Really? We Got Married?
Lou mematut dirinya di depan cermin, terdapat riasan tipis di wajah cantiknya. Gadis itu sedikit terbengong saat melihat bayangannya sendiri, sedikit tak percaya bahwa bayangan di cermin itu adalah miliknya.
Tubuhnya dibalut gaun pengantin putih gading, namun wajah cantik itu sama sekali tak memancarkan kebahagiaan. Bagaimana tidak? Hari ini dia akan menikah, tapi bukan
dengan pria pilihannya. Itu adalah pilihan kedua orangtuanya.
Lou tak pernah habis pikir kenapa ayah dan ibunya bersedia menikahkannya dengan
pemuda misterius itu. Dia bahkan tak pernah bertemu dengannya. Selama proses persiapan pernikahan, calon ibu mertunya lah yang selalu mewakili calon suaminya untuk mengurus semua kebutuhan, jujur, Lou sangat tersinggung.
Namun apa yang bisa dia lakukan? Kedua orangtuanya seolah menjadi buta dan tuli dalam masalah ini. Lou bahkan tak tahu apa alasan mereka menikahkannya dengan pria
itu. Perusahaan mereka baik-baik saja, mereka tak membutuhkan apapun yang
mengharuskan Lou melakukan pernikahan paksa.
Hal ini membuat Lou semakin frustasi!
“Sayang, apa kau sudah siap?” Suara serak Marc bertanya dari luar ruang rias.
Lou melirik ke arah Marc dan mengangguk pelan. Dia hanya memasang wajah datar
dengan tatapan kosong, berharap ayahnya akan merasa iba dan membatalkan pernikahan paksa ini.
Namun, sekali lagi gadis itu salah, ayahnya hanya bergeming. Lou mendengus dingin,
lalu menundukkan kepalanya putus asa.
“Sayang.” Suara lembut Helena bergumam. Wanita itu lalu menghampiri Lou, suaranya
terdengar lemah, memunculkan sebuah harapan dalam pikiran Lou. Mungkinkah
ibunya akan membatalkan pernikahan ini untuknya?
“Angkat kepalamu, Nak. Kau harus tersenyum, kau akan terlihat sangat cantik,” ujar
Helena, yang sukses membuat Lou terdiam.
Baiklah, kalian yang menginginkannya. Lou menggigit bibirnya pelan untuk menahan rasa marahnya. Air mata mulai menggenang di mata coklat gadis itu, tapi dengan cepat dia mengendalikannya.
Maaf saja, aku bukan orang lemah yang akan kalah dengan mudah!
Setelah menghirup napas dalam, Lou mengangkat dagunya tinggi. Menampilkan sikap sombong, terserahlah! Di samping, Marc sudah berdiri dengan tegap. Siap untuk
membimbing Lou ke altar pernikahan. Marc tersenyum cerah, dia terlihat sangat bahagia. Namun Lou, dia sangat kacau.
Marc dengan senyum bahagianya membimbing Lou ke altar pernikahan. Lou hanya menatap lurus ke depan. Tak ada senyum atau sinar bahagia di wajahnya, ya, dia sengaja. Agar semua tamu yang hadir tahu, dia telah dipaksa menikah!
Mata Lou menatap lurus ke depan, sampai dia menangkap sesosok pemuda tampan yang tengah menunggunya di altar pernikahan. Lou sempat lupa bagaimana cara bernapas saat melihat pemuda tampan itu.
Pemuda itu mengenakan setelan tuxedo hitam yang sangat pas dengn tubuhnya. Membuatnya nampak semakin gagah dan err—seksi,
Lou mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba menyadarkan diri dari lamunan
anehnya. Tanpa terasa, kini dia dan Marc telah mencapai altar. Sean mengulurkan
tangannya untuk membantu Lou. Sejujurnya Lou sama sekali tak ingin menerima uluran tangan itu, tapi tangan Marc langsung meletakkan tangan Lou tepat di atas tangan pemuda itu.
Tangan Sean yang besar dan hangat langsung menangkup tangan Lou dengan lembut. Lou sedikit tertegun, namun kembali ke wajah datarnya dalam waktu singkat.
Mereka berdua lalu maju dan berdiri bersama untuk mengucapkan sumpah pernikahan. Lou
menggigit bibirnya bawahnya pelan, dia merasa sedikit gugup, takut bila nanti
dia salah berbicara dan menjadi tertawaan orang.
Kegugupan Lou rupanya tak luput dari perhatian Sean. Pria itu meremas pelan tangan Lou. Membuat Lou sadar dari kegugupannya dan secara ajaib menjadi lebih berani.
“Ulangi setelah saya …”
“I, Sean Hilton, take you Lorraine Arnauld, to be my wedded wife. To have and to hold, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness or in health, to love and to cherish 'till death do us part. And here to I pledge you my faithfulness,” ujar Sean dengan suara tenang. Dia tak terlihat gugup sama sekali.
Lou menarik napas pelan dan kemudian berkata, “I, Lorraine Arnauld, take you Sean Hilton, to be my wedded husband. To have and to hold, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness or
in health, to love and to cherish 'till death do us part. And here to I pledge you my faithfulness.”
Lou tersenyum cerah setelah mengucapkan sumpah pernikahan dengan sempurna. Gadis itu terlihat sangat lega.
“Do you Sean Hilton, take Lorraine Arnauld
to be your wedded wife?”
“I do,” jawab Sean.
“Do you Lorraine Arnauld, take Sean Hilton to be your wedded husband?” Kini giliran Lou yang ditanya. Di dalam pikirannya dia ingin berteriak tidak dengan suara keras, lalu setelah itu lari dari altar.
“I do,” jawab Lou dengan senyum pasrah.
Pada akhirnya dia tetap menjawab ya. Sialan!
“Sekarang kalian adalah pasangan suami istri. Silahkan melakukan ciuman pernikahan.”
Lou hanya diam, tak berniat berbalik menghadap Sean. Namun sebuah tarikan lembut di tangannya membuatnya dengan mudah tertarik ke arah Sean. Untuk pertama kalinya Lou melihat suaminya dari jarak sedekat ini, jujur, Sean memang sangat tampan.
Lou tanpa sadar menahan napasnya saat jarak wajah mereka menipis dengan cepat.
Lou merasakan sesuatu yang lembut
menyentuh bibirnya, membuat jantungnya melompat seolah akan keluar. Ini … ciuman pertamaku. Tanpa bisa Lou kendalikan, wajahnya mulai memanas dan dia menjadi sedikit salah tingkah.
Saat Sean melepaskan ciumannya, dia menatap Lou dalan diam. Lou juga hanya
menatapnya tanpa kata, namun kemudian Lou melihat sebuah senyum usil di wajah
tampan pria itu. “Ciuman pertama, Istriku?” tanyanya dengan nada jahil.
Seketika emosi Lou langsung naik ke ubun-ubun, baji*gan ini!!!
Walaupun marah, Lou masih menahan diri. Menolak mempermalukan diri di hadapan banyak orang. Dia hanya menatap Sean kesal, sementara Sean tetap tersenyum saat
menatap gadis itu. Sean lalu menggenggam tangan Lou, membimbingnya menuruni
altar. Lou tak menolak, dia hanya menurut.
Lou melihat ibu dan ibu mertuanya tengah menatap mereka dengan senyum cerah.
Membuatnya sedikit tak berdaya. Pada akhirnya dia membalas senyuman mereka.
Kedua wanita itu lalu menghampiri mereka. Karen mendekati Lou dan tersenyum cerah.
“Ayo, lempar buket pernikahan dulu,” ajaknya dengan tatapan penuh kasih. Karen memang selalu memperlakukan Lou dengan sangat baik, dia sangat menyayangi menantunya ini.
Lou tersenyum dan mengangguk, Sean melepaskan genggaman tangannya dan membiarkan Lou pergi bersama Helena dan Karen. Lou tanpa sengaja menatap tangannya karena saat Sean melepaskannya, kehangatan di tangannya juga menghilang.
Lou nyaris memukul kepalanya saat pemikiran seperti itu terlintas. Riuh tamu
undangan wanita membuatnya kembali sadar sepenuhnya. Dia melangkah sedikit jauh
dari mereka. Lalu berdiri membelakangi semua orang.
Dengan setengah hati Lou mengayunkan buket bunga itu beberapa kali dan kemudian
melepaskannya dengan malas. Siapa yang menduga ternyata lemparannya akan cukup
kuat dan kebetulan bersamaan dengan angin dingin musim gugur berhembus.
Saat Lou menoleh ke belakang, buket bunga itu tak ditemukan di antara para tamu wanita yang tadi berdiri di belakangnya. Buketnya hilang.
Tidak, tidak benar-benar hilang, itu hanya sedikit melenceng dari para tamu wanita yang berdiri di belakang Lou. Buketnya malah jatuh ke arah kursi tamu. Lou melihat buket itu jatuh tepat ke pangkuan seorang wanita.
Lou terdiam sejenak. May?
Itu May, sahabat baik Lou. May terlihat bingung saat menatap buket bunga di
pangkuannya. Dia lalu mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Lou. Tatapannya seolah berkata, “Kenapa kau lemar ke sini, Bodoh?!”
Lou bahkan merasa dia bisa mendengar suara May yang tengah memakinya. Lou hanya mengangkat bahu tak peduli. Lagi pula dia memang tak sengaja.
Keduanya menghela napas dan kembali memasang wajah tak peduli. Hanya Helena yang tiba-tiba bersorak gembira. Dia berlari kecil ke arah May dengan wajah cerah. “Ternyata May akan segera menyusul!” teriaknya heboh.
Hahaha. Lou tertawa keras di dalam hatinya, wajahnya bahkan perlahan mulai memerah karena menahan tawa. Entah kenapa pernyataan ibunya barusan terdengar benar-benar lucu di telinganya. Lou mencoba menetralkan rasa geli di dadanya dan mendekati mereka bersama Karen.
“Ah, bibi, bagaimana aku bisa menyusul, pa—,”
“Dia kan jomblo, Bu. Mana mungkin dia menyusul secepat itu.” Lou langsung memotong jawaban May.
“Bukankah kemarin kau juga masih jomblo.” Pernyataan May langsung menohok hati Lou. Dia memelototi May dengan niat membunuh.
Sudut bibir Lou berkedut pelan karena menahan kesal. Namun May tak menggubrisnya sama sekali, jadi dia hanya bisa mendengus pelan, menahan diri agar tak langsung menghadiahkan jitakan panas ke kepala May.
May tersenyum puas melihat Lou hanya bisa menahan diri, sementara Helena dan Karen
mulai menertawakan Lou, membuat Lou merasa semakin kesal.
Di saat mereka sibuk dengan obrolan dan tawa mereka, seseorang datang menghampiri
rombongan itu. Orang itu adalah Sean. Melihat Sean telah datang, Helena dan Karen langsung mendorong Lou ke arahnya. Lou sedikit tak terbiasa menggunakan high heels, jadi dorongan itu membuat tubuhnya sedikit limbung.
Lou berpikir dia akan jatuh, namun tak pernah menyangka sepasang tangan kokoh akan
menahan tubuhnya. Tangan itu lalu melingkari pinggangnya posesif, membuat Lou terdiam. “Hati-hati,” ujar sebuah suara tepat di telinga Lou, membuat jantung gadis itu berdebar kencang.
Lou mengambil napas pelan dan berbalik, dia mengangkat kepalanya dan menatap sosok
itu, Sean. May memperhatikan keduanya dalam diam, namun tatapannya tak pernah
melepaskan kedua orang itu.
Lou hanya diam dan mengalihkan tatapannya dari Sean, sama sekali tak berniat berbicara padanya. Sean hanya tersenyum tipis dan menariknya lembut. “Ayo,” ujarnya sambil membimbing Lou untuk menyapa tamu.
Sean melingkarkan tangannya ke pinggang Lou posesif, membuat Lou tersentak kaget.
Ini adalah pertama kali dalam hidupnya, dia berdekatan dengan laki-laki, kecuali ketiga saudaranya. Namun Lou dapat dengan cepat mengendalikan dirinya. Dalam waktu singkat itu, Sean menyadari perubahan sikap Lou, namun dia memilih mengabaikannya.
Keduanya lalu mulai sibuk menyapa para tamu. Karena ada banyak orang yang harus ditemui, Lou merasa tubuhnya hampir tak sanggup bertahan. Semua ramah-tamah palsu ini membuatnya mual. Kakinya bahkan sudah berdenyut- denyut sejak sejam yang lalu.
Ditengah rasa lelah itu, Helena datang mendekat. “Sayang, sudah saatnya mengganti pakaian,” ujarnya pelan.
Lou langsung sumringah. ‘Oh, penyelamatku,’ batinnya.
Sean melepaskan tangannya yang sedari tadi melingkari pinggang Lou posesif. Membiarkan Lou mengikuti ibunya.
Keduanya lalu memasuki mansion dan menaiki tangga ke lantai dua, di sana May sudah menunggu dengan wajah datar.
“Pergilah dengan May, dia akan membantumu.” Helena tersenyum lembut pada Lou.
Lou mengangguk pelan dan menghampiri May, keduanya lalu menuju ke kamar rias
bersama. Seorang pria berperawakan besar menunggu di depan pintu, namanya Malik, dia adalah orang kepercayaan Sean.
“Nyonya,” sapa orang itu. Lou hanya mengangguk pelan dan langsung masuk ke kamar. Di dalam kamar sudah ada dua orang penata rias yang menunggu. Lou masuk terlebih dahulu, diikuti oleh May. Setelah keduanya berada di dalam ruangan, May menutup pintu kamar itu dan menguncinya. Dia lalu menoleh ke arah Lou dan menggangguk pelan.
“Mana gaunku?” Lou bertanya pada salah seorang perias.
Perias itu berdiri dan menuju ke lemari, berniat mengambil gaun Lou. Namun sebelum dia mampu mencapai lemari, dia merasakan sakit luar biasa di bagian belakang kepalanya dan akhirnya pingsan.
Lou melirik ke arah May yang juga sudah mengatasi perias lainnya. Keduanya menghela napas pelan. Rencana pertama berhasil.
May lalu menyerahkan sebuah buntalan yang telah disiapkannya pada Lou. Isinya adalah pakaian.
Pakaian untuk melarikan diri.
Ya, mereka akan melarikan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
sakura
...
2024-12-16
0
sakura
...
2023-05-11
0
grace manuela
jujur download apk ini cuman krna mau baca crita ini aja wkwkwkw
2021-05-20
0