Sean masih berwajah datar saat dia masuk ke mansion. Dia segera mencari Albert, putra ketiga Keluarga Arnauld. Dia adalah seorang ahli IT yang cukup terkenal, salah satu saingan Lou dalam dunia hacking.
Albert hampir mati karena tertawa saat dia mendengarkan penjelasan Sean. Setelah dengan susah payah mengendalikan rasa geli di perutnya, dia mulai bergerak dan mencoba melacak keberadaan Lou.
Albert mulai dengan memeriksa kamera pengawas yang ada di sekitar mansion. Namun dia dibuat terdiam karena hampir tak ada satupun jejak Lou yang tersisa. Gadis itu sepertinya sudah mengetahui letak semua titik buta kamera pengawas. Satu-satunya kamera yang menangkap rute pelarian gadis itu adalah saat dia terlibat perkelahian dengan Sean di bagian timur mansion.
Albert tak bisa berkata-kata dan hanya bisa menghela napas. Adiknya yang satu itu memang sangat sulit diatur. Justru aneh memang kalau dia tidak menimbulkan masalah.
Setelah sedikit kerja keras, Albert akhirnya mendapatkan sebuah petunjuk dengan melacak ponsel Lou. Berdasarkan letak lokasi ponsel itu, Albert dapat menyimpulkan bahwa Lou dan May pergi ke bandara.
Albert dengan wajah bangga menemui Sean dan memberitahunya bahwa dia telah menemukan Lou. “Dia menuju bandara sekarang,” ujar Albert dengan senyum bangga.
Sean memicingkan matanya menatap Albert. “Semudah itu?” tanyanya dengan wajah datar. Dia sedikit tak percaya.
“Ya, apa lagi memang?” Albert menatap Sean dengan wajah tak puas. Dia seolah bisa merasakan tatapan meremehkan yang berasal dari Sean.
Sean tak menanggapi Albert dan langsung berkata pada Anthony. “Kita akan ke bandara,” ujarnya sebelum pergi.
Anthony hanya diam dan mengikuti Sean. Sementara itu Albert yang merasa sangat diabaikan juga mengikuti kedua pria itu dengan wajah tersakiti.
Albert bisa secara samar mendengar bahwa Sean memerintahkan orangnya untuk memastikan bahwa berita tentang menghilangnya Lou tak menyebar. Barulah setelah itu mereka pergi bersama beberapa anak buah mereka.
Mereka menempuh perjalan dengan santai tanpa ada kesan terburu-buru. Sean pun tetap diam dengan wajah tenangnya, seolah dia sudah sangat yakin bahwa dia bisa menemukan Lou dengan mudah.
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, mereka tiba di bandara. Sean langsung memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa bandara dan menjaga setiap pintu keluar. Sementara itu Sean menemui petinggi bandara itu dan memaksa mereka untuk sementara menunda penerbangan.
Pihak bandara sama sekali tak punya pilihan selain menurut. Menghadapi tiran seperti Sean, mereka hanya bisa menunduk sambil menahan tangis.
Sementara anak buah Sean mencari, Albert memanfaatkan kemampuannya untuk mencari Lou juga. Dia mulai kembali melacak ponsel Lou dan menemukannya berada di salah satu pesawat yang siap lepas landas dengan tujuan Seattle-Istanbul.
Albert menyeringai senang, sangat puas dengan kemampuannya. Dengan bantuan beberapa anak buah Sean, dia langsung memasuki pesawat itu. Dengan wajah senangnya dia menghampiri sebuah kursi dan menarik lengan wanita yang duduk di kursi itu.
“Kau siapa?” Albert bertanya dengan wajah terperangah.
“Apa kau idiot?! Akulah yang seharusnya bertanya!” sembur wanita itu kasar. Dia dengan paksa menarik tangannya yang masih dicengkram Albert sambil melayangkan sebuah tamparan panas ke wajah tampan pemuda itu.
Albert benar-benar terdiam.
Tunggu dulu. Apa dia baru saja ditampar oleh seorang wanita? Di depan banyak orang pula?
Albert menatap wanita itu dengan wajah kesal, namun dia tetap diam. Tak ingin berdebat dengan wanita itu karena dia juga sadar kalau ini adalah salahnya. Albert mendengus dan memeriksa kembali laptopnya. Dia memang tidak salah, posisi Lou memang seharusnya ada di sini.
Albert menatap tajam ke sekeliling sebelum akhirnya dia menyadari sesuatu dan memeriksa bagasi tepat di atas kursi wanita itu. Benar saja, dia menemukan sebuah ponsel pintar di dalam sana. Itu adalah milik Lou.
Hal yang membuat Albert merasa sangat marah adalah di dalam bagasi itu hanya ada ponsel pintar saja. Wallpaper nya bahkan diganti dengan emotikon rofl.
Albert merasakan hatinya meradang. Dia dipenuhi emosi dan siap meledak. Sudah bukan rahasia lagi di dalam keluarga bahwa Lou selalu mengganggu dan mempermainkannya. Dia bahkan hampir ingin menangis darah saat ini.
“Anak itu!” geramnya sambil menggertakkan gigi. Albert tak kehabisan akal dan mencoba untuk memeriksa kamera pengawas. Wajahnya sangat serius saat dia menatap layar laptop yang memang selalu dibawanya kemana-mana.
Sementara dia sibuk dengan pemikirannya, tak jauh dari tempatnya, lebih tepatnya beberapa kursi di depannya. Seorang wanita hampir mati karena menahan tawa.
Tak mendapatkan petunjuk lainnya, Albert akhirnya memutuskan untuk turun dari pesawat dan menemui Sean. Seorang anak buah Sean lalu mengantarnya untuk menemui Sean yang sedang menunggu di mobil.
Albert masuk ke mobil dengan wajah gelap. “Aku ditipu,” ujarnya dengan suara rendah. Dia lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi, sampai dia tua, dia akan tetap mengingat rasa malunya hari ini. Dikerjai oleh adik sendiri.
Albert yang masih sedih karena harga dirinya hancur sedikit bingung saat tak mendengar tanggapan apapun dari Sean dan Anthony. Dia lalu berbalik dan menatap kedua pria yang duduk di kursi belakang. Melihat wajah tenang mereka membuat Albert sedikit mengernyit curiga. “Kalian sudah menduga ini?” Albert menatap keduanya dengan tatapan terluka, seolah dia adalah korban dari kebiadaban kedua orang itu.
“Bukankah dilihat saja sudah tahu. Apa menurutmu Lou sebodoh itu?” Anthony menjawab dengan wajah tak peduli.
“Aku tidak tahu.” Albert benar-benar hampir menangis darah.
“Oh. Aku lupa, bagi orang dengan taraf kecerdasan seperti kau memang mustahil untuk menyadari ini.” Anthony menatap adik ketiganya itu dengan wajah setenang lautan.
Albert mendengus kesal. “Lalu kenapa tak memberitahuku?” tanyanya sedikit propokatif.
“Mungkin Lou mencoba untuk menurunkan kecerdasannya ke tarafmu dan benar-benar mengikuti rencana konyol itu.” Kini giliran Sean menimpali dengan sikap tak peduli.
Albert benar-benar hampir mati dengan setiap kata hinaan kedua orang ini. Apakah dimata mereka dia sebodoh itu?
Sebenarnya andai Albert tahu, dia sama sekali tak bodoh, hanya saja, pihak lain memang terlalu genius dan rumit.
--oOo--
“*Apa yang kau lakukan, Gila? Kita bisa dilacak,” teriak May kesal.
Lou menghindari terjangan May dengan wajah kesal. “Sabar dulu, Bodoh.”
“Aku tidak sebodoh itu.” Lou menahan pukulan May. May mendengus kesal, namun akhirnya tetap menghentikan pukulannya dan mulai mendengarkan Lou.
“Pertama kita harus ke bandara. Jangan tanya dulu, akan repot menjelaskannya.” Lou memasang wajah bangga. Dia lalu mulai bergerak dan menuju ke tempat dimana mereka menyembunyikan kendaraan untuk kabur.
“Kau yang menyetir, ya,” ujar Lou sambil berjalan menuju kursi di samping pengemudi. Dia lalu masuk dan duduk dengan tenang.
May hanya memperhatikan Lou dalam diam sambil terus mengikuti apa yang dia katakan. Lou berkata mereka harus bergerak dengan cepat atau mereka akan tertangkap.
Setelah lima belas menit perjalanan, kedua gadis itu akhirnya tiba di bandara. Lou meminta May berhenti tepat dititik buta kamera pengawas.
May mengernyitkan dahinya bingung. Berulang kali bertanya-tanya kenapa, tapi tak lama kemudian dia melihat seseorang yang sangat familiar berjalan ke arah mobil mereka. Wanita itu adalah Anne, teman baik Lou dan May.
“Kenapa lama sekali?” tanya Anne dengan wajah khawatir.
“Ada hal tak terduga tadi,” ujar Lou sambil merogoh sakunya. Dia lalu mengeluarkan ponselnya dan menyerahkan ponsel itu pada Anne.
Anne lalu menyerahkan dua buah tas, satu untuk Lou dan satu untuk May.
“Pergilah ke Istanbul, kami pergi dulu.” Lou memerintahkan May untuk melajukan mobil ke tempat parkir.
“Astaga, ini rencanamu?” tanya May sambil tertawa.
“Tentu saja. Aku tak pernah melakukan hal yang sia-sia.” Lou membanggakan dirinya. Senyum merekah di wajah mereka berdua*.
--oOo--
“Kenapa kita masih di sini?” Albert kembali melirik ke belakang. Bertanya-tanya kenapa mereka tidak segera pergi dari sini, padahal sudah jelas ini hanya jebakan.
Anthony menatap Albert dengan wajah dinginnya. “Tunggu saja,” ujarnya kemudian.
Albert bingung, namun tetap memilih untuk diam dan menunggu. Dia tahu kemampuan Sean dan Anthony. Dia mengakui mereka.
Mereka menunggu selama beberapa saat dalam diam. Hingga akhirnya Malik menghampiri mobil mereka. Dia mengetuk jendela mobil di samping Sean pelan. Sean lalu membukanya. Dia menatap malik dengan wajah yang sangat tenang.
“Sesuai dugaan Anda, Bos. Nyonya menemui seseorang di sini. Tapi orang itu tak ingin mengatakan apapun,” lapor Malik. Albert mengernyitkan dahinya bingung. Jadi Lou memang ke sini?
Sean mengangguk dan membuka pintu mobilnya. “Bawa dia kemari,” perintahnya.
Tak lama kemudian beberapa pria berbadan kekar datang. Mereka membawa seorang wanita berambut pirang. Dia terlihat masih sangat muda, mungkin awal dua puluhan.
“Lepaskan aku, Brengsek!” Wanita yang tak lain adalah Anne itu terus berteriak dan meronta. Namun usahanya sia-sia. Dua orang berbadan besar yang menahannya tetap bergeming.
Sean menatap Anne dingin, aura mengerikannya menguar dan mulai menakuti Anne. Dia bahkan secara tak sadar menelan ludah karena takut. Usahanya untuk mulai melawan juga semakin kecil, bersamaan dengan menghilangnya nyalinya.
“Dimana istriku?” tanya Sean dengan penuh intimidasi. Suaranya terdengar begitu tenang, namun disaat bersamaan juga sangat menakutkan.
Anne merasa kakinya melemah dan dia nyaris terduduk bila bukan karena dua pria berbadan besar yang memegangi kedua lengannya. Anne menggertakkan giginya dan berulang kali menguatkan hatinya. Dia tak boleh kalah.
Semakin Anne menguatkan tekadnya untuk diam, semakin dia merasakan tatapan Sean yang begitu menindas. Apa-apaan mata itu?
Anne gemetar karena rasa takut yang melingkupi seluruh tubuhnya. Apakah ini yang disebut perang mental?
Anne merasa lehernya tercekik dan dia mulai sulit bernapas. Dia dipenuhi rasa takut hingga tanpa sadar air mata mulai mengalir di pipinya.
“Kau akan mati bila terus bungkam. Aku tidak akan bertanya dua kali.” Sean menatap Anne dengan niat membunuh yang tebal. Sean melirik Malik dan mengangguk pelan.
Malik mengeluarkan sebuah pistol dan melangkah mendekati Anne. Dia lalu menodongkan pistol itu tepat ke belakang kepala Anne. Anne bisa merasakan dinginnya moncong pistol yang menyentuh tengkuknya dan dia nyaris gila karena takut.
Anne mulai merintih ketakutan, namun dia berulang kali mengatakan “Aku tak akan mengkhianatinya.” Membuat semua orang yang ada di sana sedikit mengagumi kesetiannya pada Lou.
Anne memejamkan matanya erat-erat. Air mata masih terus mengalir membasahi wajahnya. Namun dia dengan kuat menggigit bibirnya, menahan diri untuk bicara.
Hening. Albert menahan napasnya saat melihat Anne terus ditekan. Dia nyaris tak tahan melihat ini dan berlari menolong wanita itu, tapi dia tahu semua ini akan sia-sia. Bila Sean sudah menginginkan nyawanya, maka wanita itu hanya bisa menyerahkannya dengan kedua tangannya.
Albert memalingkan wajahnya, menolak melihat.
DOR
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
gracia_ratih
kerennn
2022-01-04
0
gracia_ratih
wahhhh daebak
2022-01-04
0
Sapira
keren
2020-08-16
0