Naziya menggeleng cepat. Tiba-tiba kepada seseorang dia teringat. “Enggak, enggak mungkin dia ... kan. Arjuna Rakanuala. Ini pasti namanya aja yang sama,” gumamnya dalam hati.
Farida menautkan kedua alisnya. “Kenapa kepala kamu, pusing? Kok geleng-geleng kepala?” tanyanya heran. Farida kemudian menuangkan air untuk Naziya.
Naziya terhenyak, “Ah, enggak bu, enggak ada apa-apa kok”,” ujar Naziya sambil meminum air, pelan-pelan.
Sepersekian detik suasana kembali hening, Naziya menggeser kursi makan mendekatkan diri ke Farida.
“Bu, gimana menurut ibu, Arjuna ... Ganteng?” tanyanya sambil memainkan kedua alisnya.
“Ganteng, tubuhnya tegap, kulitnya cerah secerah masa depannya,” jelas Farida seraya melengkungkan senyum manis dibibirnya.
Naziya mengerucutkan bibir, walau begitu ada perasaan lega didalam batinnya. “Pasti bukan dia, 'Jun culun siburuk rupa',” gumamnya lagi dalam hati.
“Dan yang lebih penting, dia lebih ganteng daripada pacar kamu! Si brem itu,” ujar Farida.
Naziya sontak berdecak, tidak terima akan perkataan ibunya. “Idiih, ibu. Definisi ganteng versi ibu dan Naziya itu berbeda banget, bu!”
“Ibu sukanya yang seperti ayah kan, hitam manis, berotot, brewokan. Nah, Naziya lebih suka yang clean bu, ke korea-korean gitu,” ungkapnya dengan penuh percaya diri. seakan pilihannyalah yang paling tepat di era gen-z sekarang ini.
“Sudah ... Sudah, kamu lihat saja nanti Arjuna.” Kembali sang ibu melengkungkan senyum misterius.
***
“Juna, Mama sudah hubungin tante Farida, katanya, Ziya jadi ketemu kamu besok,” Nala berucap sambil memasukkan bahan makanan ke dalam lemari es.
Arjuna hanya tersenyum simpul. Kemudian meraih remote televisi dan mematikannya.
“Tapi, mama bingung sama kamu. Kenapa kamu langsung setuju saat papa mau menjodohkanmu sama Naziya? Kamu enggak ada calon yang lain gitu?” tanya Nala, dengan ekspresi penasaran.
Arjuna menoleh, menatap sang ibu yang terdiam dengan pintu lemari es yang masih terbuka.
“Juna enggak punya waktu buat pilih-pilih, Ma. Kalau menurut Papa dan Mama, Naziya yang terbaik, ya ... Juna terima,” ujarnya santai.
Lelaki itu tersenyum seraya beranjak dari sofa dan mengambil air dingin di lemari es.
“Lagi pula, ... Juna,” sesaat dia bergeming. “Ah ... Sudahlah, Juna juga kenal sama Naziya, Ma,” sambungnya kemudian lalu meminum habis air es digelas.
Nala kembali memasukkan beberapa minuman kemasan, merapikannya dan menutup kembali pintu lemari es tersebut.
Semenjak menjadi pasukan khusus, Arjuna tinggal sendiri di sebuah apartemen di tengah kota.
Kalau libur tugas, ibunya selalu datang untuk memberikan bahan makanan. Ya, Arjuna memang kerap mendapat tugas mendadak. Karena itu, Nala sesempat mungkin memperhatikan si bungsu yang sudah menjadi dewasa ini.
Arjuna melirik tatanan rapi di dalam lemari pendingin itu, sesaat dia menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan.
Sifat manjanya mencuat, lelaki itu memeluk erat Nala. “Ma, terimakasih sudah perhatian ke Juna. Padahal, Juna sudah sebesar ini,” ucapnya dengan tawa yang melebar.
Nala hanya menepuk pelan punggung tangan Arjuna. “Nanti, istrimu yang bertugas merapikan dapur ini. Bukan mama lagi, makanya sebelum kamu menikah biar mama yang rapikan.”
“Arjuna, ingat ... Perlakukan istrimu kelak sebaik mungkin. Sudah bagus kamu punya tempat tinggal sendiri. Jangan kecewain mama dan papa,” Nala berujar lagi dengan suara lembut.
Arjuna melepaskan pelukannya, seperti sedang bertugas, lelaki itu bersikap tegap dan memberi hormat. “Siap, Laksanakan!”
Nala hanya tertawa melihat tingkah konyol Arjuna.
***
“Cafe Amour ...,” Nazia membaca chat sang ibu di ponselnya. “Ya, ini tempatnya,” gumamnya sendiri.
Setelah mendorong pintu, Naziya menyebar pandangan keseluruh penjuru arah. “Mungkin itu,” batinnya berbisik.
Naziya melihat pria dengan kemeja putih sedang duduk dengan buku di tangannya.
Ya, hanya dia lelaki di cafe ini, selain itu hanya kaum hawa yang terus menelisik, berbisik dan memperhatikan sang lelaki yang tidak terganggu sama sekali.
“Kamu, Arjuna?” sapanya.
Arjuna nampak santai, dia mendongak perlahan. Mengangkat pandangannya ke arah Naziya. Kemudian, memperhatikan wanita cantik yang sudah lama dinantikannya.
Sementara, Naziya menatap tajam sepasang mata bening yang di bingkai kacamata transparan. Lalu menyusuri alisnya yang tegas, turun ke hidung yang mancung, kemudian bibir dengan warna pink alami. Astaga, dia tampan! jeritnya dalam hati.
“Kamu terlambat!” Arjuna memasang wajah masam.
“Excuse me?”
Naziya setengah mati menahan gemuruh di dadanya. “Baru saja bertemu, ternyata putra tante Nala ini begitu menyebalkan,” gerutunya dalam hati.
“Kita sepakat untuk bertemu pukul empat tepat, tapi kamu datang lebih dari limabelas menit dari itu,” Arjuna mengoceh sambil menutup buku tebal di tangannya.
“Jadi, kamu Naziya,”
Arjuna bersedekap, tubuh kokohnya dia sandarkan ke sandaran kursi.
Sementara Naziya masih menatap elang, lelaki yang merasa diri sok tampan tersebut. Ya, walaupun dia memang tampan.
“Iya,” jawabnya singkat, kini matanya tertuju pada kursi dihadapan Arjuna. Wanita itu kemudian menarik kursi untuk duduk.
“Maaf, tadi di jalan macet, karena aku pakai taksi online, jadi ...,” ucapannya terhenti ketika menyadari Arjuna terus mengamatinya.
“Ada apa? Apa ada yang aneh?” Naziya menyentuh wajah dan menunduk memastikan tidak ada yang aneh pada dirinya, seperti noda yang tertinggal di pakaian, misal.
Arjuna menggeleng. “Duduklah!” perintah Arjuna, lalu dia mengangkat sebelah tangannya memanggil pelayan cafe.
Naziya merapatkan bibir hingga membentuk kerutan. Rupanya, wanita itu tidak akan bisa menang melawan Arjuna. Mungkin, kalau dalam pertandingan, lelaki itu sudah menang dua kosong melawan dirinya.
Naziya menghela napas berat. Dia kesal, sambil duduk dia terus menatap tajam lelaki dingin dihadapannya tersebut.
“Frappe, krimnya sedikit saja,” pinta Arjuna sopan, kemudian senyum sederhana membentuk bibirnya.
Demi Tuhan, dia bisa tersenyum ramah pada pelayan cafe itu. Benar Farida, lelaki itu benar-benar tampan, dan payahnya dia bisa membuat Naziya merasa terintimidasi.
“Kamu, mau pesan apa?” tanya Arjuna dengan ekspresi datar.
Naziya terhenyak, lagi-lagi skor Arjuna bertambah. Naziya bisa kalah telak. “Maaf, aku ... Lemon tea hangat saja,” pintanya.
Untuk wanita dengan rasa gengsi yang tinggi, ini keberapa kalinya, Naziya terlihat kikuk di hadapan Arjuna.
“Hei, boleh aku bertanya?”
Naziya mendekatkan kursi hingga tubuhnya merapat ke meja. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Senyum simpul terulas di bibir Arjuna. “Kenapa?” Arjuna berseringai licik. “Kamu merasa pernah bertemu aku?”
Lelaki itu menatap Naziya tajam, membuat Naziya salah tingkah dan kembali menerima kekalahan.
“Sialan!” umpat Naziya dalam hati. “Enggak, hanya saja, aku teringat dengan seseorang,” Wajah Naziya kini serius.
Arjuna tersenyum tipis, dia membuka kacamata lalu menyematkan di kancing kedua kemejanya.
“Benarkah, kamu teringat akan seseorang. Siapa dia? Mantanmu?” tanya pria berambut hitam itu.
Dengan cepat Naziya menggeleng. “Bukaaan...,” jawabnya gugup.
“Tapi, aku ingat siapa kamu. Naziya Mahala Yumna, kelas IX-B, SMP Tunas Harapan,” Arjuna berucap dengan bibir membentuk lengkung kepuasan.
Naziya terkejut, dia sontak membekap mulutnya dengan kedua tangan. “Astaga, ternyata dia, Arjuna ... Rakanuala,” tuturnya dalam hati.
“Ka-kamu ....” suara Naziya terbata.
“Apa kabar, Naziya?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Reni
ehhhh beneran dah saling kenal ya
2023-11-23
1