06 Januari 2004

Tadi pagi Aku tercengang, memandangi tubuhku yang masih saja kecil. Aku bukan sedang mimpi. Aku bahkan tidak pernah lupa bagaimana Aku menjalankan hari-hari sebagai orang dewasa yang membosankan. Seingatku, makan sore bersama Siti menjadi moment paling membuat Aku dongkol setengah mati. Hingga Aku kepikiran dan sumpah serapah dalam perjalanan menuju pulang.

Aku tidak tahu persis yang menimpaku ini di sebut apa. Aku tahu moodku suka fluktuatif macam diagram keuangan. Tapi rasanya apa yang kurasakan ini betulan di luar nalar. Aku kira setelah adegan tidur kembali, bangun-bangun sudah ada di kenyataan kehidupanku yang hipokrit. Ternyata tidak.

Apa Aku memang sedang dikutuk menjadi anak kecil seterusnya? atau Tuhan sedang memberikanku kesempatan untuk kembali dan membenahi kesalahan yang lalu?

Rasa-rasanya Aku ingin goyang dumang jika itu benar terjadi.

Ingatan saat Aku dewasa masih tersimpan dengan baik telah membuat jiwa dewasaku seperti terjebak di tubuh anak kecil. Sedikit banyaknya Aku masih ingat kejadian dalam perjalanan hidupku. Beberapa hal yang ku lalui kemarin saat mengulang masa kecil, ada sesuatu yang berbeda kurasakan. Sesuatu yang tidak lagi sama seperti dulu. Pemikiranku, responku, juga kebiasaan yang sudah ku lakukan.

Sore sekitar pukul lima Aku sudah siap-siap pergi mengaji. Aku ingat, waktu umur segini Aku mengaji sudah tidak bareng dengan Ayu lagi. Ada satu cerita ketika kami masih ngaji bersama. Waktu itu ada ayunan di dekat rumah Kakak pengajar. Ayu naik lantas Aku yang mengayunnya. Seru sekali dengan tali bergerak kesana kemari membawa dendangan Ayu, sampai ketika Bang Bo'im datang mengacaukan semua.

Dia mengambil alih tugasku, lalu wuussh...

Gedebum

Ayu jatuh tengkurap.

Sejak itu, Ayu sudah tidak lagi berangkat mengaji. Kalau Aku tanya apakah karena moment jatuh tersebut yang membuat dia enggan, dia selalu jawab: bukan, ini urusan perempuan. Mungkin dia pikir Aku ini laki-laki hingga tidak mau berbagi. Tetapi karena pikiranku telah berbeda, maka Aku tahu apa maksudnya.

Begitu kira-kira ceritanya. Dan Aku terdampar di kisah setelahnya. Pergi mengaji sendirian,

Membawa titipan sepucuk surat cinta.

Warnanya biru laut dengan gambar bunga-bunga. Suratnya di tilap membentuk trapesium dan harum khas bedak bayi. Aku tergelitik membaca isi suratnya. Akhirnya surat benar-benar ku buka sebelum sampai pada empunya.

Pergi ke warung membeli keripik.

Duitnya jatuh di pinggir kali.

Wahai kamu yang bernama Sidik.

Kenapa senyummu manis sekali.

Ya amplop. Perut ini mendadak tergelitik ribuan semut rangge. Aku cekikikan di sepanjang jalan yang sepi. Gak sadar tahu-tahu Aku sudah sampai di gerbang Musholla. Aku tilap kembali suratnya seperti sedia kala. Karena di sudut belakang dekat tempat wudhu, ada Bang Sidik terduduk memegangi buku.

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam," jawab serentak bocah-bocah yang sudah datang lebih dulu. Segera langkah kecilku masuk ke dalam mengambil tempat untuk Aku letakkan mukena.

Dengan berbekal niat ambil air wudhu, Aku menyerahkan sepucuk surat itu pada yang berhak. Bang Sidik. Laki-laki itu langsung terkaget-kaget, menatapku sekilas lalu menunduk kembali ketika Aku bilang, "permisi Bang."

Dia menegakkan badannya yang tersampir di tembok. Setelah merespon ucapan permisi milikku, Bang Sidik langsung membuang muka lalu--

Pergi.

"Bang, sebentar jangan pergi dulu. Riri mau ngasih sesuatu."

Dia membalikkan badan, dengan garis bibir yang terlihat tertarik ke atas seraya bertanya, "Ngasih apa?"

"Ini ada surat dari Kak Ayu."

Surat bersambut, Aku langsung mengambil langkah seribu.

Bodo amat lah dengan surat balasan. Yang penting surat sampai amanat pun selesai.

"WOY, WOY, WOY,"

Sial sekali. Kenapa Aku harus menabrak Bang Bo'im segala. Jadinya detakan jantungku ini berhamburan kemana-mana. Dia itu lelaki hitam manis yang paling ceria hidupnya. Kerjaannya bikin orang gregetan terus sama tingkah lakunya yang nyeleneh.

"Lu kenapa lari-lari kaya di kejar barong?! eh iya, gua tuh sebenernya lagi nyariin lu, mau ngemeng besok ngadu bola boy antara bocah temen lu sama temen gua. Mao kagak?"

Ngadu bola boy?

"Ada hadiahnya gak?"

"Hadiah? sejak kapan lu gua ajak main minta hadiah?"

Aku terdiam. Kebiasaan hipokrit masih saja kebawa-bawa.

"Iya gua mau,"

Aku ingat-ingat sewaktu Aku kecil, Aku selalu mengulurkan tangan dengan ramah untuk sesuatu kesepakatan yang sudah deal. Aku melakukannya, menyodorkan tangan mungil ini ke hadapan Bang Bo'im.

Bang Bo'im orangnya juga ramah. Se-ramah dia mengulurkan tangan yang habis di cabut dari lubang hidung.

Rasanya Aku ingin menendang upilnya yang seolah sedang menertawakanku.

...********...

Pada waktu malam di tengah keluarga kami, kebiasaan yang juga Aku rindukan ketika dewasa adalah berkumpul di ruang tengah menonton televisi bersama. Ditemani kripik singkong legend lima bungkus, juga sinetron yang di bintangi Mandra sangat epic menemani malam hangat bersenandung suara serangga.

"Bu, besok kita udah mulai panen padi."

Itu suara Bapak memberi informasi tentang jadwal besok mencari nafkah. Aku menoleh ke arah mereka.

Bapakku seorang petani yang juga merangkap menjadi tengkulak buah. Kalau sedang tidak ada yang di angkut, Bapak menggarap sawah miliknya. Ibu senantiasa membantu Bapak di situasi apapun. Tak ayal, waktunya habis di sawah bercanda dengan padi dan gebotan.

"Iya Pak. Kalau begitu Ibu siapkan parang sama gebotannya."

"Bapak juga mau pinjem laburan buat jemur padi. Mumpung sinar mataharinya lagi galak. Pan kalau kagak gercep nanti tiba-tiba ujan dateng pagimane?!"

"Pak, Bu, Riri ikut boleh ya?"

"Jangan Neng, besok kan sekola," Bapak melarang, Ibu juga mengangguk setuju dengan Bapak tanpa kata-kata.

"Yasudah, tapi Bapak sama Ibu harus janji."

"Janji opo to nduk?"

"Janji kalau Bapak sama Ibu jangan terlalu memforsir tenaga."

Mereka terdiam dengan permintaanku. Mungkin mereka sedang terheran-heran anak kecil berbicara yang bukan seusianya. Juga bukan seperti Aku yang dulu. Karena Aku telah sadar, cari duit itu susahnya minta ampun. Capeknya bukan main. Dan stressnya bukan kepalang.

Malam semakin malam.

Aku dan Ayu sudah masuk ke dalam kamar. Dia tidur di bawah sedangkan Aku di atasnya. Aku memejamkan mata, dimana semakin terpejam lebih lama perasaanku semakin tidak karuan. Aku takut untuk terbangun esok pagi.

Entah kenapa.

.

.

.

.

Bersambung..

Terpopuler

Comments

Metana

Metana

kak jika berkenan mampir di karyaku, saling suport🙏

2025-03-11

0

💞Amie🍂🍃

💞Amie🍂🍃

Seru kayaknya😁

2023-11-27

1

Senajudifa

Senajudifa

seru y kembali ke masa lalu aku jg mau seandai x itu bs

2023-11-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!