21 Oktober 2023

Rumah, adalah tempat ternyaman untuk kita melepas lelah. Tanpa tempat bernaung, lelah yang kurang ajar sulit sekali untuk di usir. Terkadang yang punya tempat pulang pun, tidak serta merta kembali terisi energi yang habis digunakan untuk menghadapi rumitnya orang dewasa. Seperti aku contohnya, yang kadang-kadang suka meratapi perjalanan hidup.

"Kadang-kadang dari mane?! sering mah iya lo gak bersyukur sama apa yang lo punya," hardik temanku di seberang sana. By the way, kami sedang teleponan.

"Jadi minjem duitnya gak nih? kalau gak, gue tutup teleponnya. Udah terlalu ngantuk buat dengerin ceramah lo yang panjang."

"Hehehe, jadi Ri. Iya dah malam ini gue skip dulu ceramahnya. Tapi bener deh, kalau gue gak kasih tahu malahan gue gak peduli sama lo. Secara lo kan--

"Udah, udah, dah, dah, sekarang gue transfer. Habis itu gue mau otw tidur buat persiapan besok kerja."

"Emangnya apa yang mau lo persiapin?"

"Mental. Sama mikirin kira-kira besok gue dimarahin gara-gara apa lagi nih."

"Ya ampuuuun Riri. Yang bakalan mau terjadi besok gak usah dipikirin kali. Udah bukan ranahnya lo. Eh sini ya gue bilangin,"

"By," pamit ku.

Sambungan telepon terputus. Aku memutuskan sepihak karena aku benar-benar tidak bisa menerima ceramah dalam bentuk apapun. Aku membayangkan saja betapa jengkelnya temanku ini di seberang sana lantaran sikapku, sudah membuat ku terkekeh geli.

Bukan salahku ya. Lagipula pinjam uang kok banyak banget kata pengantarnya.

Aku meletakkan HP ke dalam laci lemari. Untuk alarm bangun pagi, Aku menggunakan jam weker keropi yang setia menemaniku hingga bertahun-tahun lamanya. Benda itu akan selalu ku pakai. Meskipun pada akhirnya rusak, aku tetap memperbaikinya. Rusak lagi, perbaiki lagi. Begitu terus karena jam ini bukan sembarang jam yang rusak lalu buang. Ini pemberian seseorang yang masih menari-nari dalam pikiranku.

Selimut sudah ku tarik lalu aku pejamkan mata ini. Jangan lupa matikan lampu kamar untuk menyisakan cahaya temaram dari lampu tidur berbentuk labu. Aku sesungguhnya sudah bersuami, tapi aku sudah terbiasa begini. Aku seperti wanita lajang karena tidak pernah menanyakan dimana suaminya jika belum pulang ke rumah. Aku bahkan tidak bersikap layaknya istri kepada suaminya.

...*******...

Hari berganti tanggal.

Pagi-pagi, sekitaran jam enam aku sudah rapi lalu duduk di meja makan. Sarapan sudah siap di atas meja tanpa aku repot masak memasak. Aku tidak punya asisten rumah tangga, sungguh. Aku hanya tinggal berdua dengan suami-- yang artinya suamiku lah yang menyiapkan semuanya. Kami menikah sudah sekitar tiga tahun, dan belum di karuniai seorang anak.

Aku dan dia sama-sama hening menyantap kudapan yang terhidang. Tidak dipungkiri, masakan dia lezatnya sampai ke akar-akar. Rasa gurih yang berpadu meresap sampai ke pori-pori lidahku. Bukan lebay, tapi memang kenyataannya beneran enak. Makanya aku andalkan dia untuk memasak.

"Aku berangkat duluan ya. Soalnya hari ini aku berangkat kerja naik Busway," pamit suamiku.

"Motor kamu kemana?"

Dia bukannya menjawab tapi malah tersenyum. Tangannya memeras tali tas yang ia gunakan. Aku memicingkan mata, menghunus dia dengan tatapan selidik. Setelah ku perhatikan bajunya juga agak sedikit kusut.

"Itu kenapa baju kamu kusut? makanya kalau ngambil baju dalam susunan itu harus di angkat dulu jangan main tarik aja."

"Iya. Besok bisa gak aku minta kamu yang menyiapkan bajunya?"

"Hemmm"

Suamiku sumringah. Lantas dia melangkahkan kakinya kembali dengan riang. Tapi gak lama setelah itu, dia berhenti dan membalikan badan menatapku.

"Ada apa lagi?"

"Aku boleh pinjam duit kamu dulu gak? seratus ribu buat ongkos. Besok Aku ganti?"

Aku langsung hentikan aktivitas. Fenomena pinjam uang seratus gak cuma di kalangan pertemanan, tapi juga merambah ke kalangan suami istri. Kalau boleh jujur, aku dongkol sebenarnya. Suamiku itu kan kerja juga, masa iya ongkos pinjam ke istri yang mana aku bukan kategori istri pemegang saham rumah tangga-- alias si penerima jatah bulanan separuh gaji suami. Separuh ya, bukan seluruhnya. Di tambah lagi jatah uang bulan ini di potong olehnya entah karena apa.

Berbarengan dengan menyodorkan uang seratus ribu, aku bertanya kembali padanya tentang motor.

"Motor kamu kemana?"

"Lagi di bengkel."

"Oh."

Kami ini tinggal di pinggiran kota Jakarta. Kalau dia pergi kerja menggunakan motor, lantas aku pulang pergi bekerja menggunakan mobil pribadi. Bisa saja di saat seperti ini aku memberi tumpangan padanya. Namun karena arah kami berbeda dimana aku ke kawasan industri di Bekasi kabupaten, dan dia ke Ibukota Jakarta, jadi maaf maaf aja nih kalau aku gak ngajak dia barengan.

Lagipula, aku kadung malas dengan suasana pagi ini. Meskipun tidak lama suamiku ngirim pesan bahwa aku di suruh membuka lemari, dan ku buka ternyata ada sebatang coklat favorit ku, tetap saja aku tidak merasa senang.

Maksud hatinya ingin memberiku kejutan, tapi siapa sangka aku tidak terkejut sama sekali.

Aku malas dengannya. Bahkan aku tidak pernah menanyakan jam pulang suamiku, dia sudah makan atau belum, dan menanyakan bagaimana dia menjalani harinya. Aku malas memperhatikannya, aku tidak bersemangat bersanding dengannya. Karena aku---

Belum mencintainya.

"Ri, woy, Lo lagi gak kesambet kan?"

Pikiran kebanyakan melanglang buana tahu-tahu aku sudah sampai di tempat kerja. Siti, temanku yang semalam teleponan denganku-- pinjam duit-- telah menarik paksa kesadaranku.

"Iya, iya, gue lagi gak kesambet. Gue masih sadar kali."

"Habisnya lo bengong mulu di sepanjang parkiran menuju koridor, terus sampai sini pun lo masih aja kaya ayam nelen karet."

"Apaan sih. Ini kira-kira lo ada kepentingan apa? soalnya tiga puluh menit lagi gue mau persiapan bahan buat meeting. Habis itu gue gak jamin ya kalau gue masih punya waktu senggang."

"Wiidiih, santai Ri. Buru-buru amat. Hidup itu terlalu singkat kalau cuma buat dipakai buru-buru. Gue cuma mau bilang ke lo, pulang kerja nanti gue traktir makan sekalian gue bayar hutang yang semalam."

Jariku di atas keyboard seketika berhenti saat mendengar penuturan Siti.

"Salah tuh. Yang benar hidup itu terlalu singkat buat dipakai santai. Btw, cepat banget balikinnya? dan lo mau ngadain traktiran dalam rangka apa nih? kan lo atau gue gak lagi ulang tahun?"

"Iya, pan semalam gue bilang kalau minjam duit lo tuh bentaran doang. Gue traktir sebagai rasa terimakasih aja. Meskipun lo judesnya tingkat dewa, tapi cuma lo doang yang bantu gue dengan tulus."

Aku melongo. Ada ya orang melihatku dari sudut kacamata yang begitu? katanya aku judes tapi tulus. Merinding Aku mendengarnya.

"Bu Riri. Sebelum meeting di mulai, Ibu di minta menemui Ryu San di ruangannya," suara Pak Manajer menginterupsi.

"Baik Pak, saya segera kesana."

...******...

Ternyata, dipanggilnya Aku ke ruangan direktur hanya untuk mengadakan rapat dadakan. Isinya membahas soal HRD yang mengajukan pengunduran diri. Fungsinya saya di sana untuk memberi pengertian agar niatnya mengundurkan diri di pertimbangkan kembali. Namun tampaknya dia sudah bertekad bulat.

Tidak sampai disitu topik pembahasan, aku di minta untuk mendidik member baru tentang job desk HRD. aku?! tahu apa aku tentang itu. Namun nampaknya perintah tetaplah perintah.

Biar saja aku mengalah.

Ibu, Bapak, enakan waktu masih kecil yang tidak pusing dengan kepelikan orang dewasa. Yang makan tinggal nyendok di bakul. Yang mau jajan tinggal nedeng tangan ke kalian. Yang kalau main aku bisa tertawa riang gembira.

Ibu, Bapak, aku merindukan masa kecilku. Andai aku bisa kembali ke masa lalu.

.

.

.

.

.

.

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Teteh Lia

Teteh Lia

"rumah", memang tempat yg terbaik.

2023-12-09

1

💞Amie🍂🍃

💞Amie🍂🍃

ngasih kejutan eh malah gak terkejut, bikin ngakak

2023-11-25

1

💞Amie🍂🍃

💞Amie🍂🍃

Ngakak aku baca nih eps🤣🤣🤣

2023-11-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!