NovelToon NovelToon

I Love You Xavera

Episode 1 SANG PENYENDIRI

Di sebuah rumah sakit ternama. Dimana seorang wanita paruh baya tengah terbaring lemah di ruang ICU. Kondisinya sangat memperihatinkan. Wanita itu sudah hampir setengah tahun mengalami koma akibat dari kecelakaan yang menimpanya.

"Ibu.. Bagaimana kabarnya, Bu? Ibu semakin sehat kan? Xavera setiap hari rindu sama Ibu. Rindu Ibu yang selalu memeluk hangat Xavera." Ia berbicara sembari tangannya membelai lembut punggung tangan Ibunya. Mengangkat nya mendekat ke arah pipi sebelah kiri lalu menciumnya dengan air mata yang bercucuran.

"Meski selama ini kita hanya tinggal berdua, Xavera tidak pernah merasa kesepian. Semua itu karena Ibu selalu membuat Xavera bahagia, merasa cukup dan tenang." Ucapnya lagi dengan kedua matanya yang tak henti menatap sang Ibu.

2 bulan telah berlalu. Dimana Xavera Adelina Putri bersekolah di SMA Mutiara Cinta. Melewati 60 hari yang panjang nan melelahkan. Mengapa dikatakan dengan hari-hari yang panjang? Karena untuk mengatakannya sebagai hari-hari yang berat, akan menjadi beban pikiran yang terlalu menyulitkan. Pikir Xavera yang selama ini berusaha bertahan melawan kerasnya kehidupan.

Karena kepribadian nya yang senang menyendiri dan jarang berbicara membuat kebanyakan teman-temannya memilih untuk menjauh, bahkan membenci karakternya. Dibilang tidak asyik lah, pura-pura pendiam dan pemalu padahal munafik di belakang layar. Dan ada banyak kata-kata lainnya yang menyerang Xavera secara membabi buta.

Kenapa bisa dikatakan separah itu? Karena memang tidak ada satupun teman-teman di kelasnya yang ingin atau untuk hanya sekedar menyapa Xavera. Mereka bahkan menganggap Xavera seolah tak pernah ada di dalam kelas. Sekalipun mereka menyebutkan nama Xavera, selalu saja dibarengi dengan kata-kata pujian penuh luka.

"Untuk tugas selanjutnya Ibu ingin kalian membentuk sebuah kelompok ya." Ucap Ibu Indira. Seorang guru dari mata pelajaran Sejarah Indonesia.

Semua bersorak riang dengan teman sebangkunya masing-masing kecuali Xavera yang hanya duduk sendirian di barisan tengah paling belakang.

"Ibu, apa untuk menentukan kelompoknya sesuai dengan keinginan kita?" Ucap seorang siswa perempuan yang duduk di barisan depan. Ia bernama Tania. Ia menyerukan pertanyaannya dengan lantang.

Ibu Indira pun terdiam sejenak untuk kemudian berucap, "Ibu akan mengecek terlebih dahulu data jumlah siswa di kelas ini." Ucapnya sembari membuka lembar absen kelas yang ada di atas mejanya.

"Tapi Bu kalau misalkan kita mau langsung memilih masing-masing dari pilihan kita, apa boleh?" Ucap siswa perempuan yang lainnya.

"Ibu rasa untuk membuat nya terlihat adil. Ibu saja yang pilihkan pembagian kelompok untuk kalian ya." Ucap Ibu Indira dengan kedua sudut bibirnya yang tak henti mengukir senyuman.

"Boleh aja, Bu. Tapi jangan pilihkan Xavera

untuk sekelompok sama aku ya, aku gak mau." Jawab siswa perempuan tersebut yang diikuti oleh seluruh siswa lainnya yang ada di dalam kelas.

"Aku juga gak mau."

"Aku juga lah."

"Ya sama!"

"Kita semua menolak keras pokoknya."

"Iya benar tuh, Bu."

"Pembawa sial siapa yang mau. Beban kehidupan mending dihempas aja ngga sih, ganggu banget."

Mereka saling bersahutan membuat riuh seisi kelas.

"Yes, ini yang aku suka." Batin Tania.

Ibu Indira mengerutkan keningnya heran. Ini memang kali pertama dirinya membentuk kelompok di ruang kelas satu ini. Dan untuk ruang kelas satu yang lain ia sudah mencobanya, namun semua baik-baik saja. Tidak ada yang banyak bertanya, apalagi protes. Mereka semua mengikuti arahan dengan baik. Apa ini yang dikatakan bahwa perbedaan memang selalu ada. Pikir Ibu Indira.

Sembari kembali mengukir senyuman, Ibu Indira pun berusaha memindai situasi untuk kemudian bertanya, "Kalau kalian semua tidak ingin satu kelompok dengan Xavera, lalu siapa yang akan sekelompok dengannya? Jangan memilih pertemanan dalam belajar. Kita harus saling bekerjasama, saling membantu satu sama lain."

"Tapi masalahnya Xavera itu bodoh, Bu. Dia cuma bakal jadi beban kita-kita aja. Karena siapapun juga pasti bakalan protes kalau harus satu kelompok sama orang yang nilainya mines semua." Ucap Tania tanpa ingin memfilter kata-katanya yang langsung merendahkan kemampuan Xavera di depan semua teman-teman sekelasnya dan juga Bu Indira.

"Apa yang dibilang Tania itu benar, Bu. Bukannya harusnya Xavera sekolah di tempat lain ya?" Ucap Baby teman satu meja dengan Tania.

"Iya benar. Ada banyak sekolah luar biasa. Kenapa bisa-bisanya sekolah ini menampung siswa seperti dia, Bu." Timpal siswa lainnya.

"Wajahnya sih oke lah. Tapi kalau bodohnya di luar nalar ya percuma. Bikin malu sekolah

nggak sih, Bu?"

"Dikeluarkan langsung aja bisa kan? Karena percuma aja buang-buang waktu, jelas bukan tempatnya dia di sini." Semua siswa saling bersahutan menghina Xavera yang sedari tadi memilih diam dan berusaha untuk tidak memperdulikan nya.

Ibu Indira pun yang sedari tadi diam memperhatikan mulai angkat bicara, "Ibu rasa waktu pembelajaran kita di hari ini sudah selesai ya. Ada waktu 15 menit lagi untuk kalian berdiskusi. Silahkan tentukan kelompok kalian masing-masing. Dan untuk Xavera. Kamu tidak perlu memiliki kelompok karena Ibu yakin kamu bisa menyelesaikan tugas yang Ibu berikan sendiri. Sekian, Ibu pamit keluar kelas." Ucap Ibu Indira tanpa meninggalkan jejak senyumannya lagi. Ia benar-benar muak menanggapi siswa-siswinya yang sombong dan tidak bisa diatur. Dan untuk Xavera, ia akan berusaha membimbingnya langsung di luar jam pelajaran.

Mendengar hal itu tentu membuat perasaan Tania semakin bersorak riang. Tujuannya untuk membuat Xavera dikucilkan berhasil.

"Sampai kapanpun itu. Aku akan selalu membuat hidup kamu menderita. Jangan harap memimpikan kebahagiaan, karena aku tidak akan pernah membiarkan itu terjadi." Gumam Tania dalam hatinya sembari melirik sekilas ke arah Xavera yang duduk di kursi paling belakang.

Bel istirahat berbunyi. Seperti biasanya, Xavera tidak membawa bekal dari rumah atau membeli makanan di kantin sekolah. Ia selalu menahan rasa laparnya dengan berdiam diri di ruang perpustakaan.

Jika biasanya ia duduk di pojokan kursi perpustakaan, kali ini Xavera lebih memilih duduk di kursi lain yang dekat dengan jendela, memandangi suasana di luarnya dengan tatapan dan pikiran yang tenang. Seolah apa yang terjadi di dalam kelas tadi tidak pernah ada. Ia belum mengambil salah satu buku untuk dibaca. Masih asyik memandangi apa yang dilihatnya saat ini. Tentang sebuah pohon yang bergerak karena hembusan angin dan beberapa daun-daun yang berguguran, menjadi pusat perhatian nya.

Nyatanya tempat itu bukanlah sembarang tempat. Melainkan tempat keramat dari seseorang yang tidak rela jika tempatnya diambil alih. Ia akan selalu menjadi orang pertama yang masuk ke dalam perpustakaan. Tapi kali ini ia datang terlambat karena sesuatu hal yang terjadi di ruang guru.

Xavera yang tidak biasa memperhatikan sekitar yang tidak menjadi objek perhatian nya, tidak mengetahui jika tempat duduk yang ia tempati sekarang adalah tempat yang selalu diduduki oleh seseorang. Seseorang itu pun masuk ke dalam perpustakaan dan langsung menghampiri Xavera, "Kenapa duduk di sini?" Ucap seseorang itu pada Xavera dengan tatapan dinginnya.

Xavera yang sedari tadi memandangi objek yang disukainya langsung teralihkan oleh suara seseorang yang kini tengah berdiri dan bertanya di hadapannya.

"Bisa pergi sekarang juga?" Siswa laki-laki itu terlihat menahan kekesalan menghadapi sikap Xavera yang diam.

"Maksudnya?" Tanya Xavera tak mengerti.

"To the point. Ini tempat gue." Ucap siswa laki-laki tersebut menekan di setiap katanya.

"Oh.. Maaf, aku gak tahu." Melihat reaksi Xavera yang langsung beranjak dari tempat duduknya, sedikit membuat siswa laki-laki itu terkejut.

"Apa dia tahu tentang kejadian ini." Batin siswa laki-laki itu sembari kedua matanya fokus menatap kepergian Xavera.

Meski setiap hari mengunjungi perpustakaan, ia baru melihat Xavera. Lebih tepatnya mereka berdua baru saling memperhatikan keberadaan satu sama lain.

"Maafkan aku, Kak. Aku belum bisa merelakan kejadian itu. Aku akan terus mencari bukti tentang siapa dalang di balik kematian Kakak." Batin siswa laki-laki itu menatap ke arah jendela dimana Kakaknya satu tahun yang lalu melakukan aksi bunuh diri dengan meloncat dari jendela tersebut sembari menusukkan pisau di tubuhnya.

"Gila tuh cewek! Berani-beraninya dia duduk di kursi itu. Dia nggak tahu apa kalau kursi itu udah jadi keramat buat Kai."

"Iya, dia nggak mikir apa gimana perasaan Kaisar." Timpal temannya tidak habis pikir.

"Udah deh kalian nggak usah emosi. Siapa tahu cewek itu memang nggak tahu kan kejadian yang udah menimpa Kakaknya Kai."

"Helloww!!! Gosip itu udah menyebar seantero sekolah. Anak-anak baru seangkatan dia aku tanya-tanya udah pada tahu kok."

"Tapi dia nggak pernah kamu tanya kan? Ngga semua orang suka bergosip Lia."

"Apa sih dibela terus. Temenan aja sana kamu sama dia."

"Iya ah, sana kamu temenan aja sama dia. Kaisar itu primadona sekolah, wajah tampan idaman hampir seluruh siswa di sekolah ini. Jadi nggak boleh ada yang berani menyakiti My Kaisar!"

Suara bisik-bisik itu amat terdengar oleh Xavera saat melewatinya. Ia yang memang tidak tahu tentang gosip apapun di sekolah, bertanya-tanya dalam hati tentang kejadian apa yang mereka maksud.

Di ruang perpustakaan di larang berbicara keras apalagi berisik. Hanya keheningan lah yang diijinkan. Untung saja sang penjaga perpustakaan tengah pergi, jadi tidak ada yang berani menegur geng heboh dari kelas tiga itu.

Episode 2 PERLAKUAN KASAR TANIA

Keesokan harinya di pagi hari, Tania menarik paksa Xavera untuk ikut dengannya. Dan ternyata, Tania membawa Xavera ke ruang toilet lalu menghempaskan nya dengan kasar.

"AW!" Ucap Xavera mengaduh kesakitan.

Siswa lain yang tengah berada di ruang toilet pun langsung tergesa-gesa keluar. Mereka tahu bagaimana populernya seorang Tania yang merupakan anak dari pemilik yayasan SMA Mutiara Cinta. Sejauh ini pun tidak ada yang berani menegurnya selain sama-sama memiliki kekuatan.

"Kenapa? Sakit ya?" Ucap Tania sembari mencengkeram kuat rahang Xavera.

Xavera sendiri tidak berusaha melawan. Ia hanya terus diam dan menerima setiap perlakuan kasar Tania padanya.

"Keluar, Beby. Gue mau bicara empat mata sama orang yang ngga tahu diri ini." Ucapnya tanpa mengalihkan tatapan tajamnya pada Xavera.

"Oke, Gue tunggu di kantin."

"Hem." Jawab Tania.

Setelah puas mencengkeram kuat rahang Xavera, Tania pun langsung melepaskan nya dengan kasar.

"Ini benar-benar peringatan terakhir Xavera Adelina Putri. Kalau sampai Lo melanggar perjanjian kita, ngga ada ampun, kelar semuanya!"

"Bukannya sejauh ini aku sudah melakukan semua nya dengan baik?" Ucap Xavera setelah mengatur nafasnya yang sesak akibat dari cengkeraman tangan Tania pada lehernya tadi.

"Melakukan nya dengan baik? What?!" Tania berteriak keras tepat di depan wajah Xavera. "Apa yang Lo lakukan kemarin itu justru hal gila yang bisa membuat perjanjian kita hancur dalam sekejap! Berpura-pura menjadi gadis polos yang munafik! Sengaja melakukan nya untuk membongkar siapa Lo yang sebenarnya. IYA? ITU PASTI TUJUAN SIALAN LO KAN? GUE NGGAK BODOH XAVERA!" Tania begitu muak untuk hanya sekedar menatap wajah Xavera. Ia benar-benar menahan kekesalannya kemarin karena tidak bisa meluapkannya sepulang sekolah karena harus melakukan ekskul cheerleaders.

Permasalahan ini dimulai saat Xavera yang lupa mengubah nama di lembar jawaban nya. Hingga yang terjadi saat pemeriksaan guru, tertera ada dua nama Xavera. Yaitu yang dibuat oleh Xavera sendiri dan juga Tania.

"Maaf." Ucapnya menghela nafas, "Aku benar-benar tidak sengaja melakukannya."

Mendengar hal itu Tania justru langsung tertawa terbahak. la tidak percaya dengan alasan Xavera.

"Lupa Lo bilang? Lo jangan lupa, bersikap fokus itu ada di perjanjian kita. Jadi sikap lupa Lo itu adalah kesalahan besar, seolah sengaja melanggar aturan."

"Aku beneran lupa, Tania."

"Harusnya Lo itu fokus, sialan! FOKUS!" Tania menyahuti nya dengan penuh emosi. "Untung semua percaya. Kalau ngga, semua fasilitas medis untuk Ibu Lo bisa dengan mudahnya Gue lepas. And your Mom Will die!"

"Jangan!" Xavera langsung berlutut di

hadapan Tania. "Aku mohon jangan sampai lakukan hal itu. Aku minta maaf, Tania. Aku minta maaf. Aku benar-benar merasa bersalah. Dan Aku akan pastikan hal itu tidak akan terulang lagi." Ucapnya sembari mengatupkan kedua tangan meminta permohonan maaf dari Tania.

Semakin merasa sombong. Tania melipat kedua tangan di dadanya dengan dagu yang diangkat ke atas. Ekspresi wajahnya saat ini benar-benar merendahkan posisi Xavera.

"Oke Gue maafin Lo. Tapi ingat. Ini yang pertama dan terakhir. Gue nggak mau ada kesalahan lain setelah ini. Karena kalau sampai ada, jangan salahkan Gue kalau Ibu tercinta Lo mati detik itu juga." Ucap Tania

berlalu pergi meninggalkan Xavera yang

masih berlutut sembari menundukkan

wajahnya.

Luruh sudah air matanya yang berusaha ia tahan habis-habisan. Xavera benar-benar tidak bisa menahannya lagi sampai air matanya lolos terjatuh berderai membasahi kedua pipinya. Namun meski begitu, Xavera masih kuat dan bertahan untuk tidak mengeluarkan suara tangisannya. Dan itu cukup menyayat hatinya yang tidak puas dan merasai dadanya yang semakin sesak oleh kenyataan.

Xavera malu jika tangisannya terdengar oleh siswa lain. Terlebih mereka tidak akan perduli juga dengan kesedihan yang dialaminya. Daripada mendatangkan hujatan dibanding rengkuhan, Xavera kembali berusaha menahan air matanya dan bergegas untuk keluar dari dalam kamar toilet, lalu menghapus air matanya dengan cepat.

"Aku masih ingin melihat sejauh mana kamu bersikap sombong dan pura-pura tidak merasa bersalah. Aku juga semakin tidak percaya kamu akan bersikap tidak tahu malu seperti ini, Tania." Batin Xavera melangkahkan kakinya menyusuri koridor sekolah menuju kelasnya.

Di sepanjang perjalanan menyusuri koridor sekolah, semua mata tertuju ke arah Xavera. Sepertinya berita tentang Tania yang melabrak Xavera sudah tersebar seantero sekolah.

Xavera yang tidak peduli terus melangkahkan kakinya. Mata-mata yang memandangnya rendah saat ini seolah lenyap tiada arti. Xavera yang dipaksa kuat oleh keadaan, mulai terlihat tangguh. Ditinggalkan oleh Ayah dan juga adik laki-laki nya, hidup bersama dengan Ibu yang tengah sakit karena mengalami kecelakaan, dan di-bully oleh Tania sudah berhasil membentuknya menjadi se tegar saat ini.

"Ada hot news guys. HOT NEWS!" Ucap Zizi sang ketua gosip kelas XA. Tingkahnya yang tiba-tiba berlari ke arah ruang kelas dan berdiri di depan menjadi pusat perhatian.

"Ada apa sih, Zi heboh bener. Awas aja ya Lo kalau nggak penting!" Timpal Jihan teman sebangku Zizi.

"Iya Lo kenapa sih, Zi."

"Ada berita apaan, buruan ngomong."

"Iya apa Zi penasaran nih."

"Gue tebak aja kali--"

"Gak usah!"

"Biasa aja dong, santai."

"Gue biasa ya. Ngga suka aja liat cara Lo sok sok an nebak, dikira ini lagi ada kuis dadakan apa."

Seisi kelas pun riuh saling bersahutan sampai akhirnya..

"STOOPPPPP!!!!!!!" Zizi berteriak.

"Gimana Gue mau jelasin ke kalian kalau berisik kayak gini."

"Oke, sorry. Lanjut."

"Buruan!"

"Iya ah, diem!"

Akhirnya semua pun diam menunggu ucapan Zizi.

"Gue tadi liat Xavera lagi di kasarin lagi sama Tania."

"Lo serius?" Semua mata menatap tak percaya. Terkejut dengan berita yang dibawa Zizi. Lagi yang dikatakan Zizi benar adanya, beberapa kali Tania melakukan itu pada Xavera.

"Seribu rius dong. Tania narik kasar Xavera di ruang toilet tadi. Gue aja yang baru mau masuk toilet langsung ngga jadi."

"Kasian banget sih dia. Kenapa nasibnya harus satu kelas sama orang-orang yang ngga mau bantu dia buat maju." Ucap Jihan perihatin. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena urusannya dengan Tania.

"Bukan cuma buat maju. Tapi juga buat bantu melindungi dia dari Tania." Timpal Zizi.

"Tania memang super power. Siapa coba orang yang sepadan sama dia berani ngelawan dia."

"Gue"

Tiba-tiba seseorang menimpali ucapan Jihan. Semua mata pun beralih padanya.

"Pasha.. Lo.."

Semua tentu dibuat terkejut, karena untuk pertama kalinya Pasha ikut campur dalam pembicaraan kelas.

"Siapa namanya?" Tanya Pasha pada Zizi yang hatinya kini tengah bergejolak asmara ditanyai oleh Pasha.

"Na-nama siapa, Sha?"

"Yang kalian maksud tadi. Gue lupa."

"Oh iya. Itu.. itu Tania yang ganggu Xavera, mereka anak kelas XC." Timpal Jihan.

"Oke makasih." Pasha pun kembali fokus dengan buku-bukunya.

"Malah bengong Lo." Bisik Jihan pada Zizi yang malah tersenyum malu-malu menatap ke arah Pasha.

"Suaranya indah banget, Jihan. Gue terpesona dibuatnya."

"Iya iya Gue tahu. Malu tahu dilihat sama anak-anak yang lain, keliatan banget sukanya."

"Ngga papa. Sengaja Jihan supaya Pasha peka dan langsung nembak Gue."

"Dih, iya iya Aamiinn. Udah ya kita duduk bentar lagi bel masuk."

Episode 3 NAMA LO SIAPA?

Karena kesalahan nya kemarin, Xavera mendapatkan hukuman dan diminta untuk melakukan banyak tugas yang harus di kumpulkan besok juga.

Sebenarnya mudah saja untuk Xavera mengerjakan tugas-tugas itu. Namun peran nya yang diatur oleh Tania membuatnya tak bisa bergerak bebas, melainkan harus melakukan nya dengan asal seolah menghancurkan nya adalah pilihan.

"Semua akan berjalan seharusnya suatu saat nanti. Untuk saat ini, aku akan menikmati permainanmu Tania." Ucapnya meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.

Masuklah Xavera ke dalam perpustakaan. Setelah mengambil salah satu buku bacaan, Xavera langsung duduk di kursi biasanya yang ada di pojok sebelah kiri dari pintu masuk. Matanya yang terlihat sembab menjadi pusat perhatian. Namun Xavera yang tidak menyadari hal itu, lagi-lagi tidak memperhatikan sekitarnya hingga selalu bersikap biasa saja.

"Kenapa dia? Apa gara-gara Gue usir kemarin ya? Tapi masa sih, kenapa ngga kemarin aja nangisnya." Kaisar yang tidak pernah memperhatikan sekitar layaknya Xavera tiba-tiba saja tergoda untuk melirik ke arah Xavera setelah mendengar bisik-bisik dari beberapa siswa. Tatapan matanya yang sebelumnya fokus membaca buku pun menjadi teralihkan.

Xavera yang saat ini tengah fokus membaca buku tentang ekonomi, tidak menyadari jika saat ini banyak pasang mata yang melirik-lirik ke arahnya. Terlebih berita tentang dirinya yang dilabrak dan disiksa oleh Tania sudah tersebar luas di setiap penjuru sekolah SMA Mutiara Cinta. Tapi tidak dengan Kaisar yang anti sosial. Ia benar-benar tidak tahu menahu tentang hal itu terkecuali jika Aldi teman sebangkunya yang menceritakan.

Semua siswa satu persatu mulai meninggalkan perpustakaan. Tapi tidak dengan Xavera, begitupun Kaisar yang memilih diam di kursinya sembari melirik-lirik tipis ke arah Xavera. Berhubung bel berakhirnya istirahat belum berbunyi, Xavera masih ingin menenangkan hatinya yang bergejolak karena ulah Tania. Lagi-lagi seperti biasanya, Xavera melewatkan istirahat dengan tidak memakan apapun.

"Aku sangat menyayangi dan mencintai Ibu. Biarlah kehidupan penuh luka dan air mata ini selalu aku terima. Karena aku selalu bahagia karena merasakannya demi Ibu. Untuk kesembuhan Ibu. Untuk bisa melihat Ibu kembali sembuh, sehat dan bahagia. Terutama untuk bisa melihatnya berubah dan kembali seperti dulu." Lirih Xavera dalam hatinya sembari menundukkan kepala di atas meja setelah menutup rapat buku ekonomi yang diambilnya tadi di salah satu rak buku.

Xavera mengangkat wajahnya. Ia yang sedari tadi mengabaikan sekitar mengedarkan pandangan nya ke segala arah sampai tatapan matanya bertemu dengan seseorang yang tengah duduk di salah satu kursi tepat di samping jendela yang kemarin ia duduki.

"Rupanya dia benar-benar selalu menempati tempat itu." Ucapnya sembari menatap ke arah Kaisar. Sementara Kaisar yang melihat Xavera mulai mengangkat wajahnya tadi langsung pura-pura membaca buku nya lagi.

Tak ingin menambah waktu lagi, Xavera mulai beranjak dari tempat duduknya. Berjalan ke arah Kaisar menuju pintu keluar perpustakaan. Namun saat melewati nya, tiba-tiba saja ada yang menahan lengannya. Siapa lagi kalau bukan Kaisar yang seorang diri di sana.

Xavera membalikkan badannya dengan tatapan bingung ke arah Kaisar.

Kaisar yang dibuat kaget oleh tindakannya sendiri yang refleks memegang tangan Xavera sontak melepaskannya.

"Sorry nggak sengaja."

"Iya." Ucap Xavera dengan ekspresi datarnya.

"Eh bentar dulu."

"Apa?"

"Lo kenapa?"

"Siapa?"

"Elo lah, masa Gue."

"Emangnya aku kenapa?"

"Dih, ditanya malah balik nanya. Lagi sakit ya Lo?"

"Ngga." Jawab Xavera dengan tatapan polosnya. Ia benar-benar tidak mengerti dengan arah pembicaraan laki-laki di depannya.

"Terus kenapa Lo nangis?"

Deg,

"Aku ngga papa, kok. Ngga nangis juga." Xavera hendak berlari pergi, namun lagi-lagi Kaisar menahan nya.

"Ada apa lagi?"

"Nggak ada. Aku kan tadi udah bilang nggak sengaja." Ucap Kai dengan santainya.

"Iya terus yang gila siapa?" Ucap Xavera jengah.

"Nggak tahu, nggak kenal." Lagi-lagi Kai menjawabnya dengan santai, menahan senyumnya kala melihat kemarahan mulai terpancar di wajah Xavera.

Xavera membuang nafasnya kasar, "Yaudah ya jangan nahan aku lagi."

"Siapa juga yang nahan-nahan. Pergi mah ya pergi aja kali."

Xavera hendak melangkahkan kakinya lagi untuk pergi, namun sebuah tangan lagi-lagi menahan langkahnya.

"Aku bisa marah loh ya."

"Semua orang juga bisa."

"Mau kamu apa sih? Kita ngga saling kenal kan."

"Kalau gitu berarti kita harus saling kenalan."

Xavera menatap laki-laki di hadapannya dengan jengah, "Maaf, tapi nggak ada waktu karena bentar lagi bel masuk."

"Nama Gue Kaisar."

"Iya." Tanpa balik menyebutkan nama, Xavera berjalan menjauhi Kaisar yang sontak berlari ke arahnya.

"Nama Lo siapa?" Dengan cepat Kaisar berdiri menghadang langkah Xavera.

"Lo nangis lagi? Ada masalah apa sih? Siapa yang nyakitin Lo? Apa jangan-jangan ini gara-gara Gue ganggu Lo ya, sorry kalau gitu." Kaisar begitu terkejut melihat Xavera yang justru kini malah menangis di hadapan nya.

Sambil menghapus air matanya, Xavera menggelengkan kepala, tidak membenarkan ucapan Kaisar.

"Nama aku Xavera." Mendengar hal itu sontak membuat Kaisar terpaku di tempatnya. Diam memperhatikan kepergian Xavera dari ruang perpustakaan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!