Oath Of Love
“Ibu mau merajut lagi, mau buat apa bu?”
Naziya menoleh melihat sang ibu yang tengah asyik memintal benang. Dia baru saja selesai mandi, rambutnya yang masih basah sedang dia keringkan dengan handuk.
“Ibu mau buat syal, Ziya,” sahut Farida lembut tanpa menoleh.
“Emang, syal buat siapa? Perasaan syal ibu sudah banyak,” Naziya menimpali seraya meletakkan handuk di jemuran, sembarangan.
Farida mendelik seraya berdecak. Wanita paruh baya itu sudah hapal mati kelakuan sang putri. “Coba, kamu itu kalau selepas pakai handuk, jemurnya yang bener toh, usia kamu itu sudah 24 tahun, masih saja seperti anak kecil!” omel Farida.
Naziya hanya menyengir tipis, kemudian dia membentangkan handuk di jemuran dengan rapi.
“Oh ya, kamu janjikan mau ketemu putranya tante Nala? Ibu sudah bilang ke tante Nala. Dan pekan ini putranya sedang libur tugas,” seloroh Farida, terus asyik merajut benang.
“Hah?” Raut wajah Naziya tak urung terkejut. “Ini bukan jaman Siti Nurbaya bu,” celetuk Naziya sambil berlalu ke dalam kamar.
Farida menghela napas panjang. “Kamu sudah janji Ziya, temuin dulu putranya tante Nala. Tante Nala dan Om Firman itu orang yang paling berjasa sama mendiang bapak kamu.”
“Iya, iya, nanti Ziya temuin tuh putranya tante Nala, tapi bu ... Ibu tahu kan Ziya sudah punya pacar?!” tuturnya dari balik dinding kamar.
“Halah, pacar kamu yang namanya kayak makanan itu kan? Ibu gak suka sama dia,” cibir Farida kemudian.
“Nama makanan?!” Sepasang bahu Naziya sedikit berguncang karena tawa seraya menggelengkan kepala. “Ibu ... Ibu namanya Bram bu bukan brem.”
Naziya sudah tahu kemana arah pembicaraan sang ibu. Itu karena, Farida selalu memplesetkan nama Bram dengan sebutan brem.
Farida mengerutkan bibirnya lalu berkata, “terserah siapa namanya, yang jelas Ibu enggak suka sama dia. Dia tuh kok ya kelihatannya sombong, angkuh gitu loh. Belum lagi gayanya yang sok bersih itu, hiiih.”
Naziya mengangkat kedua alis matanya. Wanita bertubuh ramping itu kemudian tersenyum-senyum sendiri.
Menurutnya, Farida kalau mengomel sedikit jenaka. Wajahnya yang bulat serta bibir tipisnya yang terus komat-kamit, sungguh lucu dilihat.
Memang sang Ibu tidak menyukai Bram dengan alasan Bram tidak ramah kepadanya.
Bahkan, saat Bram mengantarkan Naziya pulang setelah bekerja, Bram tidak pernah menyapanya. Padahal, Farida sedang berada di dekatnya.
Naziya mendekat lalu bersimpuh di depan sang ibu. “Bu, Ziya berangkat kerja dulu. Hari ini, Ziya pulangnya sedikit terlambat. Ada rapat karyawan di kantor,” pamitnya.
Naziya menarik tangan sang Ibu lalu menciumnya. Kemudian, wanita berparas ayu itu melepaskan kecupan singkat di kening sang ibu.
Sementara, Farida tersenyum tipis setelah mengelus lembut rambut halus putri semata wayangnya.
Naziya pergi setelah terdengar suara klakson pendek dari luar pagar. Ya, siapa lagi kalau bukan Bram yang menjemputnya.
Farida kemudian tersenyum simpul. “Kamu akan menikah dengan Arjuna Rakanuala, Naziya Mahala Yumna. Kamu sudah bersumpah sepuluh tahun yang lalu,” Farida bermonolog.
***
“Ibuku ... Lagi-lagi menjodohkanku dengan putra sahabatnya.” Nazia mengaduk bubur ayam. Menu sarapannya pagi ini. Wanita bernetra bulat itu memang terbiasa sarapan dengan makanan yang sedikit berat.
“Siapa?” Putri menyesap cappuccino hangat, Putri lebih memilih minum kopi di pagi hari ketimbang makanan berat.
Mereka berdua duduk di kantin kantor Radio Orbita. Mereka biasa sarapan bersama sebelum memulai aktivitas pekerjaan sebagai penyiar radio.
“Aku enggak kenal siapa dia, Put. Bahkan, namanya saja aku belum tahu. Yang kutahu dia adalah seorang pasukan khusus,” sahut Naziya.
Putri terkekeh pelan. “Sepertinya ibu kamu masih belum menyukai pak Bram ....”
Naziya menghela napas berat. Kemudian dia melesatkan pandangan ke langit karena mendung yang menggantung, persis seperti suasana hatinya saat ini. “Aku enggak bisa menolak, kalau sudah ibu yang kasih mandat.”
Putri menepuk bahu Nazia dengan lembut. “Dilema?” Sahabat Naziya sedari SMP itu seakan tahu perasaan yang dirasakan Naziya.
Naziya mengangguk. Tentu saja dia dilema karena dia belum mengetahui siapa putra tante Nala itu. Belum lagi hubungannya dengan Bram sedang baik-baik saja.
Walaupun, Naziya tahu dia tidak sepenuhnya mencintai Bram. Hanya saja, lelaki berusia 30 tahun itu merupakan tipikal pria yang diincar seluruh wanita di kantor itu.
Berkulit bersih, wajah imut di usianya yang sudah menginjak 30 tahun, belum lagi paras dengan isi dompet yang bersinergi dan seimbang. Ah, Bram adalah pria sempurna di mata wanita masa kini.
Rasanya, puas saja menjadi wanita pilihan lelaki yang banyak diidam-idamkan oleh wanita lain.
“Hey!” sentak Putri mengagetkan Naziya yang tengah tenggelam dalam lamunan. “Udah siap on air tuh,” ajaknya kemudian.
Bubur ayam yang telah diaduk dan dimakan beberapa suap saja itu pun ditinggalkan Naziya. Mereka berdua masuk ke kantor untuk memulai siaran.
***
Masih tersisa rintik hujan yang berjatuhan, layaknya ribuan jarum tipis dan panjang lalu pecah di atas bumi.
Suara gemuruh pun saling bersahutan, sekelebat sinar bak membelah langit pun tak kalah menghiasi langit sore menjelang senja.
Sehari ini hujan deras melanda kota Bandung.
Naziya masih murung, beberapa kali dia nampak berpikir dan melamun.
“Hey...” Bram yang memperhatikan tingkah wanitanya menjadi penasaran. “Ada apa?”
Naziya hanya tersenyum simpul, kemudian menggeleng. “Enggak, hanya sedikit masalah dirumah,” Naziya beralasan.
Bram meraih jemari lentik Naziya, pria berparas oriental itu kemudian bertanya, “Memangnya ada apa? Bukannya kamu itu anak tunggal ya, tidak ada kakak ataupun adik, lantas bermasalah dengan siapa dirumah ... Dengan ibu?”
Lagi-lagi Naziya menggeleng. “Aku gak pernah ada masalah sama ibu kok, mungkin aku lagi sensitif aja?”
“Hm, kerjaan kamu sudah selesai kan? Kalau gitu biar aku antar pulang, ya?” tawar Bram.
Naziya mengangguk tanda setuju. “Tapi aku mau ke toko kue dulu,” pintanya disela helaan napas berat.
Bram meraih kunci mobilnya, dan menggandeng mesra Naziya hingga ke mobil.
Di dalam mobil, Bram berniat mencium bibir Naziya. Namun, Wanita cantik itu memalingkan wajahnya.
Bram menarik napas panjang. Entah sampai kapan Naziya bersedia memberikan ciuman bahkan sentuhannya kepada Bram.
Sudah hampir lima bulan mereka berpacaran. Akan tetapi, mereka tidak pernah melakukan sentuhan fisik kecuali berpelukan dan bergandengan tangan.
“Maaf!” hanya itu kata yang keluar dari bibir ranum Nazia.
Sementara Bram hanya dapat berdecak kesal. Lagi-lagi dia tak mendapatkan jatahnya.
Bram mulai menyalakan mesin mobil, dan mobil itu berjalan keluar gedung penyiaran Radio Orbita.
Setelah lima menit diperjalanan, mereka berhenti tepat di toko kue yang sudah menjadi langganan Naziya.
“Saya mau yang ini,” pinta Naziya sopan, kepada pelayan toko. Kedua netranya sontak berbinar melihat sepotong kue berwarna baby pink dengan potongan stoberi diatasnya.
Wanita dengan suara merdu itu memang tergila-gila dengan kue tart dengan rasa buah merah berbintik itu.
Kue stroberi merupakan mood booster untuk Naziya, semangatnya kembali penuh bila menikmati kue tersebut.
Sederhana, hatinya kembali riang dan mereka melanjutkan perjalanan ke rumah Naziya.
Sesampai dirumah, Naziya meletakkan kue di atas meja. Dia duduk dengan menyebarkan pandangan keseluruh arah, mencari-cari keberadaan sang ibu.
Sementara, syal yang dirajut Farida nampak sudah selesai. Syal dengan warna cokelat susu, berhias rajutan inisial AR. Tergeletak manis di meja tersebut.
Naziya mengerutkan keningnya, “Siapa AR?” tanyanya sendiri. “Apa mungkin ini untuk ...”
“Iya, itu untuk putranya tante Nala,” potong Farida.
Naziya tersentak, jantungnya berdegup cepat. “Astaga, ibu ... ngagetin aja!” ujarnya, kemudian membuka kotak kue stroberi itu.
Farida nampak biasa saja, ekspresinya datar. Wanita bertubuh gempal itu kemudian berkata, “kamu harus temuin dia ya, Ziya.”
Demi Tuhan, sang ibu rupanya sedang melakukan gencatan senjata. Farida pantang menyerah untuk mengingatkan Naziya.
“Iya bu, Ziya ingat. Tapi bu, siapa nama putranya tante Nala?” tanyanya seraya melahap kue tart dengan sendok.
“Arjuna Rakanuala...,” sahut Farida santai.
“Arjuna ... Rakanuala?” Naziya nampak berpikir. “Kok sepertinya, nama itu familiar ditelinga Ziya ya bu.”
Setelah beberapa saat, Nazia tersedak. Dia tahu nama itu, Arjuna Rakanuala. Astaga, benarkah dia?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Ahcmadgibran Hamizan
lanjut
2024-01-07
1
Reni
menarik ☺️
next
2023-11-23
1