NovelToon NovelToon

Connected

Episode 1 Bukan Bagian Terindah

“Kamu—eh, lo—gugus 89, kan?” tanya Anin sambil melihat lapangan yang sudah hampir penuh dengan sosok-sosok berseragam hitam putih yang duduk berbanjar.

Lisa tidak langsung menjawab, justru terkekeh kecil mendengar ucapan Anin yang masih terdengar kaku. Dia dan Anin berasal dari Yogyakarta. Cara berbicara mereka tentu cukup berbeda dengan orang-orang di kota ini. Kalau biasanya mereka selalu menggunakan aku-kamu, maka sejak kedatangan mereka ke Jakarta dua minggu lalu, mereka harus mulai membiasakan diri mendengarkan dan mengucapkan gue-lo. “Iya,” jawab Lisa dengan memandang ke arah barisan yang akan menjadi gugusnya nanti.

“Semoga senior-senior di gugus gue baik-baik,” bisik Anin.

“Amin. Semoga semuanya lancar,” balas Lisa.

Lisa dan Anin sama-sama diterima di jurusan Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama enam hari ke depan nanti, Lisa dan Anin akan mengikuti PPSMB atau Pelatihan Pembelajaran Sukses bagi Mahasiswa Baru. Kegiatan PPSMB sama dengan kegiatan OSPEK, hanya penamaannya saja yang berbeda. Tahun ini, Universitas Bakti Nusantara—lebih sering dipanggil Universitas Banus—hanya menerima 4000 lebih mahasiswa baru dan setiap gugus PPSMB hanya terdiri dari 40-50 mahasiswa dari berbagai fakultas.

“Gue ke gugus gue duluan ya.”

Tanpa menunggu balasan Lisa, Anin mendekati gugusnya yang memang tidak terlalu jauh dari posisi mereka berdiri. Lisa juga segera menuju ke gugusnya. Baru beberapa langkah, kaki Lisa tiba-tiba berhenti. Kepalanya lantas menoleh ke kiri ke kanan, merasa seseorang sedang mengamatinya.

Sebenarnya dia sudah merasakannya sejak menginjak kaki di lapangan ini. Tapi matanya tak menangkap sesosok apapun yang mencurigakan. Orang-orang di lapangan ini tidak tampak sedang melihat ke arahnya, mereka terlalu sibuk dengan urusan masing –masing, entah itu berbicara dengan teman di sebelahnya, memandang lekat senior yang menarik perhatian mereka, atau asyik dengan gadget di tangan masing-masing.

Lisa sedikit mengedikkan bahu, mencoba tidak memedulikan. Dia kembali berjalan menuju gugusnya yang ada di ujung lapangan. Lisa mengambil duduk di barisan paling belakang, tepat di samping gadis berkacamata bulat yang bernama Wilda. Lisa yang duluan mengajak berkenalan. Ternyata Wilda berasal dari Jakarta, sekarang mengambil jurusan Ilmu Keperawatan, dan dia merupakan sosok yang ramah. Lisa merasa bisa cepat akrab dan berteman dengannya.

Suara keras mikrofon mengalihkan perhatian kedua cewek itu, juga sebagian besar peserta Ospek tahun ini. PPSMB Universitas Banus akan segera dimulai. Kegiatan awal PPSMB ini dibuka dengan sambutan dari dua orang MC. Kemudian dilanjutkan perkenalan dengan panitia pendamping gugus dan perkenalan diri di masing-masing gugus.

Setelah dua jam berlalu, acara terus kembali dilanjutkan, seseoran yang diperkenalkan sebagai ketua panitia PPSMB naik ke atas panggung.

“Yuda,” seru Lisa sedikit bergumam dengan mata membulat lebar.

“Lo kenal sama Bang Yuda?” tanya Wilda yang mengikuti arah pandangan Lisa yang tertuju ke satu-satunya laki-laki yang berdiri di depan mikrofon.

Lisa cepat-cepat menjawab, “Nggak.”

“Seriusan? Tadi lo nyebut nama dia, kan?”

“Nggak. Lo salah denger mungkin. Gue nggak kenal dia,” bantah Lisa, hampir setengah berteriak. Beberapa teman segugus mereka ada yang menoleh ke arah mereka.

“Abang gue satu jurusan sama Bang Yuda. Dia sering ngerjain tugas kuliah ke rumah gue. Kalau lo mau, gue bisa kenalin lo sama Bang Yuda. Tapi lo jangan berharap lebih. Bang Yuda sudah punya pacar. Mereka menjalin hubungan LDR-an.”

Lisa sedikit mendengus mendengar penjelasan Wilda. Dia tak berminat sama sekali mendengar tawaran itu. Bahkan Lisa tak berniat untuk berinteraksi dengan Yuda.

Wilda kembali menimpali, “Tapi yang gue herankan, gue belum pernah—“

“Jangan ngobrol! Perhatikan ketua panitianya ngasih sambutan,” tegur laki-laki bertubuh jangkung yang menjadi panitia pendamping di gugus 89 yang sudah berdiri di samping Lisa.

Wilda refleks memfokuskan pandangannya ke atas panggung. Begitupula dengan Lisa yang langsung menatap ke sosok yang sedang memberikan kata sambutan. Tapi Lisa segera menundukkan kepala, mata mereka tadi sempat bertemu.

Dulu Yuda memang satu SMP dengannya. Setelah lulus, dia mendengar kalau Yuda dan keluarganya pindah ke Jakarta.  Lisa menduga kalau mereka tidak akan bertemu lagi. Kota metropolitan ini sangat luas. Kecil kemungkinan mereka akan bertatap muka. Tapi sepertinya Tuhan mempunyai rencana lain. Dia tidak menduga akan menemukan sosok Yuda di kampus Banus ini, ditambah lagi kalau laki-laki itu sepertimya cukup berpengaruh di kampus ini.

Lisa mengembus napas panjang, kemudian mengangkat kepala. Kisah diantara mereka sudah berakhir sejak empat tahun lalu. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Tidak ada yang perlu diungkit. Tidak ada juga yang harus dijelaskan. Lagipula Yudalah yang menyebabkan hubungan mereka berakhir dengan tragis, hingga membuat Lisa sedikit trauma. Gara-gara Yuda jugalah, Lisa mengalami sedikit bullying di SMP-nya dulu. Setahun terakhir di sekolah terasa begitu berat untuknya.

Selama semingguan ini, Lisa selalu mencoba menulikan telinga. Menurutnya, selagi dia tidak melihat dengan kepala mata sendiri, dia akan berusaha percaya dengan cowok beralis tebal itu. Yuda yang dikenalnya tidak mungkin mengkhianatinya. Namun pagi ini, setelah upacara bendera selesai, rasa percaya itu mulai sedikit terkikis. Interaksi Yuda dan Raya yang tertangkap retina matanya mulai mengoyahkan hatinya.

Karena tidak bisa menahan rasa gejolak di hati, Lisa memutuskan untuk mengajak Yuda berbicara. Dia ingin mendengarkan jawaban dari laki-laki, juga ingin memastikan hubungan mereka. Interaksi di antara mereka semakin hari semakin rengang. Sedangkan interaksi Yuda dengan Raya-- yang merupakan teman sekelasnya--semakin akrab dan melebihi interaksi antar teman.

“Sebenarnya ada hubungan apa kamu dengan Mbak Raya?”

Tanpa beralih dari ponselnya, Yuda menjawab, “Memangnya kenapa?”

“Tidak apa-apa. Hanya...,” Lisa ragu-ragu ingin melanjutkan kalimatnya.

“Aku pacaran dengannya,” tutur Yuda santai, seolah perkataannya bukanlah sesuatu yang patut dipermasalahkan.

Refleks mata Lisa langsung membulat lebar. “M-maksudmu apa?”

Wajah Yuda yang semula biasa-biasa saja, tiba-tiba berubah menegang. Matanya kini menatap Lisa dengan sengit. Cowok itu tampak marah. “Kamu yang memaksaku melakukannya,” tukasnya setengah berteriak.

Alis Lisa terangkat. Apa sebenarnya maksud ucapan Yuda?

“Aku hanya membalas perbuatanmu. Kamu yang duluan berpacaran dengan Vian di belakangku, jadi aku juga berpacaran dengan Raya di belakangmu. Jadi kita impas,” tukas Yuda masih dengan nada suara yang sama.

Mata Lisa lantas membelalak. Tuduhan Yuda sangat tak beralasan. Bagaimana bisa dia berpacaran dengan Vian, kalau berbicara dengan cowok itu saja bisa dihitung jari.

“Ternyata kamu sama saja dengan ibumu yang tukang selingkuh.”

“Jangan menghina ibuku!” celetuk Lisa dengan lantang dengan napas yang sedikit memburu.

“Aku benar-benar menyesal telah jatuh cinta kepadamu,” kata Yuda sebelum pergi.

Lisa mengha napas panjang dan mengembusnya dengan pelan. Hingga sekarang dia tidak tahu mengapa Yuda bisa menuduhnya seperti itu. Otaknya tidak bisa menemukan alasan apapun. Dan ternyata otaknya ini masih merekam dengan jelas adegan-adegan tersebut, padahal dia sudah berusaha melupakannya. Pertengkaran di parkiran sekolah di sore itu cukup banyak mengubah kehidupan Lisa. Di SMP Pelita Bangsa, terutama diangkatannya, nama Lisa sudah dicap buruk sebagai cewek tukang selingkuh. Dia banyak mendapat bullying secara verbal. Nama ibunya juga dikaitkan-kaitan. Mereka mengatakan kalau buah tak jauh jatuh dari pohonnya.

Karena kejadian itupula, Lisa tidak pernah menjalin hubungan pacaran lagi. Bullying verbal yang didapatnya begitu mempengaruhi pemikiran Lisa. Ketika di bangku SMA, ada beberapa cowok yang memang menyatakan suka. Tapi Lisa selalu menolak. Dia takut mengalami kejadian yang serupa. Dia tak ingin merasakan bullying lagi, sebab ada pepatah mengatakan kalau kata-kata buruk mampu membunuhmu pelan-pelan, dan Lisa merasakannya.

“Lisa!”

Lamunan Lisa seketika buyar, kemudian menoleh ke asal suara. “Ehm... Ada apa, Wil?”

“Panitia nyuruh ngumpulin biodata,” jawab Wilda.

Lisa segera membuka tasnya, mengambil selembar kertas yang sudah dipersiapkan. Seluruh Maba alias Mahasiswa baru memang sudah disuruh membuatnya di rumah masing-masing dan dibawa saat hari pertama PPSMB.

“Nih!” Lisa menyodorkan lembaran biodatanya kepada Wilda.

“Lo suka nonton drakor ya?” tanya Wilda saat tak sengaja membaca hobi Lisa: menonton drama korea.

Gadis berponi itu mengangguk pelan.

“Berarti lo juga suka Descendent of the Sun, dong?”

Lisa sedikit menggeleng kepalanya sebelum menjawab, “Gue nggak terlalu suka gendre romantis seperti itu. Gue sukanya drakor yang ada detektif-detektifan, action atau thriller, seperti Signal, Voice, atau Partner of Justice.”

“Lo juga suka boyband atau girlband korea nggak?”

“Suka. Cuman nggak jadi fandom. Hanya suka denger lagu-lagu mereka aja.”

“Eh, temani gue ke toilet yuk!” ajak Wilda sekonyong-konyong.

“Boleh. Gue juga mau buang air kecil,” jawab Lisa sambil berdiri.

Lisa dan Wilda segera mendekati panitia pendamping mereka, meminta ijin sebelum pergi ke kamar mandi. Letak kamar mandi memang cukup jauh dari gugus 89. Mereka harus melewati beberapa gugus lain dan beberapa panitia yang tampak sibuk menghitung nasi kotak. Sebentar lagi istirahat siang. Lisa yakin kalau panitia-panitia tersebut adalah panitia dari divisi konsumsi PPSMB.

Tiga puluh menit kemudian, Lisa dan Wilda keluar dari kamar mandi dengan wajah lega. Di ruangan tadi cukup ramai. Banyak Maba lain yang hendak buang air kecil, sedangkan hanya ada empat kakus di sana. Mereka harus mengantri di depan pintu masing-masing kakus untuk mendapatkan giliran.

Ketika hendak melewati divisi konsumsi yang hanya ada tiga orang yang tersisa, langkah kaki Lisa mendadak berhenti. Tubuhnya terpaku di tempat saat matanya tak sengaja bertemu dengan mata Yuda.

“Kenapa Lis?” tanya Wilda yang terlihat heran karena posisi Lisa yang tertinggal di belakangnya. “Ada barang lo yang tertinggal di toilet?” tanyanya lagi.

”Ehm, enggak kok,” jawab Lisa seraya mendekati Wilda.

Kedua gadis berseragam putih hitam itu kembali berjalan sejajar. Lisa sedikit menunduk saat hampir mendekati posisi Yuda yang sedang menyender di dinding.

“Dari toilet dek?” tegur cowok bermata sipit yang berdiri di samping kiri Yuda.

“Dari toiletlah, emangnya dari mana lagi?” sahut Wilda sambil memberikan dengusan kecil, tidak merasa risi dengan beberapa cowok yang lain yang memperhatikannya, seolah sudah biasa bersikap seperti itu.

“Eh, itu teman lo dek?” tanya cowok itu lagi sambil melihat ke arah Lisa yang masih betah mendudukkan kepala.

“Iyalah, nggak mungkin cowok gue. Memangnya kenapa?” Terdengar jelas nada kesal di kalimatnya.

“Wajahnya kayak nggak asing. Gue kayak pernah melihatnya.”

“Cih, sok kenal lo!” celetuk Wilda dengan tatapan mengejek, kemudian dia menarik tangan Lisa sambil beranjak menjauh. “Dia tadi abang gue. Namanya Wira dan dia tuh sok kegantengan banget. Sok kenal sok dekat juga kalo di depan teman-teman gue. Padahal wajahnya pas-pasan kayak gitu,” jelas dengan menggerutu.

Lisa menanggapinya dengan senyum kecil. Dari awal dia sudah menduga kalau laki-laki tadi pasti abang Wilda meskipun interaksi mereka terdengar seperti tak bersahabat. Tiba-tiba dia menjadi sangat merindukan adik laki-lakinya. Sudah dua minggu dia tidak bertatap muka. Biasanya di jam-jam seperti ini, adiknya itu pasti sedang menonton tayangan Upin dan Ipin di ruang tengah.

“Ada yang tahu siapa nama ketua panitia PPSMB kita tadi?” tanya gadis berambut sebahu yang duduk persis di depan Lisa. Kini mereka sedang membentuk lingkaran kecil untuk menikmati makan siang hari ini.

“Yuda Bastian Mandapa,” jawab Wilda sebelum menyendok nasi dan daging ayam ke dalam mulutnya.

“Lo kenal sama Bang Yuda?” tanya gadis itu lagi.

“Abang gue satu jurusan sama bang Yuda.”

“Kakak sepupu gue juga satu jurusan dengan Bang Yuda,” sahut gadis berkacamata yang duduk di samping Wilda. “Dan gue denger-denger, dia udah punya pacar,” tambahnya.

“Orang ganteng kayak Bang Yuda mah emang wajar kalo udah punya pacar,” tanggap gadis berambut sebahu.

“Katanya  mereka pacaran sejak SMP.”

“Trus sekarang mereka LDR-an,” timpal Wilda.

“Pantas kata kakak sepupu gue, mereka nggak pernah lihat cewek Bang Yuda secara langsung. Bang Yuda juga jarang posting di IG. Mereka tahunya kalo dia sudah punya pacar juga gara-gara teman-teman dekatnya yang bilang. Katanya, mereka pernah lihat foto cewek itu di HP bang Yuda,” ucap sang gadis berkacamata menjelaskan.

“Gue jadi penasaran bagaimana rupanya?” ungkap gadis berambut sebahu penasaran.

“Gue juga,” sambung Wilda.

Lisa memilih terus diam sambil menikmati makanannya, tidak berminat untuk menanggapi atau mengomentari. Urusan percintaan Yuda bukanlah urusannya. Dia tak peduli. Yang Lisa pedulikan saat ini adalah bisa mengikuti masa kuliahnya dengan lancar, mendapatkan IPK yang tinggi, dan bisa wisuda sebelum empat tahun. Namun satu hal yang bisa Lisa tangkap dari pembicaraan mereka, ternyata Yuda dan Raya masih berpacaran hingga sekarang.

JANGAN LUPA LIKE, FAVORITE, COMMENT, AND SHARE!!!

Episode 2 Sosok Pacar Yuda yang Misterius

Lagi-lagi suara merdu tujuh laki-laki tampan dari Negeri Ginseng terdengar. Lisa dengan malas-malasan mendekati ponselnya yang sedang di charger di atas bufet kecil. Masih panggilan telepon dengan nomor yang sama. Sudah yang ketiga kalinya malam ini.

“Halo,” seru Lisa yang semula ingin mengabaikannya, karena saat diangkat, tidak ada suara yang terdengar.

Hening. Seperti sebelumnya, masih tidak ada yang menyahut.

“Kalau nggak mau jawab, gue matiin.”

Tatkala hendak menekan tombol ikon merah, sosok di ujung telepon mendadak bersuara, “Sasa.”

Spontan tubuh Lisa bergeming di tempatnya. Meski sudah lama tidak pernah mendengar suara bariton itu dari balik telepon, Lisa masih mengingatnya dengan jelas. Dan panggilan itu... panggilan khusus itu...nhanya satu orang yang pernah memanggilnya.

“Lis, bikin nametag yuk!”

Mendengar suara Anin dan pintu kamar yang tiba-tiba terbuka, jari Lisa tanpa sengaja menekan tombol ikon merah. Panggilan itupun otomatis berakhir.

“Lo kaget ya?” tanya Anin sambil mengangkat sebelah alisnya, heran dengan ekspresi wajah Lisa yang terlihat menegang dengan kedua manik yang terbuka lebar-lebar. “Ups... Sorry! Gue nggak niat buat lo kaget kok,” dengan kekehan kecil, dia berjalan mendekati Lisa.

“Ng-nggak papa kok,” sahut Lisa yang sedikit terbata-bata. Sebenarnya dia memang terkejut tadi, tapi bukan karena Anin. Dia sudah biasa menghadapi Anin yang datang tiba-tiba dengan suara melengking seperti itu.

“Tadi ada yang sedang nelpon lo, ya?” Anin menatap ponsel di tangan Lisa.

“Nggak kok. Hanya orang salah sambung." Lisa menghampiri Anin yang sudah duduk di samping kasurnya. “Jadi lo mau nama dengan negara apa?” tanyanya, berusaha mengalihkan topik. Mereka disuruh panitia pendamping untuk membuat nametag dengan awal nama mereka menggunakan nama negara-negara di dunia, ditambah dengan tanggal dan bulan lahir, dan dibawahnya baru dituliskan nama lengkap.”

“Yang gampang aja. Amerika Serikat 0801. Kalo lo?”

“Gue Laos 1912.”

“PPSMB nggak seperti yang gue duga. Gue kira sama kayak ospek-ospek zaman dulu, yang suka pelonco-peloncoan dan ada kekerasan. Ternyata hanya mendengar ceramah-ceramah saja dan sebenarnya sedikit membosankan,” ungkap Anin.

“Dari awal, kan, tujuan ospek memang bukan untuk mengenalkan kekerasan di kampus, tapi mengenalkan mahasiswa baru pada lingkungan kampus,” sahut Lisa sambil menggunting kardus yang sudah mereka persiapkan, mereka beli sebelum tiba di kosan.

“Setuju. Setuju,” tanggap Anin dengan mengangguk-angguk menyetujui.

[J-Hope] Yeah nuga nae sujeo deoreopdae

I don't care maikeu jabeum geumsujeo yeoreot pae

Beoreokhae jal mot igeun geosdeul seutekki yeoreo gae

Geodeuphaeseo ssibeojulge seutaui jeonyeoge

World business haeksim

Seoboe 1sunwi maejin

Manhji anhji i clat gachil mankkik

Joheun hyanggie akchwin banchik

Mic mic bungee

Micdrop, BTS feat Steve Aoki Remix

Untuk keempat kalinya malam ini, suara boyband terkenal itu terdengar. Lisa dan Anin refleks menatap ke atas bufet.

“Nggak diangkat?” tanya Anin saat melihat Lisa tak beranjak mendekati ponselnya sampai nada dering itu berhenti.

Lagi-lagi suara idol BTS itu terdengar. Lisa terpaksa bangkit dari duduknya, segera mendekati bufet sebelum Anin memberikan pertanyaan yang lain. Masih dari nomor yang sama. Tapi Lisa tetap tidak berniat untuk mengangkat panggilan itu. Dia justru menjadikan ponselnya ke mode silent dengan keheran-heranan yang sedang melanda. Mengapa tiba-tiba Yuda meneleponnya dan bahkan masih memanggilnya dengan panggilan khusus itu? Bukankah Yuda terlihat sangat membencinya sejak tuduhan tak beralasan laki-laki itu? Dan darimana pula Yuda mendapatkan nomornya?

Ah, baru ingat. Mungkin dari biodata yang diberikannya ke panitia pendamping siang tadi. Sekarang dia sedikit menyesal telah mencantumkan nomornya. Karena jauh di lubuk hati terdalamnya, dia tak ingin lagi berinteraksi dengan Yuda. Malahan dia tidak ingin ada orang yang tahu kalau dia pernah berpacaran dengan cowok itu. Biarlah cerita mereka menjadi kisah masa lalu yang tak perlu diungkit lagi. Semua sudah berlalu.

“Siapa Lis?” tanya Anin dengan tatapan penasaran.

“Bukan siapa-siapa kok. Masih nomor orang yang salah sambung tadi.”

“Memang dia cari siapa?”

“Nggak tahu. Mungkin telpon iseng aja nih,” tukas Lisa sambil berjalan menuju posisinya tadi dan kembali melanjutkan menggunting kardus.

“Gue juga sering dapet telpon iseng. Bikin ganggu aja,” gerutu Anin.

Lisa hanya menanggapinya dengan tawa kecil.

“Lo nggak apa-apa, Wil? Wajah lo pucet banget,” ucap Lisa khawatir.

Sejak mereka mengikuti materi di hari kedua PPSMB yang diisi oleh BNN (Badan Narkotika Nasional) hingga pelatihan ESQ Leadership Center berakhir, Wilda memang terlihat tidak sedang baik-baik saja. Beberapa kali dia mengeluh kesakitan sambil memegang perutnya. Hari ini hari menstruasi pertamanya dan dia memang sering kesakitan seperti ini.

“Gue antar ke ruang medik ya?”

Untuk kali ini, Wilda memilih menganggukkan kepala setelah beberapa kali menolak ajakan Lisa. Perutnya benar-benar terasa sangat nyeri. Dia bahkan merasa tidak mampu untuk bergerak atau melakukan apapun.

Sebelum membawa Wilda ke ruang medik, Lisa mendatangi panitia pendamping gugusnya, menceritakan kondisi gadis itu. Bersama dengan Kak Rima—salah satu panitia pendamping mereka, Lisa menuntun Wilda menuju ruang medik. Di sana, Wilda diberi teh hangat dan diusapkan minyak freshcare di perutnya. Tindakan kecil itu ternyata cukup membantu. Raut pucat Wilda sudah sedikit menghilang.

“Makasih Lis. Lo bisa kembali ke gugus kita. Gue nggak papa kok ditinggal,” ujar Wilda sebelum meminum teh hangat di tangannya lagi.

Kepala Lisa mengangguk pelan. “Kalo gitu, gue tinggal ya,” ucapnya sebelum berdiri.

Lisa segera keluar dari ruang medik dan matanya langsung melihat sosok Wira yang sedang berbicara dengan beberapa temannya. Waktu mengantar Wilda ke ruangan medik ini dan melewati lorong itu, sosok Wira masih tidak ada di sana.

Lama Lisa menatap Wira sebelum memutuskan untuk mendekatinya. Dia memutuskan untuk memberitahukan kondisi Wilda. Bagaimanapun Wira adalah abang kandung Wilda dan sudah seharusnya Wira mengetahui keadaan adiknya yang sedang sakit.

“Bang Wira!” panggil Lisa.

Merasa namanya dipanggil, Wira lantas menoleh. “Ya? Kenapa?”

“Wilda sedang di ruang medik sekarang, Bang. Dia sedang sakit,” jelas Lisa dengan suara yang sedikit lirih, merasa sedikit risi karena bukan hanya Wira yang sedang melihatnya, tetapi juga ketiga laki-laki beralmamater kuning yang tadi sedang berbincang dengan Wira.

“Hah? Serius?” sahut Wira dengan menunjukkan raut sedikit tidak percaya. Seingatnya pagi tadi, adiknya itu masih terlihat baik-baik saja.

“Iya Bang. Wilda sedang istirahat di ruang medik sekarang.” Merasa tidak ada keperluan lain, Lisa segera izin pergi. “Permisi Bang, saya kembali ke—“

“Nama lo siapa?” potong cowok bertubuh sedikit gembul yang berdiri di samping Wira.

“Lisa Sahara Putri, Bang,” jawab Lisa sambil menunjukkan nametag-nya dengan ragu-ragu.

“Wajah lo kayak nggak asing. Gue kayak pernah melihat lo sebelumnya, tapi gue lupa dimana,” ucapnya seraya mengerutkan dahi, mencoba mengingat-ingat.

“Iya Dan, gue juga sama. Wajahnya kayak nggak asing,” timpal Wira mengangguk-angguk.

“Ah, gue ingat!” celetuk cowok bernama Dani itu. “Lo pacarnya Yuda, kan?”

“Iya, iya. Gue ingat sekarang. Foto lo yang ada di HP-nya Yuda,” tambah Wira bersemangat, seolah baru saja mendapatkan lotre bernilai jutaan rupiah.

Lisa tak bisa tak menunjukkan ekspresi terkejutnya. Kedua matanya membulat lebar. Apa maksud ucapan mereka? Mengapa dirinya dikait-kaitkan dengan Yuda?

“Pantes dari kemarin, Pak Ketua selalu senyam-senyum nggak jelas. Ternyata pacarnya masuk kampus ini dan nggak akan LDR-an lagi,” ujar laki-laki di samping kanan Dani sambil cekikikan kecil.

“Pacar siapa?” Tiba-tiba dua cewek yang juga memakai almamater menghampiri mereka dengan raut penasaran.

“Pacarnya Yuda,” jawab Wira.

“Wah, seriusan?” tanggap cewek berhijab hitam dengan takjub.

“Kayaknya dia memang cewek yang di-post Yuda di IG-nya tadi deh,” sambung cewek di sebelahnya.

“Memang Yuda nge-post foto dia?” tanya Dani yang mulai kepo.

Si gadis berhijab menganggukkan kepala. “Baru saja.”

Ketiga laki-laki tersebut segera membuka ponsel mereka masing-masing, ingin segera memastikan perkataan cewek itu. Yuda memang mempunyai IG yang aktif, tapi sangat jarang digunakan untuk post sesuatu padahal follower-nya lumayan banyak, mencapai dua ribuan.

Melihat kelima sosok itu sibuk dengan ponselnya, Lisa buru-buru berpamitan. “Permisi, saya ke gugus saya dulu ya Kak, Bang.”

Tanpa menunggu balasan mereka, Lisa segera pergi menjauh, tidak ingin lagi mendengarkan pembicaraan mereka yang tak masuk menurutnya itu. Juga sedikit memuakkan sebenarnya. Dia juga tidak habis pikir, mengapa fotonya bisa ada di HP Yuda. Mengapa pula cowok beralis tebal itu mem-posting foto dirinya di Instagram. Sebenarnya apa tujuan laki-laki itu? Apa dia bermaksud ingin mempermalukannya? Apa Yuda masih ingin membalas dendam atas tuduhan tak beralasannya beberapa tahun lalu?

Sesampainya di dalam kamar, Lisa langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Hari ini sungguh melelahkan. Mood-nya juga sedikit buruk sejak pembicaraan Wira dkk. Ditambah lagi, Yuda sangat sering berkeliaran di sekitar gugusnya. Dan bukannya ke-geer-an,tapi memang begitulah faktanya, dia merasa kalau cowok itu sering curi-curi pandang ke arahnya. Beberapa kali saat dia menolehkan kepala, mata mereka acap kali bertemu.

Suara JHOPE anggota BTS tiba-tiba terdengar. Dengan ogah-ogahan, Lisa bangkit dan mengambil ponselnya dari dalam tas. Raut wajahnya yang semula muram, kini berubah cerah.

“Halo, Yah!” sapa Lisa riang.

“Halo Nak. Bagaimana kabarmu? Sehat?” sahut sosok diujung telepon.

“Sehat juga Yah. Mama Ria dan Aldo gimana, Yah? Sehat?”

“Mereka juga sehat dan Aldo kangen banget sama kamu.”

Lisa sedikit terkekeh kecil. “Lisa juga kangen sama Aldo, Yah.”

Pembicaraan mereka terus berlanjut hingga tiga puluh menit kemudian. Lisa merasa sangat senang karena Ayahnya terdengar sangat bahagia. Kehadiran Mama Ria memang cukup banyak mengubah kehidupan mereka, terutama Ayahnya. Sejak Ibunya kabur dengan laki-laki lain, sosok itu begitu merasa terpuruk. Dia merasa gagal untuk menjaga keutuhan keluarganya. Ayah Lisa bahkan menjadi sakit-sakitan dan sempat di rawat di rumah sakit beberapa minggu.

Namun sejak kehadiran Mama Ria, sedikit demi sedikit Ayahnya mulai bangkit. Setelah mereka menikah dan melahirkan seorang anak laki-laki, Lisa tidak pernah lagi melihat raut kesedihan di wajahnya yang tak lagi muda. Karena panggilan telepon itu juga, mood Lisa mulai membaik. Dia dengan semangat masuk ke dalam kamar mandi.

Kini Lisa sudah rapi dengan celana sweatpant abu-abu dan kaos dongkernya. Dia dan Anin sudah berjanji akan makan bakso. Saat membuka pintu, dilihatnya seseorang cewek bertubuh jangkung yang sedang menarik sebuah koper dan berhenti di pintu kamar yang persis di sebelah kanan kamarnya.

“Mbak Yuli,” panggil Anin sambil mendekat.

Sosok bernama Yuli itu lantas menoleh, kemudian tersenyum.

“Kok cepat dateng ke sininya, Mbak? Bukannya baru minggu depan mulai masuk kuliah?” tanya Anin sedikit heran.

“Mbak ada rencana dengan teman-teman Mbak, Nin,” jawabnya.

“Oh ya, Mbak. Ini Lisa. Dulu gue—eh, aku—pernah cerita ke Mbak kalau ada temanku juga yang diterima di kampus ini,” ucap Anin sambil menarik lengan Lisa agar mendekat.

“Lisa Mbak,” kata Lisa memperkenalkan diri sambil mengulurkan sebelah tangannya.

Yuli menyambut baik uluran tangan tersebut, meskipun matanya menilik wajah Lisa dengan lekat. “Namamu Lisa Sahara Putri, ya?”

Kening Lisa lantas mengerut, sebelum menganggukkan kepala, sedikit bertanya-tanya darimana Yuli mengetahui nama lengkapnya. Nggak mungkin, kan, dari biodata yang dikumpulkannya karena cewek itu baru saja datang ke Jakarta?

“WAH, nggak nyangka bisa melihat pacar Yuda secepat ini,” ucap Yuli terkagum-kagum.

“Pacar Yuda?” tanya Anin. “Maksudnya Lisa adalah pacar Bang Yuda yang ngasih sambutan di panggung kemarin?” Mata Anin terbuka lebar-lebar. Sedikit tidak percaya. Setahunya, Lisa yang dikenalnya sejak awal MOS SMA sedang tidak berpacaran dengan siapapun hingga saat ini.

“Tidak, kami tidak pacaran,” bantah Lisa dengan menggeleng-gelengkan kepala.

“Nggak perlu bohong Lis. Kami sudah tahu semua cerita kalian berdua. Kalian sudah pacaran sejak SMP, kan? Dan di grup WA angkatanku sedang heboh sekarang, karena akhirnya kami bisa mengetahui pacar misterius Yuda, yang selama ini bisa membuat Yuda selalu setia dan selalu menolak cewek-cewek yang mencoba mendekatinya.”

“Sungguh Mbak, aku nggak pacaran dengannya,” bantah Lisa lagi.

Yuli tampak tak mengindahkan ucapan Lisa. Dia justru mengambil ponselnya yang ada di saku celana. “Yuda tadi juga posting foto Lisa yang sedang tertawa di IG-nya,” ujarnya sambil menunjukkan foto di aplikasi instagram ke Anin.

Lisa tidak lagi membantah. Bukan karena tidak ada yang mau dijelaskan, tapi sebagaimanapun dia mencoba menjelaskan, Yuli pasti tidak akan percaya. Gadis itu sudah terlanjur termakan informasi bohong yang dikeluarkan Yuda.

LIKE, FAVORITE, COMMENT, AND SHARE YA!!!

Episode 3 Sang Pengganggu

“Jelaskan!”

Lisa mendelik sinis. Sedikit kesal. Mereka baru saja duduk di lesehan ini, belum sempat memesan bakso, dan Anin sudah menodongnya meminta penjelasan.

“Jadi?” berondong Anin, sudah tak sabar ingin mengetahui hubungan sahabatnya ini dengan ketua panitia PPSMB mereka itu.

“Kita pesan dulu ya,” ujar Lisa sambil melihat daftar menu yang memang sengaja di letakkan di atas meja oleh penjualnya. “Lo mau apa?”

“Samain aja dengan lo.”

“Oke,” sahut Lisa sebelum bangkit dan mendekati kasir, ingin segera memesan makanan mereka. Lisa menyebutkan dua mangkok bakso dan dua gelas teh es. Kemudian dia mengeluarkan dompetnya, mengambil selembar uang lima puluhan. Di tempat Bakso Pak Parno ini, kalau mau makan memang harus langsung bayar.

Di sini sedang cukup ramai. Hampir semua tempat lesehan sudah dihuni. Kata ibu kosannya, bakso Pak Parno terkenal enak di Jakarta. Dan malam ini Lisa berniat untuk membuktikan.

“Beneran kalau lo pacaran dengan Bang Yuda?”

Lisa mendengus kasar. Malam ini Anin menjadi gadis tak sabaran dan menjengkelkan. Dia belum duduk, tapi gadis itu kembali menyerukan rasa penasarannya.

“Jadi?” ucap Anin yang masih menunggu penjelasan Lisa.

“Yuda...,” Lisa terdiam sejenak. Ragu untuk panggilan itu. Ketika masih pacaran dulu, dia memang memanggil Yuda dengan nama saja tanpa embel-embel lain. Tapi sekarang jelas status mereka hanya kakak tingkat dan adik tingkat di kampus yang sama. “Bang Yuda mantan pacarku waktu SMP."

“Mantan? Berarti kalian udah putus?”

Kepala Lisa mengangguk.

“Tapi kenapa Bang Yuda bisa bilang ke teman-temannya kalau lo pacarnya?”

Lisa mengedik bahunya. “Nggak tahu.”

“Memangnya kenapa kalian bisa putus?” lontar Anin, merasa sangat kepo.

Lisa tak langsung menjawab karena sesungguhnya dia nggak ingin membahasnya. Kejadian di parkiran sekolah itu telah menjadi kenangan buruk yang ingin dilupakannya. Mata Lisa menatap wajah Anin yang masih menunggu jawabannya. Lantas dia menghela napas panjang. Baiklah, mungkin ada baiknya dia mengatakan tentang kejadian empat tahun lalu yang tak pernah diceritakannya kepada siapapun, termasuk ayahnya. Siapa tahu rasa sesak di hati ini sedikit berkurang. “Dia berpacaran dengan teman sekelasnya bernama Raya saat kami masih berstatus pacaran. Katanya, dia melakukan itu karena ingin balas dendam ke gue. Dia menuduh kalo gue yang duluan selingkuh di belakangnya. Dia menuduh kalau gue berpacaran dengan temannya bernama Vian.”

Anin sedikit tercenung, mencoba mencerna semua jawaban Lisa.

“Gue nggak tahu kenapa Bang Yuda bisa menuduh gue seperti itu. Gue nggak mungkin mengkhianatinya karena dulu gue sangat menyayanginya. Dia adalah cinta pertama sekaligus pacar pertama gue,” sambung Lisa lagi menambahi.

“Lalu bagaimana dengan sekarang?” tanya Anin.

“Sekarang?” Kening Lisa berkerut.

“Bagaimana perasaan lo sekarang dengan Bang Yuda? Apa lo masih—“ Perkataan Anin tiba-tiba terpotong saat sosok Wilda sudah berdiri di samping tempat lesehan mereka.

“Nggak nyangka bisa ketemu lo di sini Lis,” ucapnya.

“Kok lo bisa berada di sini?” Seingat Lisa dari perkataan cewek itu sehari lalu, rumah Wilda lumayan jauh dari kawasan Jagakarsa ini.

“Gue lagi pengen makan bakso Pak Parno. Gue dan keluarga gue cukup sering makan di sini. Sudah jadi langganan,” jelas Anin.

“Sendirian aja?”

Kepala Wilda mengangguk singkat. "Bokap dan Nyokap gue sedang pergi kondangan dan Bang Wira nggak tahu ada dimana, mungkin masih di kampus. ”

“Oh ya, ini teman gue. Sama-sama dari Jogja. Namanya Anin,” ujar Lisa memperkenalkan Anin yang tadi hanya menjadi pendengar mereka saja.

“Wilda." Diulurkan tangannya dan langsung disambut baik oleh Anin.

“Lo bungkus atau makan di sini?”

“Bungkus Lis.”

“Makan di sini aja. Bareng sama kami,” ajak Lisa.

“Iya, gabung aja,” setuju Anin menimpali.

“Oke deh,” sahut Wilda. “Lagian ada yang ingin gue tanyakan juga ke lo Lis?”

Lisa mengembuskan napas panjang. Sebenarnya dia sudah tahu apa yang ingin ditanyakan Wilda meskipun gadis itu belum mengutarakannya. Pasti tentang Yuda. Wilda pasti sudah melihat postingan Instagram cowok itu. Mendadak mood-nya kembali memburuk.

Hari ini hari terakhir PPSMB tingkat Universitas. Tiga hari berikutnya sampai hari sabtu, PPSMB tingkat fakultas akan dilaksanakan. Lisa benar-benar merasa senang karena kegiatan PPSMB Universitas ini akan segera berakhir. Dia tidak perlu lagi merasa risi saat Yuda sering berkeliaran di sekitar gugusnya. Lisa juga berharap kalau hari ini hari terakhir mereka bertemu apalagi berpapasan, mengingat letak fakultas mereka cukup jauh. Fakultas Ekonomi dan Bisnis berada persis di pintu masuk kampus, sedangkan fakultasnya ada di paling belakang kampus, tepat di samping fakultas kedokteran.

“Mau minta tanda tangan siapa dulu, nih?” tanya Wilda sambil melihat sekitar yang sudah dipenuhi Maba-maba yang membentuk kelompok.

“Terserah. Gue ngikut saja,” jawab Lisa.

Sebagai tugas terakhir PPSMB Universitas kali ini, seluruh mahasiswa baru Banus diharuskan untuk mendapatkan tanda tangan minimal 50 panitia. Hal ini dimaksudkan agar maba-maba lebih mengenal panitia-panitia selain panitia pendamping mereka yang telah membimbing selama tiga hari ini.

“Ke sana dulu yuk!” Dengan dagunya, Wilda menunjuk kerumunan dekat pohon mangga yang tidak terlalu ramai dibandingkan dengan yang lain.

Lisa mengangguk, kemudian mengikuti langkah Wilda. Beberapa mahasiswa baru—termasuk kedua gadis tersebut—mengeliling seorang laki-laki berwajah brewokan yang tampak sangar. Pantas kerumunan ini sepi. Dilihat dari sekilas, kakak panitia itu terlihat tak bersahabat.

“Misi Bang, boleh minta tanda tangannya?” pinta Lisa berbasa-basi, meskipun dia yakin kalau cowok brewokan itu akan memberikan tanda tangan tanpa mengatakan apa-apa, seperti yang dialami teman-teman sebelumnya.

Awalnya sosok tersebut hendak membubuhkan tanda tangan, tapi tiba-tiba mendongak dan menatap Lisa cukup lama, seolah sedang mengingat-ingat sesuatu. Sementara Lisa mulai merasa tak nyaman dan resah dengan tatapan itu. Dia takut ada perkataan atau mungkin sikapnya yang tidak berkenan, sehingga menyinggung perasaan cowok tersebut.

“Lo pacarnya Yuda, kan?” tanyanya.

Mahasiswa-mahasiswi baru yang mengelilinginya juga menatap ingin tahu.

Kepala Lisa refleks menggeleng-geleng. “Nggak Bang.”

Dia memicingkan mata tidak yakin. “Siapa nama lo?”

“Lisa Bang,” jawab Lisa.

“Yud, dia pacar lo kan?” tanya cowok itu setengah berteriak pada sosok Yuda yang hanya berjarak beberapa meter dari posisinya. Keberadaan Yuda tadi memang tidak kelihatan karena terhalang oleh kerumunan padat para mahasiswa baru.

Merasa namanya dipanggil, Yuda menoleh. Tak hanya cowok itu, beberapa mahasiswa yang ada di sekelilingnya juga ikut menoleh ke sumber suara. Sebelum menjawab, matanya dan mata Lisa sempat bertemu, “Memang kenapa, Jon?”

Joni—lebih sering dipanggil Jon—terkekeh kecil. “Dia nggak ngaku elo, nih!”

Yuda juga ikut terkekeh kemudian menyahut, “Dia sedang ngambek sama gue.”

“Oh, pantesan!” celetuk Joni. “Sebenarnya gue sedikit heran kenapa para cewek suka banget ngambekan. Lebih mengherankan lagi, kenapa juga para cowok masih bertahan,” tukasnya sambil membubuhkan tanda tangan.

“Mungkin karena sudah cinta Bang,” imbuh cowok berbadan sedikit gembul yang persis berdiri di samping Joni.

Joni sedikit mengangkat kepala. “Mungkin juga sih,” sahutnya sambil menyodorkan buku yang sudah ditanda tangannya.

“Makasih Bang,” ujar Lisa dengan sedikit ogah-ogahan, merasa sedikit mendongkol. Ucapan Yuda tadi semakin memperumit hubungan mereka di mata orang lain saja. Bahkan Lisa yakin, ada beberapa orang yang telah menganggapnya sebagai cewek suka ngambekan. Dan sekarang dia benar-benar sangat berharap kalau hari ini cepat berlalu.

Tiga hari sudah PPSMB Fakultas MIPA dilaksanakan. Sudah tiga hari pula Lisa memasang wajah cemberut dan lebih pendiam. Dia tidak akan berbicara bila tidak ada yang bertanya. Bukan karena kegiatan PPSMB Fakultas ini tidak menyenangkan, atau karena ada kekerasan yang sedang terjadi. Sungguh, bukan karena itu. Kegiatan yang dilakukan di parkiran fakultas ini sungguh mengasyikkan. Panitia-panitianya pun ramah-ramah dan murah senyum. Para maba kebanyakan tertawa ceria.

Alasan Lisa hanya satu. Dia sangat merasa tak nyaman dengan keberadaan Yuda. Cowok itu jurusan Manajemen, tapi mengapa bisa berada di fakultas ini. Yuda tidak melakukan apa-apa di sini, hanya melihat-lihat kegiatan PPSMB yang diselenggarakan saja. Dia ada di fakultas MIPA sejak pagi—sejak para mahasiswa berkumpul membentuk barisan—hingga sore hari ketika kegiatan telah selesai.  Entah apa tujuannya datang ke fakultas ini.

“Cie... Bang Yuda mandangin elo lagi,” lirih Anin di telinga Lisa.

Lisa tidak merespon. Dia sudah terlalu sering mendengar ucapan Anin yang seperti itu sejak dua hari lalu. Yuda seperti stalker saja, yang selalu membuntutinya. Malahan dua hari belakangan ini, saat malam hari setelah pulang dari PPSMB, Lisa sering mendapatkan telepon. Namun tidak satupun yang Lisa jawab. Lisa yakin kalau telepon itu dari Yuda. Nomor itu sama dengan nomor yang meneleponnya pada hari pertama PPSMB Universitas.

“Sepertinya bakalan ada yang CLBK nih!” sambung Anin masih dengan suara lirih.

Lisa masih tetap mengabaikan ucapan Anin. Kalau dia merespon, takut akan menarik perhatian beberapa teman di gugusnya yang lain. Karena sekarang saja, dengan suara Anin yang berbisik, teman-teman di kiri dan kanannya ada yang menoleh ke arah mereka. Entah kenapa, sesuatu yang berhubungan dengan nama Yuda menjadi hal menarik di kampus ini. Mungkin karena rekam jejak Yuda yang sudah tidak diragukan.

Dari informasi yang diberikan Anin, Yuda cukup disegani oleh BEM-BEM Universitas dan Fakultas-fakultas. Yuda orang yang sangat royal dan suka menolong. Saat kampus memiliki acara yang butuh sponsor untuk mendanai, dia selalu memberikannya dengan jumlah yang cukup besar. Katanya lagi, Yuda memiliki beberapa kafe yang cukup terkenal di Jakarta. Kafe itu didirikannya ketika masih di semester satu. Selain tajir, cowok itu juga lumayan pintar. Nilai IPK-nya pun di atas 3,5 meskipun banyak kegiatan yang diikutinya.

“Demikianlah kegiatan PPSMB Fakultas MIPA kali ini. Kami berharap seluruh mahasiswa baru bisa menikmati masa-masa kuliahnya dengan lancar. Dan saya mewakili seluruh panitia penyelenggara mengucapkan permintaan maaf bila ada perbuatan dan perkataan yang kurang berkenan,” ucap sang MC sebelum detik-detik mengakhiri kegiatan. “FMIPA!” teriaknya.

Seluruh mahasiswa baru spontan menjawab dengan suara lantang, ”PRESTASI! PRESTASI! BERJAYA!”

Dengan teriakan slogan fakultas itu, berakhirlah kegiatan PPSMB tahun ini. Kegiatan selanjutnya bebas. Ada yang berfoto-foto mengabadikan momen ini. Ada pula yang langsung pulang karena kelelahan. Kebanyakan menuju kantin fakultas, memesan beberapa minuman. Slogan FMIPA yang sering diteriakkan ternyata membuat kerongkongan menjadi kering.

“Gue aqua, lo apa?” tanya Lisa sambil melihat kulkas showcase di depannya.

“Aku Pocary sweet saja.”

Lisa spontan menoleh mendengar suara bariton itu. Matanya langsung melotot melihat sosok Yuda yang sudah berdiri di dekatnya sebelum menoleh ke sekeliling, mencari keberadaan Anin. Gadis itu kini sedang berdiri di depan freezer es krim, seraya sekali-kali melirik ke arah Lisa dengan tatapan menggoda.

Lisa segera mengambil sebotol aqua berukuran sedang, kemudian mendekati Anin.

“Setelah ini mau langsung pulang?” tanya Yuda ternyata mengikuti Lisa.

“Iya Bang.” Karena tidak ada tanda-tanda Lisa akan menjawab, Anin berinisiatif.

“Kalo hari ini, Lisa nggak pulang sama elo, nggak papa, kan?”

Anin memandang wajah Lisa sebentar. “Nggak papa kok Bang.”

“Gue pulang dengan Anin,” tolak Lisa sebelum menarik tangan Anin, berniat untuk bergerak menjauhi.

Namun langkah Lisa terpaksa berhenti. Yuda sudah berdiri dihadapannya dan menghalanginya jalannya. Beberapa pelanggan di kantin sekarang mulai memperhatikan mereka. Tatapan mereka penuh keingintahuan, menatap minat untuk interaksi-interaksi selanjutnya.

Lisa mengembuskan napas panjang. “Tunggu gue di parkiran,” ucapnya.

Yuda lantas menggeserkan tubuhnya. Dia membiarkan kedua gadis itu lewat dan menuju kasir. Tetapi Yuda tidak langsung menuju parkiran. Dia memutuskan untuk tetap berada di kantin ini sambil menunggu. Dia tidak ingin Lisa tiba-tiba kabur dan mengingkari janjinya, meskipun dia tahu kalau Lisa tidak mungkin melakukannya. Salah satu sifat yang disukai dari Lisa.

Yuda tetap mengekorinya sampai Lisa berpisah dengan Anin di parkiran. Sejak dari kantin, tidak sekalipun Lisa berbicara kepadanya. Sementara Lisa sudah memutuskan untuk membahas tentang sikap Yuda, yang telah memposting fotonya di Instagram dan ucapan cowok itu tentang ngambek beberapa hari lalu. Lisa ingin Yuda tidak semakin membuatkan orang-orang salah paham tentang hubungan mereka.

PLEASE LIKE NYA YA!!!

MOHON KRITIK DAN SARANNYA 😄

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!