Bukan Sekadar Masa Lalu
Tugas-tugas yang ku kerjakan di rumah sudah berbaris rapi ketika aku mengikuti meeting pagi. Di tempatku bekerja, setiap paginya akan di adakan pertemuan dan pembahasan antara seluruh kepala divisi dengan direksi. Aku sendiri berdiri di bagian kepala quality, namun tak jarang aku merasakan jika posisi yang aku tempati seperti point of central.
"Jadi bagaimana kesiapan produk baru yang akan masuk mengingat tanggal dua puluh oktober akan mass Productions?"
Hening.
"Riri, coba jelaskan pada saya?!"
"Baik Tuan. Kesiapan sudah delapan puluh lima persen. Material sudah masuk tahap barang setengah jadi. Tinggal di kirim ke supplier bagian pelapisan hari ini pukul satu siang. Dokumen quality sudah saya buat dan print out. Ini Tuan silahkan dilihat."
Sang direktur manggut-manggut lalu meraih berkas yang aku berikan. "Good. Bagaimana dengan orang-orang yang melakukan chek keseluruhan?"
"Saya sudah mengajukan jumlah orang yang akan di rekrut kepada HRD. Simulasi mainpower terhadap target delivery sudah saya buat untuk satu bulan kedepan."
"Mana? saya mau lihat apakah ada titik merahnya?"
"Ini Tuan."
Jemariku harus lincah membuka worksheet yang sudah ku persiapkan kan sebelumnya. Semua aspek di mulai dari incoming material impor hingga proses terakhir delivery ke customer adalah tugas yang aku kerjakan dalam bentuk dokumen. Namun, untuk bagian eksekusi tetap saya serahkan pada kepala divisi masing-masing.
"Haa iya oke oke. Terimakasih atas kerja kerasnya Nona Riri."
Aku menganggukkan kepala atas respon terimakasih dari Tuan direktur. Kalau saja aku tidak membawa pekerjaan ke rumah saat weekend, habislah di marahi sampai si bos gebrak-gebrak meja. Teriak-teriak dengan bahasanya, sampai kami yang mendengarnya sawan berkali-kali. Lama-kelamaan kami para peserta meeting yang ada disini sudah terbiasa dengan aksi senam jantung tersebut.
Singkat cerita, direktur tempat aku bekerja tidak memakai jasa sekretaris untuk mendampingi pekerjaannya. Apa-apa dia kerjakan sendiri. Kendati memerlukan bantuan, orang pertama yang jadi bulan-bulanan adalah aku. Dan orang kedua jika aku tidak ada adalah Siti Afifah. Teman setiaku di jam makan siang.
...*******...
Satu jam tiga puluh menit sudah kami lewatkan untuk berdiskusi ini dan itu, kami bubar dari ruang meeting dan kembali mengerjakan tumpukan tugas yang mengantri. Teruntuk diriku, hari ini aku mulai dari membuka e-mail yang berjejalan masuk. Semakin cepat membaca, semakin meminimalisir potensi the due date is missed.
"Untung Bu Riri gercep nih. Padahal mah ya--" dia tidak melanjutkan kalimatnya dan malah terkekeh. Dengan begitu aku pun membalasnya dengan senyuman miring, sembari menasehati si untung kalau bekerja itu jangan setengah hati.
Siapa si untung? lah itu, yang sering banget bilang untung ada Bu Riri. Sebut saja dia--Pak Aidi.
"RI, RYU SAN GENBA!!!"
Genba? omaygat!
Pekikan Pak Mamad dari belakang membuat tubuhku membeku. Pak Mamad yang sejatinya stay kalem kini kocar-kacir bak kebakaran semvak.
Juga Pak Aidi, cengiran lebar yang baru saja dia persembahkan padaku sudah hilang entah kemana. Tersisa tampangnya yang gak kalah kalut.
Kenapa pada takut?
Karena selama ini aku menyembunyikan kobobrokan mereka-mereka pada. Aku bukan tipe orang yang mencari muka dengan mentah-mentah mengadu pada direktur. Toh, kalaupun aku memberitahu ini itu, aku juga yang kena dampaknya. Aku yang bakal disuruh membuat perbaikan agar tidak lagi kejadian di lain hari. Nambahin kerjaan saja. Karena aku yakin perbaikan yang sudah ada saja tidak pernah konsisten di jalankan.
Aku lelah sekali. Tapi sekarang yang lebih penting dilaksanakan adalah bergerak sedikit cepat dari sang direktur yang kabarnya masuk ke toilet dulu sebelum turun ke produksi.
Aku menghela nafas kasar ketika memeriksa line banyak benda yang gak semestinya berada disana. Waw amazing. Temuan ada di mana-mana. Sampah kertas kecil berserakan di lantai. Bahkan segala ada panadol ekstra di sela-sela mesin. Aku heran, gak cuma manusia saja yang bisa sakit kepala. Mesin pun bisa pusing.
Emang gak bisa ya, se simpel minum obat terus kemasannya mbok ya di kantungin gitu lhooo.
"Ini kenapa kerapihan amburadul begini?!" teriakku, pada siapa saja yang mau menjawabnya.
"Bukan saya, bekas shift malam kayanya."
Sumpah demi apapun, kalau mendengar jawaban begini aku langsung mengadu gigi. Kesal saja dengan jawaban gak dewasa seperti itu. Kalau jawabannya, 'maaf akan kami bereskan dan kami informasikan pada shift lain' kan enak.
"Sebelum kerja itu baca dahulu prosedur. JANGAN LUPA--
Alih-alih aku meneruskan ceramah panjang lebar, aku langsung terdiam mendapati sosok sang direktur sudah patroli ke area kerja. Rasanya kaya naik rollercoaster pas lagi menukik ke bawah.
Aku menganggukkan kepala seraya menarik mundur badan hingga posisi ada di belakang laki-laki itu.
Saya perhatikan sejauh ini beliau belum menemukan apapun. Mulutnya masih terkunci rapat--- yang berarti belum ada bahan yang menjadi makian.
Dia tidak tahu saja, di dalam kantung bajuku sudah seperti bantar gebang. Sampah apa aja ada hasil patroliku tadi.
Aku menyengir penuh kemenangan.
"Bagus, bagus, bagus." Gumam Tuan direktur. Lalu aku dibuat panik lantaran-- dia masuk ke ruang quality. Dimana itu adalah daerah tanggung jawabku. Kabar buruknya, aku belum sempat patroli kesana. Hemm suka begitu memang manusia. Sibuk ngurusin urusan orang lain sampai lupa membenahi diri sendiri.
Aku tarik lagi cengiran penuh kemenangan barusan.
Beginilah keseharianku, yang isinya hanya bekerja, makan, dan tidur. Tidak ada sedikit pun cinta di dalamnya. Jika omongan ku keliru, tolong kalian kasih tahu biar aku sadar kalau ada cinta yang harus ku hargai. Tapi untuk sekarang aku benar-benar tidak percaya kalau aku memiliki cinta.
20 Oktober 2023
.
.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Teteh Lia
hai kak,.. aq mampir nih. mari saling mendukung. 🙏
2023-12-09
1
auliasiamatir
keten dah aku vaforit ini
2023-12-07
1
💞Amie🍂🍃
Numpang lewat kakak, Jangan lupa mampir di karyaku my ex Sagara. Mari saling dukung😊
2023-11-22
1