Kemarilah,
Singgah dulu sebentar.
Perjalananmu jauh.
Tak ada tempat berteduh.
Menangislah,
Kan kau juga manusia.
Mana ada yang bisa.
Berlarut-larut.
Berpura-pura sempurna.
(Jiwa yang bersedih~Ghea indrawari)
...******...
"Dadah Riri sayangku, muach muach. Sampai ketemu besok di tempat kerja. Makasih atas bantuan pinjam duitnya. Tanpa lo, kagak ada yang mau pinjemin gue duit."
"Emangnya kenapa?"
"Kondisi gue sama suami yang kerja berdua-dua, jadi sulit kalau emang beneran lagi kepepet. Kalau gue pinjam selalu di giniin 'lah kan kerja sampai berdua, masa nggak punya duit', begitulah Ri kira-kira."
Huh, sungguh klasik yang sering terjadi pada cerita rumah tangga kerja berdua belum adanya anak. Siti baru di bilang begitu. Lah aku, pernah sampai di kalkulasi uang yang aku punya. Orang itu bilang tabunganku hampir satu milyar jika dilihat dari gajiku di tambah gaji suami.
Ada juga yang bilang cari duit berdua anak belum punya, duitnya utuh dong. Dikira aku makan pakai daun rambutan kali. Mobil bisa jalan pakai air. Dan penerangan di rumah, aku pelihara kunang-kunang. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran orang tersebut.
"Yang toxic jauhin aja. Simpel kan. Udah ah gue balik dulu, dari tadi kebanyakan ngobrol sama lu."
Aku membalikkan badan menatap senja yang hampir punah tergerusnya malam. Terus melangkah, menundukkan kepala seperti sedang menghitung sudah berapa kali sepatuku terinjak-injak. Talinya terburai salah satu. Aku membenarkannya lalu benda terjatuh dari saku jas yang ku kenakan. HP ku yang jatuh, tergeletak dengan posisi layar di atas menampilkan pop up pesan dari suami.
Aku buka,
Suami: Aku sayang kamu.
Aku menghela nafas. Ku sakui kembali HP nya tanpa minat. Seperti biasa, pesan itu tidak pernah aku balas.
Aku langsung tancap gas menuju rumah ditemani alunan lagu jiwa yang bersedih. Perbincangan aku dengan Siti masih terngiang-ngiang di kepala. Dia bahas soal hidupku yang selalu mengeluh dan tidak bersyukur dengan apa yang aku miliki.
Katanya,
"Ri, bisa nafas, bisa makan, dan sehat udah bersyukur hidup mah. Apalagi kalau nafasnya lancar gak setengah-setengah, lebih bersyukur lagi."
"Berarti hidup gak boleh punya asma gitu?"
"Ya gak gitu juga. Maksud gue hutang. Bagi gue Kalau hidup punya hutang itu nafas berasa jadi setengah-setengah. Lo kan manajemen keuangan rumah tangganya bagus banget. Makanya harus bersyukur. Di tambah punya suami yang perhatiannya luar biasa. Eh Ri perasaan gue nih ya, kagak ada lelaki yang nyiapin pembalut ke tas kerja istri sehari sebelum istri haid. Cuma lo doang anjiiir."
"Oh."
Dia mendengus ketika aku ber oh ria. Dan aku pun terkekeh geli karena melihat tampangnya yang gak bersahabat. Aku kira dia akan menyerah berbicara denganku, tapi rupanya dia malah bertanya pamungkas yang seketika membuatku bergidik ngeri.
"Lo sadarnya kapan?"
Aku membuang nafas kasar. Orang-orang begitu rajin menghakimiku tanpa tahu apa yang aku rasakan. Mereka cuma lihat dari sisi luarku yang kira mereka bak impian. Namun yang aku rasa, justru ketakutan dan kehampaan yang luas.
Aku dan mereka berada dalam paham yang bersifat kontradiktif. Aku yang selalu lanjut penuh kegetiran meskipun hantaman ribuan paku menusuk-nusuk. Di posisi ku bekerja sekarang, tidak pernah ada yang mampu untuk bertahan. Semuanya yang pernah menduduki akan mengajukan surat resign dalam rentang waktu tiga bulan. Dan Aku, masih ada di tempat yang sama. Karena Aku tahu perut ini tidak akan kenyang kalau cuma makan cinta.
Itu baru di tempat kerja.
Di rumah kadang-kadang aku lupa kalau aku ini sudah menikah. Aku baru sadar ketika melihat batang hidung suamiku. Batang hidung ya, bukan batang yang lain. Kehadirannya yang berbeda dengan yang ada di pikiranku membuat hubungan ini hampa luar biasa. Tidak jarang dia suka menjengkelkan ketika moodku lagi berantakan.
Itu kalau di rumah. Lain lagi di luaran selain tempat kerja dan rumah. Lingkungan teman misalnya. Kegetiran tidak sampai pada pertanyaan kapan lo sadar. Gak sampai disitu kawan. Si Siti yang ngakunya teman masih membrodol aku dengan segudang nasihat nyelekit.
"Nanti gue sadarnya, kalau inget itu juga."
"Astaghfirullah, laki lo di ambil orang baru nyaho sia! Ri, lo kalau ngomong di saring dulu napah! Kalau ke gue sih gak pa-pa gue maklumin. Ke orang lain lo gak boleh kaya begini. Nanti ada yang sakit hati, lo di kirimin teluh, atau gak santet. Mau emang?"
Aku diam waktu itu.
Sungguh, kepalaku rasanya sakit sekali. Nggak di rumah, nggak di tempat kerja, nggak di tempat tongkrongan, semuanya gak ada yang bisa bikin aku bersemangat.
Drrt.. drt.. drt...
Aku memasang earphone agar bisa menjawab panggilan.
"Iya baik Pak."
Sesederhana itu, tapi tugas yang baru saja aku terima cukup membuat tidurku gelisah malam ini. Aku harus menyiapkan data untuk meeting zoom dengan pemilik saham di negeri sakura, yang mana biasanya dikerjakan oleh Tuan Direktur.
Aku di suruh belajar untuk persiapan sewaktu-waktu kami di tinggal olehnya.
Kepala yang memang sudah pening aku pijat perlahan. Gerakan segaris lurus dengan tenaga ringan cukup lumayan mengendurkan urat-urat yang semula menegang. Pada perempatan jalan di depan, aku hendak berbelok ke kanan menuju gerbang perbatasan. Semuanya nampak begitu tenang dan lancar hingga rinai hujan turun membasahi jalanan.
Aku kepikiran lagi pertanyaan Siti,
"Ri, emang ada yang salah ya sama suami lo?
Tidak cuma Siti yang menunggu jawaban, orang-orang di sekitar menoleh pada kami seakan ikut menyimak dan menunggu jawaban dari pertanyaan milik Siti sewaktu di kafe tadi.
Gak ada yang salah sama dia, yang salah itu sebenarnya aku.
Aku mengeluarkan jawaban tanpa ada satu orang pun yang mendengar. Aku menjawabnya hanya dalam hati tanpa bisa aku keluarkan.
Suara hujan yang ramai Aku biarkan mengendalikan stress yang ku punya. Di tengah-tengah syahdunya suara tersebut, untuk pertama kalinya bayangan wajah suamiku terlintas dengan senyuman. Begitu getir, syarat akan rasa sakit. Aku tertegun.
Ada apa dengannya?
Tidak disangka-sangka, mobil yang aku kendarai bertabrakan dengan pengendara lain hingga berputar-putar 360 derajat seperti roda kehidupan. Hancur berantakan. Rasanya tubuh ini sakit sekali.
Aku tidak tahu persis apa yang terjadi setelahnya. Yang aku tahu harum petrikor menyeruak bercampur aduk dengan bau anyir. Suara ribut-ribut menjadi pengantar kesenyapan.
Tolong..
Tolong..
Tenggorokan ku seperti tercekik. Aku kesulitan sekali mengucap nama suamiku. Aku ingin bertanya sesuatu padanya, namun waktu tidak membolehkan ku untuk merealisasikan apa yang ingin kulakukan tersebut.
Semuanya begitu gelap. Dan lagu 'jiwa yang bersedih' yang sempat menemani perjalananku sudah tidak mampu lagi aku dengar.
.
.
.
Sampaikan pada jiwa yang bersedih.
Begitu dingin dunia yang kau huni.
Jika tak ada tempatmu kembali.
Bawa lukamu biar Aku obati.
...............
Teruntuk Riri Ayudia,
Kalau kamu tidak bisa jadi protagonis, setidaknya kamu jangan jadi antagonis.
.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Teteh Lia
wow, sampe pembalut jg di perhatiin donk.😲
2023-12-09
1
💞Amie🍂🍃
tipe si pelit itu mah🤣🤣
2023-11-25
1
Senajudifa
harta jg ngga selamax menjamin kebahagiaan
2023-11-18
1