2 bulan telah berlalu. Dimana hari-hari panjang telah berhasil dilalui oleh Xavera Adelina Putri di sekolah SMA Mutiara Cinta. Mengapa dikatakan dengan hari-hari yang panjang? Karena untuk mengatakannya sebagai hari-hari yang berat, akan menjadi beban pikiran yang terlalu menyulitkan. Pikir Xavera yang selama ini berusaha bertahan melawan kerasnya kehidupan.
Karena kepribadian nya yang senang menyendiri dan jarang berbicara membuat kebanyakan teman-temannya memilih untuk menjauh, bahkan membenci karakternya. Dibilang tidak asyik lah, pura-pura pendiam dan pemalu padahal munafik di belakang layar. Dan ada banyak kata-kata lainnya yang menyerang Xavera secara membabi buta.
Kenapa bisa dikatakan separah itu? Karena memang tidak ada satupun teman-teman di kelasnya yang ingin atau untuk hanya sekedar menyapa Xavera. Mereka bahkan menganggap Xavera seolah tak pernah ada di dalam kelas. Sekalipun mereka menyebutkan nama Xavera, selalu saja dibarengi dengan kata-kata pujian penuh luka.
"Untuk tugas selanjutnya Ibu ingin kalian membentuk sebuah kelompok ya." Ucap Ibu Indira. Seorang guru dari mata kuliah sejarah Indonesia.
Semua bersorak riang dengan teman sebangkunya masing-masing kecuali Xavera yang hanya duduk sendirian.
"Ibu, apa untuk menentukan kelompoknya sesuai dengan keinginan kita?" Ucap seorang siswa perempuan yang duduk di barisan depan. Ia bernama Tania. Ia menyerukan pertanyaannya dengan lantang.
Ibu Indira pun terdiam sejenak untuk kemudian berucap, "Ibu akan mengecek terlebih dahulu data jumlah siswa di kelas ini." Ucapnya sembari membuka lembar absen kelas yang ada di atas mejanya.
"Tapi jika kita ingin memilihnya sendiri, bagaimana Bu?" Ucap siswa perempuan yang lainnya.
"Ibu rasa untuk membuat nya terlihat adil. Ibu saja yang pilihkan pembagian kelompok untuk kalian ya." Ucap Ibu Indira dengan kedua sudut bibirnya yang tak henti mengukir senyuman.
"Boleh saja, Bu. Tapi jangan pilihkan Xaxa
untuk sekelompok denganku." Jawab siswa
perempuan tersebut yang diikuti oleh
seluruh siswa lainnya yang ada di dalam
kelas.
Ibu Indira mengerutkan keningnya heran. Ini
memang kali pertama dirinya membentuk
kelompok di ruang kelas satu ini. Dan untuk
di ruang kelas satu yang lain ia sudah
mencobanya, namun semua baik-baik saja.
Tidak ada yang banyak bertanya, apalagi
protes. Mereka semua mengikuti arahan
dengan baik. Apa ini yang dikatakan bahwa
perbedaan memang selalu ada. Pikir lbu
Indira.
Sembari kembali mengukir senyuman, Ibu
Indira pun berusaha memindai situasi
untuk kemudian bertanya, "Jika kalian
semua tidak ingin satu kelompok dengan
Xavera, lalu siapa yang akan sekelompok
dengannya? Jangan memilih pertemanan
dalam belajar. Kita harus saling
bekerjasama, saling membantu satu sama
lain."
"Tapi masalahnya Xavera itu bodoh, Bu. Dia
hanya akan menjadi beban kelompok saja.
Siapapun juga pasti akan malas jika harus
satu kelompok dengannya." Ucap Tania
tanpa ingin memfilter kata-katanya yang
langsung merendahkan kemampuan
Xavera di depan semua teman-teman
sekelasnya dan juga Bu Indira.
"Apa yang dikatakan Tania itu benar, Bu.
Bukankah seharusnya Xavera tidak
bersekolah disini?" Ucap Baby teman satu
meja dengan Tania.
"Ada banyak sekolah luar biasa. Kenapa bisa-bisanya sekolah ini menampung siswa
seperti dia, Bu." Timpal siswa lainnya.
"Wajahnya sih oke lah. Tapi kalau bodohnya
diluar nalar ya percuma. Bikin malu sekolah
nggak sih, Bu?"
"Dikeluarin aja bisa, kan? Daripada
buang-buang waktu sama duit aja. Aku
saranin dia buat sekolah di SLB XX."
Semua siswa saling bersahutan menghina
Xavera yang sedari tadi memilih diam tak
peduli.
lbu Indira pun yang sedari tadi diam
memperhatikan mulai angkat bicara, "lbu
rasa waktu pembelajaran kita di hari ini
sudah selesai ya. Ada waktu 15 menit lagi
untuk kalian berdiskusi. Silahkan tentukan
kelompok kalian masing-masing. Dan untuk
Xaxa. Kamu tidak perlu memiliki kelompok.
Ibu yakin kamu bisa menyelesaikan tugas
yang Ibu berikan sendirian. Sekian, Ibu
pamit keluar kelas." Ucap Ibu Indira tanpa meninggalkan jejak senyuman nya lagi. la
benar-benar muak menanggapi
siswa-siswinya yang sombong dan tidak
bisa diatur. Untuk Xaxa, ia akan berusaha
membimbingnya langsung diluar jam
pelajaran.
Mendengar hal itu membuat Tania bersorak
kemenangan dalam hati. Tujuannya untuk
semakin membuat Xavera dikucilkan
kembali berhasil.
"Sampai kapanpun itu. Aku akan selalu
membuat hidupmu menderita. Jangan
harap memimpikan kebahagiaan, karena itu
tidak akan pernah terjadi." Gumam Tania
dalam hati nya sembari melirik sekilas ke
arah Xavera yang duduk di kursi paling
belakang.
Bel istirahat berbunyi. Seperti biasanya,
Xavera tidak membawa bekal dari rumah
atau membeli makanan di kantin sekolah. la
selalu menahan rasa laparnya dengan
berdiam diri di ruang perpustakaan.
Jika biasanya ia duduk dipojokkan kursi
perpustakaan. Kali ini Xavera lebih memilih
duduk di kursi lain yang dekat dengan
jendela, memandangi suasana di luarnya
dengan tatapan dan pikiran yang tenang.
Seolah apa yang terjadi di dalam kelas tadi
tidak pernah ada. la belum mengambil
salah satu buku untuk dibaca. Masih asyik
memandangi apa yang dilihatnya saat ini.
Tentang sebuah pohon yang bergerak
karena hembusan angin dan beberapa
daun-daun yang berguguran, menjadi pusat
perhatiannya.
Nyatanya tempat itu bukanlah sembarang
tempat. Melainkan tempat keramat dari
seseorang yang tidak rela jika tempatnya
diambil alih. la akan selalu menjadi orang
pertama yang masuk ke dalam
perpustakaan. Tapi kali ini ia datang
terlambat karena sesuatu hal yang terjadi di
ruang guru.
Xavera yang tidak biasa memperhatikan sekitar yang tidak menjadi objek perhatian
nya, tidak mengetahui jika tempat duduk
yang ia tempati sekarang adalah tempat
yang selalu diduduki oleh seseorang.
Seseorang itu pun masuk ke dalam
perpustakaan dan langsung menghampiri
Xavera, "Kenapa duduk disini?" Ucap
seseorang itu pada Xavera dengan tatapan
dinginnya.
Xavera yang sedari tadi memandangi objek
yang disukainya langsung teralihkan
dengan suara seseorang yang bertanya
padanya.
"Maaf. Apa ada yang salah?" Xavera
menatap laki-laki tersebut dengan tatapan
santainya. Dingin dan tajamnya sorot mata
di depannya saat ini sama sekali tidak
menggentarkan perasaan Xavera untuk
takut.
"Ini tempatku." Ucap laki-laki tersebut
sembari menghela nafas panjang.
"Sejak kapan? Apa kamu sudah
membelinya dari sekolah? Apa memang
bisa dilakukan?" Entah keberanian ini
datang dari mana. Yang jelas Xavera berani
berucap pada siswa laki-laki yang tidak
dikenalnya saat ini. Apa mungkin rasa kesal
atas kejadian di dalam kelas tadi seolah
bisa sedikit dilampiaskan nya dengan
kejadian ini. Entahlah. Karena biasanya,
Xavera tak berani menatap lawan bicaranya
apalagi berbicara selugas saat ini.
"Bisakah kamu mencari tempat duduk yang
lain. Karena masih ada banyak tempat
duduk yang kosong" Ucap laki-laki tersebut
sembari mengepalkan kedua tangannya.
"Kenapa bukan kamu saja."' Ucap Xavera
dengan tatapan datarnya sembari beranjak
dari tempat duduknya, "Aku tidak tertarik
untuk memperebutkan hal yang tidak
penting. Silahkan duduk di sini dan aku
pastikan ini tidak akan terulang." Ucapnya melangkah pergi meninggalkan
perpustakaan.
Sementara laki-laki itu yang sempat ingin meluapkan emosinya, tertahan melihat tingkah seseorang yang baru dilihatnya. Dan iya, sama seperti Xavera. Meski setiap hari mengunjungi perpustakaan, ia baru melihat Xavera. Lebih tepatnya mereka berdua baru saling memperhatikan keberadaan satu sama lain.
"Maafkan aku, Kak. Aku belum bisa
melepas kejadian itu. Aku akan terus
mencari bukti tentang siapa dalang dibalik
kematian Kakak." Batin siswa Laki-laki itu
menatap ke arah jendela dimana Kakaknya
satu tahun yang lalu melakukan aksi bunuh
diri dengan meloncat dari jendela tersebut
sembari menusukkan pisau di tubuhnya.
Siswa laki-laki yang berhadapan dengan
Xavera itu bernama Kaisar. Kaisar memiliki
sikap yang dingin dan tidak mudah
disentuh. la sangat menjaga privasi dirinya
dan juga keluarganya. Hingga tidak banyak
dari teman-temannya yang tahu dari
keluarga mana Kaisar berasal. Terlebih
Kaisar juga tidak memainkan sosial media
manapun. la hanya memiliki nomor ponsel
untuk berkirim pesan dan melakukan
panggilan telepon.
Keesokan harinya. Kai yang hendak
melangkah menuju perpustakaan setelah
bel istirahat berbunyi, bertemu dengan
Xavera di koridor sekolah. Tengah berjalan
sendiri dari arah yang berlawanan dengan
nya.
Kaisar berusaha mengalihkan tatapan
matanya. la tidak ingin siswa perempuan yang kemarin ia temui di perpustakaan itu
menyapanya. Namun karena ia Xavera.
Meskipun Kaisar terlihat sangat tampan
dan dikagumi oleh banyaknya siswa
perempuan di sekolah SMA Mutiara Cinta,
tidak lantas membuat nya ikut terhanyut,
terbawa perasaan dan sama-sama jatuh
cinta. Xavera justru tak memfokuskan
pandangan ke arah siapapun, ia lebih
memilih jalan dengan tatapan sedikit
menunduk untuk mengindari bersitatap
dengan semua orang.
Disaat Kai dan juga Xavera mulai
melangkah saling mendekati, tiba-tiba
seorang siswa perempuan yang bernama
Tania yang merupakan teman sekelas
Xavera menarik lengan Xavera dengan
kasar lalu membawanya ke arah toilet
bersama dengan Baby yang selalu berada
di sampingnya. Kai yang melihat itu
langsung menghentikan langkahnya.
Terdiam dengan beberapa pertanyaan yang
muncul.
"Kenapa aku jadi memikirkannya" Batin
Kaisar kesal dengan pikirannya sendiri. la
kembali melangkahkan kakinya cepat
menuju perpustakaan.
Setelah sampai di ruang toilet, Tania
langsung menghempaskan tubuh Xavera
dengan kasar ke arah tembok. Siswa lain
yang tengah berada di toilet pun langsung
tergesa-gesa keluar. Mereka tahu
bagaimana populer nya Tania yang
merupakan anak seorang pengusaha
terkenal. Tidak ada yang berani
menegurnya selain sama-sama memiliki
kekuatan.
"Aw." Ucap Xavera mengaduh kesakitan.
"Kenapa mengaduh? Sakit ya?" Ucap Tania
sembari mencengkeram kuat rahang
Xavera.
Xavera sendiri tidak berusaha melawan. la hanya terus diam dan menerima setiap
perlakuan kasar Tania padanya.
"Baby, Keluarlah. Aku ingin berbicara
dengan nya berdua." Ucapnya tanpa
mengalihkan tatapan tajamnya pada
Xavera.
"Baiklah aku pergi. Selesaikan urusanmu
dengan dia secepatnya. Aku tunggu di kantin." Baby pun langsung keluar toilet.
Setelah puas mencengkeram kuat rahang
Xavera, Tania pun langsung melepaskan
nya dengan kasar.
"Aku peringatkan sekali lagi. Jangan berani
mengadukan nya atau nasib Ibumu akan
hancur!"
"Aku tidak pernah berniat untuk mengadukannya. Jadi kamu tidak usah
khawatir akan hal itu." Ucap Xavera setelah
mengatur nafasnya yang sesak akibat dari
cengkeraman tangan Tania pada lehernya
tadi.
"Bagaimana aku tidak khawatir. Kemarin
kamu pasti sengaja bukan melakukan nya
agar semua orang tahu tentang kamu yang
sebenarnya. lya kan sialan?!!" Tania
berteriak kesal. Begitu muak untuk hanya
sekedar menatap wajah Xavera. la
benar-benar menahan kekesalannya
kemarin karena tidak bisa meluapkannya
sepulang sekolah karena harus melakukan
ekskul cheerleader.
Permasalahan ini dimulai saat Xavera lupa
mengubah nama di lembar jawaban nya.
Hingga yang terjadi saat pemeriksaan guru,
tertera ada dua nama Xavera. Yaitu yang
dibuat oleh Xavera sendiri dan juga Tania.
"Maaf." Ucapnya menghela nafas, "Kali ini
aku benar-benar tidak sengaja
melakukannya."
Mendengar hal itu Tania langsung tertawa
terbahak. la tidak percaya dengan alasan
Xavera.
"Apa kamu pikir aku ini bodoh? Mudah saja
dibohongi oleh tampang sok polos mu itu,
hah?!" Ucapnya lantang sembari kembali
mendorong kasar bahu Xavera. "Aku bisa
saja saat ini juga menghubungi Papah aku
untuk menarik semua--"
"Jangan!" Xavera langsung berlutut di
hadapan Tania. "Aku mohon jangan lakukan
hal itu. Aku minta maaf. Aku benar-benar
merasa bersalah. Dan aku akan pastikan
hal ini tidak akan terulang lagi." Ucapnya
sembari mengatupkan kedua tangan
meminta permohonan maaf dari Tania.
Semakin merasa sombong. Tania melipat
kedua tangan di dadanya dengan dagu yang
diangkat ke atas. Ekspresi wajah nya
benar-benar merendahkan posisi Xavera.
"Untuk terakhir kalinya aku pegang
kata-kata mu. Tapi jika nantinya hal ini
terulang lagi. Jangan salahkan aku kalau
Ibumu mati detik itu juga." Ucap Tania
berlalu pergi meninggalkan Xavera yang
masih berlutut sembari menundukkan
wajahnya.
"Aku tidak pernah bersedih. Aku tidak
pernah bersedih." Ucap Xavera berulangkali
di dalam hatinya berusaha menahan air
mata yang terus saja mendesaknya untuk
keluar.
"Aku bahagia dan aku tidak pernah
bersedih. Aku bahagia dan aku tidak pernah
bersedih. Aku bahagia dan aku tidak pernah
bersedih." Gumamnya lagi berulangkali kali
masih di dalam hatinya. Beranjak dari
duduknya untuk kemudian masuk
tergesa-gesa ke dalam salah satu kamar
toilet.
Luruh sudah air matanya yang berusaha ia
tahan habis-habisan. Xavera benar-benar
tidak bisa menahannya hingga air matanya
terus berderai membasahi kedua pipinya.
Namun meski begitu, Xavera masih kuat
dan bertahan untuk tidak mengeluarkan
suara tangisannya. Dan itu cukup menyayat
hatinya yang tidak puas dan merasai
dadanya yang semakin sesak oleh
kenyataan.
Xavera malu jika tangisannya terdengar
oleh siswa lain. Terlebih mereka tidak akan
perduli juga dengan kesedihan yang
dialaminya. Daripada mendatangkan
hujatan dibanding rengkuhan, Xavera
kembali berusaha menahan air matanya
dan bergegas untuk keluar dari dalam
kamar toilet dan menghapus air mata nya
dengan cepat.
"Aku masih ingin melihat sejauh mana
kamu bersikap sombong dan purapura
tidak merasa bersalah. Aku semakin tidak
percaya kamu akan bersikap tidak tahu
malu seperti ini, Tania." Batin Xavera
melangkahkan kakinya menyusuri koridor
sekolah menuju kelasnya.
Di sepanjang perjalanan, semua mata
tertuju ke arahnya. Sepertinya berita
tentang Tania yang melabraknya saat jam
istirahat hari ini sudah tersebar seantero
sekolah.
Xavera yang tidak peduli terus
melangkahkan kakinya. Mata-mata yang
memandangnya rendah saat ini seolah lenyap tiada arti. Xavera yang dipaksa kuat
oleh keadaan, mulai terlihat tangguh.
Ditinggalkan oleh Ayah dan juga adik
laki-laki nya, hidup bersama Ibu yang sakit
karena mengalami kecelakaan, di-bully
setiap hari oleh Tania sudah berhasil
membentuk nya menjadi se tegar saat ini.
Setelah selesai menjelaskan permasalahan yang terjadi di dalam kelas karena masalah penulisan namanya dan Tania, akhirnya Xavera mendapatkan hukuman dan diminta untuk melakukan banyak tugas yang harus di kumpulkan besok juga.
Sebenarnya mudah saja untuk Xavera mengerjakan tugas-tugas itu. Namun peran nya yang diatur oleh Tania membuatnya tak bisa bergerak bebas, melainkan harus melakukan nya dengan asal seolah menghancurkan nya adalah pilihan.
"Semua akan berjalan seharusnya suatu saat nanti. Untuk saat ini, aku akan menikmati permainanmu Tania." Ucapnya meyakinkan hati bahwa semua akan baik-baik saja.
Masuklah Xavera ke dalam perpustakaan. Setelah mengambil salah satu buku bacaan, Xavera langsung duduk di kursi biasanya yang ada di pojok sebelah kiri dari pintu masuk. Matanya yang terlihat sembab menjadi pusat perhatian. Namun Xavera yang tidak menyadari hal itu, lagi-lagi tidak memperhatikan sekitarnya hingga selalu bersikap biasa saja.
"Kenapa dia? Apa yang terjadi dengan nya dan perempuan itu. Mengapa kedua matanya sekarang menjadi sembab? Apa dia habis menangis? Memangnya apa yang dilakukan perempuan itu padanya?" Kaisar yang tidak pernah memperhatikan sekitar layaknya Xavera tiba-tiba saja tergoda untuk melirik ke arah Xavera setelah mendengar bisik-bisik dari beberapa siswa. Tatapan matanya yang sebelumnya fokus membaca buku pun menjadi teralihkan.
Xavera yang saat ini tengah fokus membaca buku tentang ekonomi tidak menyadari jika saat ini banyak pasang mata yang melirik-lirik ke arahnya. Terlebih berita tentang dirinya yang dilabrak dan disiksa oleh Tania sudah tersebar luas di setiap penjuru sekolah SMA Mutiara Cinta. Tapi tidak dengan Kaisar yang anti sosial. Ia benar-benar tidak tahu menahu tentang hal itu terkecuali jika Aldi teman sebangkunya yang menceritakan. Yang ia tahu hanyalah Tania yang menarik lengan Xavera di hadapannya saat di koridor sekolah. Sementara kejadian dimana Xavera dihempaskan dengan kasar hingga membentur dinding toilet dengan rahang yang dicengkeram erat tentu itulah yang tidak ia ketahui.
Semua siswa satu persatu mulai meninggalkan perpustakaan. Tapi tidak dengan Xavera, begitupun Kaisar yang memilih diam di kursinya sembari melirik-lirik tipis ke arah Xavera. Berhubung bel berakhirnya istirahat belum berbunyi, Xavera masih ingin menenangkan hatinya yang bergejolak karena ulah Tania.
"Aku sangat menyayangi dan mencintai Ibu. Biarlah kehidupan penuh luka dan air mata ini selalu aku terima. Karena aku selalu bahagia karena merasakannya demi Ibu. Untuk kesembuhan Ibu. Untuk bisa melihat Ibu kembali sembuh, sehat dan bahagia. Terutama untuk bisa melihatnya berubah dan kembali seperti dulu." Lirih Xavera dalam hatinya sembari menundukkan kepala di atas meja setelah menutup rapat buku ekonomi yang diambilnya tadi di salah satu rak buku.
Xavera mengangkat wajahnya. Ia yang sedari tadi mengabaikan sekitar mengedarkan pandangan nya ke segala arah sampai tatapan matanya bertemu dengan seseorang yang tengah duduk di salah satu kursi tepat di samping jendela yang kemarin ia duduki.
"Rupanya dia benar-benar selalu menempati tempat itu." Ucapnya sembari menatap ke arah Kaisar. Sementara Kaisar yang melihat Xavera mulai mengangkat wajahnya tadi langsung pura-pura membaca buku nya lagi.
Tak ingin menambah waktu lagi, Xavera mulai beranjak dari tempat duduknya. Berjalan ke arah Kaisar menuju pintu keluar perpustakaan. Namun saat melewati nya, tiba-tiba saja ada yang menahan lengannya. Siapa lagi kalau bukan Kaisar yang seorang diri di sana.
Xavera membalikkan badannya dengan tatapan bingung ke arah Kaisar.
"Ada apa?"
Kaisar yang dibuat kaget oleh tindakannya sendiri yang refleks memegang tangan Xavera sontak melepaskannya.
"Maaf. Aku tidak sengaja."
"Ada apa?" Xavera kembali mengulang pertanyaan nya dengan tatapan mata yang fokus meminta jawaban Kaisar.
"Tidak ada. Tidak ada apa-apa. Aku hanya tidak sengaja." Ucapnya sembari mengalihkan tatapan mata dari Xavera yang terus menatap ke arahnya.
Xavera yang dibuat bingung tak ingin ambil pusing. Ia hendak melangkahkan kakinya untuk pergi, namun sebuah tangan lagi-lagi menahan langkahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!