“Ibu mau merajut lagi, mau buat apa bu?”
Naziya menoleh melihat sang ibu yang tengah asyik memintal benang. Dia baru saja selesai mandi, rambutnya yang masih basah sedang dia keringkan dengan handuk.
“Ibu mau buat syal, Ziya,” sahut Farida lembut tanpa menoleh.
“Emang, syal buat siapa? Perasaan syal ibu sudah banyak,” Naziya menimpali seraya meletakkan handuk di jemuran, sembarangan.
Farida mendelik seraya berdecak. Wanita paruh baya itu sudah hapal mati kelakuan sang putri. “Coba, kamu itu kalau selepas pakai handuk, jemurnya yang bener toh, usia kamu itu sudah 24 tahun, masih saja seperti anak kecil!” omel Farida.
Naziya hanya menyengir tipis, kemudian dia membentangkan handuk di jemuran dengan rapi.
“Oh ya, kamu janjikan mau ketemu putranya tante Nala? Ibu sudah bilang ke tante Nala. Dan pekan ini putranya sedang libur tugas,” seloroh Farida, terus asyik merajut benang.
“Hah?” Raut wajah Naziya tak urung terkejut. “Ini bukan jaman Siti Nurbaya bu,” celetuk Naziya sambil berlalu ke dalam kamar.
Farida menghela napas panjang. “Kamu sudah janji Ziya, temuin dulu putranya tante Nala. Tante Nala dan Om Firman itu orang yang paling berjasa sama mendiang bapak kamu.”
“Iya, iya, nanti Ziya temuin tuh putranya tante Nala, tapi bu ... Ibu tahu kan Ziya sudah punya pacar?!” tuturnya dari balik dinding kamar.
“Halah, pacar kamu yang namanya kayak makanan itu kan? Ibu gak suka sama dia,” cibir Farida kemudian.
“Nama makanan?!” Sepasang bahu Naziya sedikit berguncang karena tawa seraya menggelengkan kepala. “Ibu ... Ibu namanya Bram bu bukan brem.”
Naziya sudah tahu kemana arah pembicaraan sang ibu. Itu karena, Farida selalu memplesetkan nama Bram dengan sebutan brem.
Farida mengerutkan bibirnya lalu berkata, “terserah siapa namanya, yang jelas Ibu enggak suka sama dia. Dia tuh kok ya kelihatannya sombong, angkuh gitu loh. Belum lagi gayanya yang sok bersih itu, hiiih.”
Naziya mengangkat kedua alis matanya. Wanita bertubuh ramping itu kemudian tersenyum-senyum sendiri.
Menurutnya, Farida kalau mengomel sedikit jenaka. Wajahnya yang bulat serta bibir tipisnya yang terus komat-kamit, sungguh lucu dilihat.
Memang sang Ibu tidak menyukai Bram dengan alasan Bram tidak ramah kepadanya.
Bahkan, saat Bram mengantarkan Naziya pulang setelah bekerja, Bram tidak pernah menyapanya. Padahal, Farida sedang berada di dekatnya.
Naziya mendekat lalu bersimpuh di depan sang ibu. “Bu, Ziya berangkat kerja dulu. Hari ini, Ziya pulangnya sedikit terlambat. Ada rapat karyawan di kantor,” pamitnya.
Naziya menarik tangan sang Ibu lalu menciumnya. Kemudian, wanita berparas ayu itu melepaskan kecupan singkat di kening sang ibu.
Sementara, Farida tersenyum tipis setelah mengelus lembut rambut halus putri semata wayangnya.
Naziya pergi setelah terdengar suara klakson pendek dari luar pagar. Ya, siapa lagi kalau bukan Bram yang menjemputnya.
Farida kemudian tersenyum simpul. “Kamu akan menikah dengan Arjuna Rakanuala, Naziya Mahala Yumna. Kamu sudah bersumpah sepuluh tahun yang lalu,” Farida bermonolog.
***
“Ibuku ... Lagi-lagi menjodohkanku dengan putra sahabatnya.” Nazia mengaduk bubur ayam. Menu sarapannya pagi ini. Wanita bernetra bulat itu memang terbiasa sarapan dengan makanan yang sedikit berat.
“Siapa?” Putri menyesap cappuccino hangat, Putri lebih memilih minum kopi di pagi hari ketimbang makanan berat.
Mereka berdua duduk di kantin kantor Radio Orbita. Mereka biasa sarapan bersama sebelum memulai aktivitas pekerjaan sebagai penyiar radio.
“Aku enggak kenal siapa dia, Put. Bahkan, namanya saja aku belum tahu. Yang kutahu dia adalah seorang pasukan khusus,” sahut Naziya.
Putri terkekeh pelan. “Sepertinya ibu kamu masih belum menyukai pak Bram ....”
Naziya menghela napas berat. Kemudian dia melesatkan pandangan ke langit karena mendung yang menggantung, persis seperti suasana hatinya saat ini. “Aku enggak bisa menolak, kalau sudah ibu yang kasih mandat.”
Putri menepuk bahu Nazia dengan lembut. “Dilema?” Sahabat Naziya sedari SMP itu seakan tahu perasaan yang dirasakan Naziya.
Naziya mengangguk. Tentu saja dia dilema karena dia belum mengetahui siapa putra tante Nala itu. Belum lagi hubungannya dengan Bram sedang baik-baik saja.
Walaupun, Naziya tahu dia tidak sepenuhnya mencintai Bram. Hanya saja, lelaki berusia 30 tahun itu merupakan tipikal pria yang diincar seluruh wanita di kantor itu.
Berkulit bersih, wajah imut di usianya yang sudah menginjak 30 tahun, belum lagi paras dengan isi dompet yang bersinergi dan seimbang. Ah, Bram adalah pria sempurna di mata wanita masa kini.
Rasanya, puas saja menjadi wanita pilihan lelaki yang banyak diidam-idamkan oleh wanita lain.
“Hey!” sentak Putri mengagetkan Naziya yang tengah tenggelam dalam lamunan. “Udah siap on air tuh,” ajaknya kemudian.
Bubur ayam yang telah diaduk dan dimakan beberapa suap saja itu pun ditinggalkan Naziya. Mereka berdua masuk ke kantor untuk memulai siaran.
***
Masih tersisa rintik hujan yang berjatuhan, layaknya ribuan jarum tipis dan panjang lalu pecah di atas bumi.
Suara gemuruh pun saling bersahutan, sekelebat sinar bak membelah langit pun tak kalah menghiasi langit sore menjelang senja.
Sehari ini hujan deras melanda kota Bandung.
Naziya masih murung, beberapa kali dia nampak berpikir dan melamun.
“Hey...” Bram yang memperhatikan tingkah wanitanya menjadi penasaran. “Ada apa?”
Naziya hanya tersenyum simpul, kemudian menggeleng. “Enggak, hanya sedikit masalah dirumah,” Naziya beralasan.
Bram meraih jemari lentik Naziya, pria berparas oriental itu kemudian bertanya, “Memangnya ada apa? Bukannya kamu itu anak tunggal ya, tidak ada kakak ataupun adik, lantas bermasalah dengan siapa dirumah ... Dengan ibu?”
Lagi-lagi Naziya menggeleng. “Aku gak pernah ada masalah sama ibu kok, mungkin aku lagi sensitif aja?”
“Hm, kerjaan kamu sudah selesai kan? Kalau gitu biar aku antar pulang, ya?” tawar Bram.
Naziya mengangguk tanda setuju. “Tapi aku mau ke toko kue dulu,” pintanya disela helaan napas berat.
Bram meraih kunci mobilnya, dan menggandeng mesra Naziya hingga ke mobil.
Di dalam mobil, Bram berniat mencium bibir Naziya. Namun, Wanita cantik itu memalingkan wajahnya.
Bram menarik napas panjang. Entah sampai kapan Naziya bersedia memberikan ciuman bahkan sentuhannya kepada Bram.
Sudah hampir lima bulan mereka berpacaran. Akan tetapi, mereka tidak pernah melakukan sentuhan fisik kecuali berpelukan dan bergandengan tangan.
“Maaf!” hanya itu kata yang keluar dari bibir ranum Nazia.
Sementara Bram hanya dapat berdecak kesal. Lagi-lagi dia tak mendapatkan jatahnya.
Bram mulai menyalakan mesin mobil, dan mobil itu berjalan keluar gedung penyiaran Radio Orbita.
Setelah lima menit diperjalanan, mereka berhenti tepat di toko kue yang sudah menjadi langganan Naziya.
“Saya mau yang ini,” pinta Naziya sopan, kepada pelayan toko. Kedua netranya sontak berbinar melihat sepotong kue berwarna baby pink dengan potongan stoberi diatasnya.
Wanita dengan suara merdu itu memang tergila-gila dengan kue tart dengan rasa buah merah berbintik itu.
Kue stroberi merupakan mood booster untuk Naziya, semangatnya kembali penuh bila menikmati kue tersebut.
Sederhana, hatinya kembali riang dan mereka melanjutkan perjalanan ke rumah Naziya.
Sesampai dirumah, Naziya meletakkan kue di atas meja. Dia duduk dengan menyebarkan pandangan keseluruh arah, mencari-cari keberadaan sang ibu.
Sementara, syal yang dirajut Farida nampak sudah selesai. Syal dengan warna cokelat susu, berhias rajutan inisial AR. Tergeletak manis di meja tersebut.
Naziya mengerutkan keningnya, “Siapa AR?” tanyanya sendiri. “Apa mungkin ini untuk ...”
“Iya, itu untuk putranya tante Nala,” potong Farida.
Naziya tersentak, jantungnya berdegup cepat. “Astaga, ibu ... ngagetin aja!” ujarnya, kemudian membuka kotak kue stroberi itu.
Farida nampak biasa saja, ekspresinya datar. Wanita bertubuh gempal itu kemudian berkata, “kamu harus temuin dia ya, Ziya.”
Demi Tuhan, sang ibu rupanya sedang melakukan gencatan senjata. Farida pantang menyerah untuk mengingatkan Naziya.
“Iya bu, Ziya ingat. Tapi bu, siapa nama putranya tante Nala?” tanyanya seraya melahap kue tart dengan sendok.
“Arjuna Rakanuala...,” sahut Farida santai.
“Arjuna ... Rakanuala?” Naziya nampak berpikir. “Kok sepertinya, nama itu familiar ditelinga Ziya ya bu.”
Setelah beberapa saat, Nazia tersedak. Dia tahu nama itu, Arjuna Rakanuala. Astaga, benarkah dia?
Naziya menggeleng cepat. Tiba-tiba kepada seseorang dia teringat. “Enggak, enggak mungkin dia ... kan. Arjuna Rakanuala. Ini pasti namanya aja yang sama,” gumamnya dalam hati.
Farida menautkan kedua alisnya. “Kenapa kepala kamu, pusing? Kok geleng-geleng kepala?” tanyanya heran. Farida kemudian menuangkan air untuk Naziya.
Naziya terhenyak, “Ah, enggak bu, enggak ada apa-apa kok”,” ujar Naziya sambil meminum air, pelan-pelan.
Sepersekian detik suasana kembali hening, Naziya menggeser kursi makan mendekatkan diri ke Farida.
“Bu, gimana menurut ibu, Arjuna ... Ganteng?” tanyanya sambil memainkan kedua alisnya.
“Ganteng, tubuhnya tegap, kulitnya cerah secerah masa depannya,” jelas Farida seraya melengkungkan senyum manis dibibirnya.
Naziya mengerucutkan bibir, walau begitu ada perasaan lega didalam batinnya. “Pasti bukan dia, 'Jun culun siburuk rupa',” gumamnya lagi dalam hati.
“Dan yang lebih penting, dia lebih ganteng daripada pacar kamu! Si brem itu,” ujar Farida.
Naziya sontak berdecak, tidak terima akan perkataan ibunya. “Idiih, ibu. Definisi ganteng versi ibu dan Naziya itu berbeda banget, bu!”
“Ibu sukanya yang seperti ayah kan, hitam manis, berotot, brewokan. Nah, Naziya lebih suka yang clean bu, ke korea-korean gitu,” ungkapnya dengan penuh percaya diri. seakan pilihannyalah yang paling tepat di era gen-z sekarang ini.
“Sudah ... Sudah, kamu lihat saja nanti Arjuna.” Kembali sang ibu melengkungkan senyum misterius.
***
“Juna, Mama sudah hubungin tante Farida, katanya, Ziya jadi ketemu kamu besok,” Nala berucap sambil memasukkan bahan makanan ke dalam lemari es.
Arjuna hanya tersenyum simpul. Kemudian meraih remote televisi dan mematikannya.
“Tapi, mama bingung sama kamu. Kenapa kamu langsung setuju saat papa mau menjodohkanmu sama Naziya? Kamu enggak ada calon yang lain gitu?” tanya Nala, dengan ekspresi penasaran.
Arjuna menoleh, menatap sang ibu yang terdiam dengan pintu lemari es yang masih terbuka.
“Juna enggak punya waktu buat pilih-pilih, Ma. Kalau menurut Papa dan Mama, Naziya yang terbaik, ya ... Juna terima,” ujarnya santai.
Lelaki itu tersenyum seraya beranjak dari sofa dan mengambil air dingin di lemari es.
“Lagi pula, ... Juna,” sesaat dia bergeming. “Ah ... Sudahlah, Juna juga kenal sama Naziya, Ma,” sambungnya kemudian lalu meminum habis air es digelas.
Nala kembali memasukkan beberapa minuman kemasan, merapikannya dan menutup kembali pintu lemari es tersebut.
Semenjak menjadi pasukan khusus, Arjuna tinggal sendiri di sebuah apartemen di tengah kota.
Kalau libur tugas, ibunya selalu datang untuk memberikan bahan makanan. Ya, Arjuna memang kerap mendapat tugas mendadak. Karena itu, Nala sesempat mungkin memperhatikan si bungsu yang sudah menjadi dewasa ini.
Arjuna melirik tatanan rapi di dalam lemari pendingin itu, sesaat dia menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan.
Sifat manjanya mencuat, lelaki itu memeluk erat Nala. “Ma, terimakasih sudah perhatian ke Juna. Padahal, Juna sudah sebesar ini,” ucapnya dengan tawa yang melebar.
Nala hanya menepuk pelan punggung tangan Arjuna. “Nanti, istrimu yang bertugas merapikan dapur ini. Bukan mama lagi, makanya sebelum kamu menikah biar mama yang rapikan.”
“Arjuna, ingat ... Perlakukan istrimu kelak sebaik mungkin. Sudah bagus kamu punya tempat tinggal sendiri. Jangan kecewain mama dan papa,” Nala berujar lagi dengan suara lembut.
Arjuna melepaskan pelukannya, seperti sedang bertugas, lelaki itu bersikap tegap dan memberi hormat. “Siap, Laksanakan!”
Nala hanya tertawa melihat tingkah konyol Arjuna.
***
“Cafe Amour ...,” Nazia membaca chat sang ibu di ponselnya. “Ya, ini tempatnya,” gumamnya sendiri.
Setelah mendorong pintu, Naziya menyebar pandangan keseluruh penjuru arah. “Mungkin itu,” batinnya berbisik.
Naziya melihat pria dengan kemeja putih sedang duduk dengan buku di tangannya.
Ya, hanya dia lelaki di cafe ini, selain itu hanya kaum hawa yang terus menelisik, berbisik dan memperhatikan sang lelaki yang tidak terganggu sama sekali.
“Kamu, Arjuna?” sapanya.
Arjuna nampak santai, dia mendongak perlahan. Mengangkat pandangannya ke arah Naziya. Kemudian, memperhatikan wanita cantik yang sudah lama dinantikannya.
Sementara, Naziya menatap tajam sepasang mata bening yang di bingkai kacamata transparan. Lalu menyusuri alisnya yang tegas, turun ke hidung yang mancung, kemudian bibir dengan warna pink alami. Astaga, dia tampan! jeritnya dalam hati.
“Kamu terlambat!” Arjuna memasang wajah masam.
“Excuse me?”
Naziya setengah mati menahan gemuruh di dadanya. “Baru saja bertemu, ternyata putra tante Nala ini begitu menyebalkan,” gerutunya dalam hati.
“Kita sepakat untuk bertemu pukul empat tepat, tapi kamu datang lebih dari limabelas menit dari itu,” Arjuna mengoceh sambil menutup buku tebal di tangannya.
“Jadi, kamu Naziya,”
Arjuna bersedekap, tubuh kokohnya dia sandarkan ke sandaran kursi.
Sementara Naziya masih menatap elang, lelaki yang merasa diri sok tampan tersebut. Ya, walaupun dia memang tampan.
“Iya,” jawabnya singkat, kini matanya tertuju pada kursi dihadapan Arjuna. Wanita itu kemudian menarik kursi untuk duduk.
“Maaf, tadi di jalan macet, karena aku pakai taksi online, jadi ...,” ucapannya terhenti ketika menyadari Arjuna terus mengamatinya.
“Ada apa? Apa ada yang aneh?” Naziya menyentuh wajah dan menunduk memastikan tidak ada yang aneh pada dirinya, seperti noda yang tertinggal di pakaian, misal.
Arjuna menggeleng. “Duduklah!” perintah Arjuna, lalu dia mengangkat sebelah tangannya memanggil pelayan cafe.
Naziya merapatkan bibir hingga membentuk kerutan. Rupanya, wanita itu tidak akan bisa menang melawan Arjuna. Mungkin, kalau dalam pertandingan, lelaki itu sudah menang dua kosong melawan dirinya.
Naziya menghela napas berat. Dia kesal, sambil duduk dia terus menatap tajam lelaki dingin dihadapannya tersebut.
“Frappe, krimnya sedikit saja,” pinta Arjuna sopan, kemudian senyum sederhana membentuk bibirnya.
Demi Tuhan, dia bisa tersenyum ramah pada pelayan cafe itu. Benar Farida, lelaki itu benar-benar tampan, dan payahnya dia bisa membuat Naziya merasa terintimidasi.
“Kamu, mau pesan apa?” tanya Arjuna dengan ekspresi datar.
Naziya terhenyak, lagi-lagi skor Arjuna bertambah. Naziya bisa kalah telak. “Maaf, aku ... Lemon tea hangat saja,” pintanya.
Untuk wanita dengan rasa gengsi yang tinggi, ini keberapa kalinya, Naziya terlihat kikuk di hadapan Arjuna.
“Hei, boleh aku bertanya?”
Naziya mendekatkan kursi hingga tubuhnya merapat ke meja. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Senyum simpul terulas di bibir Arjuna. “Kenapa?” Arjuna berseringai licik. “Kamu merasa pernah bertemu aku?”
Lelaki itu menatap Naziya tajam, membuat Naziya salah tingkah dan kembali menerima kekalahan.
“Sialan!” umpat Naziya dalam hati. “Enggak, hanya saja, aku teringat dengan seseorang,” Wajah Naziya kini serius.
Arjuna tersenyum tipis, dia membuka kacamata lalu menyematkan di kancing kedua kemejanya.
“Benarkah, kamu teringat akan seseorang. Siapa dia? Mantanmu?” tanya pria berambut hitam itu.
Dengan cepat Naziya menggeleng. “Bukaaan...,” jawabnya gugup.
“Tapi, aku ingat siapa kamu. Naziya Mahala Yumna, kelas IX-B, SMP Tunas Harapan,” Arjuna berucap dengan bibir membentuk lengkung kepuasan.
Naziya terkejut, dia sontak membekap mulutnya dengan kedua tangan. “Astaga, ternyata dia, Arjuna ... Rakanuala,” tuturnya dalam hati.
“Ka-kamu ....” suara Naziya terbata.
“Apa kabar, Naziya?”
Kala itu cuaca sedang terik-teriknya. Naziya dan Putri baru saja masuk ke kelas setelah diam-diam pergi ke kantin ditengah jam pelajaran.
Dengan beralasan ke toilet, Naziya dan Putri meluncur ke kantin untuk membeli es teh dan gorengan.
Setelah melihat bu Irma, guru bahasa Indonesia yang tengah berjalan di koridor sekolah menuju kelasnya, secepat kilat Naziya berlari dan melompati jendela lalu kembali duduk rapi di kursinya—nomor dua dari belakang.
“Hari ini kita kedatangan siswa baru, dia pindahan dari Jakarta. Ayo kenalkan diri kamu!” Irma tersenyum ramah.
Anak lelaki dengan wajah kusam serta terdapat beberapa bercak putih di wajahnya itu nampak tertunduk.
Seraya menggaruk-garuk kepalanya, dia memperkenalkan diri. “Saya A-Arjuna Rakanuala, saya pindahan dari SMP Melati Bangsa, Jakarta,” ucapnya gugup.
Namun, ini adalah hari terburuk Arjuna. Tidak ada satupun siswa yang memperdulikan sesi perkenalan tersebut. Siswa lainnya asyik mengobrol sendiri.
Arjuna mengangkat kepala, sepasang netranya menatap lurus ke depan. Ya, untuk pertama kali, dia melihat Naziya.
Hanya Naziya yang memperhatikan dengan seksama seraya berseringai.
“Ya sudah, kamu boleh duduk. Itu bangku kosong di sebelah Naziya,” ujar guru bahasa Indonesia tersebut.
“Lanjutkan tugas kalian, ibu kembali ke kelas IX-C dulu.” Irma berlalu meninggalkan kelas.
Kedua netra Naziya terus menatap Arjuna, tepat saat Arjuna duduk, gadis itu memulai aksinya.
“Hadeeeh, kok bisa sih, kelas ini kedapetan anak baru modelan kayak gini!” sindirnya di sela seringai iblisnya.
“Ups, barudak!!! Dari Jakarta ieuh,” teriak Naziya dengan nada mengejek sambil berdiri.
“Heh, kamu! Ke sekolah mandi gak?” Naziya kembali terkekeh, hingga gemuruh gelak tawa mengisi seluruh penjuru kelas.
Arjuna tidak menggubris, dia meletakkan tas ranselnya kebelakang. Kemudian mengambil buku tulis dan alat tulis lainnya.
***
“Frappe dan lemon tea ....”
Naziya terhenyak ketika seorang pelayan datang dengan membawa minuman pesanan mereka. “Maaf, mau tambah cemilannya, kakak?” tawar pelayan itu.
Arjuna hanya menatap dalam wanita cantik didepannya tersebut, sementara Naziya menggeleng ragu.
“Baiklah, selamat menikmati,” ucap pelayan itu lalu meninggalkan mereka berdua.
“Jadi kamu anaknya tante Farida?” lelaki bermata bening itu mengulum senyum menangkap kegugupan Naziya.
“Kamu Arjuna, Arjuna Rakanuala? Astaga ..., ” Naziya mendesah resah. Seandainya bisa, dia akan menghilang dari hadapan Arjuna detik itu juga.
“Mati aku, ternyata dia anaknya tante Nala. Kalau ibu sampai tahu dulu aku suka bully dia disekolah, bakal habis aku diseret ke neraka,” racaunya dalam hati.
Arjuna tergelak, dia mengangguk tegas mengkonfirmasi kebenaran. “Iya, ini aku. Arjuna, 'Jun culun si buruk rupa',” ungkapnya disela tawa.
“Aku ...” Naziya berdehem, berusaha membebaskan suaranya yang tercekat di tenggorokan. “Bagaimana ini?” jeritnya dalam hati. Naziya tak sanggup berkata-kata.
Wanita itu hanya berharap akan ada keajaiban yang bisa membuatnya pergi dari hadapan lelaki yang berada di hadapannya itu.
Tak berselang lama, sepertinya dewi fortuna berpihak pada Naziya. Suara ponsel Arjuna berdering.
Wajah Arjuna berubah tegang setelah mendapat telepon itu. “Siap, Pak,” hanya itu yang keluar dari bibirnya.
Setelah mengakhiri panggilan. Lelaki itu kembali mengumbar senyum. “Sepertinya, pertemuan kita hanya sampai disini.”
Entah darimana dorongan itu, Naziya berani mengangkat pandangannya. Menatap lekat wajah Arjuna. “Kamu mau pergi?”
Arjuna tertawa, kedua matanya menyipit. “Pinjam ponselmu.” Arjuna menengadahkan tangan. “Aku ada dinas mendadak!”
Naziya seperti tak punya pilihan, wanita itu akhirnya mengeluarkan ponsel bersilikon stroberi.
“Kamu masih sama ....” Arjuna bergumam lirih. “Oke!” ujarnya setelah menyimpan nomor Naziya di ponselnya.
“Maaf, aku tidak bisa mengantarkanmu pulang. Salam saja ke tante Farida.”
Arjuna berdiri, kedua mata tajam itu terus menatap Naziya. Sesaat kenangan saat mereka duduk di bangku SMP membuat Naziya teringat.
Dalam hati dia berkata, tatapannya masih sama, ini bukan tatapan kebencian, tapi... Ah! Apa yang sedang aku pikirkan!
“Maaf!” suara Naziya bergetar. “Aku ....” belum sempat menyelesaikan ucapannya. Arjuna mengulum senyum simpul.
Naziya ... Ayo kita menikah! Potong Arjuna dengan suara lembut.
Naziya terkesiap. Wajahnya bersemu merah—tiba-tiba. Dalam hatinya, dia benci untuk mengakui. Akan tetapi, entah kenapa Naziya merasa nyaman dengannya—Arjuna.
***
“Astaga, Put. Kamu tahu siapa anaknya tante Nala. sahabat ibuku itu.”
Naziya mondar-mandir di depan Putri sambil mengacak-acak rambutnya.
Kedua mata bersoftlens abu itu terus mengikuti gerak Naziya, siapa lagi kalau bukan mata Putri.
“Emang siapa?” tanya Putri santai.
“Dia Arjuna, Put. Arjuna Rakanuala, 'Jun culun si buruk rupa. Kamu ingat?!” sahut Naziya dengan mata melotot.
Putri pun ikut cengo. “Serius, Ziy?”
“Bagaimana ini, bagaimana kalau selama ini dia mengadu ke orangtuanya. Atau, dia mau balas dendam sama aku? Ya Tuhan,” gundah Naziya.
Sementara itu, Putri yang masih duduk terdiam ikut mengingat-ingat. Apa yang mereka lakukan kepada Arjuna sepuluh tahun silam.
“Kita, emang agak keterlaluan sih sama Arjuna,” ungkap Putri.
“Kita yang buat dia mendadak di setrap bu Lisa, gara-gara buku PRnya kamu robek, Ziy!” Putri mengingatkan salah satu perbuatan Naziya.
Naziya menoleh, menatap sengit wanita yang tengah memegang lolipop itu. “Bukan hanya aku, tapi semuanya, seisi kelas!” tegas Naziya.
Putri terkekeh, “Tapi, Ziy ... Kan kamu yang provokatorin,” Putri menahan senyumnya.
“Aaargh!” suara Naziya melengking hingga ke langit-langit ruang kantornya.
Putri pun terdiam kaget. Dia hanya bisa memperhatikan sahabatnya yang masih saja mondar-mandir seperti setrika.
***
Apa?! Enggak, Ziya enggak mau menikah sama Arjuna bu,” rengek Naziya kepada Farida.
Farida menghela napas kasar. “Kan kamu sudah bersumpah 10 tahun yang lalu mau nikahin orang yang kasih kamu kue stroberi. Dia putranya tante Nala, Ziya,” tutur Farida.
“Dan pernikahan kalian sudah kita tetapkan tiga bulan lagi,” tambah Farida.
“Apa? Sumpah ibu bilang?” kedua alis Naziya berkerut karena heran.
“Kamu lupa ya, 10 tahun yang lalu, sebelum ayah kamu kecelakaan. Ibu sama ayah enggak sempat belikan kue tart stroberi buat ultah kamu. Sampai-sampai kamu nangis semalaman. Nah paginya, nak Arjuna bawain kue stroberi kesukaan kamu,” ungkap Farida.
Naziya melebarkan kedua matanya. “Hah?!”
Farida tersenyum tipis. “Dan kamu ingat, kamu bersumpah jika itu wanita akan kamu jadikan saudara dan jika itu laki-laki akan kamu jadikan suami.”
“Kan pas tuh, yang ngantarin kue itu teh Vivian—kakaknya Arjuna, dan Arjuna,” tambah Farida lagi dengan senyum puas.
“Ibu!!!”
Naziya mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. “Tapikan itu hanya sumpah main-main. Masa iya dianggap serius, waktu itu Naziya baru belia bu,” sanggahnya.
Farida tertawa. “Sumpah tetap sumpah Naziya. Lagipula, emang kenapa sama Arjuna. Dia gantengkan? Pekerjaannya menjanjikan. dan dia sudah punya apartemen sendiri.”
Ponsel Farida berbunyi, sekali, dua kali ... Farida melirik sekilas, “Arjuna ...” gumamnya sendiri. Segera dia menyambut sambungan telepon itu.
“Tante, maaf Juna enggak sempat antarin Naziya kemarin. Juna harus segera ke Timika,” suara Arjuna terdengar karena Farida sengaja menyalakan loud speaker.
“Iya, nak enggak apa-apa. Naziya langsung pulang kok.
Mendengar itu Naziya hanya bisa diam, akan malu rasanya jika Arjuna mengetahui kalau dirinya sedang menguping pembicaraan sang ibu dengan Arjuna.
Suara helaan napas Arjuna nampak jelas terdengar. “Tante ... Juna sudah bilang ke mama. Tiga bulan terlalu lama, sepulang Juna dinas saja, kami menikahnya,”
“Apa!!!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!