Ketika Aku membuka mata, kepalaku pusingnya bukan main. Kelopak mata ku pejamkan kembali sembari memijat kepala-- berharap pusingnya hilang bersama luka lara.
Perlahan-lahan rasa sakit di badan Aku lawan dengan sekuat tenaga. Aku berfikir mungkin saat ini Aku sudah tidak memiliki kaki, atau tangan, atau hati sekalipun. Aku terlalu takut untuk mengetahui keadaanku sekarang karena rasanya tubuhku bagian atas sakit sekali sedangkan yang bawah mati rasa. Yang semula bertubuh sempurna saja aku masih merasakan kegetiran. Apalagi--
Tidak menyangka, tepat ketika aku berhasil duduk di atas pembaringan, tiba-tiba sakit yang aku rasakan tadi lenyap. Pusing pun minggat. Aku periksa kaki masih lengkap. Dan aku baru sadar kalau aku masih punya tangan yang ku pakai untuk memijat.
Sakit ku hilang.
Aku dapat membuka mataku dengan sempurna. Aku dapat menegakkan kepala ini tanpa nyut-nyutan yang menggandrungi. Dengan begitu, Aku bisa pergi mandi dan cepat-cepat berangkat kerja.
Berangkat kerja?
Tunggu. Aku merasa baru saja dalam perjalanan menuju pulang ke rumah. Itu artinya, aku memang seharusnya di rumah dan beristirahat. Tapi ketika Aku menginjakkan kaki ke lantai hendak mengambil handuk, tiba-tiba aku kaget lantai granit putih berubah menjadi ubin merah.
Tidak cuma itu saja, aku mendongak ke atap flafon kekinian berubah menjadi susunan bambu dan genteng yang rapi. Kasur berubah menjadi tempat tidur dua susun yang bisa di tarik bawahnya. Juga tembok, meja, lemari, pintu, semuanya berubah.
Aku berjalan menghampiri kaca yang menempel di dinding. Aku tatap pantulan bayangannya. Dan Aku tidak percaya, bahwa aku--
"Riri...!"
Itu suara Ibu. Iya ampun itu memang Ibu, dan Aku ingin menangis bahagia bisa mendengar suara itu kembali. Aku cepat-cepat membuka pintu untuknya.
Alih-alih menghambur peluk aku malah terpaku di tempatku berdiri. Aku pandangi sosoknya yang jumawa. Aku dengar setiap ocehan yang menggema di telinga. Ini seperti mimpi. Ya, memang aku sepertinya sedang bermimpi menjadi anak kecil lagi.
Sepertinya.
"Ri, kok malah bengong to nduk. Ayo cepat mandi terus sarapan."
Ini logat Ibuku ketika berbicara. Aku terlahir dari ibu yang berasal dari jawa dengan bapakku yang berasal dari Betawi.
"Emang Riri masih sekolah ya Bu?"
"Lhooh."
"Bukannya Riri udah kerja ya?"
"LHOOH!.."
"Riri udah nikah juga Bu."
"Waladalah. Nih bocah masih mimpi. Kamu tuh masih kecil Riri, masih SD gini kok. Sudah cepat kamu mandi sana, nanti telat ke sekolah."
Aku masih SD?
...******...
Aku tidak tahu persis apa yang sedang menimpaku hari ini. Ingatanku betul-betul meyakinkan bahwa aku sebenarnya sudah dewasa. Aku Ingat kalau aku ini sedang bekerja di PT menjadi kepala bagian quality. Aku juga ingat diriku ini sudah menikah dimana hubungan kami begitu datar. Lantas, tiba-tiba aku terbangun malah kembali menjadi anak kecil.
Dan aku juga ingat, terakhir aku beraktivitas adalah kembali pulang dengan kedongkolan.
Lantaran Ibu menyuruhku pergi ke sekolah, jadilah aku berada di tempat ini di banding terus menelaah kebingungan. Di sekolah SD, tempat Aku lagi semangat-semangatnya menimba ilmu. Pernah pada suatu kesempatan, saat aku kelas empat aku di ikut sertakan lomba matematika tingkat kecamatan. Dan Aku berhasil mendapatkan juara satu.
Karena aku juara satu, lantas di adu kembali ke tingkat kabupaten. Waktu itu sempat terjadi tragedi yang tidak mengenakan. aku salah masuk ruangan tes pemirsa hihihi. Aku bukannya masuk mata pelajaran matematika, tapi malah ke mata pelajaran IPA. Tapi, setelah di telaah oleh guruku ruangannya tidak salah. Memang benar ada nomor pesertaku tercantum di sana. Waduh. Ternyata tema lombanya gabungan antara matematika dan IPA. Di singkat menjadi MIPA.
Meskipun aku belum sempat belajar IPA, alhamdulillah Aku dapat juara lagi.
Menang dalam Olimpiade tersebut, aku pun mendapat apresiasi dari Bapak kepala sekolah. Seluruh siswa di kumpulkan di lapangan upacara hanya untuk mendengarkan pengumuman salah satu siswa menang lomba sampai ke tingkat kabupaten. Beliau berkata, ambilah sisi positif nya, contoh semangat Riri Ayudia dalam belajar sungguh-sungguh yang telah mengharumkan nama sekolah.
Sorak sorai gembira bergemuruh. Di susul aku yang di gendong Bapak kepala sekolah sambil mengangkat tinggi-tinggi piala.
Aku bangga pada diriku sendiri.
Jika di kaji lebih mendalam, kehidupan sekolah tidak jauh berbeda dengan lingkungan kerja. Mulai dari popularitas yang menimbulkan interaksi satu dengan yang lain, juga dari karakter penghuninya yang beragam.
Ada Ibu-ibu pengantar anaknya di tingkat kelas satu-- bahkan ada juga yang kelas dua-- berkongko ria begitu asyiknya. Aku tidak mau bilang mereka sedang bergosip, karena aku melihatnya dari kejauhan yang tentu tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku juga dalam posisi anak kecil. Jadi anggap saja, aku ini tidak mengerti ranah orang dewasa. Tapi aku bisa menangkap Intonasi mereka begitu provokatif.
Juga pada karakter orang yang beragam. Ada yang aktif dan pintar hingga menjadi ketua murid. Ada yang pecicilan sampai-sampai mainnya ber geng-- yang kalau bukan personilnya dia bakal nyungis alias menaik turunkan hidung tanda ngajak ribut, hingga ada yang diam-diam berak di kelas.
Aku jadi cengar-cengir sendiri.
"Ri, nih kamu yang pegang aja ongkos kita. Kalau kamu udah jajan jangan lupa kasih aku lima ratus nya," seru Ayu, kakak perempuanku satu-satunya. Namanya Ayudia Riri, kalau Aku Riri Ayudia. Nama kami cuma di balik begitu aja.
"Okeh siap."
Aku lantas menjawab lalu kami sibuk membuka plastik yang kami kenakan untuk melindungi sepatu. Entah kapan hujannya, tanah yang kami pijak basah menyerap. Kalau sudah begini kami pun yang notabene pergi ke sekolah jalan kaki harus memakaikan plastik pada sepatu agar tidak ngedibel tanah.
Tinggal buka langsung beres. Syukur-syukur plastiknya gak bolong jadi tidak ada rembesan kotor masuk menodai sepatu.
Aku menatap uang seribu rupiah di tangan lalu Aku masukan ke dalam saku. Mataku berbinar ketika berfikir mau beli es mambo seharga lima puluh rupiah, mi goreng campur tahu goreng seharga tiga ratus rupiah. Sisanya Aku masukan ke dalam celengan. Sudah. Cuma itu aja sudah membuat perutku kenyang dan juga mendadak kaya akan tabungan.
Ayu selalu mempercayakan uang saku padaku. Padahal, gak jarang aku jajan sampai melebihi batas limit. Kadang-kadang aku habis enam ratus rupiah yang artinya Ayu otomatis kebagian empat ratus rupiah. Namun siapa sangka, dia masih begitu percaya padaku. Apakah se kecil itu dia memegang prinsip bahwa sebagai saudara harus saling percaya?
Rasa-rasanya tidak. Aku selalu mengambil tanggung jawab atas apa yang aku lakukan. Sebagai rasa bersalah mengambil hak orang lain, Aku pun menawarkan jasa gratis penebus kesalahan. Ayu setuju tanpa debat. Dan dia bilang,
"Kirimkan surat cinta aku ke dia."
Berat kasusnya. Masih kelas enam SD udah main cinta-cintaan.
Aku yang masih kelas empat mengiyakan permintaannya. Kesimpulanya, Ayu itu bukannya legowo menerima perlakuanku. Tetapi sengaja selalu menitip uang saku agar aku khilaf, dan dia bisa memanfaatkan kekhilafan ku agar bisa kirim surat cinta miliknya sepuasnya.
Ngomong-ngomong soal kelas, aku tahu diriku sedang di kelas empat saat melihat kalender rumah menunjukan tahun 2004. Sedangkan tanggalnya aku bertanya pada Ibu,
"Bu, tanggal berapa sekarang?"
"Lima Januari. Emangnya kenapa?"
Hanya cengiran yang bisa aku persembahkan pada Ibu.
05 Januari 2004.
.
.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Metana
kelemparnya jauh banget sampe SD
2025-03-11
0
Nenieedesu
sudah aq favoritkan kak btw bagus cerita kakak jangan lupa mampir dinovel aku kak
2023-12-14
0
Teteh Lia
3 iklan meluncur 💪
2023-12-09
1