Gadis Nakal Milik CEO Tampan
"Hei, kalau jalan itu pakai mata!" hardik Jane saat dirinya mabuk berat, tanpa sengaja menabrak tubuh seorang pria berpostur tinggi dengan parasnya yang begitu rupawan.
Ia dengan lantang, berani melempar kalimat caci maki terhadap pria yang tampak rapih serta memiliki wibawa yang tinggi di balik pakaian formalnya.
Saat itu sang pria sedang kebingungan mencari sahabatnya di sebuah Klub Malam yang sangat terkenal di kota Bandung.
Karena tak terima dirinya di bentak begitu saja oleh wanita asing, lantas pria tersebut langsung mendorong tubuh Jane yang sedang oleng hingga jatuh dengan posisi bokong yang menghantam lantai.
"Aww..." pekik Jane yang kesakitan, seraya memijit pinggang dan bokongnya yang ngilu akibat benturan.
"Kamu yang salah, tapi kamu yang berani nyolot, dasar tak tahu etika!" balas pria yang bernama lengkap Jonathan Tanadi, atau akrab di sapa Joe.
Apes yang di terima, ia malah mendapat perlakuan tak patut dari seorang wanita yang tampak jauh lebih muda darinya.
Jane semakin tersulut emosi karena Joe berani mendorong tubuhnya.
Ia bangkit dari posisi, lalu dengan sengaja menginjak punggung kaki Joe sekeras-kerasnya tanpa pertimbangan hingga pria itu berteriak dengan suara yang sangat kencang, sebanding dengan irama alunan musik DJ yang memekakan telinga di lantai dansa.
Joe semakin geram terhadap perbuatan gadis tersebut, dan terjadilah adu mulut yang menegangkan.
Sementara, orang-orang berusaha memisahkan keduanya, dan beberapa petugas mencoba membubarkan kerumunan.
Tak berhenti sampai disitu, Jane meraih gelas tamu yang berada di atas meja, dengan berani ia menyiram pakaian Joe dengan minuman tersebut hingga meninggalkan noda berwarna pink di pakaiannya.
"Aish!" pekik Joe kesal, dan Jane membalasnya dengan seringai seakan puas atas tindakannya itu.
"Rasain! Emang enak!" Jane hendak berlalu, Joe berusaha meraih pergelangan lengannya. Namun, Zico, sahabat Joe berusaha meredakan situasi yang terjadi.
"Joe, udah, Joe! Yuk mending kita balik!" Zico menarik lengan Joe, mengajaknya keluar dari tempat tersebut, tetapi, amarahnya masih belum mereda.
"Sialan tuh perempuan!" umpat Joe sambil memperhatikan Jane yang tengah meledeknya dengan menjulurkan lidah kearahnya.
"Awas kamu!" Joe menunjuk gadis itu dengan ancaman, Jane semakin gencar melempar guyonan terhadap Joe.
Ia tanpa rasa malu mencondongkan bokongnya dengan sedikit goyangan, terlihat dari kejauhan oleh Joe.
Ia membelalakan kedua matanya kesal sembari mengempalkan jemarinya, rasa ingin melayangkan bogem kearah bokong Jane yang sedang asyik bergoyang dengan lelucon, seirama dengan alunan musik.
"Joe, udah Joe!!!" Zico berusaha menghentikan amarah sahabatnya kembali, dan akhirnya mereka berdua berhasil keluar dari tempat durjana itu.
"Bangsat tuh perempuan, berani-beraninya ngeledekin aku, dia belum tahu siapa aku!" Joe masih tampak kesal, dan Zico malah menertawakan saat melihat ekspresi wajah kawannya tersebut.
"Udah lah, perempuan sengklek kaya gitu gak perlu di tanggapi, yang ada kamu malah cape hati, lagian dia bukan lawanmu!" ujar Zico, Joe menggeleng dengan tatapan dingin menghadap lurus ke depan.
Perbincangan pun terus berlanjut, dan secara random, ia menyandarkan tubuhnya di depan mobil seseorang yang terparkir di halaman.
Mereka berdua sedang berdiskusi tentang insiden yang terjadi barusan.
Sementara itu, Jane, dalam keadaan sempoyongan karena efek mabuk, bergegas untuk pulang.
Ia berusaha membuka pintu mobilnya, sedangkan Joe berdiri setengah duduk di bumper mobil milik Jane pada saat itu.
"Di situ dia rupanya," batin Jane, rasa ingin menjahilinya, dan karena masih penuh emosi, ia sengaja menekan klakson mobilnya dengan keras, membuat Joe kaget setengah mati ulah perbuatannya.
"Hahaha...woy, minggir!" teriak Jane dengan tawa dan nada sumbang, yang langsung menarik perhatian Joe.
Lelaki tampan berwajah oriental itu seketika menoleh ke belakang dan menyadari bahwa wanita sama yang baru saja ia hadapi di dalam klub, sekarang berada di dalam mobil tersebut. Amarahnya pun langsung kembali tersulut.
"Heh, perempuan rese!" hardik Joe dengan suara keras sambil menunjuk.
Ia bangkit lalu melangkah dengan pasti menuju pintu mobil Jane dan menggedor dengan kasar.
"Keluar dari mobil, sekarang! Urusan kita belum selesai!" perintahnya dengan nada tegas.
Namun, Jane, dengan wajah mengejek, hanya mengulangi seruan Joe dengan suara berulang-ulang, seolah meremehkan Joe.
Joe semakin marah, matanya fokus menatap Jane melalui kaca mobil yang terlihat gelap dari luar. Ia merasa seakan-akan dipermainkan oleh wanita ini.
Namun, gadis itu sama sekali tidak mengindahkan teguran Joe.
Dengan enggan, ia memundurkan mobilnya, lalu melaju ke luar dari barisan parkiran dengan kasar, meninggalkan Joe yang masih penuh amarah di tempat tersebut. Konflik antara Joe dan Jane masih jauh dari selesai.
"Awas kamu!" ancam Joe dengan teriakan lantang kearah mobil yang melaju semakin cepat.
Joe terus mengumpat tanpa henti, emosinya sulit dikendalikan setelah insiden tersebut.
Ia merasa kesal dan marah karena tidak dapat menyelesaikan konflik dengan Jane.
Sementara itu, Jane tampaknya baik-baik saja. Ia bahkan puas dengan tindakan dan perkataannya itu.
Menurutnya, pertemuan dengan Joe hanya merupakan episode pertama dan terakhir yang tidak begitu penting dalam hidupnya.
"Huh, mendingan dengerin musik aja," kata Jane sambil menyalakan lagu favoritnya di mp3 player mobil. Lalu, dia mulai bernyanyi mengikuti irama lagu tersebut, meskipun dalam keadaan mabuk, dia masih bisa mengendalikan diri dengan baik.
Tak butuh waktu lama, Jane sampai di depan rumahnya dan memarkirkan mobilnya di halaman depan.
Kehadirannya di sambut oleh amarah sang Oma, yang sering di sapa 'Oma Widya', kepada cucunya, Jane.
Sejak kecil ia sudah di tinggal cerai oleh kedua orangtuanya, kehidupan Jane menjadi semakin kacau dan tak terkendali, apalagi ketika menginjak dewasa.
Ia sering menghabiskan waktu di luar, dan hampir selalu pulang dalam keadaan mabuk.
"Jane!!!" teriak Oma Widya dengan nada penuh kekhawatiran. Ia telah lama cemas akan perilaku cucunya yang semakin meresahkan.
Oma Widya ingin yang terbaik untuk Jane, terutama setelah Jane berhasil menyelesaikan pendidikan kuliahnya dengan IPK yang memuaskan.
Jane bahkan telah melamar pekerjaan di perusahaan besar dan bergengsi, tetapi ia belum menerima panggilan untuk bekerja disana.
"Kamu itu kapan kapoknya?! Kerjaanmu keluyuran, mabuk-mabukan. Mau jadi apa kamu, hah?! Percuma juga kamu sekolah tinggi-tinggi tapi hasilnya seperti ini!" bentak Oma Widya sambil membelalakan kedua matanya kerah sang cucu yang tampak acuh dan malas.
Oma Widya terus berbicara, sementara Jane dengan cepat menutup kedua lubang telinganya dengan jari seakan enggan mendengarkan nasihat wanita tua itu. "Oma, berisik, Oma!" kata Jane dengan rengekan manja di hadapan sang Oma.
Saking kesal, Oma Widya langsung memukul pelan bokong Jane, karena Jane mengenakan rok ketat yang sangat mini pada malam itu.
"Jane, Oma sudah mulai pusing menghadapimu!" ucap Oma Widya dengan tegas. Jane yang mulai jengah, ia langsung bergegas menuju kamar, lalu menutup pintunya rapat-rapat sambil mengumpat
....
Sementara itu, Joe dan Zico pulang bersama ke kediaman Zico di kota Bandung.
Mereka telah lama menjadi sahabat sekaligus rekan kerja, dan Joe memiliki rencana untuk membahas cabang perusahaan keluarganya yang berada di sana.
Joe, sebagai pemimpin perusahaan keluarganya, mengelola bisnis garmen dan fashion dengan penuh dedikasi.
Perusahaan tersebut telah beroperasi selama bertahun-tahun dan memiliki reputasi yang baik di mata masyarakat, terutama kalangan milenial kelas atas.
Joe merasa bahwa saatnya untuk mempertimbangkan ekspansi lebih lanjut, dan kota Bandung adalah salah satu tempat yang menarik untuk melihat potensi bisnis yang sedang berjalan.
Mereka berdua adalah pasangan yang solid dalam mengelola bisnis keluarga ini.
"Kok ada ya perempuan seperti itu?" tanya Joe saat tengah mengemudi, masih merenungkan insiden yang baru saja terjadi. Zico menanggapinya dengan senyuman, mencoba meredakan ketegangan yang dirasakan Joe.
"Sudahlah, Joe, lagian kamu tak akan bertemu dengannya lagi!" Zico meletakan telapak tangannya di bahu Joe, lalu menepuknya pelan untuk memberikan dukungan.
Joe menghela napas kasarnya, berupaya meredakan semua emosi yang masih bersarang dalam pikirannya. Namun, Zico tak bisa menahan rasa penasaran.
"Hmm, baiklah, aku harap aku tak akan pernah bertemu dengannya lagi!" ucap Joe dengan suara rendah, tetapi ekspresinya masih penuh dengan ketegangan. Zico kembali menoleh padanya.
"Kalau seandainya takdir kembali mempertemukan kamu dengannya, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Zico, seolah mengajukan pertanyaan yang mustahil terjadi.
"Tak akan pernah aku lepaskan! Akan aku beri dia pelajaran!" Joe menatap lurus ke arah jalanan dengan tatapan yang penuh tekad, membayangkan bagaimana jika dia harus menghadapi wanita itu sekali lagi.
Kejadian di klub malam telah meninggalkan bekas di dirinya, dan Joe siap melakukan apa pun agar bisa mendapatkan balasannya jika mereka bertemu kembali.
Setibanya di kediaman Zico, Joe dengan perlahan merebahkan tubuhnya di atas sofa. Ia membuka tuxedo yang sedang dikenakannya, lalu menatap noda minuman yang membandel di kemejanya.
"Kau lihat ini!" Joe menunjukkan noda merah muda di kemeja putihnya. Zico mengangguk pelan, memberikan respon kepedulian kepada Joe.
"Ya, itu ulah perempuan tadi, kan?" tanya Zico malas sambil menyalakan sebatang nikotin yang sudah menempel di tepi bibirnya. Asap segera menyeruak di ruangan tersebut, menemani obrolan serius mereka.
"Sudahlah, lebih baik kita bahas urusan yang lebih penting! Lupakan saja mengenai perempuan tadi!" Zico berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan menjadi lebih formal dan fokus pada masalah bisnis.
Joe mengangguk setuju, kemudian menegakkan posisi duduknya.
"Joe, ada beberapa email pelamar masuk, dan aku tertarik pada salah satunya.
Dia lulusan dengan nilai IPK terbaik, sepertinya cocok menggantikan sekretaris yang baru saja mengundurkan diri," ujar Zico memberi saran, berharap Joe bisa memberikan masukan.
"Terserah, yang penting kerjanya bagus!" kata Joe dengan santai, menunjukkan bahwa dia lebih mengutamakan kualitas kerja daripada latar belakang akademis.
Mereka pun beralih ke pembahasan pekerjaan dan bisnis yang lebih mendalam.
Kali ini, keduanya fokus membahas tren mode fashion yang sedang laris di kancah internasional.
"Bagaimana kalau kita mencoba membuat tren terbaru yang berbeda dari apa yang sudah ada di pasaran?" kata Zico, meminta pendapat Joe. Joe tampak sedikit ragu, dan dia mengerutkan dahinya dalam pemikiran.
"Entahlah, aku rasa itu bukan ide yang baik. Jika tren baru tersebut laku di pasaran, kita memang akan mendapat omzet besar, tapi bagaimana jika sebaliknya?"
Joe menghela napas dengan berat, meraih sebatang rokok dari kotaknya, lalu menyalakan dan menghisapnya dalam upaya untuk menghilangkan penat di pikirannya.
Mereka berdua tampak tengah mempertimbangkan risiko dan potensi keuntungan dari ide tersebut, mencoba menemukan jalan terbaik untuk bisnis mereka di industri fashion yang kompetitif.
Joe menguap sambil menggeliatkan tubuhnya, menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
"Sudah dulu ya, lanjut besok saja," kata Joe sambil mematikan layar laptop dan menutupnya.
Zico mengingatkan, "Yah, besok bukannya kita akan menikmati hari Minggu di Ciwidey, kan?" Joe meraih gelas minum dan meneguknya sejenak sebelum menjawab,
"Kita lihat saja besok!" Suaranya penuh dengan ketidakpastian.
Setelah itu, Joe beranjak dari ruang utama sambil menghembuskan asap rokok.
Saat tiba di dalam kamar, Joe dengan cepat membuka anak kancing kemejanya satu per satu, kemudian ia membersihkan tubuhnya sesegera mungkin, karena kedua matanya sudah terasa sangat berat.
Pekerjaan dan stres sehari-hari tampaknya mulai mempengaruhi fisik dan mentalnya.
Seusainya, ia meraih tas, lalu mengeluarkan baju piyama, dan segera mengenakan pakaian tersebut.
Setelah dirasa beres, barulah ia merebahkan tubuhnya. Kedua matanya langsung terpejam tanpa permisi.
Belum juga lama, ia langsung terbang mencapai alam bawah sadarnya.
Joe tiba-tiba bermimpi, dalam mimpinya ia seperti terbawa suasana saat kembali bertemu dengan Jane.
Lantas ia seperti mendapat sasaran empuk.
"Hei kau!" teriak Joe dengan amarah pada Jane dalam mimpinya. Kali ini Jane tak melakukan pergerakan apapun, sehingga muncul pikiran kotor yang menguasai Joe di alam bawah sadarnya.
...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments