Connected

Connected

Episode 1 Bukan Bagian Terindah

“Kamu—eh, lo—gugus 89, kan?” tanya Anin sambil melihat lapangan yang sudah hampir penuh dengan sosok-sosok berseragam hitam putih yang duduk berbanjar.

Lisa tidak langsung menjawab, justru terkekeh kecil mendengar ucapan Anin yang masih terdengar kaku. Dia dan Anin berasal dari Yogyakarta. Cara berbicara mereka tentu cukup berbeda dengan orang-orang di kota ini. Kalau biasanya mereka selalu menggunakan aku-kamu, maka sejak kedatangan mereka ke Jakarta dua minggu lalu, mereka harus mulai membiasakan diri mendengarkan dan mengucapkan gue-lo. “Iya,” jawab Lisa dengan memandang ke arah barisan yang akan menjadi gugusnya nanti.

“Semoga senior-senior di gugus gue baik-baik,” bisik Anin.

“Amin. Semoga semuanya lancar,” balas Lisa.

Lisa dan Anin sama-sama diterima di jurusan Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama enam hari ke depan nanti, Lisa dan Anin akan mengikuti PPSMB atau Pelatihan Pembelajaran Sukses bagi Mahasiswa Baru. Kegiatan PPSMB sama dengan kegiatan OSPEK, hanya penamaannya saja yang berbeda. Tahun ini, Universitas Bakti Nusantara—lebih sering dipanggil Universitas Banus—hanya menerima 4000 lebih mahasiswa baru dan setiap gugus PPSMB hanya terdiri dari 40-50 mahasiswa dari berbagai fakultas.

“Gue ke gugus gue duluan ya.”

Tanpa menunggu balasan Lisa, Anin mendekati gugusnya yang memang tidak terlalu jauh dari posisi mereka berdiri. Lisa juga segera menuju ke gugusnya. Baru beberapa langkah, kaki Lisa tiba-tiba berhenti. Kepalanya lantas menoleh ke kiri ke kanan, merasa seseorang sedang mengamatinya.

Sebenarnya dia sudah merasakannya sejak menginjak kaki di lapangan ini. Tapi matanya tak menangkap sesosok apapun yang mencurigakan. Orang-orang di lapangan ini tidak tampak sedang melihat ke arahnya, mereka terlalu sibuk dengan urusan masing –masing, entah itu berbicara dengan teman di sebelahnya, memandang lekat senior yang menarik perhatian mereka, atau asyik dengan gadget di tangan masing-masing.

Lisa sedikit mengedikkan bahu, mencoba tidak memedulikan. Dia kembali berjalan menuju gugusnya yang ada di ujung lapangan. Lisa mengambil duduk di barisan paling belakang, tepat di samping gadis berkacamata bulat yang bernama Wilda. Lisa yang duluan mengajak berkenalan. Ternyata Wilda berasal dari Jakarta, sekarang mengambil jurusan Ilmu Keperawatan, dan dia merupakan sosok yang ramah. Lisa merasa bisa cepat akrab dan berteman dengannya.

Suara keras mikrofon mengalihkan perhatian kedua cewek itu, juga sebagian besar peserta Ospek tahun ini. PPSMB Universitas Banus akan segera dimulai. Kegiatan awal PPSMB ini dibuka dengan sambutan dari dua orang MC. Kemudian dilanjutkan perkenalan dengan panitia pendamping gugus dan perkenalan diri di masing-masing gugus.

Setelah dua jam berlalu, acara terus kembali dilanjutkan, seseoran yang diperkenalkan sebagai ketua panitia PPSMB naik ke atas panggung.

“Yuda,” seru Lisa sedikit bergumam dengan mata membulat lebar.

“Lo kenal sama Bang Yuda?” tanya Wilda yang mengikuti arah pandangan Lisa yang tertuju ke satu-satunya laki-laki yang berdiri di depan mikrofon.

Lisa cepat-cepat menjawab, “Nggak.”

“Seriusan? Tadi lo nyebut nama dia, kan?”

“Nggak. Lo salah denger mungkin. Gue nggak kenal dia,” bantah Lisa, hampir setengah berteriak. Beberapa teman segugus mereka ada yang menoleh ke arah mereka.

“Abang gue satu jurusan sama Bang Yuda. Dia sering ngerjain tugas kuliah ke rumah gue. Kalau lo mau, gue bisa kenalin lo sama Bang Yuda. Tapi lo jangan berharap lebih. Bang Yuda sudah punya pacar. Mereka menjalin hubungan LDR-an.”

Lisa sedikit mendengus mendengar penjelasan Wilda. Dia tak berminat sama sekali mendengar tawaran itu. Bahkan Lisa tak berniat untuk berinteraksi dengan Yuda.

Wilda kembali menimpali, “Tapi yang gue herankan, gue belum pernah—“

“Jangan ngobrol! Perhatikan ketua panitianya ngasih sambutan,” tegur laki-laki bertubuh jangkung yang menjadi panitia pendamping di gugus 89 yang sudah berdiri di samping Lisa.

Wilda refleks memfokuskan pandangannya ke atas panggung. Begitupula dengan Lisa yang langsung menatap ke sosok yang sedang memberikan kata sambutan. Tapi Lisa segera menundukkan kepala, mata mereka tadi sempat bertemu.

Dulu Yuda memang satu SMP dengannya. Setelah lulus, dia mendengar kalau Yuda dan keluarganya pindah ke Jakarta.  Lisa menduga kalau mereka tidak akan bertemu lagi. Kota metropolitan ini sangat luas. Kecil kemungkinan mereka akan bertatap muka. Tapi sepertinya Tuhan mempunyai rencana lain. Dia tidak menduga akan menemukan sosok Yuda di kampus Banus ini, ditambah lagi kalau laki-laki itu sepertimya cukup berpengaruh di kampus ini.

Lisa mengembus napas panjang, kemudian mengangkat kepala. Kisah diantara mereka sudah berakhir sejak empat tahun lalu. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Tidak ada yang perlu diungkit. Tidak ada juga yang harus dijelaskan. Lagipula Yudalah yang menyebabkan hubungan mereka berakhir dengan tragis, hingga membuat Lisa sedikit trauma. Gara-gara Yuda jugalah, Lisa mengalami sedikit bullying di SMP-nya dulu. Setahun terakhir di sekolah terasa begitu berat untuknya.

Selama semingguan ini, Lisa selalu mencoba menulikan telinga. Menurutnya, selagi dia tidak melihat dengan kepala mata sendiri, dia akan berusaha percaya dengan cowok beralis tebal itu. Yuda yang dikenalnya tidak mungkin mengkhianatinya. Namun pagi ini, setelah upacara bendera selesai, rasa percaya itu mulai sedikit terkikis. Interaksi Yuda dan Raya yang tertangkap retina matanya mulai mengoyahkan hatinya.

Karena tidak bisa menahan rasa gejolak di hati, Lisa memutuskan untuk mengajak Yuda berbicara. Dia ingin mendengarkan jawaban dari laki-laki, juga ingin memastikan hubungan mereka. Interaksi di antara mereka semakin hari semakin rengang. Sedangkan interaksi Yuda dengan Raya-- yang merupakan teman sekelasnya--semakin akrab dan melebihi interaksi antar teman.

“Sebenarnya ada hubungan apa kamu dengan Mbak Raya?”

Tanpa beralih dari ponselnya, Yuda menjawab, “Memangnya kenapa?”

“Tidak apa-apa. Hanya...,” Lisa ragu-ragu ingin melanjutkan kalimatnya.

“Aku pacaran dengannya,” tutur Yuda santai, seolah perkataannya bukanlah sesuatu yang patut dipermasalahkan.

Refleks mata Lisa langsung membulat lebar. “M-maksudmu apa?”

Wajah Yuda yang semula biasa-biasa saja, tiba-tiba berubah menegang. Matanya kini menatap Lisa dengan sengit. Cowok itu tampak marah. “Kamu yang memaksaku melakukannya,” tukasnya setengah berteriak.

Alis Lisa terangkat. Apa sebenarnya maksud ucapan Yuda?

“Aku hanya membalas perbuatanmu. Kamu yang duluan berpacaran dengan Vian di belakangku, jadi aku juga berpacaran dengan Raya di belakangmu. Jadi kita impas,” tukas Yuda masih dengan nada suara yang sama.

Mata Lisa lantas membelalak. Tuduhan Yuda sangat tak beralasan. Bagaimana bisa dia berpacaran dengan Vian, kalau berbicara dengan cowok itu saja bisa dihitung jari.

“Ternyata kamu sama saja dengan ibumu yang tukang selingkuh.”

“Jangan menghina ibuku!” celetuk Lisa dengan lantang dengan napas yang sedikit memburu.

“Aku benar-benar menyesal telah jatuh cinta kepadamu,” kata Yuda sebelum pergi.

Lisa mengha napas panjang dan mengembusnya dengan pelan. Hingga sekarang dia tidak tahu mengapa Yuda bisa menuduhnya seperti itu. Otaknya tidak bisa menemukan alasan apapun. Dan ternyata otaknya ini masih merekam dengan jelas adegan-adegan tersebut, padahal dia sudah berusaha melupakannya. Pertengkaran di parkiran sekolah di sore itu cukup banyak mengubah kehidupan Lisa. Di SMP Pelita Bangsa, terutama diangkatannya, nama Lisa sudah dicap buruk sebagai cewek tukang selingkuh. Dia banyak mendapat bullying secara verbal. Nama ibunya juga dikaitkan-kaitan. Mereka mengatakan kalau buah tak jauh jatuh dari pohonnya.

Karena kejadian itupula, Lisa tidak pernah menjalin hubungan pacaran lagi. Bullying verbal yang didapatnya begitu mempengaruhi pemikiran Lisa. Ketika di bangku SMA, ada beberapa cowok yang memang menyatakan suka. Tapi Lisa selalu menolak. Dia takut mengalami kejadian yang serupa. Dia tak ingin merasakan bullying lagi, sebab ada pepatah mengatakan kalau kata-kata buruk mampu membunuhmu pelan-pelan, dan Lisa merasakannya.

“Lisa!”

Lamunan Lisa seketika buyar, kemudian menoleh ke asal suara. “Ehm... Ada apa, Wil?”

“Panitia nyuruh ngumpulin biodata,” jawab Wilda.

Lisa segera membuka tasnya, mengambil selembar kertas yang sudah dipersiapkan. Seluruh Maba alias Mahasiswa baru memang sudah disuruh membuatnya di rumah masing-masing dan dibawa saat hari pertama PPSMB.

“Nih!” Lisa menyodorkan lembaran biodatanya kepada Wilda.

“Lo suka nonton drakor ya?” tanya Wilda saat tak sengaja membaca hobi Lisa: menonton drama korea.

Gadis berponi itu mengangguk pelan.

“Berarti lo juga suka Descendent of the Sun, dong?”

Lisa sedikit menggeleng kepalanya sebelum menjawab, “Gue nggak terlalu suka gendre romantis seperti itu. Gue sukanya drakor yang ada detektif-detektifan, action atau thriller, seperti Signal, Voice, atau Partner of Justice.”

“Lo juga suka boyband atau girlband korea nggak?”

“Suka. Cuman nggak jadi fandom. Hanya suka denger lagu-lagu mereka aja.”

“Eh, temani gue ke toilet yuk!” ajak Wilda sekonyong-konyong.

“Boleh. Gue juga mau buang air kecil,” jawab Lisa sambil berdiri.

Lisa dan Wilda segera mendekati panitia pendamping mereka, meminta ijin sebelum pergi ke kamar mandi. Letak kamar mandi memang cukup jauh dari gugus 89. Mereka harus melewati beberapa gugus lain dan beberapa panitia yang tampak sibuk menghitung nasi kotak. Sebentar lagi istirahat siang. Lisa yakin kalau panitia-panitia tersebut adalah panitia dari divisi konsumsi PPSMB.

Tiga puluh menit kemudian, Lisa dan Wilda keluar dari kamar mandi dengan wajah lega. Di ruangan tadi cukup ramai. Banyak Maba lain yang hendak buang air kecil, sedangkan hanya ada empat kakus di sana. Mereka harus mengantri di depan pintu masing-masing kakus untuk mendapatkan giliran.

Ketika hendak melewati divisi konsumsi yang hanya ada tiga orang yang tersisa, langkah kaki Lisa mendadak berhenti. Tubuhnya terpaku di tempat saat matanya tak sengaja bertemu dengan mata Yuda.

“Kenapa Lis?” tanya Wilda yang terlihat heran karena posisi Lisa yang tertinggal di belakangnya. “Ada barang lo yang tertinggal di toilet?” tanyanya lagi.

”Ehm, enggak kok,” jawab Lisa seraya mendekati Wilda.

Kedua gadis berseragam putih hitam itu kembali berjalan sejajar. Lisa sedikit menunduk saat hampir mendekati posisi Yuda yang sedang menyender di dinding.

“Dari toilet dek?” tegur cowok bermata sipit yang berdiri di samping kiri Yuda.

“Dari toiletlah, emangnya dari mana lagi?” sahut Wilda sambil memberikan dengusan kecil, tidak merasa risi dengan beberapa cowok yang lain yang memperhatikannya, seolah sudah biasa bersikap seperti itu.

“Eh, itu teman lo dek?” tanya cowok itu lagi sambil melihat ke arah Lisa yang masih betah mendudukkan kepala.

“Iyalah, nggak mungkin cowok gue. Memangnya kenapa?” Terdengar jelas nada kesal di kalimatnya.

“Wajahnya kayak nggak asing. Gue kayak pernah melihatnya.”

“Cih, sok kenal lo!” celetuk Wilda dengan tatapan mengejek, kemudian dia menarik tangan Lisa sambil beranjak menjauh. “Dia tadi abang gue. Namanya Wira dan dia tuh sok kegantengan banget. Sok kenal sok dekat juga kalo di depan teman-teman gue. Padahal wajahnya pas-pasan kayak gitu,” jelas dengan menggerutu.

Lisa menanggapinya dengan senyum kecil. Dari awal dia sudah menduga kalau laki-laki tadi pasti abang Wilda meskipun interaksi mereka terdengar seperti tak bersahabat. Tiba-tiba dia menjadi sangat merindukan adik laki-lakinya. Sudah dua minggu dia tidak bertatap muka. Biasanya di jam-jam seperti ini, adiknya itu pasti sedang menonton tayangan Upin dan Ipin di ruang tengah.

“Ada yang tahu siapa nama ketua panitia PPSMB kita tadi?” tanya gadis berambut sebahu yang duduk persis di depan Lisa. Kini mereka sedang membentuk lingkaran kecil untuk menikmati makan siang hari ini.

“Yuda Bastian Mandapa,” jawab Wilda sebelum menyendok nasi dan daging ayam ke dalam mulutnya.

“Lo kenal sama Bang Yuda?” tanya gadis itu lagi.

“Abang gue satu jurusan sama bang Yuda.”

“Kakak sepupu gue juga satu jurusan dengan Bang Yuda,” sahut gadis berkacamata yang duduk di samping Wilda. “Dan gue denger-denger, dia udah punya pacar,” tambahnya.

“Orang ganteng kayak Bang Yuda mah emang wajar kalo udah punya pacar,” tanggap gadis berambut sebahu.

“Katanya  mereka pacaran sejak SMP.”

“Trus sekarang mereka LDR-an,” timpal Wilda.

“Pantas kata kakak sepupu gue, mereka nggak pernah lihat cewek Bang Yuda secara langsung. Bang Yuda juga jarang posting di IG. Mereka tahunya kalo dia sudah punya pacar juga gara-gara teman-teman dekatnya yang bilang. Katanya, mereka pernah lihat foto cewek itu di HP bang Yuda,” ucap sang gadis berkacamata menjelaskan.

“Gue jadi penasaran bagaimana rupanya?” ungkap gadis berambut sebahu penasaran.

“Gue juga,” sambung Wilda.

Lisa memilih terus diam sambil menikmati makanannya, tidak berminat untuk menanggapi atau mengomentari. Urusan percintaan Yuda bukanlah urusannya. Dia tak peduli. Yang Lisa pedulikan saat ini adalah bisa mengikuti masa kuliahnya dengan lancar, mendapatkan IPK yang tinggi, dan bisa wisuda sebelum empat tahun. Namun satu hal yang bisa Lisa tangkap dari pembicaraan mereka, ternyata Yuda dan Raya masih berpacaran hingga sekarang.

JANGAN LUPA LIKE, FAVORITE, COMMENT, AND SHARE!!!

Terpopuler

Comments

Rose_Ni

Rose_Ni

sori aja nih ya,gak ingat dan gak sempet komen,keasikan baca soalnya 😁 bagus sih ceritanya

2022-05-20

0

Daryanti Sulanjari

Daryanti Sulanjari

suka,salah satu author fav....

2022-01-05

0

Andi Salfia

Andi Salfia

segitu penasaranya gue ama ni cerita sampe nyasar kesini

2021-06-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!