NovelToon NovelToon

Gadis Nakal Milik CEO Tampan

Gadis Bar-bar

"Hei, kalau jalan itu pakai mata!" hardik Jane saat dirinya mabuk berat, tanpa sengaja menabrak tubuh seorang pria berpostur tinggi dengan parasnya yang begitu rupawan.

Ia dengan lantang, berani melempar kalimat caci maki terhadap pria yang tampak rapih serta memiliki wibawa yang tinggi di balik pakaian formalnya.

Saat itu sang pria sedang kebingungan mencari sahabatnya di sebuah Klub Malam yang sangat terkenal di kota Bandung.

Karena tak terima dirinya di bentak begitu saja oleh wanita asing, lantas pria tersebut langsung mendorong tubuh Jane yang sedang oleng hingga jatuh dengan posisi bokong yang menghantam lantai.

"Aww..." pekik Jane yang kesakitan, seraya memijit pinggang dan bokongnya yang ngilu akibat benturan.

"Kamu yang salah, tapi kamu yang berani nyolot, dasar tak tahu etika!" balas pria yang bernama lengkap Jonathan Tanadi, atau akrab di sapa Joe.

Apes yang di terima, ia malah mendapat perlakuan tak patut dari seorang wanita yang tampak jauh lebih muda darinya.

Jane semakin tersulut emosi karena Joe berani mendorong tubuhnya.

Ia bangkit dari posisi, lalu dengan sengaja menginjak punggung kaki Joe sekeras-kerasnya tanpa pertimbangan hingga pria itu berteriak dengan suara yang sangat kencang, sebanding dengan irama alunan musik DJ yang memekakan telinga di lantai dansa.

Joe semakin geram terhadap perbuatan gadis tersebut, dan terjadilah adu mulut yang menegangkan.

Sementara, orang-orang berusaha memisahkan keduanya, dan beberapa petugas mencoba membubarkan kerumunan.

Tak berhenti sampai disitu, Jane meraih gelas tamu yang berada di atas meja, dengan berani ia menyiram pakaian Joe dengan minuman tersebut hingga meninggalkan noda berwarna pink di pakaiannya.

"Aish!" pekik Joe kesal, dan Jane membalasnya dengan seringai seakan puas atas tindakannya itu.

"Rasain! Emang enak!" Jane hendak berlalu, Joe berusaha meraih pergelangan lengannya. Namun, Zico, sahabat Joe berusaha meredakan situasi yang terjadi.

"Joe, udah, Joe! Yuk mending kita balik!" Zico menarik lengan Joe, mengajaknya keluar dari tempat tersebut, tetapi, amarahnya masih belum mereda.

"Sialan tuh perempuan!" umpat Joe sambil memperhatikan Jane yang tengah meledeknya dengan menjulurkan lidah kearahnya.

"Awas kamu!" Joe menunjuk gadis itu dengan ancaman, Jane semakin gencar melempar guyonan terhadap Joe.

Ia tanpa rasa malu mencondongkan bokongnya dengan sedikit goyangan, terlihat dari kejauhan oleh Joe.

Ia membelalakan kedua matanya kesal sembari mengempalkan jemarinya, rasa ingin melayangkan bogem kearah bokong Jane yang sedang asyik bergoyang dengan lelucon, seirama dengan alunan musik.

"Joe, udah Joe!!!" Zico berusaha menghentikan amarah sahabatnya kembali, dan akhirnya mereka berdua berhasil keluar dari tempat durjana itu.

"Bangsat tuh perempuan, berani-beraninya ngeledekin aku, dia belum tahu siapa aku!" Joe masih tampak kesal, dan Zico malah menertawakan saat melihat ekspresi wajah kawannya tersebut.

"Udah lah, perempuan sengklek kaya gitu gak perlu di tanggapi, yang ada kamu malah cape hati, lagian dia bukan lawanmu!" ujar Zico, Joe menggeleng dengan tatapan dingin menghadap lurus ke depan.

Perbincangan pun terus berlanjut, dan secara random, ia menyandarkan tubuhnya di depan mobil seseorang yang terparkir di halaman.

Mereka berdua sedang berdiskusi tentang insiden yang terjadi barusan.

Sementara itu, Jane, dalam keadaan sempoyongan karena efek mabuk, bergegas untuk pulang.

Ia berusaha membuka pintu mobilnya, sedangkan Joe berdiri setengah duduk di bumper mobil milik Jane pada saat itu.

"Di situ dia rupanya," batin Jane, rasa ingin menjahilinya, dan karena masih penuh emosi, ia sengaja menekan klakson mobilnya dengan keras, membuat Joe kaget setengah mati ulah perbuatannya.

"Hahaha...woy, minggir!" teriak Jane dengan tawa dan nada sumbang, yang langsung menarik perhatian Joe.

Lelaki tampan berwajah oriental itu seketika menoleh ke belakang dan menyadari bahwa wanita sama yang baru saja ia hadapi di dalam klub, sekarang berada di dalam mobil tersebut. Amarahnya pun langsung kembali tersulut.

"Heh, perempuan rese!" hardik Joe dengan suara keras sambil menunjuk.

Ia bangkit lalu melangkah dengan pasti menuju pintu mobil Jane dan menggedor dengan kasar.

"Keluar dari mobil, sekarang! Urusan kita belum selesai!" perintahnya dengan nada tegas.

Namun, Jane, dengan wajah mengejek, hanya mengulangi seruan Joe dengan suara berulang-ulang, seolah meremehkan Joe.

Joe semakin marah, matanya fokus menatap Jane melalui kaca mobil yang terlihat gelap dari luar. Ia merasa seakan-akan dipermainkan oleh wanita ini.

Namun, gadis itu sama sekali tidak mengindahkan teguran Joe.

Dengan enggan, ia memundurkan mobilnya, lalu melaju ke luar dari barisan parkiran dengan kasar, meninggalkan Joe yang masih penuh amarah di tempat tersebut. Konflik antara Joe dan Jane masih jauh dari selesai.

"Awas kamu!" ancam Joe dengan teriakan lantang kearah mobil yang melaju semakin cepat.

Joe terus mengumpat tanpa henti, emosinya sulit dikendalikan setelah insiden tersebut.

Ia merasa kesal dan marah karena tidak dapat menyelesaikan konflik dengan Jane.

Sementara itu, Jane tampaknya baik-baik saja. Ia bahkan puas dengan tindakan dan perkataannya itu.

Menurutnya, pertemuan dengan Joe hanya merupakan episode pertama dan terakhir yang tidak begitu penting dalam hidupnya.

"Huh, mendingan dengerin musik aja," kata Jane sambil menyalakan lagu favoritnya di mp3 player mobil. Lalu, dia mulai bernyanyi mengikuti irama lagu tersebut, meskipun dalam keadaan mabuk, dia masih bisa mengendalikan diri dengan baik.

Tak butuh waktu lama, Jane sampai di depan rumahnya dan memarkirkan mobilnya di halaman depan.

Kehadirannya di sambut oleh amarah sang Oma, yang sering di sapa 'Oma Widya', kepada cucunya, Jane.

Sejak kecil ia sudah di tinggal cerai oleh kedua orangtuanya, kehidupan Jane menjadi semakin kacau dan tak terkendali, apalagi ketika menginjak dewasa.

Ia sering menghabiskan waktu di luar, dan hampir selalu pulang dalam keadaan mabuk.

"Jane!!!" teriak Oma Widya dengan nada penuh kekhawatiran. Ia telah lama cemas akan perilaku cucunya yang semakin meresahkan.

Oma Widya ingin yang terbaik untuk Jane, terutama setelah Jane berhasil menyelesaikan pendidikan kuliahnya dengan IPK yang memuaskan.

Jane bahkan telah melamar pekerjaan di perusahaan besar dan bergengsi, tetapi ia belum menerima panggilan untuk bekerja disana.

"Kamu itu kapan kapoknya?! Kerjaanmu keluyuran, mabuk-mabukan. Mau jadi apa kamu, hah?! Percuma juga kamu sekolah tinggi-tinggi tapi hasilnya seperti ini!" bentak Oma Widya sambil membelalakan kedua matanya kerah sang cucu yang tampak acuh dan malas.

Oma Widya terus berbicara, sementara Jane dengan cepat menutup kedua lubang telinganya dengan jari seakan enggan mendengarkan nasihat wanita tua itu. "Oma, berisik, Oma!" kata Jane dengan rengekan manja di hadapan sang Oma.

Saking kesal, Oma Widya langsung memukul pelan bokong Jane, karena Jane mengenakan rok ketat yang sangat mini pada malam itu.

"Jane, Oma sudah mulai pusing menghadapimu!" ucap Oma Widya dengan tegas. Jane yang mulai jengah, ia langsung bergegas menuju kamar, lalu menutup pintunya rapat-rapat sambil mengumpat

....

Sementara itu, Joe dan Zico pulang bersama ke kediaman Zico di kota Bandung.

Mereka telah lama menjadi sahabat sekaligus rekan kerja, dan Joe memiliki rencana untuk membahas cabang perusahaan keluarganya yang berada di sana.

Joe, sebagai pemimpin perusahaan keluarganya, mengelola bisnis garmen dan fashion dengan penuh dedikasi.

Perusahaan tersebut telah beroperasi selama bertahun-tahun dan memiliki reputasi yang baik di mata masyarakat, terutama kalangan milenial kelas atas.

Joe merasa bahwa saatnya untuk mempertimbangkan ekspansi lebih lanjut, dan kota Bandung adalah salah satu tempat yang menarik untuk melihat potensi bisnis yang sedang berjalan.

Mereka berdua adalah pasangan yang solid dalam mengelola bisnis keluarga ini.

"Kok ada ya perempuan seperti itu?" tanya Joe saat tengah mengemudi, masih merenungkan insiden yang baru saja terjadi. Zico menanggapinya dengan senyuman, mencoba meredakan ketegangan yang dirasakan Joe.

"Sudahlah, Joe, lagian kamu tak akan bertemu dengannya lagi!" Zico meletakan telapak tangannya di bahu Joe, lalu menepuknya pelan untuk memberikan dukungan.

Joe menghela napas kasarnya, berupaya meredakan semua emosi yang masih bersarang dalam pikirannya. Namun, Zico tak bisa menahan rasa penasaran.

"Hmm, baiklah, aku harap aku tak akan pernah bertemu dengannya lagi!" ucap Joe dengan suara rendah, tetapi ekspresinya masih penuh dengan ketegangan. Zico kembali menoleh padanya.

"Kalau seandainya takdir kembali mempertemukan kamu dengannya, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Zico, seolah mengajukan pertanyaan yang mustahil terjadi.

"Tak akan pernah aku lepaskan! Akan aku beri dia pelajaran!" Joe menatap lurus ke arah jalanan dengan tatapan yang penuh tekad, membayangkan bagaimana jika dia harus menghadapi wanita itu sekali lagi.

Kejadian di klub malam telah meninggalkan bekas di dirinya, dan Joe siap melakukan apa pun agar bisa mendapatkan balasannya jika mereka bertemu kembali.

Setibanya di kediaman Zico, Joe dengan perlahan merebahkan tubuhnya di atas sofa. Ia membuka tuxedo yang sedang dikenakannya, lalu menatap noda minuman yang membandel di kemejanya.

"Kau lihat ini!" Joe menunjukkan noda merah muda di kemeja putihnya. Zico mengangguk pelan, memberikan respon kepedulian kepada Joe.

"Ya, itu ulah perempuan tadi, kan?" tanya Zico malas sambil menyalakan sebatang nikotin yang sudah menempel di tepi bibirnya. Asap segera menyeruak di ruangan tersebut, menemani obrolan serius mereka.

"Sudahlah, lebih baik kita bahas urusan yang lebih penting! Lupakan saja mengenai perempuan tadi!" Zico berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan menjadi lebih formal dan fokus pada masalah bisnis.

Joe mengangguk setuju, kemudian menegakkan posisi duduknya.

"Joe, ada beberapa email pelamar masuk, dan aku tertarik pada salah satunya.

Dia lulusan dengan nilai IPK terbaik, sepertinya cocok menggantikan sekretaris yang baru saja mengundurkan diri," ujar Zico memberi saran, berharap Joe bisa memberikan masukan.

"Terserah, yang penting kerjanya bagus!" kata Joe dengan santai, menunjukkan bahwa dia lebih mengutamakan kualitas kerja daripada latar belakang akademis.

Mereka pun beralih ke pembahasan pekerjaan dan bisnis yang lebih mendalam.

Kali ini, keduanya fokus membahas tren mode fashion yang sedang laris di kancah internasional.

"Bagaimana kalau kita mencoba membuat tren terbaru yang berbeda dari apa yang sudah ada di pasaran?" kata Zico, meminta pendapat Joe. Joe tampak sedikit ragu, dan dia mengerutkan dahinya dalam pemikiran.

"Entahlah, aku rasa itu bukan ide yang baik. Jika tren baru tersebut laku di pasaran, kita memang akan mendapat omzet besar, tapi bagaimana jika sebaliknya?"

Joe menghela napas dengan berat, meraih sebatang rokok dari kotaknya, lalu menyalakan dan menghisapnya dalam upaya untuk menghilangkan penat di pikirannya.

Mereka berdua tampak tengah mempertimbangkan risiko dan potensi keuntungan dari ide tersebut, mencoba menemukan jalan terbaik untuk bisnis mereka di industri fashion yang kompetitif.

Joe menguap sambil menggeliatkan tubuhnya, menunjukkan tanda-tanda kelelahan.

"Sudah dulu ya, lanjut besok saja," kata Joe sambil mematikan layar laptop dan menutupnya.

Zico mengingatkan, "Yah, besok bukannya kita akan menikmati hari Minggu di Ciwidey, kan?" Joe meraih gelas minum dan meneguknya sejenak sebelum menjawab,

"Kita lihat saja besok!" Suaranya penuh dengan ketidakpastian.

Setelah itu, Joe beranjak dari ruang utama sambil menghembuskan asap rokok.

Saat tiba di dalam kamar, Joe dengan cepat membuka anak kancing kemejanya satu per satu, kemudian ia membersihkan tubuhnya sesegera mungkin, karena kedua matanya sudah terasa sangat berat.

Pekerjaan dan stres sehari-hari tampaknya mulai mempengaruhi fisik dan mentalnya.

Seusainya, ia meraih tas, lalu mengeluarkan baju piyama, dan segera mengenakan pakaian tersebut.

Setelah dirasa beres, barulah ia merebahkan tubuhnya. Kedua matanya langsung terpejam tanpa permisi.

Belum juga lama, ia langsung terbang mencapai alam bawah sadarnya.

Joe tiba-tiba bermimpi, dalam mimpinya ia seperti terbawa suasana saat kembali bertemu dengan Jane.

Lantas ia seperti mendapat sasaran empuk.

"Hei kau!" teriak Joe dengan amarah pada Jane dalam mimpinya. Kali ini Jane tak melakukan pergerakan apapun, sehingga muncul pikiran kotor yang menguasai Joe di alam bawah sadarnya.

...

Bersambung...

Mabuk

Sementara, Zico kesulitan untuk memejamkan kedua matanya pada malam itu.

Masalahnya, dia baru saja mengalami patah hati yang mendalam setelah mengetahui fakta bahwa tunangannya, Tiara, berselingkuh dengan pria lain, kejadian yang baru terjadi kemarin.

Sebelum kejadian itu, Zico hendak menemui Tiara di apartemen yang ditempatinya.

Namun, apa yang menimpanya adalah kejutan yang tak diinginkan.

Ia melihat gadis itu keluar dari lobi apartemen, di sambut oleh seorang pria yang jelas bukan dia.

Zico yang masih berada dalam mobil, merasakan amarah dan kekecewaan yang memuncak.

"Bangsat!" umpat Zico dengan suara yang penuh emosi sambil memukul stang kemudi mobilnya.

Tanpa pikir panjang, Zico memutuskan untuk mengikuti mereka dengan cara mengendap-ngendap.

Perjalanan yang mereka tempuh ternyata cukup jauh dari pusat kota, membawa mereka ke sebuah resort yang terletak di desa Ciwidey.

Zico terus berusaha masuk ke dalam tempat tersebut, meskipun mengalami beberapa kendala saat pertama kali mencoba.

Akhirnya, ia berhasil sampai di sebuah kamar di mana Tiara dan pria asing itu berada.

Dengan tekad yang membara dan hati yang penuh amarah, Zico mengetuk pintu dan berteriak, "room service."

Tidak butuh waktu lama, pintu kamar terbuka, dan orang yang muncul adalah pria yang selama ini bersama Tiara.

Tanpa berpikir panjang, Zico yang dikuasai oleh nafsu dan emosi langsung melancarkan bogem mentah ke arah wajah Daniel secara membabi buta.

Wajah Tiara langsung memucat ketika menyadari kedatangan Zico yang tiba-tiba.

"Sayang, hentikan!" Jerit Tiara mencoba menjadi penengah untuk menghentikan pertengkaran keduanya.

Namun, Daniel tampaknya tidak menerima perdamaian dan membalas dengan mendaratkan pukulan ke dada Zico, hingga beberapa property di kamar itu jatuh berserakan.

Situasi semakin memanas, dan akhirnya seorang resepsionis dan beberapa petugas keamanan datang untuk meredakan pertengkaran mereka.

Keributan tersebut mulai mencuri perhatian para tamu dan pegawai di resort tersebut, menciptakan suasana yang sangat tidak nyaman.

"Sudah, Pak, sudah! Sebaiknya kalian selesaikan masalah ini di luar, karena kalian sudah mengganggu kenyamanan fasilitas kami!" kata salah satu petugas keamanan sambil menyeret paksa Daniel dan Zico yang sama-sama berusaha untuk berduel satu sama lain.

Keduanya diarahkan keluar dari kamar, tetapi masih dalam pengawasan ketat.

Sementara itu, Tiara berdiri dalam kebingungan dan tertekan.

Dia tidak tahu harus membela siapa karena Daniel tidak mengetahui bahwa Tiara adalah kekasih Zico.

Namun, secara spontan, Tiara berlari ke arah Zico, merasa terikat resmi dengannya karena rencana pernikahan mereka yang sebentar lagi akan dilangsungkan.

Namun, tindakan itu membuat Tiara sangat bersalah karena dia sebenarnya telah berkhianat pada Zico, yang sudah menjalin hubungan dengannya selama 5 tahun.

"Oh, jadi ini yang kau lakukan di belakangku?!" Zico menyoroti wajah Tiara yang penuh dengan air mata, ia merasa sangat kecewa dan terkhianati olehnya.

Sementara, Daniel masih berada di tempat tersebut dengan rasa kecewa yang sama dialami Zico saat ini.

"Tiara, apa maksudnya ini?!" Zico meminta penjelasan, sedangkan Tiara menundukkan kepala, tampak malu, tegang, dan takut kehilangan cinta keduanya.

"Maafkan aku," hanya itu yang terlontar dari mulut Tiara dengan suara yang terputus akibat tangisnya.

Zico akhirnya melepas cincin pertunangan dan melemparkannya di hadapan Tiara, sebagai tanda kekecewaan yang mendalam.

"Aku tidak sudi melihat kamu lagi! Dasar wanita murahan!" umpat Zico dengan nada penuh kemarahan, tanpa berniat kembali memperdebatkan hubungan dengan wanita yang telah kehilangan kepercayaan tersebut.

Tiara berusaha mengejar langkah Zico yang sudah masuk ke dalam mobilnya. "Sayang, maafkan aku! Please!" rintih Tiara dengan suara serak, tetapi Zico enggan mengindahkan permohonan wanita itu, memutuskan untuk kembali ke kota Bandung.

Sementara itu, Daniel juga merasa marah terhadap tindakan Tiara yang telah membohonginya.

"Ternyata kamu sudah punya orang lain! Tega kamu, Tiara!" Daniel meninggalkan Tiara, dan Tiara mencoba menahannya karena dia tidak tahu bagaimana harus pulang.

"Daniel, maafkan aku!!!" Tiara mencoba memohon, tetapi hubungan mereka sudah terlalu rumit dan terluka untuk diperbaiki.

Sesaat, Zico tersadar dari lamunannya, dan itu hanya membuat sakit kepala yang dideritanya semakin menjadi karena terlalu keras memikirkan keadaan pasca putus dengan Tiara.

Zico mencoba meredakan amarah, ia meneguk minuman beralkohol dengan kadar yang tinggi, hingga membuatnya mabuk dan merancau tak jelas.

"Tiara, kau benar-benar sudah membuatku muak dan kecewa!" Zico terus berbicara penuh emosi sambil tertawa-tawa seperti sedang berbicara dengan seseorang yang tak ada.

...

Sementara itu, Joe terbangun dalam keadaan bingung setelah bermimpi tentang sesuatu yang nakal.

"Ah, kenapa aku sampai bermimpi begituan tentang dia?!" Joe melepas selimutnya dengan rasa tidak nyaman di area pribadinya, lalu ia melirik ke arah jam dinding bundar di ruangan tersebut.

"Masih jam 2 subuh," gumam Joe. Rasa kantuknya tiba-tiba hilang, digantikan oleh bayangan nakal yang bergelayut dalam pikirannya, mengisi kesunyian dengan ketegangan dan hasrat yang semakin kuat.

"Yah, harus mandi lagi deh!" gumam Joe, merasa perlu membersihkan diri setelah mimpi yang tak diinginkan tadi.

Ia segera membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian, mencoba mengusir bayangan dari mimpi itu, dan enggan memejamkan kedua matanya lagi.

Joe keluar dari dalam kamar, lalu menemui Zico yang sedang merancau tak jelas, memanggil-manggil nama mantan kekasihnya, Tiara, sementara kadang-kadang ia mengumpat dengan kalimat-kalimat kotor.

"Zico!" seru Joe sambil menghampiri temannya yang jelas dalam pengaruh minuman beralkohol. Wajah Zico memerah dan terlihat tidak karuan.

"Hahaha, kalau kau ingin dia, ambil saja! Kalian ini sama-sama berengsek!" rante Zico, memandang Joe sebagai Daniel, kekasih gelap Tiara.

Joe menggelengkan kepala, lalu mendekati Zico dengan niatan baik dan berusaha membuatnya sadar.

Ia memutuskan untuk memberikan tamparan ringan di wajah Zico dengan harapan itu bisa membuatnya tersadar.

Namun, tindakan Joe justru memicu kemarahan Zico, yang hendak melayangkan bogem ke arah wajah Joe sebagai reaksi.

Dengan gerak reflek, Joe berhasil menghindari pukulan itu dan berteriak, "Zico, sadarlah! Kamu sedang mabuk!!"

Tapi Zico hanya merespons dengan amarah, menghina Joe sebagai pengkhianat.

Setelah melampiaskan kemarahannya pada Joe, Zico akhirnya merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil tertawa-tawa, masih dalam keadaan mabuk.

Zico terus merancau dalam kondisi mabuk, memanggil nama Tiara hingga akhirnya tertidur dan terbatuk-batuk.

Joe merasa khawatir dan penasaran tentang hubungan antara Zico dan Tiara, karena Zico tidak pernah menceritakan permasalahannya selama ini.

"Aku harap Zico dan Tiara baik-baik saja, terlebih, mereka sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan," pikir Joe. Ia melihat botol minuman yang tinggal setengahnya, jelas Zico telah minum terlalu banyak.

Joe memutuskan untuk mencoba kembali fokus pada pekerjaannya dengan membuka laptop dan membuka file pekerjaan yang tertunda.

Namun, mimpi tadi terus menghantuinya dan mengganggu konsentrasi.

"Tuhan..." gumam Joe sambil merutuki dirinya sendiri. "Wanita itu berhasil mempengaruhi akal sehatku!" lanjutnya sambil memikirkan wajah Jane dan insiden di klub malam.

"Aku yakin, perempuan seperti dia bukanlah perempuan baik-baik!" Joe mencoba menepis pikiran tentang Jane, tetapi sulit untuk melupakan pengalaman yang baru saja dialaminya.

Joe mencoba meredakan pikirannya dengan merokok, menciptakan lingkaran asap yang mengisi udara di sekelilingnya.

Ia menikmati perlahan aroma asap yang masuk ke dalam rongga mulutnya, lalu menghembuskannya lagi, berulang kali.

Namun, meskipun mencoba keras, pikiran tentang Jane terus menghantui Joe.

"Tapi, perempuan itu manis juga," batin Joe, merenung sejenak sebelum dengan cepat mengusir bayangan tentang Jane.

"Ah, sial! Mikir apa aku ini?!" pekik Joe, merasa kesal pada dirinya sendiri karena tak bisa melepaskan pikiran tentang Jane.

Ia memutuskan untuk mematikan rokok yang sudah semakin habis, berharap bisa mengalihkan perhatiannya dari bayang perempuan yang merasuk dalam pikirannya.

***

Sementara di lain tempat...

Jane saat itu terbangun dengan perasaan pusing dan mual yang teramat sangat, akibat pengaruh alkohol yang berlebihan.

Dengan tertatih, ia berjalan menuju kamar mandi pribadi yang terhubung dengan kamar tidurnya.

Setelah menyalakan keran air, Jane mulai muntah dengan keras, tubuhnya lemas dan terhuyung-huyung.

"Arrg!" teriak Jane dalam keadaan lemah, dengan cairan tubuh yang hampir habis. Meskipun merasa sangat lemah, ia masih mampu menyeimbangkan tubuhnya.

Setelah muntah cukup, Jane merebahkan kembali tubuhnya di atas tempat tidur dengan kondisi masih terasa lemah dan kepala yang pusing.

"Ini semua gara-gara Mama dan Papa!" pekiknya dengan amarah yang tersimpan selama ini terhadap kedua orangtuanya yang telah lama bercerai.

"Aku benci mereka!" sambungnya sambil melemparkan bantal ke dinding, tak sengaja mengenai sang Oma yang baru saja membuka pintu kamar Jane.

"Jane, apa yang kamu lakukan?!" tanya sang Oma dengan nada tinggi, ia tampaknya sudah semakin kesal dengan perilaku cucunya.

"Oma, kenapa Oma ada di sini?! Sana keluar!" usir Jane dengan kasar, membuat Oma Widya murka dan menekuk pinggang di hadapan Jane.

"Dasar cucu tak tahu berterima kasih! Selama ini siapa yang membiayai mu?" bentak sang Oma, membuat Jane terdiam sambil sesegukan.

"Tapi, aku tidak pernah meminta semuanya itu!" jawab Jane semakin marah dengan situasinya.

"Kenapa Oma membiayai ku kalau ujung-ujungnya selalu menghitung-hitung rugi? Biarkan saja aku lontang-lantung di jalanan, toh, tak akan ada yang peduli!" ucap Jane dengan nada pemberontakan, membuat Oma Widya semakin kesal atas kata-kata cucunya.

Sang Oma dengan penuh perhatian memeluk tubuh Jane yang sedang terisak memikirkan kedua orangtuanya yang sudah hidup dengan keluarga baru mereka tanpa memikirkan perasaan Jane saat ini.

"Jane, maafkan Oma, Oma seperti itu karena sayang padamu," ungkap Oma Widya, dan tangisan Jane semakin kencang ia merindukan Ayah dan Ibunya.

"Papa dan Mama tidak sayang dan peduli lagi sama aku, Oma!" kata Jane dengan emosi, dan Oma Widya mengelus punggung sang Cucu dengan kasih sayang.

"Mereka sebenarnya sayang kepadamu, hanya saja keadaanya sudah berubah," tutur Oma, lalu kembali mendekap Jane.

"Kau sudah dewasa, sayang, kau sudah bisa menentukan jalan hidupmu," sambungnya, Jane mengangguk dan menghapus air mata.

"Aku benci yang namanya pernikahan!" pekik Jane memikirkan pernikahan kedua orangtuanya yang tak harmonis menjadi pengalaman buruk baginya dimasa depan.

...

Bersambung

Jane harus tahu diri!

Joe terus bekerja sampai pagi, sementara Zico masih tertidur dengan suara dengkuran yang sangat keras, menunjukkan bahwa efek mabuk semalam masih mempengaruhi Zico.

Joe, melihat Zico tertidur dengan nyenyak, dan ia memilih untuk tidak mengganggunya.

Joe bergegas menuju dapur, ia membuat sarapan pagi dengan bahan-bahan yang ada di lemari makanan.

Tiba-tiba, ia mendengar bel berbunyi, dan Joe buru-buru menuju pintu untuk melihat siapa yang datang pagi-pagi ke rumah sahabatnya.

Joe membuka pintu dan menemui Tiara yang berdiri di depannya dengan kedua mata yang tampak sangat sembab.

"Joe, Zico ada di mana?" Tiara bertanya dengan suara rendah dan parau.

Joe ragu untuk memberitahunya, menyadari ada ketegangan antara mereka, dan tak ingin mengganggu Zico yang sedang tidur pasca-mabuk semalam. "Ehm... Zico..."

"Zico di mana, Joe?" Tiara kembali bertanya.

Joe menghembuskan napas berat sebelum menjawab, "Emh, dia masih tidur..."

Tiba-tiba, Zico muncul di belakang Joe dengan mata yang masih separuh tertutup.

"Untuk apa kau datang kemari?!" ucapnya dengan suara meninggi.

"Tak puas apa? Kau sudah berani mengkhianatiku!" lanjutnya dengan penuh emosi.

Joe menyadari situasinya dan memberi ruang Zico untuk berbicara pada Tiara. Ia sedikit mundur dan membiarkan Zico berhadapan dengan mantan tunangannya.

"Sayang, maafkan aku," pinta Tiara, mencoba mendekap tubuh Zico. Namun, Zico berhasil menghindarinya.

"Sana! Pergi jauh-jauh! Aku muak melihatmu! Dasar murahan!" umpat Zico dengan marah, dan Tiara menangis sambil berlutut di hadapan Zico.

"Aku minta maaf, tolong maafkan aku!" rintih Tiara.

"Gak ada! Aku gak sudi memaafkanmu!" tolak Zico tanpa menatap wajah Tiara.

"Rencana pernikahan kita, BATAL!" ucap Zico dengan lantang dan tegas.

Tiara berusaha meyakinkan Zico untuk tidak membatalkan rencana pernikahan mereka, mengingat semua persiapan yang telah dilakukan, namun Zico terus menolak dan menepisnya.

Tiara bersikeras meminta maaf pada Zico, tetapi permintaannya tak mampu meluluhkan hati Zico yang sudah terluka begitu dalam.

"Sudah, sana pergi!" Zico mengusirnya tanpa menunjukkan belas kasihan pada mantan tunangannya. Dengan tegas, Zico menutup pintu dengan keras.

Suara teriakan dan seruan Tiara yang masih memanggil terdengar melalui pintu tertutup. Namun, Zico memilih untuk tidak meresponsnya.

Ia berdiri di balik pintu, dipenuhi oleh kekecewaan yang mendalam atas pengkhianatan yang ia rasakan.

Walaupun cintanya terhadap Tiara masih ada, ia tahu bahwa pengkhianatan ini tidak bisa diampuni dengan mudah.

Zico memutuskan bahwa perpisahan adalah langkah terbaik, tidak ingin terluka dan kecewa untuk yang kedua kalinya.

Ia merasa bahwa ini adalah akhir dari hubungan mereka yang pernah penuh harapan, dan itu membawa banyak perasaan pahit di hatinya.

Zico mendaratkan bokongnya diatas sofa dengan amarah yang masih berkecamuk, Joe membawakan hidangan sarapan pagi untuknya.

Joe mengambil duduk di sebelah Zico, lalu mengusap lembut punggungnya sebagai tanda empati. "Sudahlah, tidak baik terus emosi seperti ini," ucapnya dengan tulus, Zico terdiam dan mengangguk.

"Ya, aku benar-benar muak padanya!" Lagi dan lagi, Zico meluapkan emosinya.

"Aku mengerti apa yang kamu rasakan, Zico," kata Joe, lalu ia memulai bertanya,

"Memangnya apa yang sebenarnya terjadi diantara kalian?"

Zico memejamkan kedua matanya singkat, lalu ia menjawab pertanyaan Joe, dan menjelaskan apa yang ia lihat saat Tiara pergi ke Ciwidey bersama pria lain yang bukan dirinya.

Joe mengangguk pertanda memberi respon atas cerita Zico yang menyakitkan.

"Parah, tuh perempuan!" cetus Joe merasakan berada di posisi Zico, hal itu semakin membuatnya tak ingin menjalin hubungan setelah sekian lama menyandang status jomblo, dan terakhir menjalin asmara saat masih remaja, artinya itu sudah sangat lama.

Joe seorang workaholic yang tidak mengenal waktu dalam bekerja, sehingga ia menarik diri dalam percintaan.

Zico tersenyum miring membayangkan semua yang telah terjadi, lalu ia mencuit dengan nada cibiran.

"Wanita memang racun dunia!" Joe terkekeh dan turut membenarkan ucapannya.

"Ya, aku pikir juga begitu!" Terlebih ia masih mengingat kejadian semalam saat bertemu perempuan bar-bar macam Jane yang membuatnya tak mampu menepis bayang-bayang wajahnya yang begitu manis.

"Pantas saja, kamu mengajakku pergi ke Ciwidey, oh, ternyata awal mulanya begitu."

Joe menyinggung dengan gurauan, Zico meneguk kopi dari cangkir, lalu ia menjawab, "ya, aku melewati tempat yang begitu asyik disana, sepertinya cocok untuk menghilangkan kepenatan akibat stres karena bekerja."

Joe mengangguk, lalu ia meraih ponsel dan mencoba untuk search tempat menarik di Ciwidey.

"Wah, sepertinya ini asik." Joe memperlihatkan tempat yang indah dan menarik di desa tersebut kepada Zico.

"Ya, cocok nih buat healing," kata Zico dengan semangat.

Zico bergegas untuk membersihkan tubuhnya yang sudah bau alkohol, ia sesekali mengintip kearah jendela, tampaknya Tiara sudah tidak ada lagi disana.

Zico mencoba melupakan rasa cintanya terhadap Tiara, dan berupaya untuk membuka lembar baru dengan status jomblo yang sama seperti Joe.

Sementara, Joe sedang memanaskan mesin mobil, ia tak perlu mandi lagi. Seusai mandi, Zico mengenakan pakaian terbaiknya yang terkesan elegan dan classy untuk pergi.

"Sudah siap?" tanya Joe sambil menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, saat itu waktu sudah menunjukan tepat pukul 9 pagi.

"Ayo, jalan!" ajak Zico, ia duduk di jok sebelah, sementara Joe yang akan mengemudi.

Keduanya mengencangkan sabuk pengaman, mobilpun segera meluncur membelah keramaian kota Bandung di hari minggu yang cerah ini.

Joe, mengaktifkan fiture GPS di ponselnya untuk memandu perjalanan mereka, sementara Zico memutar lagu Korea favoritnya untuk memecah kesunyian saat di perjalanan.

Di dalam mobil yang bergerak menuju Ciwidey, terkadang Zico ikut bersenandung dengan ceria.

Meskipun hatinya masih terluka oleh pengkhianatan Tiara. Namun, ia mencoba untuk melupakan sementara kesakitan yang ada.

Suasana pagi yang cerah dan lantunan lagu Korea yang mengalun membantu meredakan beban pikirannya.

Ia berharap perjalanan ini bisa menjadi terapi penyegaran yang ia butuhkan.

***

Sementara di tempat yang berbeda...

Jane masih tertidur lelap, meskipun waktu sudah hampir menunjukkan pukul 10 pagi. Oma Widya berusaha membangunkan cucunya dengan lembut.

"Jane...!" serunya sambil menggoyangkan pelan kaki Jane, meski gadis itu merespon dengan gerakan malas.

Jane mulai merintih dalam tidurnya, mencoba menolak kenyataan bahwa harus bangun.

"Ini sudah hampir siang! Cepat bangun, antar Oma sembahyang ke kelenteng!" titahnya dengan tegas. Jane kembali menggeliat dan menguap sambil mengucek kedua matanya.

"Ah, males, Oma!" tolaknya dengan nada kesal, membuat Oma Widya kembali mengoceh tanpa jeda.

Jane akhirnya bangun dengan perasaan kesal. "Iya, Oma bawel!" pekiknya sambil berjalan menuju kamar mandi.

Oma Widya hanya bisa mengelus dada dengan sedikit kebingungan, mencari cara untuk mengatasi sifat keras kepala cucunya.

Mbak Ani, sang asisten sudah mempersiapkan hidangan sarapan untuk Jane. "Selamat pagi, Non," sapa Mbak Ani dengan santun kepada Jane, gadis itu menjawab dengan ketus.

"Ya!" Jane terlihat lebih cantik dan rapih atas permintaan sang Oma, pakaian Jane juga lebih sopan dan tertutup dari biasanya.

"Oma dan Non Jane mau pada kemana sudah pada rapih dan cantik?" tanya Mbak Ani.

"Kami mau sembahyang," jawab Oma Widya mewakili, dan Jane hanya mengangguk sambil menyantap hidangannya dengan rakus.

"Oh, pantas saja," lanjut Mbak Ani mencoba menghormati keyakinan mereka.

Jane mengemudikan mobilnya dengan penuh perhatian, dan Oma Widya duduk di sampingnya, menemani perjalanan.

Mereka segera memulai perjalanan ke tujuan yang hanya beberapa kilometer jauhnya dari kompleks perumahan mereka.

Tidak butuh waktu lama, keduanya tiba di sebuah klenteng yang penuh dengan ornamen-ornamen bernuansa oriental yang sangat kental.

Ketika mereka melangkah ke dalam klenteng, mereka langsung merasakan kekhidmatan yang ada di dalamnya.

Aroma dupa yang harum memenuhi udara, dan banyak orang sedang memanjatkan doa kepada Dewa-Dewa dalam kepercayaan mereka yang sangat dihormati. Jane dan Oma sama-sama meraih beberapa stik dupa dan menyalakan lilin.

Mereka mulai berdoa di depan patung-patung Dewa yang mereka kunjungi, menancapkan stik dupa mereka masing-masing sebagai tanda penghormatan dan permohonan.

Setelah selesai memanjatkan doa, sang Oma nampaknya sangat asyik berbincang dengan teman-temannya di klenteng, sementara Jane merasa agak jenuh.

Ia memutuskan untuk duduk di beberapa langkah jauhnya dari mereka, tidak ingin terlibat dalam obrolan para orang tua seumur Oma.

Jane mengarahkan kamera ponselnya dan mulai mengambil beberapa foto dirinya sendiri dengan patung Dewa Kwang Kong berdiri di belakangnya.

Sambil mengecek hasil foto, dia mengeluh, "Duh, Oma, ngobrolnya lama banget ya!" terik matahari mulai terasa sampai kepala, dan Jane ingin segera kembali pulang.

Tak lama kemudian, sang Oma mencari keberadaannya, ia memanggil, "Jane!!!" Jane mendengar teriakan wanita tua itu, ia dengan cepat menghampirinya.

"Oma, aku sudah kepanasan dari tadi!" keluh Jane dengan rengekan manja sambil menyeka keringat yang menitik di keningnya.

"Iya, Oma minta maaf karena sudah membuatmu menunggu terlalu lama," ucap Oma dengan penuh penyesalan.

"Ayo kita pulang, Oma!" ajak Jane.

"Jane, Oma sudah janjian dengan Tantemu di restoran, kita sekalian makan disana yuk!" ajak Oma seakan tak ingin di bantah, dan Jane menghembuskan napas beratnya sambil memutar kedua matanya jengah.

"Hmm...terserah Oma deh, kepala aku sudah keleyengan dari tadi!" Jane berjalan di depan sang Oma menuju ke tempat parkiran.

Tak berselang lama, keduanya tiba di restoran yang memiliki sentuhan budaya Asia yang sangat kentara.

Lampion-lampion berwarna merah menghiasi bagian depan restoran tersebut, menciptakan suasana yang hangat dan memikat.

Kehadiran Jane dan Oma disambut hangat oleh Paman, Bibi, dan Adik sepupu Jane yang bernama Elisa.

Mereka baru saja pulang dari kebaktian minggu di Gereja.

"Mama," sapa Tante Arin sambil merangkul Oma Widya.

Paman Anes pun menyambut mereka dengan senyuman hangat.

Namun, Elisa tampaknya memandang Jane dengan dingin, tanpa adanya teguran sapa di antara mereka.

Ada ketegangan yang terasa dalam suasana pertemuan keluarga ini.

Kondisi semakin memanas diantara mereka.

Bibi dan Paman yang sebelumnya ramah kini sepertinya ingin mengambil jarak dengan Jane.

"Mama, seharusnya Mama tak perlu lagi mengurus Jane, dia sudah dewasa dan bahkan sudah lulus kuliah, kan?" kata Tante Arin dengan nada sinis, tanpa menunjukkan belas kasihan.

Paman Anes mendukung perkataan istrinya, "Iya, Jane harusnya tahu diri! Kau sudah terlalu lama mengandalkan Oma untuk hidupmu!"

Elisa juga ikut menyumbang komentar negatif terhadap Jane, membuat suasana semakin tak nyaman di keluarga itu.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!