I Love You Xavera
Di sebuah rumah sakit ternama. Dimana seorang wanita paruh baya tengah terbaring lemah di ruang ICU. Kondisinya sangat memperihatinkan. Wanita itu sudah hampir setengah tahun mengalami koma akibat dari kecelakaan yang menimpanya.
"Ibu.. Bagaimana kabarnya, Bu? Ibu semakin sehat kan? Xavera setiap hari rindu sama Ibu. Rindu Ibu yang selalu memeluk hangat Xavera." Ia berbicara sembari tangannya membelai lembut punggung tangan Ibunya. Mengangkat nya mendekat ke arah pipi sebelah kiri lalu menciumnya dengan air mata yang bercucuran.
"Meski selama ini kita hanya tinggal berdua, Xavera tidak pernah merasa kesepian. Semua itu karena Ibu selalu membuat Xavera bahagia, merasa cukup dan tenang." Ucapnya lagi dengan kedua matanya yang tak henti menatap sang Ibu.
2 bulan telah berlalu. Dimana Xavera Adelina Putri bersekolah di SMA Mutiara Cinta. Melewati 60 hari yang panjang nan melelahkan. Mengapa dikatakan dengan hari-hari yang panjang? Karena untuk mengatakannya sebagai hari-hari yang berat, akan menjadi beban pikiran yang terlalu menyulitkan. Pikir Xavera yang selama ini berusaha bertahan melawan kerasnya kehidupan.
Karena kepribadian nya yang senang menyendiri dan jarang berbicara membuat kebanyakan teman-temannya memilih untuk menjauh, bahkan membenci karakternya. Dibilang tidak asyik lah, pura-pura pendiam dan pemalu padahal munafik di belakang layar. Dan ada banyak kata-kata lainnya yang menyerang Xavera secara membabi buta.
Kenapa bisa dikatakan separah itu? Karena memang tidak ada satupun teman-teman di kelasnya yang ingin atau untuk hanya sekedar menyapa Xavera. Mereka bahkan menganggap Xavera seolah tak pernah ada di dalam kelas. Sekalipun mereka menyebutkan nama Xavera, selalu saja dibarengi dengan kata-kata pujian penuh luka.
"Untuk tugas selanjutnya Ibu ingin kalian membentuk sebuah kelompok ya." Ucap Ibu Indira. Seorang guru dari mata pelajaran Sejarah Indonesia.
Semua bersorak riang dengan teman sebangkunya masing-masing kecuali Xavera yang hanya duduk sendirian di barisan tengah paling belakang.
"Ibu, apa untuk menentukan kelompoknya sesuai dengan keinginan kita?" Ucap seorang siswa perempuan yang duduk di barisan depan. Ia bernama Tania. Ia menyerukan pertanyaannya dengan lantang.
Ibu Indira pun terdiam sejenak untuk kemudian berucap, "Ibu akan mengecek terlebih dahulu data jumlah siswa di kelas ini." Ucapnya sembari membuka lembar absen kelas yang ada di atas mejanya.
"Tapi Bu kalau misalkan kita mau langsung memilih masing-masing dari pilihan kita, apa boleh?" Ucap siswa perempuan yang lainnya.
"Ibu rasa untuk membuat nya terlihat adil. Ibu saja yang pilihkan pembagian kelompok untuk kalian ya." Ucap Ibu Indira dengan kedua sudut bibirnya yang tak henti mengukir senyuman.
"Boleh aja, Bu. Tapi jangan pilihkan Xavera
untuk sekelompok sama aku ya, aku gak mau." Jawab siswa perempuan tersebut yang diikuti oleh seluruh siswa lainnya yang ada di dalam kelas.
"Aku juga gak mau."
"Aku juga lah."
"Ya sama!"
"Kita semua menolak keras pokoknya."
"Iya benar tuh, Bu."
"Pembawa sial siapa yang mau. Beban kehidupan mending dihempas aja ngga sih, ganggu banget."
Mereka saling bersahutan membuat riuh seisi kelas.
"Yes, ini yang aku suka." Batin Tania.
Ibu Indira mengerutkan keningnya heran. Ini memang kali pertama dirinya membentuk kelompok di ruang kelas satu ini. Dan untuk ruang kelas satu yang lain ia sudah mencobanya, namun semua baik-baik saja. Tidak ada yang banyak bertanya, apalagi protes. Mereka semua mengikuti arahan dengan baik. Apa ini yang dikatakan bahwa perbedaan memang selalu ada. Pikir Ibu Indira.
Sembari kembali mengukir senyuman, Ibu Indira pun berusaha memindai situasi untuk kemudian bertanya, "Kalau kalian semua tidak ingin satu kelompok dengan Xavera, lalu siapa yang akan sekelompok dengannya? Jangan memilih pertemanan dalam belajar. Kita harus saling bekerjasama, saling membantu satu sama lain."
"Tapi masalahnya Xavera itu bodoh, Bu. Dia cuma bakal jadi beban kita-kita aja. Karena siapapun juga pasti bakalan protes kalau harus satu kelompok sama orang yang nilainya mines semua." Ucap Tania tanpa ingin memfilter kata-katanya yang langsung merendahkan kemampuan Xavera di depan semua teman-teman sekelasnya dan juga Bu Indira.
"Apa yang dibilang Tania itu benar, Bu. Bukannya harusnya Xavera sekolah di tempat lain ya?" Ucap Baby teman satu meja dengan Tania.
"Iya benar. Ada banyak sekolah luar biasa. Kenapa bisa-bisanya sekolah ini menampung siswa seperti dia, Bu." Timpal siswa lainnya.
"Wajahnya sih oke lah. Tapi kalau bodohnya di luar nalar ya percuma. Bikin malu sekolah
nggak sih, Bu?"
"Dikeluarkan langsung aja bisa kan? Karena percuma aja buang-buang waktu, jelas bukan tempatnya dia di sini." Semua siswa saling bersahutan menghina Xavera yang sedari tadi memilih diam dan berusaha untuk tidak memperdulikan nya.
Ibu Indira pun yang sedari tadi diam memperhatikan mulai angkat bicara, "Ibu rasa waktu pembelajaran kita di hari ini sudah selesai ya. Ada waktu 15 menit lagi untuk kalian berdiskusi. Silahkan tentukan kelompok kalian masing-masing. Dan untuk Xavera. Kamu tidak perlu memiliki kelompok karena Ibu yakin kamu bisa menyelesaikan tugas yang Ibu berikan sendiri. Sekian, Ibu pamit keluar kelas." Ucap Ibu Indira tanpa meninggalkan jejak senyumannya lagi. Ia benar-benar muak menanggapi siswa-siswinya yang sombong dan tidak bisa diatur. Dan untuk Xavera, ia akan berusaha membimbingnya langsung di luar jam pelajaran.
Mendengar hal itu tentu membuat perasaan Tania semakin bersorak riang. Tujuannya untuk membuat Xavera dikucilkan berhasil.
"Sampai kapanpun itu. Aku akan selalu membuat hidup kamu menderita. Jangan harap memimpikan kebahagiaan, karena aku tidak akan pernah membiarkan itu terjadi." Gumam Tania dalam hatinya sembari melirik sekilas ke arah Xavera yang duduk di kursi paling belakang.
Bel istirahat berbunyi. Seperti biasanya, Xavera tidak membawa bekal dari rumah atau membeli makanan di kantin sekolah. Ia selalu menahan rasa laparnya dengan berdiam diri di ruang perpustakaan.
Jika biasanya ia duduk di pojokan kursi perpustakaan, kali ini Xavera lebih memilih duduk di kursi lain yang dekat dengan jendela, memandangi suasana di luarnya dengan tatapan dan pikiran yang tenang. Seolah apa yang terjadi di dalam kelas tadi tidak pernah ada. Ia belum mengambil salah satu buku untuk dibaca. Masih asyik memandangi apa yang dilihatnya saat ini. Tentang sebuah pohon yang bergerak karena hembusan angin dan beberapa daun-daun yang berguguran, menjadi pusat perhatian nya.
Nyatanya tempat itu bukanlah sembarang tempat. Melainkan tempat keramat dari seseorang yang tidak rela jika tempatnya diambil alih. Ia akan selalu menjadi orang pertama yang masuk ke dalam perpustakaan. Tapi kali ini ia datang terlambat karena sesuatu hal yang terjadi di ruang guru.
Xavera yang tidak biasa memperhatikan sekitar yang tidak menjadi objek perhatian nya, tidak mengetahui jika tempat duduk yang ia tempati sekarang adalah tempat yang selalu diduduki oleh seseorang. Seseorang itu pun masuk ke dalam perpustakaan dan langsung menghampiri Xavera, "Kenapa duduk di sini?" Ucap seseorang itu pada Xavera dengan tatapan dinginnya.
Xavera yang sedari tadi memandangi objek yang disukainya langsung teralihkan oleh suara seseorang yang kini tengah berdiri dan bertanya di hadapannya.
"Bisa pergi sekarang juga?" Siswa laki-laki itu terlihat menahan kekesalan menghadapi sikap Xavera yang diam.
"Maksudnya?" Tanya Xavera tak mengerti.
"To the point. Ini tempat gue." Ucap siswa laki-laki tersebut menekan di setiap katanya.
"Oh.. Maaf, aku gak tahu." Melihat reaksi Xavera yang langsung beranjak dari tempat duduknya, sedikit membuat siswa laki-laki itu terkejut.
"Apa dia tahu tentang kejadian ini." Batin siswa laki-laki itu sembari kedua matanya fokus menatap kepergian Xavera.
Meski setiap hari mengunjungi perpustakaan, ia baru melihat Xavera. Lebih tepatnya mereka berdua baru saling memperhatikan keberadaan satu sama lain.
"Maafkan aku, Kak. Aku belum bisa merelakan kejadian itu. Aku akan terus mencari bukti tentang siapa dalang di balik kematian Kakak." Batin siswa laki-laki itu menatap ke arah jendela dimana Kakaknya satu tahun yang lalu melakukan aksi bunuh diri dengan meloncat dari jendela tersebut sembari menusukkan pisau di tubuhnya.
"Gila tuh cewek! Berani-beraninya dia duduk di kursi itu. Dia nggak tahu apa kalau kursi itu udah jadi keramat buat Kai."
"Iya, dia nggak mikir apa gimana perasaan Kaisar." Timpal temannya tidak habis pikir.
"Udah deh kalian nggak usah emosi. Siapa tahu cewek itu memang nggak tahu kan kejadian yang udah menimpa Kakaknya Kai."
"Helloww!!! Gosip itu udah menyebar seantero sekolah. Anak-anak baru seangkatan dia aku tanya-tanya udah pada tahu kok."
"Tapi dia nggak pernah kamu tanya kan? Ngga semua orang suka bergosip Lia."
"Apa sih dibela terus. Temenan aja sana kamu sama dia."
"Iya ah, sana kamu temenan aja sama dia. Kaisar itu primadona sekolah, wajah tampan idaman hampir seluruh siswa di sekolah ini. Jadi nggak boleh ada yang berani menyakiti My Kaisar!"
Suara bisik-bisik itu amat terdengar oleh Xavera saat melewatinya. Ia yang memang tidak tahu tentang gosip apapun di sekolah, bertanya-tanya dalam hati tentang kejadian apa yang mereka maksud.
Di ruang perpustakaan di larang berbicara keras apalagi berisik. Hanya keheningan lah yang diijinkan. Untung saja sang penjaga perpustakaan tengah pergi, jadi tidak ada yang berani menegur geng heboh dari kelas tiga itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Arinda
🥰🥰🥰🥰🥰🥰
2023-11-02
2
Siska
🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰
2023-10-23
3
Linda19
Update terus Kak. Ceritanya aku suka 🥰
2023-10-22
6