengabdikan diriku untuk Ibu." satu persatu titik itu jatuh membasahi pipi. "Selama ini aku sudah terlalu banyak berbuat dosa pada Ibu, aku lebih mementingkan Mas Aditya yang sama sekali tidak pernah mencintaiku," Sonia menjeda ucapannya. Isakannya semakin sering terdengar. Wajahnya tertunduk sesaat.

"Mbak Naya tidak perlu khawatir. Jika Mbak Naya benar-benar pergi ke Batam, Mbak Naya bisa menelponku. Kapanpun Mbak Naga mau dan aku akan merawat Mas Reyhan," lagi-lagi Sonia terjeda. Sesak membuatnya tampak kesulitan berkata-kata.

"Lalu bagaimana dengan Aditya?" tanyaku, karena aku tahu lelaki itu sama sekali tidak menyukai keberadaan Ibu.

"Aku memutuskan akan berpisah!" lirih Sonia.

Hah! Aku membuang nafas panjang. Mungkin ini memang pilihan yang terbaik untuk Sonia.

"Maafkan atas kesalahan ku selama ini, Mbak Naya. Saat ini hanya Mbak Naya lah harapanku untuk menyelamatkan Mas Reyhan."

Aku mengusap air mata yang membanjiri pipi Sonia. Aku baru sadar jika ketulusan bersemanyam di dalam hati adik iparku itu.

...----------------...

...----------------...

...----------------...

Terpopuler

Comments

Al Fath

Al Fath

kenapa nggak sonia aja yg menikah toh dia mau bercerai juga

2023-11-15

2

Widi Widurai

Widi Widurai

diomong meninggal. trs uangnya buat sonia smua wkwk

2023-11-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!