FLASHBACK _
"TIDAK MAU!! AKU TIDAK MAU!!"
Seorang bocah lelaki kecil berteriak keras kepada Ibu dan Ayahnya, menolak keputusan yang telah dibuat oleh mereka.
Kedua orang itu mengeryit heran, bingung dengan penolakan keras dari sang putra. Sang Ayah lalu merendahkan tubuhnya, dan meminta pengertian dari si bocah kecil itu. "Tapi sayang, Hanny sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang... Ayah dan Ibunya sudah meninggal... "
"TAPI AKU TIDAK MAU BERSAUDARA DENGAN Hanny, YAH!! POKOKNYA AKU TIDAK MAU!!" Bocah kecil itu terus pada pendiriannya, tetap menolak dan tidak mau bernegosiasi. Dia menghentak-hentakkan kaki nya yang kecil ke lantai sebagai bentuk penolakan keras.
Sang Ayah menjadi kesulitan untuk membujuknya.
Sementara itu, gadis cilik yang sejak tadi mendengar namanya terus di sebut, hanya berdiri sambil terdiam kaku dengan tangan yang meremas gaun merah mudanya. Bulir-bulir air mata terus mengalir saat mendengar penolakan keras dari bocah lelaki itu.
Sang gadis kecil menangis dalam diam, berusaha untuk tidak mengganggu mereka. Dia menahan sekuat-kuatnya agar suaranya tidak akan keluar sedikit pun.
"Astaga, Hanny!" Ibu si bocah lelaki berseru panik saat melihat si gadis kecil yang diam dengan air mata yang terus berjatuhan di pipi tembam gadis berumur 6 tahun itu.
Perhatian bocah lelaki dan sang Ayah langsung terpusat kepada gadis kecil yang sejak tadi terus berdiam diri.
Hanny, gadis kecil itu menatap mata yang membulat terkejut milik sang bocah lelaki dengan ekspresi terluka.
Keduanya hanya terus berpandangan dalam diam, tak menghiraukan suara panik dari kedua orang tua yang ada di dalam rumah itu.
.
.
.
Suara berisik di pagi hari yang berasal dari teriakan tetangga sebelah rumah langsung terdengar di telinga.
Sepasang mata yang indah milik seorang gadis terbuka perlahan, berkedip-kedip sedikit kala sinar matahari yang lolos dari jendela kamar menyinari kedua matanya.
Hanny Arinita, gadis itu bangun perlahan dari tempat tidurnya sambil sebelah tangan menopang kepalanya dengan perasaan yang tak nyaman, dia bergumam pelan. "Ternyata hanya mimpi... "
Baru kali ini dirinya memimpikan kejadian lama yang telah terlewat sejak beberapa tahun yang lalu. Gadis itu melirik jam yang bergantung manis di dinding kamarnya. Masih pukul tujuh pagi, dia masih punya banyak waktu untuk ganti baju dan sarapan.
Ini adalah hari pertamanya sebagai seorang siswi kelas tiga SMA, jadi dia harus bersiap-siap untuk memilih kursinya di kelas nanti.
Gadis itu lantas segera turun dari tempat tidurnya. bergegas mandi, berganti pakaian, dan bersiap-siap dengan perlengkapan sekolahnya.
Setelah dirinya merasa cukup, Hanny lalu berjalan keluar dari kamarnya menuju dapur. Disana, sudah ada dua orang penghuni lain yang tengah sibuk dengan urusan mereka masing masing.
Kedua orang itu adalah Galih Baskara dan Vania Liani, sepasang suami istri yang merupakan pemilik rumah sekaligus orang yang memberikan Hanny tempat tinggal di rumah ini.
"Selamat pagi, Bibi, Paman... " Hanny menyapa keduanya dengan sopan. Dia lalu berjalan menuju Galih dan Vania untuk mencium tangan mereka satu per satu.
"Selamat pagi Hanny sayang! Apa tidurmu nyenyak?" Tanya Vania kepadanya. Wanita itu sedang menata hidangan untuk sarapan pagi keluarga mereka.
"Iya, Bibi. Maaf banget karena aku telat bangun pagi ini," Ucap Hanny penuh penyesalan. Seharusnya pagi ini adalah gilirannya memasak sarapan untuk keluarga mereka, tetapi karena dirinya sedikit terlambat bangun, bibi Vania terpaksa harus mengambil alih memasak sarapan untuk mereka.
Bibi Vania tersenyum lembut ke arahnya. "Tidak perlu meminta maaf. Ini adalah hari pertama kamu dan Danis jadi murid kelas tiga, makanya bibi sengaja cepat bangun untuk menyiapkan sarapan untuk kalian semua," Ujarnya santai.
Ini adalah hari pertama Hanny dan Putranya jadi murid kelas tiga, tentu saja Vania tidak akan melewatkan kesempatan demi membuatkan sarapan untuk mereka di pagi hari!
Suaminya bahkan mau dengan repot membangunkan nya lebih cepat pagi ini.
Sambil membaca koran yang ada di tangannya, Galih lalu bertanya kepada sang istri. "Oh ya, Bu .... Apa Danis sudah bangun?"
"Oh, iya!"
Vania teringat dengan sang putra yang masih belum ikut bergabung bersama mereka, dia kemudian menatap Hanny yang masih berdiri di depan meja makan. "Hanny sayang, bisa kamu bangunkan Danis di kamarnya? Padahal ini hari pertama kalian, tapi kenapa anak itu masih saja belum bangun?"
Yang di mintai tolong jadi bingung harus menjawab apa, ingin menolak tapi Hanny tidak mungkin bersikap tak sopan seperti itu. Dia dengan berat hati mengiyakan permintaan bibi Vania.
"Ah, baiklah, bi--"
"--Aku sudah bangun." Potong seseorang.
Sebelum Hanny bahkan selesai bicara, suara malas Danis yang menyelanya sudah terdengar dari balik belakang punggungnya. Jantung gadis itu hampir saja copot karena kaget.
Hanny secara reflek menoleh ke belakang, tetapi matanya tidak sengaja malah bertemu dengan tatapan mata Danis yang begitu tenang.
Kepalanya berbalik dengan cepat, takut untuk terus bertatapan dengan pemuda itu.
Danis yang melihat reaksi ketakutan Hanny hanya dapat menatap punggung kecil gadis itu dari belakang.
Dia menatap punggung kecil itu dalam diam dengan ekspresi yang rumit.
Merasakan tatapan yang seolah menusuk punggung nya, Hanny berusaha untuk tetap tenang sambil menahan nafasnya sendiri. Dirinya masih takut untuk bertatapan dengan pemuda itu, bahkan hingga sekarang.
Semenjak pernyataan Danis yang menolak dirinya di adopsi oleh paman Galih dan bibi Vania ketika mereka kecil, Hanny telah berhenti untuk berbicara dengan pemuda itu. Dia bukan nya membenci Danis, tetapi dirinya merasa bersalah karena telah benar-benar menjadi seorang saudara angkat bagi pemuda itu, terlepas dari penolakan nya yang lantang.
Maka dari itu, untuk membuat Danis tidak terganggu dan merasa lebih nyaman, Hanny selalu berusaha untuk tidak terlibat interaksi apapun dengan pemuda itu.
Dulu ketika penolakan Danis di abaikan oleh kedua orang tuanya dan Hanny resmi tinggal di rumah mereka, sang ibu selalu menyuruh Danis kecil untuk berbagi apapun yang bocah itu miliki dengan Hanny, entah itu makanan, mainan, ataupun snack dan kue kesukaan pemuda itu.
Danis kecil menuruti perintah sang ibu dan selalu membagikan apapun miliknya dengan Hanny kecil. Namun karena merasa bersalah telah merenggut semua yang di miliki Danis, Hanny kecil akan menyimpan semua pemberian nya dan mengembalikan semua itu kembali di depan pintu kamar Danis ketika bocah kecil itu sedang berada di dalam kamarnya.
Hanny terus melakukan hal itu sebagai tanda permintaan maaf darinya, berharap Danis tidak akan marah kepadanya lagi.
Dan seiring waktu, hubungan keduanya menjadi sangat canggung walau mereka telah bertahun-tahun tinggal di bawah atap yang sama.
"Baguslah kalau kamu sudah bangun. Pergilah mandi sebelum kamu terlambat, kemudian segera ikut sarapan bersama kami." Ucap Vania kepada Danis.
"Iya... " Danis mengangguk dan berbalik untuk mencari handuk, lalu segera bergegas pergi ke kamar mandi.
Hanny bisa bernafas lega setelahnya. Dia kemudian bertanya kepada bibi Vania apa saja yang bisa dirinya bantu untuk meringankan pekerjaan wanita itu.
"Hanny, tolong bantu bibi menyiapkan minuman nya, ya... "
"Baik, bi."
Mereka berdua bersama-sama dengan telaten menyiapkan sarapan pagi itu.
Setelah Danis mandi dan berganti pakaian, pemuda itu segera ikut bergabung di dapur bersama Hanny dan kedua orang tuanya. Mereka menikmati sarapan pagi mereka dengan tenang sebelum memulai aktivitas hari ini.
.
.
"Ah, aku harus mengambil tasku dulu!"
Usai sarapan dan hendak berangkat ke sekolah, Hanny kembali ke dalam kamarnya untuk mengambil tas.
Langkahnya berhenti sejenak ketika matanya melihat foto kedua orang tuanya yang di pajang di dinding samping meja belajarnya. Dia mendekat perlahan dengan senyum lembut di wajahnya, bergumam pelan di depan foto itu. "Aku berangkat ke sekolah dulu, Ayah, Ibu... "
'Kuharap tahun ini aku tidak akan mendapatkan masalah apapun, dan bisa segera lulus tanpa hambatan', Batin Hanny penuh harap. Dia tidak ingin lagi tahun ini ikut menjadi tahun yang berat untuknya selama dia sekolah nanti, seperti di tahun-tahun kemarin.
.
.
Sebelum menuju perusahaan nya, Galih mengantarkan Hanny dan Danis ke sekolah mereka. Pria dewasa itu memarkirkan mobilnya agak sedikit jauh dari gerbang sekolah karena permintaan Hanny, alasan nya adalah karena gadis itu ingin turun lebih dulu untuk bertemu dengan teman nya disana.
Padahal itu hanyalah sebuah kebohongan belaka.
Sejak masuk SMA, Hanny kesulitan mendapatkan teman. Mana mungkin dia akan bertemu dengan teman nya?
Dia hanya tidak ingin di lihat oleh banyak orang, bahwa dirinya keluar dari mobil yang sama dengan Danis. Meskipun Danis tidak pernah mengatakan kepada kedua orang tuanya, pemuda itu sebenarnya sangat populer di SMA mereka sejak masih jadi murid kelas satu.
Tidak hanya karena berwajah tampan dan bertubuh cukup tinggi, tetapi pemuda itu juga cukup cerdas di hampir semua mata pelajaran. Dia juga atletis dan hebat dalam segala aktivitas fisik, membuatnya sering menjadi bahan pembicaraan siswa siswi dan para guru karena prestasinya dalam bidang olahraga.
Satu-satunya hal minus yang ada dalam diri Danis mungkin hanyalah sifat tenang dan sikap dingin nya di depan orang-orang yang belum dia kenal. Ia tidak cukup ramah untuk bersikap lembut di depan orang lain yang jarang dia temui.
Para siswa perempuan bahkan menyebut dirinya 'pangeran salju' karena dia selalu bersikap dingin di depan orang asing, dan hanya akan menjadi hangat di depan orang-orang yang telah akrab dengan nya saja.
Namun sejauh ini Danis hanya akrab dengan empat orang teman nya karena mereka terus bersama sejak masih kelas satu.
Galih yang tidak merasa curiga hanya menuruti permintaan gadis itu dengan tenang, namun dalam diam nya, kedua mata Danis terus mengamati sosok gadis itu yang kini kian menjauh.
.
.
Ketika Hanny sampai di kelas dan memilih tempat duduk nya, gadis itu hanya bisa diam mengamati teman-teman sekelasnya yang nampaknya sudah akrab satu sama lain, orang-orang itu saling bersenda gurau.
Ada beberapa siswa siswi yang dikenal nya sejak kelas satu dan dua, tapi nampaknya mereka sengaja mengabaikan keberadaan Hanny dan tidak mau mengajaknya bicara.
'Apa yang harus kulakukan sekarang?sepertinya mereka semua memang sudah saling kenal sejak awal.' Hanny membatin nelangsa, merasa kecewa karena sepertinya tahun ini dirinya akan sendiri lagi tanpa siapapun.
Di sekolah elit ini, semua orang yang menjadi teman sekelas Hanny di kelas dua sudah tahu kalau dirinya adalah seorang gadis yatim piatu.
Terima kasih kepada seseorang, mereka jadi dengan sengaja berpura-pura tidak mengenalinya karena merasa Hanny kurang pantas untuk bergaul dengan mereka.
Ada juga siswa siswi yang belum pernah mengenal dirinya. Hanny bertanya-tanya dalam benaknya, apakah dirinya harus menyapa mereka lebih dulu dan kemudian mengajak mereka berteman?
Tapi apa yang harus dia katakan untuk permulaan? Dia tidak tahu!
SLAP!
Saat Hanny sedang sibuk dengan pikiran di kepala nya, tiba-tiba saja belakang kepalanya di pukuli dengan kipas genggam oleh seseorang.
"Heh, Hanny Arinita!"
Hanny yang tidak siap menjadi kaget. Dia lalu menyentuh kepalanya yang terkena pukulan itu, lalu menoleh ke belakang untuk melihat pemilik suara yang sudah lama di kenal nya.
"Sepertinya tahun ini kita satu kelas lagi, ya?"
Hanny menatap horor orang-orang yang berdiri di belakangnya. Itu adalah Merina dan kedua teman perempuan nya yang selalu mengikutinya kemanapun.
Hanny pertama kali bertemu dengan gadis itu dan teman-teman nya sejak tahun kemarin, dan mereka selalu saja sengaja menganggu Hanny setelahnya. Hal-hal apapun mereka lakukan untuk membuatnya merasa tak nyaman.
Hanny tidak tahu alasan mereka terus melakukan itu.
Mereka sering menyuruh Hanny untuk membelikan mereka makanan di kantin dan meminjam barang-barangnya tanpa berniat untuk mengembalikan nya. Meski mereka selalu dengan paksa bilang pinjam kepada nya, tetapi sebenarnya hal itu sama sekali tidak ada bedanya dengan mencuri.
Hanny selalu ingin menolak permintaan mereka, namun Merina dan teman-temannya terus mengancam Hanny akan membully nya jika dia berani menolak meminjamkan mereka barang-barangnya dan tidak mau menjadi pesuruh mereka.
Tentu Hanny menjadi takut, dia tidak punya siapa-siapa yang akan membantu dirinya melawan Merina.
Merina dan teman-teman nya jugalah yang telah menyebarkan fakta bahwa Hanny adalah anak yatim piatu kepada teman-teman sekelas mereka saat masih kelas dua.
Itulah penyebab mengapa Hanny sangat ingin terhindar dari Merina dan antek-anteknya. Namun sayang sekali, tahun ini takdir malah kembali mempertemukan mereka di kelas yang sama.
Hanny menjadi tak bersemangat.
"Guys, ayo kita duduk di belakang tempat duduknya, biar kita bisa puas nyuruh-nyuruh dia kalau kita mau." Ajak Merina kepada teman-temannya.
"Okee!!" Jawab mereka antusias.
Hanny bertanya tanya dalam hati dengan penuh keraguan. Dia ingin sekali saja melawan mereka, tapi apa dirinya bisa membuat perubahan kali ini?
Dengan sedikit keberanian, Hanny berusaha untuk protes. "Bisakah kau pindah ke--"
"Apa kau bilang?!! Kamu mau ku tampar, hah?! Kamu itu gak berhak memerintah ku!" Merina langsung memotong kata-kata Hanny, nampaknya dia memang menunggu kesempatan Hanny mengatakan itu.
Dia berdiri dari bangkunya dan mengangkat tangan nya yang sedang memegang kipas, lalu hendak memukul wajah Hanny dengan alat itu.
Melihat Merina yang hendak memukul wajahnya dengan kipas, nyali Hanny seketika menciut. Dia segera meminta maaf.
"Ma-maaf... "
"Heh... Baru di gertak saja kau sudah tidak berani, malah mau coba memerintahku." Merina tersenyum angkuh, dia kembali duduk di bangku nya. Kedua temannya hanya tertawa melihat itu.
Hanny menjadi murung. Dia awalnya berniat untuk melakukan sedikit perubahan, tetapi sepertinya dia tidak mampu untuk melakukan hal itu. Jika dia melawan Merina, pasti akan ada orang lain yang membantu gadis itu.
Merina lalu dengan tiba-tiba bertanya kepadanya. "Hei, apa kau sudah makan?"
Ditanyai itu membuat dirinya sedikit bingung, tetapi Hanny tetap menjawab Merina. "Huh? Yah... Aku sudah makan."
"Kalau begitu cepat belikan aku dan teman-temanku makanan di kantin! Aku belum makan dari tadi pagi!" Ucapnya memerintah sambil tersenyum lebar. Gadis itu mengeluarkan satu lembar uang seratus ribu dan menyerahkan nya kepada Hanny.
Hanny menghela nafas lelah, masih pagi saja dirinya sudah di peralat oleh orang ini.
Yahh paling tidak, dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membelikan mereka makanan.
"Baik, aku belikan makanan kesukaanmu." Hanny berkata sambil bangkit dari bangku nya dan hendak pergi ke kantin.
Mungkin karena sudah mulai terbiasa di peralat, Hanny tidak terlalu mempermasalahkan hal ini.
"Belikan aku dua bungkus Roti Keju dan coklat!! dan jangan lupa tiga botol susu strawberry!!" Seru salah satu teman Merina.
'Sepertinya aku harus ikhlas menjadi kacung mereka lagi tahun ini' batin Hanny.
Saat hendak meraih gagang pintu kelas, tanpa di duga oleh Hanny pintu itu terbuka dari luar, dan muncullah sosok Danis dengan headset yang terpasang di kedua telinga nya. Mereka hampir bertabrakan kalau saja tubuh Danis tidak segera berhenti dengan tepat waktu.
"Ehh...? "
"Ahh..."
Keduanya terlihat terkejut satu sama lain dan tidak tahu harus berkata apa.
Untuk sejenak Hanny membeku di tempatnya. Kedua matanya langsung menatap ke bawah untuk menghindari tatapan Danis, dan dengan gugup gadis itu pun membatin, 'Kenapa dia ada di sini?!!! Kupikir kami tidak akan sekelas!'
"Uhm... Bisa aku masuk?" Danis tiba-tiba bertanya, yang kemudian membuat Hanny tersadar seketika dari pikirannya.
"Eh? Ah! Iya... Silahkan!" Jawab Hanny sambil menyingkir untuk memberikan pemuda itu akses masuk ke dalam kelas mereka. Setelah Danis melangkah masuk, Hanny langsung dengan cepat bergegas keluar dan terburu-buru menuju kantin.
Danis hanya bisa menatap kepergian gadis itu sebelum kemudian berbalik.
Ketika dirinya berjalan untuk mencari bangku kosong, Danis merasakan semua tatapan penghuni kelas tertuju kepadanya, yang membuat dirinya merasa tidak nyaman.
Para gadis dan pemuda di kelas itu berbisik-bisik tentangnya, merasa kagum melihat pemuda itu.
"Hei, bukankah itu si Danis?"
"Wahh, dia tampan sekali!"
"Bukannya dia si murid populer itu?"
Merina juga tak terkecuali. Gadis sok cantik itu juga ikut berbisik bersama kedua temannya. "Bukannya dia si pangeran salju itu? Dia satu kelas dengan kita ya?" Merina tampak bersemangat.
"Kayaknya begitu. Dia tampan sekali ya... "
"Katanya sih, orang tuanya kaya!" Tambah salah satu teman dari Merina.
"Hah, yang benar...?"
Merina merasa sangat tertarik dengan wajah tampan Danis yang begitu memukau, belum lagi salah satu temannya berkata bahwa Danis adalah pemuda yang kaya, membuat sosoknya menjadi paket komplit yang di inginkan oleh setiap gadis.
'Jika aku berhasil menaklukkan hati pangeran salju itu, dia pasti akan memanjakan ku seperti ratu. Aku bisa mendapatkan apapun yang kumau tanpa perlu bersusah payah selama dia jadi pacarku! Pokoknya aku harus menarik perhatiannya!' Batin Merina penuh tekad dengan senyum sumringah di bibir berbalut lipstik merah miliknya.
Di kepalanya telah terisi dengan berbagai fantasi-fantasi yang menyenangkan saat dirinya membayangkan menjadi pacar dari pemuda itu.
Di beberapa deretan bangku, terdapat empat orang yang sedang berkerumun di sana. Salah satu dari mereka berdiri dan melambaikan tangan kepada Danis. "Hei, Danis! Ayo gabung bersama kami di sini!" Teriaknya, menarik perhatian siswa siswi yang lain.
Danis menatap orang itu dengan pandangan yang menyiratkan untuk 'jangan berisik'.
"Amelia... " Tegurnya, berjalan mendekati keempat orang itu.
"Hehe... " Amelia, orang yang memanggil Danis untuk bergabung dengan mereka, adalah seorang gadis cantik dengan rambut hitam panjang sebahu. Dia memasang pose 'piece' saat mendapatkan tatapan itu.
Ketiga orang lainnya adalah Githa, Ryan, dan Dandi. Mereka melambai dengan senyum yang cerah kepada Danis, membuat Danis menatap mereka dengan jengah, tak dapat berkata-kata.
Begitu Danis menduduki salah satu kursi kosong di dekat mereka, Githa berkata riang padanya. "Danis! Tahun ini kita sekelas lagi! Rasanya sangat menyenangkan bisa terus sekelas denganmu!"
Yang di ajak bicara mengibaskan tangan, berkata malas kepada gadis itu. "Ya... ya, rasanya benar-benar apes bertemu kalian lagi di kelas ini."
Meski berkata begitu, nyatanya Danis menampakkan senyum kecil setelahnya, menunjukkan bahwa dirinya juga merasa ikut senang bisa bertemu dengan mereka.
Ke empat teman nya itu hanya terkekeh saat melihatnya menampakkan ekspresi yang berbanding terbalik dengan kata-katanya sendiri.
.
.
.
Di koridor, Hanny yang sedang berjalan ke kantin masih tidak bisa percaya dengan kenyataan bahwa Danis berada di kelas yang sama dengannya tahun ini.
Mereka berdua selama ini tidak pernah berada di kelas yang sama, sehingga mereka sangat jarang sekali bertemu. Hanny bahkan hampir tiap waktu mengira bahwa Danis dan dirinya tidak berada di sekolah yang sama saking minimnya interaksi mereka baik di sekolah maupun di dalam rumah.
Tahun ini mereka akan bersama selama setahun kedepan, Hanny sangat terkejut sampai-sampai dirinya berharap bahwa hal yang terjadi tadi hanyalah sebuah mimpi belaka, dia berharap Danis tidak pernah sekelas dengannya.
Memilih untuk tidak lagi pusing memikirkan hal itu, Hanny berjalan menuruni tangga dengan langkah yang tergesa-gesa. Dia harus segera membelikan makanan untuk Merina dan kedua dayangnya.
.
.
.
Di kelas, Merina yang sedang berusaha menarik minat Danis sengaja menduduki bangku di sebelah seorang gadis yang jaraknya cukup dekat dengan meja tempat Danis dan kawan-kawannya berkumpul.
Dia tiba-tiba bersandar di bahu gadis itu.
Merasa tak nyaman, gadis itu menggeser tubuhnya menjauh agar tidak menyentuh punggung Merina. "Apaan sihh... " Gumannya tak suka.
BRAKK!!
Dengan sengaja Merina menggebrak meja, membuat gadis di sampingnya itu berjengit kaget serta Danis dan kawan-kawannya menoleh.
Dia kemudian menggertaknya.
"Apa yang kau bilang tadi, hah?!! Aku tidak dengar! Coba ulang lagi kata-katamu!!"
Melihat muka garang Merina, gadis itu berpaling sambil mencicit. "Ti-tidak ada apa-apa... "
Merasa puas telah mengintimidasi gadis itu, Merina kemudian menoleh kepada Danis dan teman-temannya, berkata dengan nada centil.
"Hei, kamu yang namanya Danis ya?" Tanyanya dengan suara manis yang di buat-buat, berharap Danis terpesona dengan wajah cantiknya yang di penuhi dengan riasan.
Ryan dan Dandi yang melihat wajah cantik Merina sedikit terpana. Mereka berdua bertanya dengan penuh semangat kepada gadis itu.
"Kenapa kamu bisa kenal Danis?"
"Apa kalian memang saling kenal?"
Merina menjawab. "Siapa sihh di sekolah ini yang tidak kenal dengan Danis Baskara? Anak dari sepasang pengusaha kaya di kota kita yang punya otak cerdas, bertubuh atletis, berwajah tampan dan tinggi! Semua orang kenal dengan namanya!" Ucapnya penuh sanjungan.
"Haha... Apa-apaan deskripsi itu?!"
Ke empat teman Danis tertawa mendengar gadis itu bicara, merasa lucu saat sosok teman mereka di deskripsi kan seperti itu oleh seseorang yang belum mereka kenal.
Meskipun begitu, mereka tidak dapat menampik bahwa itu memang merupakan sebuah kebenaran.
Danis mengernyitkan dahi tak suka, merasa terganggu dengan kata-kata gadis itu. Sikap sok kenal nya juga tidak cukup menyenangkan untuk di lihat.
Merina mengulurkan tangannya yang nampak sangat halus, memperkenalkan dirinya sendiri di depan Danis. "Kenalan yuk, namaku Merina Rianti!" Ujarnya.
Danis yang tak berniat membalas uluran tangan itu hanya kembali menoleh ke depan, menjawab Merina dengan tidak berminat.
"... Yeah."
".... "
Merasa malu karena tindakan Danis, Merina kembali menarik tangannya dengan canggung.
'Apaan sih orang ini!' Batinnya kesal. Padahal dia sudah berpura-pura manis di depan pemuda itu untuk menarik minatnya, namun Danis sama sekali tak tertarik padanya.
Atau mungkinkah pemuda itu sudah punya pacar?
Untuk memastikan, Merina bertanya iseng sambil menunjuk Githa yang duduknya bersebelahan dengan Danis. "Apa gadis ini pacaran dengan mu?"
Githa yang kaget di tuduh seperti itu langsung menyahut tak terima. "Sembarangan ya kalau bicara! Mana mungkin kami pacaran, kita ini hanya teman! Lagipula Danis itu tidak mau punya pacar!"
"Benarkah?" Mendengarnya membuat Merina kembali senang, dia masih punya kesempatan untuk membuat Danis terpesona dengan kecantikan nya.
Kesampingkan fakta bahwa pemuda itu tidak mau punya pacar. Merina yakin, seiring waktu Danis pasti akan mulai merubah niatnya.
"Wahh, kebetulan banget aku juga belum punya pacar!" Ujar Merina memberi kode.
Danis yang merasa jengah dengan tingkah laku gadis itu hanya bisa menghela nafas kesal. Apa dia pikir Danis sama sekali tadak sadar dengan modusnya ? Itu terlihat sangat jelas!
Danis telah mengalami hal-hal yang seperti itu sejak pertama kali dirinya menginjakkan kaki di sekolah ini, jadi dirinya sudah sangat hapal dengan niat tersembunyi dari gadis bermodus seperti Merina ini.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!