NovelToon NovelToon

Really? We Got Married?

Chapter 1. Pernikahan

Lou mematut dirinya di depan cermin, terdapat riasan tipis di wajah cantiknya. Gadis itu sedikit terbengong saat melihat bayangannya sendiri, sedikit tak percaya bahwa bayangan di cermin itu adalah miliknya.

Tubuhnya dibalut gaun pengantin putih gading, namun wajah cantik itu sama sekali tak memancarkan kebahagiaan. Bagaimana tidak? Hari ini dia akan menikah, tapi bukan

dengan pria pilihannya. Itu adalah pilihan kedua orangtuanya.

Lou tak pernah habis pikir kenapa ayah dan ibunya bersedia menikahkannya dengan

pemuda misterius itu. Dia bahkan tak pernah bertemu dengannya. Selama proses persiapan pernikahan, calon ibu mertunya lah yang selalu mewakili calon suaminya untuk mengurus semua kebutuhan, jujur, Lou sangat tersinggung.

Namun apa yang bisa dia lakukan? Kedua orangtuanya seolah menjadi buta dan tuli dalam masalah ini. Lou bahkan tak tahu apa alasan mereka menikahkannya dengan pria

itu. Perusahaan mereka baik-baik saja, mereka tak membutuhkan apapun yang

mengharuskan Lou melakukan pernikahan paksa.

Hal ini membuat Lou semakin frustasi!

“Sayang, apa kau sudah siap?” Suara serak Marc bertanya dari luar ruang rias.

Lou melirik ke arah Marc dan mengangguk pelan. Dia hanya memasang wajah datar

dengan tatapan kosong, berharap ayahnya akan merasa iba dan membatalkan pernikahan paksa ini.

Namun, sekali lagi gadis itu salah, ayahnya hanya bergeming. Lou mendengus dingin,

lalu menundukkan kepalanya putus asa.

“Sayang.” Suara lembut Helena bergumam. Wanita itu lalu menghampiri Lou, suaranya

terdengar lemah, memunculkan sebuah harapan dalam pikiran Lou. Mungkinkah

ibunya akan membatalkan pernikahan ini untuknya?

“Angkat kepalamu, Nak. Kau harus tersenyum, kau akan terlihat sangat cantik,” ujar

Helena, yang sukses membuat Lou terdiam.

Baiklah, kalian yang menginginkannya. Lou menggigit bibirnya pelan untuk menahan rasa marahnya. Air mata mulai menggenang di mata coklat gadis itu, tapi dengan cepat dia mengendalikannya.

Maaf saja, aku bukan orang lemah yang akan kalah dengan mudah!

Setelah menghirup napas dalam, Lou mengangkat dagunya tinggi. Menampilkan sikap sombong, terserahlah! Di samping, Marc sudah berdiri dengan tegap. Siap untuk

membimbing Lou ke altar pernikahan. Marc tersenyum cerah, dia terlihat sangat bahagia. Namun Lou, dia sangat kacau.

Marc dengan senyum bahagianya membimbing Lou ke altar pernikahan. Lou hanya menatap lurus ke depan. Tak ada senyum atau sinar bahagia di wajahnya, ya, dia sengaja. Agar semua tamu yang hadir tahu, dia telah dipaksa menikah!

Mata Lou menatap lurus ke depan, sampai dia menangkap sesosok pemuda tampan yang tengah menunggunya di altar pernikahan. Lou sempat lupa bagaimana cara bernapas saat melihat pemuda tampan itu.

Pemuda itu mengenakan setelan tuxedo hitam yang sangat pas dengn tubuhnya. Membuatnya nampak semakin gagah dan err—seksi,

Lou mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba menyadarkan diri dari lamunan

anehnya. Tanpa terasa, kini dia dan Marc telah mencapai altar. Sean mengulurkan

tangannya untuk membantu Lou. Sejujurnya Lou sama sekali tak ingin menerima uluran tangan itu, tapi tangan Marc langsung meletakkan tangan Lou tepat di atas tangan pemuda itu.

Tangan Sean yang besar dan hangat langsung menangkup tangan Lou dengan lembut. Lou sedikit tertegun, namun kembali ke wajah datarnya dalam waktu singkat.

Mereka berdua lalu maju dan berdiri bersama untuk mengucapkan sumpah pernikahan. Lou

menggigit bibirnya bawahnya pelan, dia merasa sedikit gugup, takut bila nanti

dia salah berbicara dan menjadi tertawaan orang.

Kegugupan Lou rupanya tak luput dari perhatian Sean. Pria itu meremas pelan tangan Lou. Membuat Lou sadar dari kegugupannya dan secara ajaib menjadi lebih berani.

“Ulangi setelah saya …”

“I, Sean Hilton, take you Lorraine Arnauld, to be my wedded wife. To have and to hold, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness or in health, to love and to cherish 'till death do us part. And here to I pledge you my faithfulness,” ujar Sean dengan suara tenang. Dia tak terlihat gugup sama sekali.

Lou menarik napas pelan dan kemudian berkata, “I, Lorraine Arnauld, take you Sean Hilton, to be my wedded husband. To have and to hold, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness or

in health, to love and to cherish 'till death do us part. And here to I pledge you my faithfulness.”

Lou tersenyum cerah setelah mengucapkan sumpah pernikahan dengan sempurna. Gadis itu terlihat sangat lega.

“Do you Sean Hilton, take Lorraine Arnauld

to be your wedded wife?”

“I do,” jawab Sean.

“Do you Lorraine Arnauld, take Sean Hilton to be your wedded husband?” Kini giliran Lou yang ditanya. Di dalam pikirannya dia ingin berteriak tidak dengan suara keras, lalu setelah itu lari dari altar.

“I do,” jawab Lou dengan senyum pasrah.

Pada akhirnya dia tetap menjawab ya. Sialan!

“Sekarang kalian adalah pasangan suami istri. Silahkan melakukan ciuman pernikahan.”

Lou hanya diam, tak berniat berbalik menghadap Sean. Namun sebuah tarikan lembut di tangannya membuatnya dengan mudah tertarik ke arah Sean. Untuk pertama kalinya Lou melihat suaminya dari jarak sedekat ini, jujur, Sean memang sangat tampan.

Lou tanpa sadar menahan napasnya saat jarak wajah mereka menipis dengan cepat.

Lou  merasakan sesuatu yang lembut

menyentuh bibirnya, membuat jantungnya melompat seolah akan keluar. Ini … ciuman pertamaku. Tanpa bisa Lou kendalikan, wajahnya mulai memanas dan dia menjadi sedikit salah tingkah.

Saat Sean melepaskan ciumannya, dia menatap Lou dalan diam. Lou juga hanya

menatapnya tanpa kata, namun kemudian Lou melihat sebuah senyum usil di wajah

tampan pria itu. “Ciuman pertama, Istriku?” tanyanya dengan nada jahil.

Seketika emosi Lou langsung naik ke ubun-ubun, baji*gan ini!!!

Walaupun marah, Lou masih menahan diri. Menolak mempermalukan diri di hadapan banyak orang. Dia hanya menatap Sean kesal, sementara Sean tetap tersenyum saat

menatap gadis itu. Sean lalu menggenggam tangan Lou, membimbingnya menuruni

altar. Lou tak menolak, dia hanya menurut.

Lou melihat ibu dan ibu mertuanya tengah menatap mereka dengan senyum cerah.

Membuatnya sedikit tak berdaya. Pada akhirnya dia membalas senyuman mereka.

Kedua wanita itu lalu menghampiri mereka. Karen mendekati Lou dan tersenyum cerah.

“Ayo, lempar buket pernikahan dulu,” ajaknya dengan tatapan penuh kasih. Karen memang selalu memperlakukan Lou dengan sangat baik, dia sangat menyayangi menantunya ini.

Lou tersenyum dan mengangguk, Sean melepaskan genggaman tangannya dan membiarkan Lou pergi bersama Helena dan Karen. Lou tanpa sengaja menatap tangannya karena saat Sean melepaskannya, kehangatan di tangannya juga menghilang.

Lou nyaris memukul kepalanya saat pemikiran seperti itu terlintas. Riuh tamu

undangan wanita membuatnya kembali sadar sepenuhnya. Dia melangkah sedikit jauh

dari mereka. Lalu berdiri membelakangi semua orang.

Dengan setengah hati Lou mengayunkan buket bunga itu beberapa kali dan kemudian

melepaskannya dengan malas. Siapa yang menduga ternyata lemparannya akan cukup

kuat dan kebetulan bersamaan dengan angin dingin musim gugur berhembus.

Saat Lou menoleh ke belakang, buket bunga itu tak ditemukan di antara para tamu wanita yang tadi berdiri di belakangnya. Buketnya hilang.

Tidak, tidak benar-benar hilang, itu hanya sedikit melenceng dari para tamu wanita yang berdiri di belakang Lou. Buketnya malah jatuh ke arah kursi tamu. Lou melihat buket itu jatuh tepat ke pangkuan seorang wanita.

Lou terdiam sejenak. May?

Itu May, sahabat baik Lou. May terlihat bingung saat menatap buket bunga di

pangkuannya. Dia lalu mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Lou. Tatapannya seolah berkata, “Kenapa kau lemar ke sini, Bodoh?!”

Lou bahkan merasa dia bisa mendengar suara May yang tengah memakinya. Lou hanya mengangkat bahu tak peduli. Lagi pula dia memang tak sengaja.

Keduanya menghela napas dan kembali memasang wajah tak peduli. Hanya Helena yang tiba-tiba bersorak gembira. Dia berlari kecil ke arah May dengan wajah cerah. “Ternyata May akan segera menyusul!” teriaknya heboh.

Hahaha. Lou tertawa keras di dalam hatinya, wajahnya bahkan perlahan mulai memerah karena menahan tawa. Entah kenapa pernyataan ibunya barusan terdengar benar-benar lucu di telinganya. Lou mencoba menetralkan rasa geli di dadanya dan mendekati mereka bersama Karen.

“Ah, bibi, bagaimana aku bisa menyusul, pa—,”

“Dia kan jomblo, Bu. Mana mungkin dia menyusul secepat itu.” Lou langsung memotong jawaban May.

“Bukankah kemarin kau juga masih jomblo.” Pernyataan May langsung menohok hati Lou. Dia memelototi May dengan niat membunuh.

Sudut bibir Lou berkedut pelan karena menahan kesal. Namun May tak menggubrisnya sama sekali, jadi dia hanya bisa mendengus pelan, menahan diri agar tak langsung menghadiahkan jitakan panas ke kepala May.

May tersenyum puas melihat Lou hanya bisa menahan diri, sementara Helena dan Karen

mulai menertawakan Lou, membuat Lou merasa semakin kesal.

Di saat mereka sibuk dengan obrolan dan tawa mereka, seseorang datang menghampiri

rombongan itu. Orang itu adalah Sean. Melihat Sean telah datang, Helena dan Karen langsung mendorong Lou ke arahnya. Lou sedikit tak terbiasa menggunakan high heels, jadi dorongan itu membuat tubuhnya sedikit limbung.

Lou berpikir dia akan jatuh, namun tak pernah menyangka sepasang tangan kokoh akan

menahan tubuhnya. Tangan itu lalu melingkari pinggangnya posesif, membuat Lou terdiam. “Hati-hati,” ujar sebuah suara tepat di telinga Lou, membuat jantung gadis itu berdebar kencang.

Lou mengambil napas pelan dan berbalik, dia mengangkat kepalanya dan menatap sosok

itu, Sean. May memperhatikan keduanya dalam diam, namun tatapannya tak pernah

melepaskan kedua orang itu.

Lou hanya diam dan mengalihkan tatapannya dari Sean, sama sekali tak berniat berbicara padanya. Sean hanya tersenyum tipis dan menariknya lembut. “Ayo,” ujarnya sambil membimbing Lou untuk menyapa tamu.

Sean melingkarkan tangannya ke pinggang Lou posesif, membuat Lou tersentak kaget.

Ini adalah pertama kali dalam hidupnya, dia berdekatan dengan laki-laki, kecuali ketiga saudaranya. Namun Lou dapat dengan cepat mengendalikan dirinya. Dalam waktu singkat itu, Sean menyadari perubahan sikap Lou, namun dia memilih mengabaikannya.

Keduanya lalu mulai sibuk menyapa para tamu. Karena ada banyak orang yang harus ditemui, Lou merasa tubuhnya hampir tak sanggup bertahan. Semua ramah-tamah palsu ini membuatnya mual. Kakinya bahkan sudah berdenyut- denyut sejak sejam yang lalu.

Ditengah rasa lelah itu, Helena datang mendekat. “Sayang, sudah saatnya mengganti pakaian,” ujarnya pelan.

Lou langsung sumringah. ‘Oh, penyelamatku,’ batinnya.

Sean melepaskan tangannya yang sedari tadi melingkari pinggang Lou posesif. Membiarkan Lou mengikuti ibunya.

Keduanya lalu memasuki mansion dan menaiki tangga ke lantai dua, di sana May sudah menunggu dengan wajah datar.

“Pergilah dengan May, dia akan membantumu.” Helena tersenyum lembut pada Lou.

Lou mengangguk pelan dan menghampiri May, keduanya lalu menuju ke kamar rias

bersama. Seorang pria berperawakan besar menunggu di depan pintu, namanya Malik, dia adalah orang kepercayaan Sean.

“Nyonya,” sapa orang itu. Lou hanya mengangguk pelan dan langsung masuk ke kamar. Di dalam kamar sudah ada dua orang penata rias yang menunggu. Lou masuk terlebih dahulu, diikuti oleh May. Setelah keduanya berada di dalam ruangan, May menutup pintu kamar itu dan menguncinya. Dia lalu menoleh ke arah Lou dan menggangguk pelan.

“Mana gaunku?” Lou bertanya pada salah seorang perias.

Perias itu berdiri dan menuju ke lemari, berniat mengambil gaun Lou. Namun sebelum dia mampu mencapai lemari, dia merasakan sakit luar biasa di bagian belakang kepalanya dan akhirnya pingsan.

Lou melirik ke arah May yang juga sudah mengatasi perias lainnya. Keduanya menghela napas pelan. Rencana pertama berhasil.

May lalu menyerahkan sebuah buntalan yang telah disiapkannya pada Lou. Isinya adalah pakaian.

Pakaian untuk melarikan diri.

Ya, mereka akan melarikan diri.

Chapter 2. Lari!

Lou dan May bergegas mengenakan pakaian mereka. Setelah selesai, keduanya langsung menuju ke jendela. Kamar rias ini terletak di lantai dua, untuk ukuran orang normal, akan sulit untuk melarikan diri. Namun hal itu tak berlaku bagi keduanya yang merupakan parkour profesional.

Mereka dapat turun dengan mudah dan tanpa cedera. Setelah mengamati situasi sebentar, keduanya langsung melanjutkan rencana mereka. Saat ini bagian timur mansion belum terlalu ramai, karena hanya pesta malam yang akan diadakan di sana. Bagian timur mansion ini langsung berbatasan dengan laut dan jurang, jadi memiliki pemandangan yang bagus di malam hari. Bintang-bintang akan terlihat sangat jelas dari sana.

Kedua gadis itu terus mengendap-endap ke arah timur, karena ke arah sanalah jalur pelarian mereka.

Sementara itu, Malik mulai merasa curiga karena dia tak bisa mendengar suara apapun dari dalam kamar rias. Dia mendekati pintu dan mencoba membukanya, tapi pintu itu terkunci.

“Nyonya.” Dia mencoba memanggil Lou, namun tak ada jawaban sama sekali.

“Nyonya,” panggilnya lagi dan masih tak ada jawaban.

Malik mulai merasa ada sesuatu yang tak benar dan akhirnya memutuskan untuk mendobrak pintu. Pintu itu jebol dalam sekali dobrakan. Jantung Malik seolah berhenti melihat ke dalam kamar rias. Dua orang perias sudah pingsan, sementara Lou dan May tak terlihat dimanapun.

Malik melihat jendela terbuka lebar dan langsung mendekatinya. Namun dia tak melihat apapun yang mungkin bisa digunakan untuk turun. Bagaimana mungkin?

Malik segera turun ke bawah dan mencari bosnya. Dia mendapati Sean sedang berbincang dengan salah seorang tamu. Malik mendekatinya dan berhenti sejenak sampai Sean memberi kode bahwa dia boleh mendekat.

Malik mendekati Sean dan berbisik pelan, “Bos, nyonya menghilang.”

Sean hanya memasang ekspresi datar, sebelum akhirnya berpamitan pada lawan bicaranya. Dia mengikuti Malik ke kamar rias. Sean menatap kamar itu dalam diam, lalu mendekati jendela.

Sean menatap ke bawah, ketinggian itu cukup untuk mematahkan kaki bila seseorang melompat secara asal-asalan. Jadi, bagaimana Lou bisa menghilang? Apa dia diculik? Memikirkan pendapat ini, Sean mulai kehilangan ketenangannya, biar bagaimanapun, dia tidak bisa meremehkan situasi ini.

“Tuan, nyonya seorang parkour profesional.” Salah seorang bawahan Sean melaporkan.

“Oh?” Sean menatap ke jendela sekali lagi dan sebuah perkiraan muncul di kepalanya. Dia melarikan diri?

“Cari ke semua tempat, tapi jangan sampai orang lain tahu,” perintah Sean sebelum melompati jendela. Dia menuruninya dengan tenang dan mendarat dengan sempurna,

Sean memeriksa tempat itu dan mengeryit. Kemana Lou akan kabur? Hanya ada jurang dan laut di depan sana. Sean lalu berjalan tenang ke arah pagar pembatas jurang. Dia melihat seseorang di dekat pagar pembatas. Orang itu langsung berbalik setelah Sean berdehem.

Itu adalah Anthony, kakak tertua Lou sekaligus sahabat Sean. “Ada apa?” tanya Anthony.

“Lou menghilang, kemungkinan besar melarikan diri,” jawab Sean acuh tak acuh. Anthony hanya menghela napas pelan. Sebenarnya keduanya sudah menduga Lou mungkin akan berulah. Dengan sifat keras kepala gadis itu, mana mungkin dia bisa menerima perjodohan ini begitu saja.

“Kurasa mereka masih di sekitar sini,” ujar Sean lagi sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar mereka. Anthony mengernyitkan dahinya.

“Mereka?”

“Lou dan May.” Sean memperjelas.

Anthony memijat batang hidungnya pelan. Entah kenapa kepalanya terasa sedikit sakit. Sementara kedua pria itu sibuk dengan pikirannya, tak jauh dari tempat mereka berada, tepatnya di balik pagar tanaman, Lou dan May sedang bersembunyi. Keduanya memasang raut kebingungan.

Tepat setelah mereka berhasil turun ke bawah, mereka langsung menuju ke pagar pembatas jurang. Sayangnya rencana mereka harus terhenti karena ada Anthony di sana. Keduanya lalu memutuskan bersembunyi demi menunggu Anthony pergi, sayangnya bukan Anthony yang pergi, tapi satu orang lagi malah bertambah.

Kini kedua gadis itu hanya bisa menatap tajam ke arah pagar pembatas jurang yang awalnya menjadi jalur pelarian mereka. Dengan adanya Sean dan Anthony di sana, mustahil bagi mereka untuk lewat. Jadi satu-satunya jalan adalah menunggu.

Hanya saja mereka tak punya waktu terlalu lama. Sebentar lagi pesta malam akan dimulai dan bangunan timur pasti akan ramai. Jadi mereka harus melarikan diri sebelum tempat ini dipenuhi orang.

“Kita harus pergi sekarang, May. Tak ada waktu lagi.” Lou menggigit bibir bawahnya, mulai merasa cemas.

“Mustahil melewati mereka.” May menggelengkan kepala pelan.

“Lalu bagaimana? Kita ketahuan terlalu cepat.” Lou berdecak kesal.

May hanya diam sambil menatap ke arah pagar pembatas. Benar-benar mustahil untuk ke sana tanpa diketahui kedua pria itu. Tapi menunggu di sini juga sangat beresiko bagi mereka.

“May, kita harus buat rencana B.” Lou tiba-tiba berbicara.

May menatap Lou kesal. “Apa otakmu masih dipakai? Apa kau mendengar perkataanku? Mereka bukan orang biasa yang bisa kita tipu dengan mudah,” sergah May.

“Makanya kita butuh rencana B.” Lou berkata sambil menatap May dengan wajah polos.

“Kau bercanda? Kita butuh rencana C, D, dan E juga untuk menang melawan mereka.” May memukul kepala Lou pelan.

Lou mengacak rambutnya frustasi, kenapa malah seperti ini? Padahal tinggal sedikit lagi dan dia bisa lari dari semua kegilaan ini. Kedua gadis itu terus berdebat tanpa mempedulikan sekitar mereka. Dan tanpa mereka sadari, perdebatan sederhana itu telah menarik perhatian kedua pria di dekat pagar pembatas.

“Keluarlah, aku tahu kalian di sana.” Sean berujar tenang.

Lou dan May terdiam seketika. Kebiasaan berdebat mereka memang terkadang tak kenal tempat dan waktu. Lou menatap May dengan wajah horor, wajahnya seolah bertanya, ‘Bagaimana?’

May menggigit bibir bawahnya pelan. Mustahil mereka bisa melarikan diri dari dua orang itu. Lou mungkin tidak tahu seberapa kuat mereka, tapi May sangat jelas tentang hal itu. Mereka kuat.

Lou melihat wajah khawatir May dan entah kenapa itu membuatnya kesal. Dengan sedikit marah Lou langsung berdiri, mengungkapkan posisi pastinya pada Sean. May membelalak melihat sikap impulsif Lou.

“Apa kau gila?” May bertanya dengan nada tak percaya. Hal yang justru membuat Lou makin kesal.

“Apa yang kau takutkan? Lakukan saja seperti biasa,” ujar Lou dengan wajah terlipat.

Rahang May nyaris jatuh mendengarnya. Namun dia akhirnya tersenyum. “Ternyata kau ini memang bodoh,” ujar May pelan.

“Ya.” Lou mendengus pelan. Lou sadar, dia memang tidak seperti May yang selalu memiliki rencana yang matang. Dia adalah orang yang spontan. Hanya memikirkan masalah yang ada di depan mata. Bila ada masalah lain yang mungkin muncul setelahnya, maka itu masalah nanti.

“Masalah mendatang, biarlah diri kita yang mendatang memikirkannya. Kenapa memusingkan diri sekarang.” Lou berujar sembarangan.

“Bodoh,” cibir May. “Siapa tahu saat itu sudah terlambat untuk berpikir?” May memukul kepala Lou pelan.

Keduanya terus melanjutkan perdebatan kecil mereka, hingga gagal menyadari bahwa Sean dan Anthony sudah mendekati mereka. “Ayo masuk.” Sean mengulurkan tangannya pada Lou, mencoba berdamai dengan gadis itu.

Lou hanya menatap Sean dan kemudian tersenyum. “Tidak, terima kasih,” ujarnya dengan nada bangga.

Lou melirik May dan memberinya kode untuk lari. Sementara dia juga mulai berlari ke arah pegar pembatas jurang. Namun dia kalah cepat dibandingkan Sean. Dalam sekejap, sebuah tangan kekar menahan pinggangnya dan menariknya. Tubuh Lou langsung membentur tubuh keras Sean.

Sean menahan Lou dalam pelukannya dan berujar dengan nada rendah, “Kau dididik dengan baik dan tahu betul bahwa kau tak boleh pergi tanpa izin suamimu.”

Lou masih mencoba memberontak dan melepaskan diri dari pelukan Sean. Dia berbalik dan mendorong Sean. “Ya, aku tahu, tapi sayangnya … aku tak peduli,” Lou mengangkat bahunya acuh tak acuh.

“Kau sebaiknya masuk, Nyonya Hilton.” Sean menatap Lou dengan sedikit putus asa. Sementara itu May dan Anthony hanya bisa memperhatikan perdebatan mereka.

“Persetan,” umpat Lou sebelum akhirnya menyerang Sean. Sean menangkisnya dengan mudah dan membuat Lou terpojok ke sudut pagar yang mengarah ke jurang. Lou terbelalak kaget mengetahui Sean bisa menahannya dengan mudah.

May melihat Lou dalam kondisi tersudut dan berniat membantunya. Dia segera maju untuk menyerang Sean, namun sebelum dia mampu mencapai posisi mereka, tubuhnya lebih dulu ditarik seseorang. Tubuh kecil May membentur tubuh si penarik pelan. “Jangan ikut campur,” ujar orang itu yang tak lain adalah Anthony.

May terdiam sejenak, namun melihat Lou terus bertarung, May tak bisa tinggal diam. Pada akhirnya dia mulai menyerang Anthony dan berusaha menolong Lou. Kedua gadis itu benar-benar kewalahan menghadapi Sean dan Anthony.

“Apa-apaan? Tak ada satupun seranganku yang berguna.” Lou berteriak dalam hatinya, sambil sebisa mungkin menjaga jarak dari Sean. Lou melirik May yang kebetulan juga melihat ke arahnya.

May menatap Lou penuh arti sebelum akhirnya menyerang Anthony lagi. Tapi sayangnya serangan itu dapat dihentikan dengan mudah. Pada akhirnya kedua gadis itu mulai melemah. Membuat Sean maupun Anthony menurunkan kewaspadaannya.

Lou menari napas dalam dan berteriak. “Lari!”

May berbalik dan berlari kearah pagar pembatas. Lou juga melakukan hal yang sama. Membuat baik Sean maupun Anthony kaget. May berlari lebih dulu dan melompat tepat ke jurang, lalu diikuti oleh Lou.

Sean terbelalak dan langsung memeriksa jurang itu. Ternyata terdapat sebuah karet trampolin yang terpasang miring di dinding jurang. Karet trampolin itu digunakan sebagai pendorong untuk memastikan Lou dan May jatuh agak ke tengah dan tak mengenai karang.

Sean menghela napas lega. Ya, paling tidak dia belum akan menjadi duda.

Sementara itu Lou dan May yang jatuh ke laut berusaha menepi. Mereka sengaja berenang cukup jauh untuk menghindari kemungkinan adanya penjaga di pantai dekat mansion.

“Astaga. Ini pertama kalinya dalam hidup aku merasa benar-benar puas.” Lou berteriak sambil tertawa senang.

“Jangan senang dulu, perjalanan masih panjang.” May berjalan menuju ke sebuah karang. Sepenuhnya mengabaikan Lou yang masih terus mengoceh. May mengambil sebuah tas punggung yang memang sudah disiapkan sejak awal di sana.

Tas punggung itu berisi pakaian, paspor, uang, dan beberapa benda penting lainnya. May lebih dulu mengganti pakaian basahnya, lalu menyerahkan pakaiain ganti untuk Lou.

“Kau luka?” May melihat tangan kanan Lou.

“Hm, tergores tadi saat aku melompat.” Lou mengangguk pelan. Namun tak terlalu mempedulikan luka ditangannya.

“Apa tidak pedih?” May bertanya lagi.

“Rasa bahagiaku menutupi sakitnya.” Lou berujar asal.

May menghela napas pelan dan menatap Lou dalam diam. Lou mulai mengganti pakaiannya dan meleparkan pakaian basahnya sembarangan.

KRINGG.

Suara telepon memecah keheningan di antara kedua gadis itu. May menatap horor Lou.

“Telepon siapa itu?” tanya May panik.

Lou masih bersikap tenang dan mengambil celana basahnya. Lalu mengeluarkan sebuah ponsel pintar dari dalam saku celana itu. May membelalak kaget dan langsung menerjang Lou saat itu juga.

“Apa yang kau lakukan, Gila? Kita bisa dilacak,” teriak May kesal.

Chapter 3. Tunggu dan Lihat

Sean masih berwajah datar saat dia masuk ke mansion. Dia segera mencari Albert, putra ketiga Keluarga Arnauld. Dia adalah seorang ahli IT yang cukup terkenal, salah satu saingan Lou dalam dunia hacking.

Albert hampir mati karena tertawa saat dia mendengarkan penjelasan Sean. Setelah dengan susah payah mengendalikan rasa geli di perutnya, dia mulai bergerak dan mencoba melacak keberadaan Lou.

Albert mulai dengan memeriksa kamera pengawas yang ada di sekitar mansion. Namun dia dibuat terdiam karena hampir tak ada satupun jejak Lou yang tersisa. Gadis itu sepertinya sudah mengetahui letak semua titik buta kamera pengawas. Satu-satunya kamera yang menangkap rute pelarian gadis itu adalah saat dia terlibat perkelahian dengan Sean di bagian timur mansion.

Albert tak bisa berkata-kata dan hanya bisa menghela napas. Adiknya yang satu itu memang sangat sulit diatur. Justru aneh memang kalau dia tidak menimbulkan masalah.

Setelah sedikit kerja keras, Albert akhirnya mendapatkan sebuah petunjuk dengan melacak ponsel Lou. Berdasarkan letak lokasi ponsel itu, Albert dapat menyimpulkan bahwa Lou dan May pergi ke bandara.

Albert dengan wajah bangga menemui Sean dan memberitahunya bahwa dia telah menemukan Lou. “Dia menuju bandara sekarang,” ujar Albert dengan senyum bangga.

Sean memicingkan matanya menatap Albert. “Semudah itu?” tanyanya dengan wajah datar. Dia sedikit tak percaya.

“Ya, apa lagi memang?” Albert menatap Sean dengan wajah tak puas. Dia seolah bisa merasakan tatapan meremehkan yang berasal dari Sean.

Sean tak menanggapi Albert dan langsung berkata pada Anthony. “Kita akan ke bandara,” ujarnya sebelum pergi.

Anthony hanya diam dan mengikuti Sean. Sementara itu Albert yang merasa sangat diabaikan juga mengikuti kedua pria itu dengan wajah tersakiti.

Albert bisa secara samar mendengar bahwa Sean memerintahkan orangnya untuk memastikan bahwa berita tentang menghilangnya Lou tak menyebar. Barulah setelah itu mereka pergi bersama beberapa anak buah mereka.

Mereka menempuh perjalan dengan santai tanpa ada kesan terburu-buru. Sean pun tetap diam dengan wajah tenangnya, seolah dia sudah sangat yakin bahwa dia bisa menemukan Lou dengan mudah.

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, mereka tiba di bandara. Sean langsung memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa bandara dan menjaga setiap pintu keluar. Sementara itu Sean menemui petinggi bandara itu dan memaksa mereka untuk sementara menunda penerbangan.

Pihak bandara sama sekali tak punya pilihan selain menurut. Menghadapi tiran seperti Sean, mereka hanya bisa menunduk sambil menahan tangis.

Sementara anak buah Sean mencari, Albert memanfaatkan kemampuannya untuk mencari Lou juga. Dia mulai kembali melacak ponsel Lou dan menemukannya berada di salah satu pesawat yang siap lepas landas dengan tujuan Seattle-Istanbul.

Albert menyeringai senang, sangat puas dengan kemampuannya. Dengan bantuan beberapa anak buah Sean, dia langsung memasuki pesawat itu. Dengan wajah senangnya dia menghampiri sebuah kursi dan menarik lengan wanita yang duduk di kursi itu.

“Kau siapa?” Albert bertanya dengan wajah terperangah.

“Apa kau idiot?! Akulah yang seharusnya bertanya!” sembur wanita itu kasar. Dia dengan paksa menarik tangannya yang masih dicengkram Albert sambil melayangkan sebuah tamparan panas ke wajah tampan pemuda itu.

Albert benar-benar terdiam.

Tunggu dulu. Apa dia baru saja ditampar oleh seorang wanita? Di depan banyak orang pula?

Albert menatap wanita itu dengan wajah kesal, namun dia tetap diam. Tak ingin berdebat dengan wanita itu karena dia juga sadar kalau ini adalah salahnya. Albert mendengus dan memeriksa kembali laptopnya. Dia memang tidak salah, posisi Lou memang seharusnya ada di sini.

Albert menatap tajam ke sekeliling sebelum akhirnya dia menyadari sesuatu dan memeriksa bagasi tepat di atas kursi wanita itu. Benar saja, dia menemukan sebuah ponsel pintar di dalam sana. Itu adalah milik Lou.

Hal yang membuat Albert merasa sangat marah adalah di dalam bagasi itu hanya ada ponsel pintar saja. Wallpaper nya bahkan diganti dengan emotikon rofl.

Albert merasakan hatinya meradang. Dia dipenuhi emosi dan siap meledak. Sudah bukan rahasia lagi di dalam keluarga bahwa Lou selalu mengganggu dan mempermainkannya. Dia bahkan hampir ingin menangis darah saat ini.

“Anak itu!” geramnya sambil menggertakkan gigi. Albert tak kehabisan akal dan mencoba untuk memeriksa kamera pengawas. Wajahnya sangat serius saat dia menatap layar laptop yang memang selalu dibawanya kemana-mana.

Sementara dia sibuk dengan pemikirannya, tak jauh dari tempatnya, lebih tepatnya beberapa kursi di depannya. Seorang wanita hampir mati karena menahan tawa.

Tak mendapatkan petunjuk lainnya, Albert akhirnya memutuskan untuk turun dari pesawat dan menemui Sean. Seorang anak buah Sean lalu mengantarnya untuk menemui Sean yang sedang menunggu di mobil.

Albert masuk ke mobil dengan wajah gelap. “Aku ditipu,” ujarnya dengan suara rendah. Dia lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi, sampai dia tua, dia akan tetap mengingat rasa malunya hari ini. Dikerjai oleh adik sendiri.

Albert yang masih sedih karena harga dirinya hancur sedikit bingung saat tak mendengar tanggapan apapun dari Sean dan Anthony. Dia lalu berbalik dan menatap kedua pria yang duduk di kursi belakang. Melihat wajah tenang mereka membuat Albert sedikit mengernyit curiga. “Kalian sudah menduga ini?” Albert menatap keduanya dengan tatapan terluka, seolah dia adalah korban dari kebiadaban kedua orang itu.

“Bukankah dilihat saja sudah tahu. Apa menurutmu Lou sebodoh itu?” Anthony menjawab dengan wajah tak peduli.

“Aku tidak tahu.” Albert benar-benar hampir menangis darah.

“Oh. Aku lupa, bagi orang dengan taraf kecerdasan seperti kau memang mustahil untuk menyadari ini.” Anthony menatap adik ketiganya itu dengan wajah setenang lautan.

Albert mendengus kesal. “Lalu kenapa tak memberitahuku?” tanyanya sedikit propokatif.

“Mungkin Lou mencoba untuk menurunkan kecerdasannya ke tarafmu dan benar-benar mengikuti rencana konyol itu.” Kini giliran Sean menimpali dengan sikap tak peduli.

Albert benar-benar hampir mati dengan setiap kata hinaan kedua orang ini. Apakah dimata mereka dia sebodoh itu?

Sebenarnya andai Albert tahu, dia sama sekali tak bodoh, hanya saja, pihak lain memang terlalu genius dan rumit.

--oOo--

“*Apa yang kau lakukan, Gila? Kita bisa dilacak,” teriak May kesal.

Lou menghindari terjangan May dengan wajah kesal. “Sabar dulu, Bodoh.”

“Aku tidak sebodoh itu.” Lou menahan pukulan May. May mendengus kesal, namun akhirnya tetap menghentikan pukulannya dan mulai mendengarkan Lou.

“Pertama kita harus ke bandara. Jangan tanya dulu, akan repot menjelaskannya.” Lou memasang wajah bangga. Dia lalu mulai bergerak dan menuju ke tempat dimana mereka menyembunyikan kendaraan untuk kabur.

“Kau yang menyetir, ya,” ujar Lou sambil berjalan menuju kursi di samping pengemudi. Dia lalu masuk dan duduk dengan tenang.

May hanya memperhatikan Lou dalam diam sambil terus mengikuti apa yang dia katakan. Lou berkata mereka harus bergerak dengan cepat atau mereka akan tertangkap.

Setelah lima belas menit perjalanan, kedua gadis itu akhirnya tiba di bandara. Lou meminta May berhenti tepat dititik buta kamera pengawas.

May mengernyitkan dahinya bingung. Berulang kali bertanya-tanya kenapa, tapi tak lama kemudian dia melihat seseorang yang sangat familiar berjalan ke arah mobil mereka. Wanita itu adalah Anne, teman baik Lou dan May.

“Kenapa lama sekali?” tanya Anne dengan wajah khawatir.

“Ada hal tak terduga tadi,” ujar Lou sambil merogoh sakunya. Dia lalu mengeluarkan ponselnya dan menyerahkan ponsel itu pada Anne.

Anne lalu menyerahkan dua buah tas, satu untuk Lou dan satu untuk May.

“Pergilah ke Istanbul, kami pergi dulu.” Lou memerintahkan May untuk melajukan mobil ke tempat parkir.

“Astaga, ini rencanamu?” tanya May sambil tertawa.

“Tentu saja. Aku tak pernah melakukan hal yang sia-sia.” Lou membanggakan dirinya. Senyum merekah di wajah mereka berdua*.

--oOo--

“Kenapa kita masih di sini?” Albert kembali melirik ke belakang. Bertanya-tanya kenapa mereka tidak segera pergi dari sini, padahal sudah jelas ini hanya jebakan.

Anthony menatap Albert dengan wajah dinginnya. “Tunggu saja,” ujarnya kemudian.

Albert bingung, namun tetap memilih untuk diam dan menunggu. Dia tahu kemampuan Sean dan Anthony. Dia mengakui mereka.

Mereka menunggu selama beberapa saat dalam diam. Hingga akhirnya Malik menghampiri mobil mereka. Dia mengetuk jendela mobil di samping Sean pelan. Sean lalu membukanya. Dia menatap malik dengan wajah yang sangat tenang.

“Sesuai dugaan Anda, Bos. Nyonya menemui seseorang di sini. Tapi orang itu tak ingin mengatakan apapun,” lapor Malik. Albert mengernyitkan dahinya bingung. Jadi Lou memang ke sini?

Sean mengangguk dan membuka pintu mobilnya. “Bawa dia kemari,” perintahnya.

Tak lama kemudian beberapa pria berbadan kekar datang. Mereka membawa seorang wanita berambut pirang. Dia terlihat masih sangat muda, mungkin awal dua puluhan.

“Lepaskan aku, Brengsek!” Wanita yang tak lain adalah Anne itu terus berteriak dan meronta. Namun usahanya sia-sia. Dua orang berbadan besar yang menahannya tetap bergeming.

Sean menatap Anne dingin, aura mengerikannya menguar dan mulai menakuti Anne. Dia bahkan secara tak sadar menelan ludah karena takut. Usahanya untuk mulai melawan juga semakin kecil, bersamaan dengan menghilangnya nyalinya.

“Dimana istriku?” tanya Sean dengan penuh intimidasi. Suaranya terdengar begitu tenang, namun disaat bersamaan juga sangat menakutkan.

Anne merasa kakinya melemah dan dia nyaris terduduk bila bukan karena dua pria berbadan besar yang memegangi kedua lengannya. Anne menggertakkan giginya dan berulang kali menguatkan hatinya. Dia tak boleh kalah.

Semakin Anne menguatkan tekadnya untuk diam, semakin dia merasakan tatapan Sean yang begitu menindas. Apa-apaan mata itu?

Anne gemetar karena rasa takut yang melingkupi seluruh tubuhnya. Apakah ini yang disebut perang mental?

Anne merasa lehernya tercekik dan dia mulai sulit bernapas. Dia dipenuhi rasa takut hingga tanpa sadar air mata mulai mengalir di pipinya.

“Kau akan mati bila terus bungkam. Aku tidak akan bertanya dua kali.” Sean menatap Anne dengan niat membunuh yang tebal. Sean melirik Malik dan mengangguk pelan.

Malik mengeluarkan sebuah pistol dan melangkah mendekati Anne. Dia lalu menodongkan pistol itu tepat ke belakang kepala Anne. Anne bisa merasakan dinginnya moncong pistol yang menyentuh tengkuknya dan dia nyaris gila karena takut.

Anne mulai merintih ketakutan, namun dia berulang kali mengatakan “Aku tak akan mengkhianatinya.” Membuat semua orang yang ada di sana sedikit mengagumi kesetiannya pada Lou.

Anne memejamkan matanya erat-erat. Air mata masih terus mengalir membasahi wajahnya. Namun dia dengan kuat menggigit bibirnya, menahan diri untuk bicara.

Hening. Albert menahan napasnya saat melihat Anne terus ditekan. Dia nyaris tak tahan melihat ini dan berlari menolong wanita itu, tapi dia tahu semua ini akan sia-sia. Bila Sean sudah menginginkan nyawanya, maka wanita itu hanya bisa menyerahkannya dengan kedua tangannya.

Albert memalingkan wajahnya, menolak melihat.

DOR

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!