Albert menghela napas berat, mengasihani Anne. Namun saat dia melihat ke arah Anne lagi, dia hanya bisa menghirup napas dingin. Bukannya Anne yang mati, justru tangan Malik lah yang terluka.
Sebuah pisau kecil menancap tepat di tengah tangannya. Sepertinya pisau kecil itu menancap di sana tepat sebelum Malik menarik pelatuk pistol karena tembakannya meleset dan malah mengenai salah satu pria yang menahan Anne.
Anne menatap pemandangan berdarah di depan matanya. Dia nyaris pingsan karena ketakutan. Bila tembakan Malik tak meleset, maka tak bisa diragukan lagi, kepalanyalah yang akan diledakkan oleh peluru itu.
Anne tak kuasa lagi menahan berat tubuhnya dan dia langsung terduduk ketakutan. Sementara itu semua orang mulai menoleh ke arah datangnya pisau. Di sana dua orang gadis berdiri dengan wajah penuh horor.
“Kalian keterlaluan!” May yang berteriak pertama kali. Wajahnya sudah penuh dengan air mata. Dia sama sekali tak bisa membayangkan bagaimana bila peluru itu benar-benar bersarang di kepala Anne.
Berbeda dengan May, Lou hanya memasang wajah kaku. Dia benar-benar tak bisa menebak apa yang ada dipikiran orang-orang ini. Mereka mencoba membunuh orang!
Lou melangkah ke arah Anne dan kemudian memeluknya. “Apa terluka?” Lou bertanya dengan suara parau.
Anne tak kuasa menahan isak tangisnya dan mulai mengeluh pada Lou. Mendengar itu meruntuhkan pertahanan terakhir Lou. Dia pada akhirnya juga ikut menangis.
Anne masih tak menjawab, tapi semua orang tahu dengan pasti bahwa dia ketakutan. Lou terus mengulang kata maaf saat dia memeluk Anne. Dia benar-benar merasa sangat menyesal, demi keegoisannya, dia melibatkan sahabatnya dalam bahaya. Bukankah dia tak pantas disebut sahabat?
Lou melirik May dan memberinya kode untuk membawa Anne pergi. Setelah memastikan May membawa Anne pergi, Lou berbalik dan menatap Sean. Mata coklat cerah itu tak memiliki hal lain selain kebencian.
“Apa kau gila?! Apa kau bahkan tak menghargai nyawa seseorang?!” Lou tak bisa menahan diri lagi. Dia benar-benar kesal. Berbeda dengan tatapan berapi-api Lou, Sean hanya berwajah tenang.
Dia menatap Lou dan dalam sekejap semua niat membunuh dan aura dinginnya menghilang. Dia melangkah ke arah Lou dan mengulurkan tangannya untuk menyentuh Lou. “Ayo pulang,” ujarnya.
Lou menjauh. Dia menatap Sean dan beberapa tetes air mata mengalir dari mata indahnya, membuat Sean merasa sesak yang aneh di dadanya.
“Tak akan,” geram Lou.
Sean melembutkan sikapnya dan kembali mendekati Lou, sayangnya satu langkah Sean mendekat, dua langkah Lou akan menghindar.
Sean menghela napas pelan. “Berhenti bersikap kekanak-kanakan,” ujarnya pelan, namun tak ada amarah dalam kata-katanya. Bahkan tak ada nada ketidaksabaran dalam kata-kata itu.
“Kau yang kekanak-kanakan! Kau akan membunuh seseorang hanya karena dia tak mau menuruti keinginanmu! Kenapa kau begitu egois?!” Lou bertanya dengan nada marah. Semakin dia berbicara, semakin banyak air mata mengalir di wajahnya. Sean bahkan sudah mendengar dia mulai terisak.
“Bila aku tak melakukannya, kau tak akan keluar.” Sean berujar lembut. Jawaban itu membuat Lou sangat marah. Bahkan hanya mendengar suara Sean saja dia merasa itu sangat menyebalkan.
“Omong kosong!” Lou berteriak. Dia terus mundur dan menghindari Sean.
Sean mengernyitkan dahinya, dia mulai kehilangan kesabaran. Saat Lou hendak bicara lagi, dia dengan cepat melangkah ke depan gadis itu dan mendaratkan sebuah ciuman paksa di bibirnya.
Lou membelalak kaget. Dia mencoba sekuat tenaga untuk mendorong Sean, namun usahanya benar-benar sia-sia. Sean bahkan tak mundur satu milimeter pun.
Lou terus mencoba menghindari Sean, namun tak berhasil. Itu malah membuatnya lebih cepat kehabisan napas. Membuatnya terengah-engah. Secara tak sadar dia bahkan mulai menghentikan perlawanan karena kehabisan tenaga.
Sean dengan cekatan menarik Lou lebih erat ke pelukannya. Setelah gadis itu tak lagi melawan, dia mulai melepaskan ciuman mereka. Lou terus menangis sehingga dia mulai nampak kehabisan napas, membuat Sean merasa sedikit geli, dia seolah sedang menenangkan seorang anak kecil.
Sean memeluk Lou dan mengusap punggungnya pelan. Semua yang dia lakukan penuh perhatian dan kasih sayang. Lou bahkan tanpa sadar menyandarkan dirinya pada Sean. Dia merasa sangat lelah sekarang.
Dia sudah merasa lelah sejak tadi karena rencana pelarian berat ini, ditambah dengan tekanan batin pasti tak menyisakan energi apapun di tubuh Lou. Jadi dia dengan cepat menyerah dan jatuh pingsan.
Sean tahu Lou tak akan bisa melawan lagi, jadi dia dengan cepat menggendongnya, membawa gadis itu kembali ke mobil. Setelah keduanya masuk, Malik datang dengan membawa kotak P3K.
Sean memeluk Lou di pangkuannya, lalu dengan hati-hati memeriksa lengan kanan Lou. Saat Lou melompat ke jurang tadi, dia bisa melihat lengan kanannya tergores karang. Sean menghela napas lega saat melihat luka itu tak terlalu dalam, namun tetap saja ukurannya cukup panjang.
Dia lalu menutup kaca pemisah antara tempatnya dan sopir, sebelum akhirnya mulai menurukan pakaian Lou dengan hati-hati.
Dia dengan lembut membersihkan luka di lengan Lou. Sepertinya sudah mulai terinfeksi, bila dia tak salah menebak, Lou pasti tidak sempat membersihkannya tadi. Terlebih lagi luka itu sudah terendam cukup lama di air laut, pasti sangat pedih.
Lukanya bahkan mulai nampak membiru. Sean mengernyit tak suka. Entah kenapa dia merasa sangat kesal melihat luka di lengan mulus itu. Setelah merasa cukup membersihkannya, Sean menutup luka itu dan memasangakan kembali pakaian Lou.
Tak lama kemudian mereka telah sampai ke mansion. Seorang pelayan membukakan pintu mobil dan Sean keluar dengan menggendong Lou. Dia memeluknya dengan hati-hati.
“Minta Eric ke kamar.” Sean memerintahkan Malik yang sudah berdiri di dekat pintu masuk.
“Baik, Bos,” jawab Malik patuh.
Saat Sean masuk, beberapa orang berada di dalam ruangan menatap ke arah mereka. Salah satunya adalah Helena, ibu Lou.
Melihat Sean masuk dengan menggendong Lou, dia merasa sedikit aneh dan akhirnya memutuskan untuk menghampiri keduanya.
“Dari mana kalian? Ada apa dengan Lou?” tanyanya dengan nada khawatir.
Sean tersenyum tipis. “Kami keluar ke pantai tadi. Tapi Lou merasa mengantuk, jadi aku menggendongnya pulang.” Sean menjelaskan dengan wajah tenang. Sikapnya begitu alami tanpa sedikitpun jejak kebohongan walaupun semua yang dikatakannya tadi adalah kebohongan murni.
Helena masih sedikit bingung karena seingatnya tadi Lou tidak bersama Sean. Namun di saat dia hendak bertanya lagi, dia melihat Lou melenguh pelan dan menyendarkan dirinya lebih dekat ke tubuh Sean. Seolah dia ingin dipeluk lebih erat.
Sean tersenyum tipis. Di dalam hati dia memuji Lou karena sikap Lou membuat Helena langsung percaya. Helena tidak bisa menahan dirinya untuk tersenyum. “Bagus-bagus, suami istri harus lebih dekat,” ujarnya sambil tertawa.
Helena lalu pergi untuk kembali berbincang dengan para tamu, membanggakan hubungan anak dan menantunya. Yang walaupun belum lama, tapi sudah sangat harmonis.
Setelah Helena meninggalkan mereka, Sean segera menuju ke lantai dua, ke kamar mereka. Di depan pintu kamar, Erik, kakak kedua Lou yang juga seorang dokter sudah menunggu.
“Ada apa?” tanyanya saat melihat Sean datang dan menggendong Lou. Dia membukakan pintu kamar dan kemudian masuk setelah Sean dan Lou masuk.
“Lou terluka,” jawab Sean. Dia dengan lembut membaringkan Lou di atas kasur. Setelah itu dia membuka pakaian Lou dan menunjukkan luka di lengan kanan Lou.
Eric mengernyitkan dahinya, namun dia tak bertanya lebih lanjut. Dia segera keluar dan beberapa saat kemudian kembali dengan membawa kotak medisnya. Eric dengan tenang mendekati Lou dan mulai memeriksa lukanya.
“Sudah kau bersihkan?” tanya Eric datar.
“Ya.”
Eric mengangguk puas setelah memastikan luka itu dibersihkan dengan benar. “Lukanya panjang, tapi tak terlalu dalam. Jadi tidak perlu dijahit, tapi sepertinya sudah mulai infeksi, Lou mungkin akan demam.” Erik menjelaskan dengan perlahan, sebelum menyuntikkan beberapa obat.
Sean hanya memperhatikan dalam diam dari samping. Setelah Eric selesai mengobati luka itu, dia menutup kotak medisnya dan berbalik untuk melihat Sean.
“Dia tak apa, mungkin akan demam sedikit,” ujarnya pelan. Sean mengangguk. Eric menatap Sean sejenak, dia sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi pada akhirnya tetap diam.
“Jaga dia,” ujar Eric sebelum akhirnya pergi.
“Ya.” Sean mendekat ke pintu. Di luar, Malik dan seorang pria sedang berjaga. “Aku tidak akan turun, kalian bisa pergi,” ujarnya.
Malik dan pria itu mengangguk dan kemudian pergi. Setelah kedua anak buahnya pergi, Sean menutup pintu dan menguncinya. Dia lalu berbalik ke arah lemari dan mengambil pakaian berbahan tipis dan ringan.
Sean lalu menghampiri Lou yang masih tertidur. Dia dengan hati-hati menyentuh dahi Lou dan tahu bahwa gadis itu sudah mulai demam. Sean duduk di pinggir ranjang dan kemudian menarik Lou lembut ke dalam pelukannya.
Tangannya dengan hati-hati membuka kancing kemeja Lou dan dengan perlahan melepasnya. Setelah melepaskan semua pakaian Lou, dia dengan hati-hati memakaian pakaian bersih dan kembali membaringkan Lou dengan lembut.
“Gadis nakal, berhenti berulah,” ujarnya sambil mengecup dahi Lou. Dia berlama-lama sambil merasakan kehangatan tubuh Lou, sebelum akhirnya bangkit dan menatap gadis itu lagi. Sean menarik selimut dan menyelimuti tubuh kurus Lou, memastikan dia tak merasa kedinginan sedikitpun.
Setelah itu dia mengambil pakaian kotor Lou dan meletakkannya di keranjang pakaian. Setelah itu masuk ke kamar mandi.
Lou mengerjapkan matanya pelan saat dia mulai sadar. Kepalanya terasa sangat berat dan matanya terasa bengkak dan panas. Lou berusaha untuk duduk, dia bisa mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Namun otaknya tak pernah berpikir bila Sean lah yang sedang menimbulkan suara itu.
Saat pintu kamar mandi terbuka, Sean keluar dari kamar mandi hanya dengan lilitan handuk di pinggangnya. Menampilkan tubuhnya yang berotot dan terlatih.
Lou terdiam.
Apa aku mati dan pergi ke surga?
Sean menatap Lou dan tertawa pelan, tiba-tiba muncul niatan untuk mengusilinya. Dia berjalan dengan tenang ke arah Lou, membuat Lou yang awalnya linglung pulih. Otak cerdasnya dengan cepat menilai situasi dan dalam sekejap dia menjadi panik.
Sean tersenyum dan berhenti tepat di samping Lou. Dia melihat wajah panik dan merah Lou, membuat niat awalnya untuk mengusili berubah menjadi gemas. Sean mengulurkan tangannya dan menyentuh dahi Lou yang terasa sangat panas. Lou demam.
Lou bisa merasakan tangan Sean yang dingin dan sangat nyaman di kepalanya. Dia nyaris menahan tangan Sean saat Sean menarik tangannya menjauh, namun dia dengan cepat mengendalikan diri.
Lou memasang wajah kesal dan cemberut. Sebisa mungkin membuat jarak dan memperjelas permusuhan di antara mereka. Namun usahanya sepertinya sia-sia karena sejak tadi Sean sama sekali tak peduli dengan sikap dinginnya. Dia terus memperlakukannya dengan lembut walaupun Lou mencoba mendorongnya pergi.
“Berhenti keras kepala. Kau demam, tidurlah lagi.” Sean menahan tangan Lou yang ingin memukulnya pergi. Dia mengusap kepala Lou seperti mengusap anak kucing, membuat Lou makin kesal.
Lou masih memasang sikap bermusuhan dan menolak beristirahat sampai Sean berkata. “Tidurlah, aku tak akan menyentuhmu. Kalau tak tidur, jangan salahkan aku.”
Lou tanpa mengatakan apapun lagi langsung menarik selimut dan menenggelamkan dirinya ke kasur yang empuk. Benar-benar melewatkan tatapan sedih Sean saat melihatnya mengurung diri di dalam selimut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments