Naziya sedang duduk di teras. Menikmati rembulan yang begitu terang menghiasi malam gelap. Baginya, rembulan dapat menenangkan hatinya yang sedang kalut, selain kue stroberi.
Farida tetap sama, masih diam seribu bahasa. Bahkan, ibunya itu tidak menyambut kepulangannya setelah bekerja, tidak seperti biasanya.
Apalagi, Farida melihat Bram yang mengantarkan putrinya pulang. Iming-iming membawakan buah tangan, pria itu jarang sekali basa-basi kepadanya.
Seperti petang ini, Bram hanya di mobil dan langsung pergi setelah menurunkan Naziya.
Ah, sepertinya hari ini, adalah hari yang berat untuk Naziya. Jangan ditanya, siapa yang paling jago dalam hal silent treatment. Farida akan menjadi juara tak tertandingi.
Salam yang dilontarkan Naziya hanya dibalas sekedarnya, setelah itu Farida kembali masuk ke kamar.
Naziya menghela napas berat, seraya menyesap susu cokelat hangat yang dibuatnya sebelum menikmati indah bulan.
Dia duduk di kursi teras dengan meja bundar di depannya. Dengan pagar tembok yang tidak tinggi dan beberapa bunga aster berbagai warna dalam pot menghiasi atas pagar tersebut.
Tak berselang lama dia kembali ke kamar, mengambil ponsel yang tadi dia matikan.
Naziya mengaktifkan ponselnya, setelah dua menit layar ponsel itu menampilan menu normal. Ada duabelas notifikasi panggilan tak terjawab dari benda pipih itu.
Ya, siapa lagi kalau bukan Arjuna. Pria itu menghubungi setiap 5 menit sekali. Mau apa sih dia?
Naziya meletakkan ponsel itu di meja. “Ya, ini akan menjadi malam yang panjang,” gumamnya sendiri sambil mendongak melihat rembulan.
Tak berselang lama, ponsel Naziya berbunyi, sekali, dua kali ... Naziya melirik ke layar. “Arjuna!”
“Kenapa kamu tidak menjawab teleponku, tadi?” suara khas pria itu terdengar dari seberang sana.
“Malas aja!” jawab Naziya ketus.
“Malas?” Arjuna terkekeh. “Entahlah, apakah kamu akan tetap malas jika tante Farida mengetahui apa yang kamu lakukan padaku saat SMP?”
“Oh ... Jadi kamu ngancam aku, gitu?” tak kalah tegas Naziya membalas.
Arjuna tertawa, sialnya Naziya teringat kala mereka bertemu di cafe itu. Terbayang wajah tampan Arjuna yang sedang tertawa. Faktanya dia memang sangat tampan saat tertawa.
“Demi Tuhan, Naziya, apa yang sedang kamu pikirkan. Kamu gila?” jeritnya dalam hati.
“Aku tidak mengancam, Naziya,” kembali suara Arjuna terdengar. “Aku hanya ingin kamu menjawab setiap kali aku menelponmu.”
Selama beberapa detik hanya terdengar suara helaan napas Naziya. “Juna, jawab aku jujur. Kenapa kamu mau menikah denganku? Jika kamu mau membalas setiap perbuatanku padamu sepuluh tahun silam ... Aku minta maaf. Tapi urungkan niatmu untuk menikahiku,” ujar Naziya lirih.
“Aku tahu aku salah, Juna. Tapi ...” belum sempat Naziya meneruskan ucapannya teleponnya terputus.
“Ah, sial! Habis batreinya lagi,” umpat Naziya.
Segera dia berlari menuju kamar membawa power bank. Lalu kembali duduk di teras dan menghubungkan kabel power bank ke ponselnya.
Setelah lima menit. Naziya menyalakan ponsel, kembali menghubungi Juna, tapi tidak aktif.
Naziya mendesah resah, lagi dilihatnya rembulan yang nampak tenang.
Ada secuil perasaan aneh yang menganggu pikiran Naziya. Kenapa nomor Arjuna tidak aktif? Apakah sedang terjadi sesuatu dengannya? Mengingat pekerjaan tersebut bersangkutan dengan nyawa.
Naziya menggeleng, "Kenapa juga aku mengkhawatirkannya, najis!” Naziya bermonolog.
Naziya meng-scroll ponselnya, terbesit niat untuk menelpon Bram. Dia menekan ikon telepon hijau itu, tetapi tidak dijawab.
Tiba-tiba, suara barang terhempas dari kamar Farida. Naziya terkesiap, dia gegas berlari menuju kamar sang ibu.
“Ibu ....”
Betapa kaget Naziya, melihat ibunya terjatuh dari atas ranjang. Wanita itu mencoba untuk tetap tenang, dia meraih kayu putih dan bantal.
Setelah itu, kepala ibunya dia letakkan di atas bantal dan Naziya menggosokkan kayu putih di beberapa titik saraf.
Naziya terus menganggil ibunya, hingga beberapa gerakan di jarinya memberikan respon.
“Ibu...” panggil Naziya, “Ibu kenapa? Sebentar Naziya panggil taksi online, kita kerumah sakit ya.”
secepat kilat Naziya meraih ponselnya, memesan taksi online. Wajahnya panik, Naziya takut hal buruk menimpa ibunya.
Naziya sudah pernah kehilangan satu orangtua—sang ayah, dan itu membuat sebagian dunianya hancur, ia tidak mau kehilangan ibunya lagi.
Setelah taksi online tiba, Farida segera di bawa ke rumahsakit. Di dalam mobil, menuju rumah sakit, Naziya menghubungi nomor terakhir di log panggilan.
Dia panik, tidak dapat berpikir jernih. Hanya ingin meminta bantuan, siapa saja yang berada dalam panggilan terakhirnya.
Nomor pertama dia hubungi tak menjawab, dia beralih ke nomor kedua, kali ini terhubung.
“Kenapa teleponmu terputus, Naziya?” suara laki-laki di seberang sana terdengar lembut.
Naziya menangis. “Tolong ... Tolong ibu. Ibu jatuh, sekarang aku sedang membawanya kerumah sakit,” Naziya berkata dengan suara bergetar.
“Kenapa dengan tante Farida, Ziya.”
Naziya terhenyak sebentar dia melihat layar ponselnya. Jelas tertulis Jun-Jun di panggilan terhubung. “Ya Tuhan kenapa aku menghubunginya?” ujarnya dalam hati.
“Maaf, sepertinya aku salah menekan nomor panggilan,” ucap Naziya.
“Tunggu, tante Farida dibawa kerumahsakit mana? Nanti akan ada sahabatku yang mengurus semuanya. Tolong berikan titik lokasimu!” Arjuna pun bersuara sedikit tegang.
“Ba-baiklah,” Naziya terbata.
Setelah telepon di tutup, Naziya memberikan titik lokasi melalui pesan WhatsApp. Ceklis dua, dan terbaca.
Panggilan pertama ternyata Naziya menghubungi Bram, tapi lagi-lagi tak dijawab. Entahlah, setelah panggilannya terjawab oleh Arjuna, perasaannya menjadi lebih aman.
***
Farida tersadar, setelah satu jam diberi obat dan cairan infus. Jarinya meraba sekitar, membuat Naziya tersenyum lega.
“Bu, gimana perasaan ibu? Yang mana yang sakit?” tanyanya dengan wajah panik dan kedua mata yang sembab.
Farida menggeleng pelan, wanita itu berusaha bangkit dan duduk.
“Pelan-pelan, bu. Kata dokter ... darah tinggi ibu kambuh lagi. Ibu pasti stres mikirin Ziya ya,” Naziya mulai meneteskan airmata.
Farida duduk, membelai lembut dan menghapus jejak basah di kedua pipi putrinya itu. “Ibu, gak apa-apa Ziya, tadi siang ibu lupa minum obat darah tinggi.”
Kemudian Farida menoleh, menangkap sosok asing yang sedang berdiri di sebelah Naziya. Dia bukan Arjuna, juga bukan Bram. “Siapa itu Ziya?”
“Oh, dia Bagas bu, rekannya Arjuna. Tadi semua perlengkapan administrasi sudah diurus sama Bagas,” Naziya berujar.
Pria tinggi, berkulit coklat eksotis khas negara tropis dengan rambut cepak itu kemudian mendekat. “Saya Bagas tante, tapi, bukan saya yang menyelesaikan administrasinya, melainkan, pak Arjuna. Saya hanya perantara saja,” ungkapnya.
Farida mengangguk. “Katakan sama Arjuna, terimakasih. Maaf merepotkan untuk kedua kalinya,” ujar Farida sambil tersenyum ramah.
“Kedua kali?” Naziya mengerutkan kening.
“Sudah-sudah jangan kamu pikirkan, ibu mau istirahat saja, maafin ibu ya Ziya, buat Ziya cemas.” Farida membaringkan tubuhnya kembali.
“Bu .... ” suara Naziya lembut. “Naziya enggak mau ibu banyak pikiran.”
Naziya menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan. Berusaha tetap kukuh dengan keputusan yang akan diambilnya.
“Naziya bersedia menikah dengan Arjuna, tapi dengan syarat,” ujarnya mantap dengan kepala tertunduk.
Farida tercengang dengan ucapan Naziya, di lain sisi, berita ini yang sangat wanita itu harapkan, akan tetapi syarat apa yang diminta Naziya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Farida Wahyuni
dari sinu kamu bisa lihat ziya, laki2 mana yang betul2 peduli, dan laki2 mana yang hanya mau kesenangan saja dengan kamu. bram itu laki2 bremgsek,ngapain dia minta cium kalau belum halal. laki2 yang baik itu tidsk akan menyentuh perempuan kalau dia belum halal baginya, dia akan menjaga perempuan itu, bukan malah ambil keuntungan. dan disaat kamu butuh bantuan, siapa yang sigap membantu kamu, bukan bram kan, tapi arjuna, walaupun dia ada di kots berbeda, dia tetap mengusahakn menolong kamu dengan meminta bantuan kepda temannya. coba dipikir2 lagi, jangan jadi perempuan bodoh.
2023-11-02
3