I Love You Xavera
2 bulan telah berlalu. Dimana Xavera Adelina Putri bersekolah di SMA Mutiara Cinta. Melewati 60 hari ini yang panjang nan melelahkan. Mengapa dikatakan dengan hari-hari yang panjang? Karena untuk mengatakannya sebagai hari-hari yang berat, akan menjadi beban pikiran yang terlalu menyulitkan. Pikir Xavera yang selama ini berusaha bertahan melawan kerasnya kehidupan.
Karena kepribadian nya yang senang menyendiri dan jarang berbicara membuat kebanyakan teman-temannya memilih untuk menjauh, bahkan membenci karakternya. Dibilang tidak asyik lah, pura-pura pendiam dan pemalu padahal munafik di belakang layar. Dan ada banyak kata-kata lainnya yang menyerang Xavera secara membabi buta.
Kenapa bisa dikatakan separah itu? Karena memang tidak ada satupun teman-teman di kelasnya yang ingin atau untuk hanya sekedar menyapa Xavera. Mereka bahkan menganggap Xavera seolah tak pernah ada di dalam kelas. Sekalipun mereka menyebutkan nama Xavera, selalu saja dibarengi dengan kata-kata pujian penuh luka.
"Untuk tugas selanjutnya Ibu ingin kalian membentuk sebuah kelompok ya." Ucap Ibu Indira. Seorang guru dari mata pelajaran Sejarah Indonesia.
Semua bersorak riang dengan teman sebangkunya masing-masing kecuali Xavera yang hanya duduk sendirian di barisan tengah paling belakang.
"Ibu, apa untuk menentukan kelompoknya sesuai dengan keinginan kita?" Ucap seorang siswa perempuan yang duduk di barisan depan. Ia bernama Tania. Ia menyerukan pertanyaannya dengan lantang.
Ibu Indira pun terdiam sejenak untuk kemudian berucap, "Ibu akan mengecek terlebih dahulu data jumlah siswa di kelas ini." Ucapnya sembari membuka lembar absen kelas yang ada di atas mejanya.
"Tapi Bu kalau misalkan kita mau langsung memilih masing-masing dari pilihan kita, apa boleh?" Ucap siswa perempuan yang lainnya.
"Ibu rasa untuk membuat nya terlihat adil. Ibu saja yang pilihkan pembagian kelompok untuk kalian ya." Ucap Ibu Indira dengan kedua sudut bibirnya yang tak henti mengukir senyuman.
"Boleh aja, Bu. Tapi jangan pilihkan Xavera
untuk sekelompok sama aku ya, aku gak mau." Jawab siswa perempuan tersebut yang diikuti oleh seluruh siswa lainnya yang ada di dalam kelas.
"Aku juga gak mau."
"Aku juga lah."
"Ya sama!"
"Kita semua menolak keras pokoknya."
"Iya benar tuh, Bu."
"Pembawa sial siapa yang mau. Beban kehidupan mending dihempas aja ngga sih, ganggu banget."
Mereka saling bersahutan membuat riuh seisi kelas.
"Yes, ini yang aku suka." Batin Tania.
Ibu Indira mengerutkan keningnya heran. Ini
memang kali pertama dirinya membentuk
kelompok di ruang kelas satu ini. Dan untuk
di ruang kelas satu yang lain ia sudah
mencobanya, namun semua baik-baik saja.
Tidak ada yang banyak bertanya, apalagi
protes. Mereka semua mengikuti arahan
dengan baik. Apa ini yang dikatakan bahwa
perbedaan memang selalu ada. Pikir lbu
Indira.
Sembari kembali mengukir senyuman, Ibu
Indira pun berusaha memindai situasi
untuk kemudian bertanya, "Kalau kalian
semua tidak ingin satu kelompok dengan
Xavera, lalu siapa yang akan sekelompok
dengannya? Jangan memilih pertemanan
dalam belajar. Kita harus saling
bekerjasama, saling membantu satu sama
lain."
"Tapi masalahnya Xavera itu bodoh, Bu. Dia cuma bakal jadi beban kita-kita aja.
Siapapun juga pasti bakalan protes kalau harus satu kelompok sama orang yang nilainya mines semua." Ucap Tania
tanpa ingin memfilter kata-katanya yang
langsung merendahkan kemampuan
Xavera di depan semua teman-teman
sekelasnya dan juga Bu Indira.
"Apa yang dibilang Tania itu benar, Bu.
Bukannya harusnya Xavera sekolah di tempat lain ya?" Ucap Baby teman satu meja dengan Tania.
"Iya benar. Ada banyak sekolah luar biasa. Kenapa bisa-bisanya sekolah ini menampung siswa
seperti dia, Bu." Timpal siswa lainnya.
"Wajahnya sih oke lah. Tapi kalau bodohnya
diluar nalar ya percuma. Bikin malu sekolah
nggak sih, Bu?"
"Dikeluarkan langsung aja bisa kan? Karena percuma aja buang-buang waktu, jelas bukan tempatnya dia di sini." Semua siswa saling bersahutan menghina Xavera yang sedari tadi memilih diam berusaha untuk tidak memperdulikan nya.
lbu Indira pun yang sedari tadi diam
memperhatikan mulai angkat bicara, "lbu
rasa waktu pembelajaran kita di hari ini
sudah selesai ya. Ada waktu 15 menit lagi
untuk kalian berdiskusi. Silahkan tentukan
kelompok kalian masing-masing. Dan untuk
Xavera. Kamu tidak perlu memiliki kelompok.
Ibu yakin kamu bisa menyelesaikan tugas
yang Ibu berikan sendirian. Sekian, Ibu
pamit keluar kelas." Ucap Ibu Indira tanpa meninggalkan jejak senyuman nya lagi. la
benar-benar muak menanggapi
siswa-siswinya yang sombong dan tidak
bisa diatur. Untuk Xavera, ia akan berusaha
membimbingnya langsung diluar jam
pelajaran.
Mendengar hal itu tentu membuat perasaan Tania semakin bersorak riang. Tujuannya untuk membuat Xavera dikucilkan kembali berhasil.
"Sampai kapanpun itu. Aku akan selalu
membuat hidup kamu menderita. Jangan
harap memimpikan kebahagiaan, karena aku tidak akan pernah membiarkan itu terjadi." Gumam Tania dalam hati nya sembari melirik sekilas ke arah Xavera yang duduk di kursi paling belakang.
Bel istirahat berbunyi. Seperti biasanya,
Xavera tidak membawa bekal dari rumah
atau membeli makanan di kantin sekolah. la
selalu menahan rasa laparnya dengan berdiam diri di ruang perpustakaan.
Jika biasanya ia duduk dipojokkan kursi
perpustakaan. Kali ini Xavera lebih memilih
duduk di kursi lain yang dekat dengan
jendela, memandangi suasana di luarnya
dengan tatapan dan pikiran yang tenang.
Seolah apa yang terjadi di dalam kelas tadi
tidak pernah ada. la belum mengambil
salah satu buku untuk dibaca. Masih asyik
memandangi apa yang dilihatnya saat ini.
Tentang sebuah pohon yang bergerak
karena hembusan angin dan beberapa
daun-daun yang berguguran, menjadi pusat
perhatiannya.
Nyatanya tempat itu bukanlah sembarang
tempat. Melainkan tempat keramat dari
seseorang yang tidak rela jika tempatnya
diambil alih. la akan selalu menjadi orang
pertama yang masuk ke dalam
perpustakaan. Tapi kali ini ia datang
terlambat karena sesuatu hal yang terjadi di
ruang guru.
Xavera yang tidak biasa memperhatikan sekitar yang tidak menjadi objek perhatian
nya, tidak mengetahui jika tempat duduk
yang ia tempati sekarang adalah tempat
yang selalu diduduki oleh seseorang.
Seseorang itu pun masuk ke dalam
perpustakaan dan langsung menghampiri
Xavera, "Kenapa duduk di sini?" Ucap
seseorang itu pada Xavera dengan tatapan
dinginnya.
Xavera yang sedari tadi memandangi objek
yang disukainya langsung teralihkan
dengan suara seseorang yang bertanya
padanya.
"Maaf. Apa ada yang salah?" Xavera
menatap laki-laki tersebut. Entah mengapa tatapan dingin dan tajamnya sorot mata
di depannya saat ini sama sekali tidak
menggentarkan perasaan Xavera untuk
takut.
"Ini tempat duduk aku." Ucap laki-laki tersebut menegaskan kepemilikan nya dengan tatapan tajamnya.
"Oh iya? Sejak kapan? Apa bisa dibeli? Dimana kalau boleh tahu?" Entah keberanian ini datang dari mana. Yang jelas Xavera berani berucap pada siswa laki-laki yang tidak dikenalnya saat ini. Apa mungkin rasa kesal atas kejadian di dalam kelas tadi seolah bisa sedikit dilampiaskan nya dengan
kejadian ini. Entahlah. Karena biasanya,
Xavera tak berani menatap lawan bicaranya
apalagi berbicara selugas saat ini.
"Aku nggak suka debat." Ucap siswa laki-laki tersebut.
"Siapa juga yang suka." Timpal Xavera dengan cepat.
"Jangan mancing emosi bisa, kan?" Siswa laki-laki tersebut terlihat mengepalkan kedua tangannya menahan kekesalan.
"Santai aja, jangan terlalu tegang begitu." Xavera menghela nafasnya pelan sebelum kembali bicara, "Aku udah biasa diusir, disalahkan, apalagi dihina. Di dunia ini memang nggak ada yang aku punya. Jadi tempat ini pasti punya kamu. Maaf, karena sudah mengganggunya." Ucap Xavera yang langsung beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan.
Sementara laki-laki itu yang sempat ingin meluapkan emosinya, tertahan melihat tingkah seseorang yang baru dilihatnya. Dan iya, sama seperti Xavera. Meski setiap hari mengunjungi perpustakaan, ia baru melihat Xavera. Lebih tepatnya mereka berdua baru saling memperhatikan keberadaan satu sama lain.
"Maafkan aku, Kak. Aku belum bisa
merelakan kejadian itu. Aku akan terus
mencari bukti tentang siapa dalang dibalik
kematian Kakak." Batin siswa Laki-laki itu
menatap ke arah jendela dimana Kakaknya
satu tahun yang lalu melakukan aksi bunuh
diri dengan meloncat dari jendela tersebut
sembari menusukkan pisau di tubuhnya.
"Gila tuh cewek! Berani-beraninya dia duduk di kursi itu. Dia nggak tahu apa kalau kursi itu udah jadi keramat buat Kai."
"Iya dia nggak mikir apa gimana perasaan Kaisar." Timpal temannya sembari menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.
"Udah deh kalian nggak usah emosi. Siapa tahu cewek itu memang nggak tahu kejadian yang udah menimpa Kakaknya Kai."
"Helloww!!! Gosip itu udah menyebar seantero sekolah. Anak-anak baru seangkatan dia aku tanya-tanya udah pada tahu kok."
"Tapi dia nggak pernah kamu tanya kan? Ngga semua orang suka bergosip Lia."
"Apa sih dibela terus. Temenan aja sana kamu sama dia."
"Iya ah, sana kamu temenan aja sama dia. Kaisar itu primadona sekolah, wajah tampan idaman hampir seluruh siswa di sekolah ini. Jadi nggak ada satu orang pun yang boleh menyakiti My Kaisar!"
Suara bisik-bisik itu amat terdengar oleh Xavera saat melewatinya. Ia yang memang tidak tahu tentang gosip apapun di sekolah, bertanya-tanya dalam hati tentang kejadian apa yang mereka maksud.
Di ruang perpustakaan di larang berbicara keras apalagi berisik. Hanya keheningan lah yang diijinkan. Untung saja sang penjaga perpustakaan tengah pergi, jadi tidak ada yang berani menegur geng heboh dari kelas tiga itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Arinda
🥰🥰🥰🥰🥰🥰
2023-11-02
2
Siska
🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰
2023-10-23
3
Linda19
Update terus Kak. Ceritanya aku suka 🥰
2023-10-22
6