Rahasia Kita Berdua
FLASHBACK _
"TIDAK MAU!! AKU TIDAK MAU!!"
Seorang bocah lelaki kecil berteriak keras kepada Ibu dan Ayahnya, menolak keputusan yang telah dibuat oleh mereka.
Kedua orang itu mengeryit heran, bingung dengan penolakan keras dari sang putra. Sang Ayah lalu merendahkan tubuhnya, dan meminta pengertian dari si bocah kecil itu. "Tapi sayang, Hanny sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang... Ayah dan Ibunya sudah meninggal... "
"TAPI AKU TIDAK MAU BERSAUDARA DENGAN Hanny, YAH!! POKOKNYA AKU TIDAK MAU!!" Bocah kecil itu terus pada pendiriannya, tetap menolak dan tidak mau bernegosiasi. Dia menghentak-hentakkan kaki nya yang kecil ke lantai sebagai bentuk penolakan keras.
Sang Ayah menjadi kesulitan untuk membujuknya.
Sementara itu, gadis cilik yang sejak tadi mendengar namanya terus di sebut, hanya berdiri sambil terdiam kaku dengan tangan yang meremas gaun merah mudanya. Bulir-bulir air mata terus mengalir saat mendengar penolakan keras dari bocah lelaki itu.
Sang gadis kecil menangis dalam diam, berusaha untuk tidak mengganggu mereka. Dia menahan sekuat-kuatnya agar suaranya tidak akan keluar sedikit pun.
"Astaga, Hanny!" Ibu si bocah lelaki berseru panik saat melihat si gadis kecil yang diam dengan air mata yang terus berjatuhan di pipi tembam gadis berumur 6 tahun itu.
Perhatian bocah lelaki dan sang Ayah langsung terpusat kepada gadis kecil yang sejak tadi terus berdiam diri.
Hanny, gadis kecil itu menatap mata yang membulat terkejut milik sang bocah lelaki dengan ekspresi terluka.
Keduanya hanya terus berpandangan dalam diam, tak menghiraukan suara panik dari kedua orang tua yang ada di dalam rumah itu.
.
.
.
Suara berisik di pagi hari yang berasal dari teriakan tetangga sebelah rumah langsung terdengar di telinga.
Sepasang mata yang indah milik seorang gadis terbuka perlahan, berkedip-kedip sedikit kala sinar matahari yang lolos dari jendela kamar menyinari kedua matanya.
Hanny Arinita, gadis itu bangun perlahan dari tempat tidurnya sambil sebelah tangan menopang kepalanya dengan perasaan yang tak nyaman, dia bergumam pelan. "Ternyata hanya mimpi... "
Baru kali ini dirinya memimpikan kejadian lama yang telah terlewat sejak beberapa tahun yang lalu. Gadis itu melirik jam yang bergantung manis di dinding kamarnya. Masih pukul tujuh pagi, dia masih punya banyak waktu untuk ganti baju dan sarapan.
Ini adalah hari pertamanya sebagai seorang siswi kelas tiga SMA, jadi dia harus bersiap-siap untuk memilih kursinya di kelas nanti.
Gadis itu lantas segera turun dari tempat tidurnya. bergegas mandi, berganti pakaian, dan bersiap-siap dengan perlengkapan sekolahnya.
Setelah dirinya merasa cukup, Hanny lalu berjalan keluar dari kamarnya menuju dapur. Disana, sudah ada dua orang penghuni lain yang tengah sibuk dengan urusan mereka masing masing.
Kedua orang itu adalah Galih Baskara dan Vania Liani, sepasang suami istri yang merupakan pemilik rumah sekaligus orang yang memberikan Hanny tempat tinggal di rumah ini.
"Selamat pagi, Bibi, Paman... " Hanny menyapa keduanya dengan sopan. Dia lalu berjalan menuju Galih dan Vania untuk mencium tangan mereka satu per satu.
"Selamat pagi Hanny sayang! Apa tidurmu nyenyak?" Tanya Vania kepadanya. Wanita itu sedang menata hidangan untuk sarapan pagi keluarga mereka.
"Iya, Bibi. Maaf banget karena aku telat bangun pagi ini," Ucap Hanny penuh penyesalan. Seharusnya pagi ini adalah gilirannya memasak sarapan untuk keluarga mereka, tetapi karena dirinya sedikit terlambat bangun, bibi Vania terpaksa harus mengambil alih memasak sarapan untuk mereka.
Bibi Vania tersenyum lembut ke arahnya. "Tidak perlu meminta maaf. Ini adalah hari pertama kamu dan Danis jadi murid kelas tiga, makanya bibi sengaja cepat bangun untuk menyiapkan sarapan untuk kalian semua," Ujarnya santai.
Ini adalah hari pertama Hanny dan Putranya jadi murid kelas tiga, tentu saja Vania tidak akan melewatkan kesempatan demi membuatkan sarapan untuk mereka di pagi hari!
Suaminya bahkan mau dengan repot membangunkan nya lebih cepat pagi ini.
Sambil membaca koran yang ada di tangannya, Galih lalu bertanya kepada sang istri. "Oh ya, Bu .... Apa Danis sudah bangun?"
"Oh, iya!"
Vania teringat dengan sang putra yang masih belum ikut bergabung bersama mereka, dia kemudian menatap Hanny yang masih berdiri di depan meja makan. "Hanny sayang, bisa kamu bangunkan Danis di kamarnya? Padahal ini hari pertama kalian, tapi kenapa anak itu masih saja belum bangun?"
Yang di mintai tolong jadi bingung harus menjawab apa, ingin menolak tapi Hanny tidak mungkin bersikap tak sopan seperti itu. Dia dengan berat hati mengiyakan permintaan bibi Vania.
"Ah, baiklah, bi--"
"--Aku sudah bangun." Potong seseorang.
Sebelum Hanny bahkan selesai bicara, suara malas Danis yang menyelanya sudah terdengar dari balik belakang punggungnya. Jantung gadis itu hampir saja copot karena kaget.
Hanny secara reflek menoleh ke belakang, tetapi matanya tidak sengaja malah bertemu dengan tatapan mata Danis yang begitu tenang.
Kepalanya berbalik dengan cepat, takut untuk terus bertatapan dengan pemuda itu.
Danis yang melihat reaksi ketakutan Hanny hanya dapat menatap punggung kecil gadis itu dari belakang.
Dia menatap punggung kecil itu dalam diam dengan ekspresi yang rumit.
Merasakan tatapan yang seolah menusuk punggung nya, Hanny berusaha untuk tetap tenang sambil menahan nafasnya sendiri. Dirinya masih takut untuk bertatapan dengan pemuda itu, bahkan hingga sekarang.
Semenjak pernyataan Danis yang menolak dirinya di adopsi oleh paman Galih dan bibi Vania ketika mereka kecil, Hanny telah berhenti untuk berbicara dengan pemuda itu. Dia bukan nya membenci Danis, tetapi dirinya merasa bersalah karena telah benar-benar menjadi seorang saudara angkat bagi pemuda itu, terlepas dari penolakan nya yang lantang.
Maka dari itu, untuk membuat Danis tidak terganggu dan merasa lebih nyaman, Hanny selalu berusaha untuk tidak terlibat interaksi apapun dengan pemuda itu.
Dulu ketika penolakan Danis di abaikan oleh kedua orang tuanya dan Hanny resmi tinggal di rumah mereka, sang ibu selalu menyuruh Danis kecil untuk berbagi apapun yang bocah itu miliki dengan Hanny, entah itu makanan, mainan, ataupun snack dan kue kesukaan pemuda itu.
Danis kecil menuruti perintah sang ibu dan selalu membagikan apapun miliknya dengan Hanny kecil. Namun karena merasa bersalah telah merenggut semua yang di miliki Danis, Hanny kecil akan menyimpan semua pemberian nya dan mengembalikan semua itu kembali di depan pintu kamar Danis ketika bocah kecil itu sedang berada di dalam kamarnya.
Hanny terus melakukan hal itu sebagai tanda permintaan maaf darinya, berharap Danis tidak akan marah kepadanya lagi.
Dan seiring waktu, hubungan keduanya menjadi sangat canggung walau mereka telah bertahun-tahun tinggal di bawah atap yang sama.
"Baguslah kalau kamu sudah bangun. Pergilah mandi sebelum kamu terlambat, kemudian segera ikut sarapan bersama kami." Ucap Vania kepada Danis.
"Iya... " Danis mengangguk dan berbalik untuk mencari handuk, lalu segera bergegas pergi ke kamar mandi.
Hanny bisa bernafas lega setelahnya. Dia kemudian bertanya kepada bibi Vania apa saja yang bisa dirinya bantu untuk meringankan pekerjaan wanita itu.
"Hanny, tolong bantu bibi menyiapkan minuman nya, ya... "
"Baik, bi."
Mereka berdua bersama-sama dengan telaten menyiapkan sarapan pagi itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments