Joe terus bekerja sampai pagi, sementara Zico masih tertidur dengan suara dengkuran yang sangat keras, menunjukkan bahwa efek mabuk semalam masih mempengaruhi Zico.
Joe, melihat Zico tertidur dengan nyenyak, dan ia memilih untuk tidak mengganggunya.
Joe bergegas menuju dapur, ia membuat sarapan pagi dengan bahan-bahan yang ada di lemari makanan.
Tiba-tiba, ia mendengar bel berbunyi, dan Joe buru-buru menuju pintu untuk melihat siapa yang datang pagi-pagi ke rumah sahabatnya.
Joe membuka pintu dan menemui Tiara yang berdiri di depannya dengan kedua mata yang tampak sangat sembab.
"Joe, Zico ada di mana?" Tiara bertanya dengan suara rendah dan parau.
Joe ragu untuk memberitahunya, menyadari ada ketegangan antara mereka, dan tak ingin mengganggu Zico yang sedang tidur pasca-mabuk semalam. "Ehm... Zico..."
"Zico di mana, Joe?" Tiara kembali bertanya.
Joe menghembuskan napas berat sebelum menjawab, "Emh, dia masih tidur..."
Tiba-tiba, Zico muncul di belakang Joe dengan mata yang masih separuh tertutup.
"Untuk apa kau datang kemari?!" ucapnya dengan suara meninggi.
"Tak puas apa? Kau sudah berani mengkhianatiku!" lanjutnya dengan penuh emosi.
Joe menyadari situasinya dan memberi ruang Zico untuk berbicara pada Tiara. Ia sedikit mundur dan membiarkan Zico berhadapan dengan mantan tunangannya.
"Sayang, maafkan aku," pinta Tiara, mencoba mendekap tubuh Zico. Namun, Zico berhasil menghindarinya.
"Sana! Pergi jauh-jauh! Aku muak melihatmu! Dasar murahan!" umpat Zico dengan marah, dan Tiara menangis sambil berlutut di hadapan Zico.
"Aku minta maaf, tolong maafkan aku!" rintih Tiara.
"Gak ada! Aku gak sudi memaafkanmu!" tolak Zico tanpa menatap wajah Tiara.
"Rencana pernikahan kita, BATAL!" ucap Zico dengan lantang dan tegas.
Tiara berusaha meyakinkan Zico untuk tidak membatalkan rencana pernikahan mereka, mengingat semua persiapan yang telah dilakukan, namun Zico terus menolak dan menepisnya.
Tiara bersikeras meminta maaf pada Zico, tetapi permintaannya tak mampu meluluhkan hati Zico yang sudah terluka begitu dalam.
"Sudah, sana pergi!" Zico mengusirnya tanpa menunjukkan belas kasihan pada mantan tunangannya. Dengan tegas, Zico menutup pintu dengan keras.
Suara teriakan dan seruan Tiara yang masih memanggil terdengar melalui pintu tertutup. Namun, Zico memilih untuk tidak meresponsnya.
Ia berdiri di balik pintu, dipenuhi oleh kekecewaan yang mendalam atas pengkhianatan yang ia rasakan.
Walaupun cintanya terhadap Tiara masih ada, ia tahu bahwa pengkhianatan ini tidak bisa diampuni dengan mudah.
Zico memutuskan bahwa perpisahan adalah langkah terbaik, tidak ingin terluka dan kecewa untuk yang kedua kalinya.
Ia merasa bahwa ini adalah akhir dari hubungan mereka yang pernah penuh harapan, dan itu membawa banyak perasaan pahit di hatinya.
Zico mendaratkan bokongnya diatas sofa dengan amarah yang masih berkecamuk, Joe membawakan hidangan sarapan pagi untuknya.
Joe mengambil duduk di sebelah Zico, lalu mengusap lembut punggungnya sebagai tanda empati. "Sudahlah, tidak baik terus emosi seperti ini," ucapnya dengan tulus, Zico terdiam dan mengangguk.
"Ya, aku benar-benar muak padanya!" Lagi dan lagi, Zico meluapkan emosinya.
"Aku mengerti apa yang kamu rasakan, Zico," kata Joe, lalu ia memulai bertanya,
"Memangnya apa yang sebenarnya terjadi diantara kalian?"
Zico memejamkan kedua matanya singkat, lalu ia menjawab pertanyaan Joe, dan menjelaskan apa yang ia lihat saat Tiara pergi ke Ciwidey bersama pria lain yang bukan dirinya.
Joe mengangguk pertanda memberi respon atas cerita Zico yang menyakitkan.
"Parah, tuh perempuan!" cetus Joe merasakan berada di posisi Zico, hal itu semakin membuatnya tak ingin menjalin hubungan setelah sekian lama menyandang status jomblo, dan terakhir menjalin asmara saat masih remaja, artinya itu sudah sangat lama.
Joe seorang workaholic yang tidak mengenal waktu dalam bekerja, sehingga ia menarik diri dalam percintaan.
Zico tersenyum miring membayangkan semua yang telah terjadi, lalu ia mencuit dengan nada cibiran.
"Wanita memang racun dunia!" Joe terkekeh dan turut membenarkan ucapannya.
"Ya, aku pikir juga begitu!" Terlebih ia masih mengingat kejadian semalam saat bertemu perempuan bar-bar macam Jane yang membuatnya tak mampu menepis bayang-bayang wajahnya yang begitu manis.
"Pantas saja, kamu mengajakku pergi ke Ciwidey, oh, ternyata awal mulanya begitu."
Joe menyinggung dengan gurauan, Zico meneguk kopi dari cangkir, lalu ia menjawab, "ya, aku melewati tempat yang begitu asyik disana, sepertinya cocok untuk menghilangkan kepenatan akibat stres karena bekerja."
Joe mengangguk, lalu ia meraih ponsel dan mencoba untuk search tempat menarik di Ciwidey.
"Wah, sepertinya ini asik." Joe memperlihatkan tempat yang indah dan menarik di desa tersebut kepada Zico.
"Ya, cocok nih buat healing," kata Zico dengan semangat.
Zico bergegas untuk membersihkan tubuhnya yang sudah bau alkohol, ia sesekali mengintip kearah jendela, tampaknya Tiara sudah tidak ada lagi disana.
Zico mencoba melupakan rasa cintanya terhadap Tiara, dan berupaya untuk membuka lembar baru dengan status jomblo yang sama seperti Joe.
Sementara, Joe sedang memanaskan mesin mobil, ia tak perlu mandi lagi. Seusai mandi, Zico mengenakan pakaian terbaiknya yang terkesan elegan dan classy untuk pergi.
"Sudah siap?" tanya Joe sambil menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, saat itu waktu sudah menunjukan tepat pukul 9 pagi.
"Ayo, jalan!" ajak Zico, ia duduk di jok sebelah, sementara Joe yang akan mengemudi.
Keduanya mengencangkan sabuk pengaman, mobilpun segera meluncur membelah keramaian kota Bandung di hari minggu yang cerah ini.
Joe, mengaktifkan fiture GPS di ponselnya untuk memandu perjalanan mereka, sementara Zico memutar lagu Korea favoritnya untuk memecah kesunyian saat di perjalanan.
Di dalam mobil yang bergerak menuju Ciwidey, terkadang Zico ikut bersenandung dengan ceria.
Meskipun hatinya masih terluka oleh pengkhianatan Tiara. Namun, ia mencoba untuk melupakan sementara kesakitan yang ada.
Suasana pagi yang cerah dan lantunan lagu Korea yang mengalun membantu meredakan beban pikirannya.
Ia berharap perjalanan ini bisa menjadi terapi penyegaran yang ia butuhkan.
***
Sementara di tempat yang berbeda...
Jane masih tertidur lelap, meskipun waktu sudah hampir menunjukkan pukul 10 pagi. Oma Widya berusaha membangunkan cucunya dengan lembut.
"Jane...!" serunya sambil menggoyangkan pelan kaki Jane, meski gadis itu merespon dengan gerakan malas.
Jane mulai merintih dalam tidurnya, mencoba menolak kenyataan bahwa harus bangun.
"Ini sudah hampir siang! Cepat bangun, antar Oma sembahyang ke kelenteng!" titahnya dengan tegas. Jane kembali menggeliat dan menguap sambil mengucek kedua matanya.
"Ah, males, Oma!" tolaknya dengan nada kesal, membuat Oma Widya kembali mengoceh tanpa jeda.
Jane akhirnya bangun dengan perasaan kesal. "Iya, Oma bawel!" pekiknya sambil berjalan menuju kamar mandi.
Oma Widya hanya bisa mengelus dada dengan sedikit kebingungan, mencari cara untuk mengatasi sifat keras kepala cucunya.
Mbak Ani, sang asisten sudah mempersiapkan hidangan sarapan untuk Jane. "Selamat pagi, Non," sapa Mbak Ani dengan santun kepada Jane, gadis itu menjawab dengan ketus.
"Ya!" Jane terlihat lebih cantik dan rapih atas permintaan sang Oma, pakaian Jane juga lebih sopan dan tertutup dari biasanya.
"Oma dan Non Jane mau pada kemana sudah pada rapih dan cantik?" tanya Mbak Ani.
"Kami mau sembahyang," jawab Oma Widya mewakili, dan Jane hanya mengangguk sambil menyantap hidangannya dengan rakus.
"Oh, pantas saja," lanjut Mbak Ani mencoba menghormati keyakinan mereka.
Jane mengemudikan mobilnya dengan penuh perhatian, dan Oma Widya duduk di sampingnya, menemani perjalanan.
Mereka segera memulai perjalanan ke tujuan yang hanya beberapa kilometer jauhnya dari kompleks perumahan mereka.
Tidak butuh waktu lama, keduanya tiba di sebuah klenteng yang penuh dengan ornamen-ornamen bernuansa oriental yang sangat kental.
Ketika mereka melangkah ke dalam klenteng, mereka langsung merasakan kekhidmatan yang ada di dalamnya.
Aroma dupa yang harum memenuhi udara, dan banyak orang sedang memanjatkan doa kepada Dewa-Dewa dalam kepercayaan mereka yang sangat dihormati. Jane dan Oma sama-sama meraih beberapa stik dupa dan menyalakan lilin.
Mereka mulai berdoa di depan patung-patung Dewa yang mereka kunjungi, menancapkan stik dupa mereka masing-masing sebagai tanda penghormatan dan permohonan.
Setelah selesai memanjatkan doa, sang Oma nampaknya sangat asyik berbincang dengan teman-temannya di klenteng, sementara Jane merasa agak jenuh.
Ia memutuskan untuk duduk di beberapa langkah jauhnya dari mereka, tidak ingin terlibat dalam obrolan para orang tua seumur Oma.
Jane mengarahkan kamera ponselnya dan mulai mengambil beberapa foto dirinya sendiri dengan patung Dewa Kwang Kong berdiri di belakangnya.
Sambil mengecek hasil foto, dia mengeluh, "Duh, Oma, ngobrolnya lama banget ya!" terik matahari mulai terasa sampai kepala, dan Jane ingin segera kembali pulang.
Tak lama kemudian, sang Oma mencari keberadaannya, ia memanggil, "Jane!!!" Jane mendengar teriakan wanita tua itu, ia dengan cepat menghampirinya.
"Oma, aku sudah kepanasan dari tadi!" keluh Jane dengan rengekan manja sambil menyeka keringat yang menitik di keningnya.
"Iya, Oma minta maaf karena sudah membuatmu menunggu terlalu lama," ucap Oma dengan penuh penyesalan.
"Ayo kita pulang, Oma!" ajak Jane.
"Jane, Oma sudah janjian dengan Tantemu di restoran, kita sekalian makan disana yuk!" ajak Oma seakan tak ingin di bantah, dan Jane menghembuskan napas beratnya sambil memutar kedua matanya jengah.
"Hmm...terserah Oma deh, kepala aku sudah keleyengan dari tadi!" Jane berjalan di depan sang Oma menuju ke tempat parkiran.
Tak berselang lama, keduanya tiba di restoran yang memiliki sentuhan budaya Asia yang sangat kentara.
Lampion-lampion berwarna merah menghiasi bagian depan restoran tersebut, menciptakan suasana yang hangat dan memikat.
Kehadiran Jane dan Oma disambut hangat oleh Paman, Bibi, dan Adik sepupu Jane yang bernama Elisa.
Mereka baru saja pulang dari kebaktian minggu di Gereja.
"Mama," sapa Tante Arin sambil merangkul Oma Widya.
Paman Anes pun menyambut mereka dengan senyuman hangat.
Namun, Elisa tampaknya memandang Jane dengan dingin, tanpa adanya teguran sapa di antara mereka.
Ada ketegangan yang terasa dalam suasana pertemuan keluarga ini.
Kondisi semakin memanas diantara mereka.
Bibi dan Paman yang sebelumnya ramah kini sepertinya ingin mengambil jarak dengan Jane.
"Mama, seharusnya Mama tak perlu lagi mengurus Jane, dia sudah dewasa dan bahkan sudah lulus kuliah, kan?" kata Tante Arin dengan nada sinis, tanpa menunjukkan belas kasihan.
Paman Anes mendukung perkataan istrinya, "Iya, Jane harusnya tahu diri! Kau sudah terlalu lama mengandalkan Oma untuk hidupmu!"
Elisa juga ikut menyumbang komentar negatif terhadap Jane, membuat suasana semakin tak nyaman di keluarga itu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 155 Episodes
Comments
Ani
ada nama saya 😁😁😁😁
2023-11-15
2