2 bulan telah berlalu. Dimana Xavera Adelina Putri bersekolah di SMA Mutiara Cinta. Melewati 60 hari ini yang panjang nan melelahkan. Mengapa dikatakan dengan hari-hari yang panjang? Karena untuk mengatakannya sebagai hari-hari yang berat, akan menjadi beban pikiran yang terlalu menyulitkan. Pikir Xavera yang selama ini berusaha bertahan melawan kerasnya kehidupan.
Karena kepribadian nya yang senang menyendiri dan jarang berbicara membuat kebanyakan teman-temannya memilih untuk menjauh, bahkan membenci karakternya. Dibilang tidak asyik lah, pura-pura pendiam dan pemalu padahal munafik di belakang layar. Dan ada banyak kata-kata lainnya yang menyerang Xavera secara membabi buta.
Kenapa bisa dikatakan separah itu? Karena memang tidak ada satupun teman-teman di kelasnya yang ingin atau untuk hanya sekedar menyapa Xavera. Mereka bahkan menganggap Xavera seolah tak pernah ada di dalam kelas. Sekalipun mereka menyebutkan nama Xavera, selalu saja dibarengi dengan kata-kata pujian penuh luka.
"Untuk tugas selanjutnya Ibu ingin kalian membentuk sebuah kelompok ya." Ucap Ibu Indira. Seorang guru dari mata pelajaran Sejarah Indonesia.
Semua bersorak riang dengan teman sebangkunya masing-masing kecuali Xavera yang hanya duduk sendirian di barisan tengah paling belakang.
"Ibu, apa untuk menentukan kelompoknya sesuai dengan keinginan kita?" Ucap seorang siswa perempuan yang duduk di barisan depan. Ia bernama Tania. Ia menyerukan pertanyaannya dengan lantang.
Ibu Indira pun terdiam sejenak untuk kemudian berucap, "Ibu akan mengecek terlebih dahulu data jumlah siswa di kelas ini." Ucapnya sembari membuka lembar absen kelas yang ada di atas mejanya.
"Tapi Bu kalau misalkan kita mau langsung memilih masing-masing dari pilihan kita, apa boleh?" Ucap siswa perempuan yang lainnya.
"Ibu rasa untuk membuat nya terlihat adil. Ibu saja yang pilihkan pembagian kelompok untuk kalian ya." Ucap Ibu Indira dengan kedua sudut bibirnya yang tak henti mengukir senyuman.
"Boleh aja, Bu. Tapi jangan pilihkan Xavera
untuk sekelompok sama aku ya, aku gak mau." Jawab siswa perempuan tersebut yang diikuti oleh seluruh siswa lainnya yang ada di dalam kelas.
"Aku juga gak mau."
"Aku juga lah."
"Ya sama!"
"Kita semua menolak keras pokoknya."
"Iya benar tuh, Bu."
"Pembawa sial siapa yang mau. Beban kehidupan mending dihempas aja ngga sih, ganggu banget."
Mereka saling bersahutan membuat riuh seisi kelas.
"Yes, ini yang aku suka." Batin Tania.
Ibu Indira mengerutkan keningnya heran. Ini
memang kali pertama dirinya membentuk
kelompok di ruang kelas satu ini. Dan untuk
di ruang kelas satu yang lain ia sudah
mencobanya, namun semua baik-baik saja.
Tidak ada yang banyak bertanya, apalagi
protes. Mereka semua mengikuti arahan
dengan baik. Apa ini yang dikatakan bahwa
perbedaan memang selalu ada. Pikir lbu
Indira.
Sembari kembali mengukir senyuman, Ibu
Indira pun berusaha memindai situasi
untuk kemudian bertanya, "Kalau kalian
semua tidak ingin satu kelompok dengan
Xavera, lalu siapa yang akan sekelompok
dengannya? Jangan memilih pertemanan
dalam belajar. Kita harus saling
bekerjasama, saling membantu satu sama
lain."
"Tapi masalahnya Xavera itu bodoh, Bu. Dia cuma bakal jadi beban kita-kita aja.
Siapapun juga pasti bakalan protes kalau harus satu kelompok sama orang yang nilainya mines semua." Ucap Tania
tanpa ingin memfilter kata-katanya yang
langsung merendahkan kemampuan
Xavera di depan semua teman-teman
sekelasnya dan juga Bu Indira.
"Apa yang dibilang Tania itu benar, Bu.
Bukannya harusnya Xavera sekolah di tempat lain ya?" Ucap Baby teman satu meja dengan Tania.
"Iya benar. Ada banyak sekolah luar biasa. Kenapa bisa-bisanya sekolah ini menampung siswa
seperti dia, Bu." Timpal siswa lainnya.
"Wajahnya sih oke lah. Tapi kalau bodohnya
diluar nalar ya percuma. Bikin malu sekolah
nggak sih, Bu?"
"Dikeluarkan langsung aja bisa kan? Karena percuma aja buang-buang waktu, jelas bukan tempatnya dia di sini." Semua siswa saling bersahutan menghina Xavera yang sedari tadi memilih diam berusaha untuk tidak memperdulikan nya.
lbu Indira pun yang sedari tadi diam
memperhatikan mulai angkat bicara, "lbu
rasa waktu pembelajaran kita di hari ini
sudah selesai ya. Ada waktu 15 menit lagi
untuk kalian berdiskusi. Silahkan tentukan
kelompok kalian masing-masing. Dan untuk
Xavera. Kamu tidak perlu memiliki kelompok.
Ibu yakin kamu bisa menyelesaikan tugas
yang Ibu berikan sendirian. Sekian, Ibu
pamit keluar kelas." Ucap Ibu Indira tanpa meninggalkan jejak senyuman nya lagi. la
benar-benar muak menanggapi
siswa-siswinya yang sombong dan tidak
bisa diatur. Untuk Xavera, ia akan berusaha
membimbingnya langsung diluar jam
pelajaran.
Mendengar hal itu tentu membuat perasaan Tania semakin bersorak riang. Tujuannya untuk membuat Xavera dikucilkan kembali berhasil.
"Sampai kapanpun itu. Aku akan selalu
membuat hidup kamu menderita. Jangan
harap memimpikan kebahagiaan, karena aku tidak akan pernah membiarkan itu terjadi." Gumam Tania dalam hati nya sembari melirik sekilas ke arah Xavera yang duduk di kursi paling belakang.
Bel istirahat berbunyi. Seperti biasanya,
Xavera tidak membawa bekal dari rumah
atau membeli makanan di kantin sekolah. la
selalu menahan rasa laparnya dengan berdiam diri di ruang perpustakaan.
Jika biasanya ia duduk dipojokkan kursi
perpustakaan. Kali ini Xavera lebih memilih
duduk di kursi lain yang dekat dengan
jendela, memandangi suasana di luarnya
dengan tatapan dan pikiran yang tenang.
Seolah apa yang terjadi di dalam kelas tadi
tidak pernah ada. la belum mengambil
salah satu buku untuk dibaca. Masih asyik
memandangi apa yang dilihatnya saat ini.
Tentang sebuah pohon yang bergerak
karena hembusan angin dan beberapa
daun-daun yang berguguran, menjadi pusat
perhatiannya.
Nyatanya tempat itu bukanlah sembarang
tempat. Melainkan tempat keramat dari
seseorang yang tidak rela jika tempatnya
diambil alih. la akan selalu menjadi orang
pertama yang masuk ke dalam
perpustakaan. Tapi kali ini ia datang
terlambat karena sesuatu hal yang terjadi di
ruang guru.
Xavera yang tidak biasa memperhatikan sekitar yang tidak menjadi objek perhatian
nya, tidak mengetahui jika tempat duduk
yang ia tempati sekarang adalah tempat
yang selalu diduduki oleh seseorang.
Seseorang itu pun masuk ke dalam
perpustakaan dan langsung menghampiri
Xavera, "Kenapa duduk di sini?" Ucap
seseorang itu pada Xavera dengan tatapan
dinginnya.
Xavera yang sedari tadi memandangi objek
yang disukainya langsung teralihkan
dengan suara seseorang yang bertanya
padanya.
"Maaf. Apa ada yang salah?" Xavera
menatap laki-laki tersebut. Entah mengapa tatapan dingin dan tajamnya sorot mata
di depannya saat ini sama sekali tidak
menggentarkan perasaan Xavera untuk
takut.
"Ini tempat duduk aku." Ucap laki-laki tersebut menegaskan kepemilikan nya dengan tatapan tajamnya.
"Oh iya? Sejak kapan? Apa bisa dibeli? Dimana kalau boleh tahu?" Entah keberanian ini datang dari mana. Yang jelas Xavera berani berucap pada siswa laki-laki yang tidak dikenalnya saat ini. Apa mungkin rasa kesal atas kejadian di dalam kelas tadi seolah bisa sedikit dilampiaskan nya dengan
kejadian ini. Entahlah. Karena biasanya,
Xavera tak berani menatap lawan bicaranya
apalagi berbicara selugas saat ini.
"Aku nggak suka debat." Ucap siswa laki-laki tersebut.
"Siapa juga yang suka." Timpal Xavera dengan cepat.
"Jangan mancing emosi bisa, kan?" Siswa laki-laki tersebut terlihat mengepalkan kedua tangannya menahan kekesalan.
"Santai aja, jangan terlalu tegang begitu." Xavera menghela nafasnya pelan sebelum kembali bicara, "Aku udah biasa diusir, disalahkan, apalagi dihina. Di dunia ini memang nggak ada yang aku punya. Jadi tempat ini pasti punya kamu. Maaf, karena sudah mengganggunya." Ucap Xavera yang langsung beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan.
Sementara laki-laki itu yang sempat ingin meluapkan emosinya, tertahan melihat tingkah seseorang yang baru dilihatnya. Dan iya, sama seperti Xavera. Meski setiap hari mengunjungi perpustakaan, ia baru melihat Xavera. Lebih tepatnya mereka berdua baru saling memperhatikan keberadaan satu sama lain.
"Maafkan aku, Kak. Aku belum bisa
merelakan kejadian itu. Aku akan terus
mencari bukti tentang siapa dalang dibalik
kematian Kakak." Batin siswa Laki-laki itu
menatap ke arah jendela dimana Kakaknya
satu tahun yang lalu melakukan aksi bunuh
diri dengan meloncat dari jendela tersebut
sembari menusukkan pisau di tubuhnya.
"Gila tuh cewek! Berani-beraninya dia duduk di kursi itu. Dia nggak tahu apa kalau kursi itu udah jadi keramat buat Kai."
"Iya dia nggak mikir apa gimana perasaan Kaisar." Timpal temannya sembari menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.
"Udah deh kalian nggak usah emosi. Siapa tahu cewek itu memang nggak tahu kejadian yang udah menimpa Kakaknya Kai."
"Helloww!!! Gosip itu udah menyebar seantero sekolah. Anak-anak baru seangkatan dia aku tanya-tanya udah pada tahu kok."
"Tapi dia nggak pernah kamu tanya kan? Ngga semua orang suka bergosip Lia."
"Apa sih dibela terus. Temenan aja sana kamu sama dia."
"Iya ah, sana kamu temenan aja sama dia. Kaisar itu primadona sekolah, wajah tampan idaman hampir seluruh siswa di sekolah ini. Jadi nggak ada satu orang pun yang boleh menyakiti My Kaisar!"
Suara bisik-bisik itu amat terdengar oleh Xavera saat melewatinya. Ia yang memang tidak tahu tentang gosip apapun di sekolah, bertanya-tanya dalam hati tentang kejadian apa yang mereka maksud.
Di ruang perpustakaan di larang berbicara keras apalagi berisik. Hanya keheningan lah yang diijinkan. Untung saja sang penjaga perpustakaan tengah pergi, jadi tidak ada yang berani menegur geng heboh dari kelas tiga itu.
Siswa laki-laki yang berhadapan dengan
Xavera di ruang perpustakaan itu bernama Kaisar, Kaisar Prasetya Utama. Memiliki
sikap yang sangat dingin dan tidak mudah
disentuh. la benar-benar menjaga privasi dirinya dan juga keluarganya. Hingga tidak banyak dari teman-temannya yang tahu dari
keluarga mana Kaisar berasal. Terlebih
Kaisar juga tidak memainkan sosial media
manapun. la hanya memiliki nomor ponsel
untuk berkirim pesan dan melakukan
panggilan telepon.
Keesokan harinya. Kai yang hendak
melangkah menuju perpustakaan setelah
bel istirahat berbunyi, bertemu dengan
Xavera di koridor sekolah. Tengah berjalan
sendiri dari arah yang berlawanan dengan
nya.
Kaisar berusaha mengalihkan tatapan
matanya. la tidak ingin siswa perempuan yang kemarin ia temui di perpustakaan itu
menyapanya. Namun karena ia Xavera.
Meskipun Kaisar terlihat sangat tampan
dan dikagumi oleh banyaknya siswa
perempuan di sekolah SMA Mutiara Cinta,
tidak lantas membuat nya ikut terhanyut,
terbawa perasaan dan sama-sama jatuh
cinta. Xavera justru tak memfokuskan
pandangan ke arah siapapun, ia lebih
memilih jalan dengan tatapan sedikit
menunduk untuk mengindari bersitatap
dengan semua orang.
Disaat Kai dan juga Xavera mulai
melangkah saling mendekati, tiba-tiba
seorang siswa perempuan yang bernama
Tania yang merupakan teman sekelas
Xavera menarik lengan Xavera dengan
kasar lalu membawanya ke arah toilet
bersama dengan Baby yang selalu berada
di sampingnya. Kai yang melihat itu
langsung menghentikan langkahnya.
Terdiam dengan beberapa pertanyaan yang
muncul.
"Sial! Kenapa aku malah memikirkan dia." Batin Kaisar kesal dengan pikirannya sendiri. la kembali melangkahkan kakinya cepat menuju perpustakaan.
Setelah sampai di ruang toilet, Tania
langsung menghempaskan tubuh Xavera
dengan kasar ke arah tembok. Siswa lain
yang tengah berada di toilet pun langsung
tergesa-gesa keluar. Mereka tahu
bagaimana populer nya Tania yang
merupakan anak dari pemilik yayasan SMA Mutiara Cinta. Tidak ada yang berani
menegurnya selain sama-sama memiliki
kekuatan.
"Aw." Ucap Xavera mengaduh kesakitan.
"Kenapa mengaduh? Sakit ya?" Ucap Tania
sembari mencengkeram kuat rahang
Xavera.
Xavera sendiri tidak berusaha melawan. la hanya terus diam dan menerima setiap
perlakuan kasar Tania padanya.
"Keluar, Baby. Aku mau bicara empat mata sama orang yang ngga tahu diri ini." Ucapnya tanpa mengalihkan tatapan tajamnya pada
Xavera.
"Oke aku keluar. Jangan lama-lama, aku tunggu di kantin."
"Hem." Jawab Tania.
Setelah puas mencengkeram kuat rahang
Xavera, Tania pun langsung melepaskan
nya dengan kasar.
"Ini benar-benar peringatan terakhir Xavera Adelina Putri. Kalau sampai kamu melanggar perjanjian kita, ngga ada ampun, kelar semuanya!"
"Iya, bukannya sejauh ini aku sudah melakukan semua nya dengan baik?" Ucap Xavera setelah mengatur nafasnya yang sesak akibat dari cengkeraman tangan Tania pada lehernya tadi.
"Melakukan nya dengan baik? What?!" Tania berteriak keras tepat di depan wajah Xavera. "Apa yang kamu lakukan kemarin itu justru hal gila yang bisa membuat perjanjian kita hancur dalam sekejap! Berpura-pura menjadi gadis polos yang munafik! Sengaja melakukan nya untuk membongkar siapa kamu sebenarnya. IYA? ITU PASTI TUJUAN SIALAN MU KAN? AKU TIDAK BODOH XAVERA!" Tania begitu muak untuk hanya
sekedar menatap wajah Xavera. la
benar-benar menahan kekesalannya
kemarin karena tidak bisa meluapkannya
sepulang sekolah karena harus melakukan
ekskul cheerleader.
Permasalahan ini dimulai saat Xavera yang lupa mengubah nama di lembar jawaban nya. Hingga yang terjadi saat pemeriksaan guru, tertera ada dua nama Xavera. Yaitu yang dibuat oleh Xavera sendiri dan juga Tania.
"Maaf." Ucapnya menghela nafas, "Aku benar-benar tidak sengaja melakukannya."
Mendengar hal itu Tania justru langsung tertawa terbahak. la tidak percaya dengan alasan Xavera.
"Lupa kamu bilang? Kamu jangan lupa, bersikap fokus itu ada di perjanjian kita. Jadi sikap lupa kamu itu adalah kesalahan besar, seolah sengaja melanggar aturan."
"Aku beneran lupa, Tania."
"Harusnya kamu fokus, sialan! FOKUS!" Tania menyahuti nya dengan penuh emosi. "Untung semua percaya. Kalau ngga, semua fasilitas medis untuk Ibu kamu bisa dengan mudahnya aku lepas. And your Mom Will die!"
"Jangan!" Xavera langsung berlutut di
hadapan Tania. "Aku mohon jangan sampai lakukan hal itu. Aku minta maaf, Tania. Aku benar-benar merasa bersalah. Dan Aku akan pastikan hal itu tidak akan terulang lagi." Ucapnya sembari mengatupkan kedua tangan meminta permohonan maaf dari Tania.
Semakin merasa sombong. Tania melipat
kedua tangan di dadanya dengan dagu yang
diangkat ke atas. Ekspresi wajah nya
benar-benar merendahkan posisi Xavera.
"Oke aku maafkan kamu. Tapi ingat. Ini yang pertama dan terakhir. Aku nggak mau ada kesalahan lain setelah ini. Karena kalau sampai ada, jangan salahkan aku kalau Ibu tercinta kamu mati detik itu juga." Ucap Tania
berlalu pergi meninggalkan Xavera yang
masih berlutut sembari menundukkan
wajahnya.
"Aku tidak pernah bersedih. Aku tidak
pernah bersedih." Ucap Xavera berulangkali
di dalam hatinya sembari berusaha menahan air matanya yang terus saja mendesaknya untuk keluar.
"Aku bahagia dan aku tidak pernah
bersedih. Aku bahagia dan aku tidak pernah
bersedih. Aku bahagia dan aku tidak pernah
bersedih." Gumamnya lagi berulangkali kali
masih di dalam hatinya. Beranjak dari
duduknya untuk kemudian masuk
tergesa-gesa ke dalam salah satu kamar
toilet.
Luruh sudah air matanya yang berusaha ia
tahan habis-habisan. Xavera benar-benar
tidak bisa menahannya lagi sampai air matanya lolos terjatuh berderai membasahi kedua pipinya. Namun meski begitu, Xavera masih kuat dan bertahan untuk tidak mengeluarkan suara tangisannya. Dan itu cukup menyayat hatinya yang tidak puas dan merasai dadanya yang semakin sesak oleh
kenyataan.
Xavera malu jika tangisannya terdengar
oleh siswa lain. Terlebih mereka tidak akan
perduli juga dengan kesedihan yang
dialaminya. Daripada mendatangkan
hujatan dibanding rengkuhan, Xavera
kembali berusaha menahan air matanya
dan bergegas untuk keluar dari dalam
kamar toilet, lalu menghapus air mata nya
dengan cepat.
"Aku masih ingin melihat sejauh mana
kamu bersikap sombong dan pura-pura
tidak merasa bersalah. Aku semakin tidak
percaya kamu akan bersikap tidak tahu
malu seperti ini, Tania." Batin Xavera
melangkahkan kakinya menyusuri koridor
sekolah menuju kelasnya.
Di sepanjang perjalanan, semua mata
tertuju ke arahnya. Sepertinya berita
tentang Tania yang melabraknya saat jam
istirahat hari ini sudah tersebar seantero
sekolah.
Xavera yang tidak peduli terus
melangkahkan kakinya. Mata-mata yang
memandangnya rendah saat ini seolah lenyap tiada arti. Xavera yang dipaksa kuat
oleh keadaan, mulai terlihat tangguh.
Ditinggalkan oleh Ayah dan juga adik
laki-laki nya, hidup bersama Ibu yang sakit
karena mengalami kecelakaan, di-bully
setiap hari oleh Tania sudah berhasil
membentuk nya menjadi se tegar saat ini.
Karena kesalahan nya kemarin, Xavera mendapatkan hukuman dan diminta untuk melakukan banyak tugas yang harus di kumpulkan besok juga.
Sebenarnya mudah saja untuk Xavera mengerjakan tugas-tugas itu. Namun peran nya yang diatur oleh Tania membuatnya tak bisa bergerak bebas, melainkan harus melakukan nya dengan asal seolah menghancurkan nya adalah pilihan.
"Semua akan berjalan seharusnya suatu saat nanti. Untuk saat ini, aku akan menikmati permainanmu Tania." Ucapnya meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.
Masuklah Xavera ke dalam perpustakaan. Setelah mengambil salah satu buku bacaan, Xavera langsung duduk di kursi biasanya yang ada di pojok sebelah kiri dari pintu masuk. Matanya yang terlihat sembab menjadi pusat perhatian. Namun Xavera yang tidak menyadari hal itu, lagi-lagi tidak memperhatikan sekitarnya hingga selalu bersikap biasa saja.
"Kenapa dia? Apa yang terjadi dengan nya dan perempuan itu. Kenapa kedua matanya sekarang menjadi sembab? Apa dia habis menangis? Memangnya apa yang dilakukan perempuan itu padanya?" Kaisar yang tidak pernah memperhatikan sekitar layaknya Xavera tiba-tiba saja tergoda untuk melirik ke arah Xavera setelah mendengar bisik-bisik dari beberapa siswa. Tatapan matanya yang sebelumnya fokus membaca buku pun menjadi teralihkan.
Xavera yang saat ini tengah fokus membaca buku tentang ekonomi tidak menyadari jika saat ini banyak pasang mata yang melirik-lirik ke arahnya. Terlebih berita tentang dirinya yang dilabrak dan disiksa oleh Tania sudah tersebar luas di setiap penjuru sekolah SMA Mutiara Cinta. Tapi tidak dengan Kaisar yang anti sosial. Ia benar-benar tidak tahu menahu tentang hal itu terkecuali jika Aldi teman sebangkunya yang menceritakan. Yang ia tahu hanyalah Tania yang menarik lengan Xavera di hadapannya saat di koridor sekolah. Sementara kejadian dimana Xavera dihempaskan dengan kasar hingga membentur dinding toilet dengan rahang yang dicengkeram erat tentu itulah yang tidak ia ketahui.
Semua siswa satu persatu mulai meninggalkan perpustakaan. Tapi tidak dengan Xavera, begitupun Kaisar yang memilih diam di kursinya sembari melirik-lirik tipis ke arah Xavera. Berhubung bel berakhirnya istirahat belum berbunyi, Xavera masih ingin menenangkan hatinya yang bergejolak karena ulah Tania. Lagi-lagi seperti biasanya, Xavera melewatkan istirahat dengan tidak memakan apapun.
"Aku sangat menyayangi dan mencintai Ibu. Biarlah kehidupan penuh luka dan air mata ini selalu aku terima. Karena aku selalu bahagia karena merasakannya demi Ibu. Untuk kesembuhan Ibu. Untuk bisa melihat Ibu kembali sembuh, sehat dan bahagia. Terutama untuk bisa melihatnya berubah dan kembali seperti dulu." Lirih Xavera dalam hatinya sembari menundukkan kepala di atas meja setelah menutup rapat buku ekonomi yang diambilnya tadi di salah satu rak buku.
Xavera mengangkat wajahnya. Ia yang sedari tadi mengabaikan sekitar mengedarkan pandangan nya ke segala arah sampai tatapan matanya bertemu dengan seseorang yang tengah duduk di salah satu kursi tepat di samping jendela yang kemarin ia duduki.
"Rupanya dia benar-benar selalu menempati tempat itu." Ucapnya sembari menatap ke arah Kaisar. Sementara Kaisar yang melihat Xavera mulai mengangkat wajahnya tadi langsung pura-pura membaca buku nya lagi.
Tak ingin menambah waktu lagi, Xavera mulai beranjak dari tempat duduknya. Berjalan ke arah Kaisar menuju pintu keluar perpustakaan. Namun saat melewati nya, tiba-tiba saja ada yang menahan lengannya. Siapa lagi kalau bukan Kaisar yang seorang diri di sana.
Xavera membalikkan badannya dengan tatapan bingung ke arah Kaisar.
"Kenapa lagi? Kursi kamu ada di kamu kan sekarang." Ucap Xavera.
Kaisar yang dibuat kaget oleh tindakannya sendiri yang refleks memegang tangan Xavera sontak melepaskannya.
"Maaf, aku nggak sengaja." Ucap Kai terlihat gugup. Luar biasa, seorang Kaisar Prasetya Utama gugup? Luar biasa. Wkwk jangan sampai Aldi mengetahuinya.
"Nggak papa." Timpal Xavera dengan cepat hendak melangkah pergi. Namun Kai kembali menahannya.
"Ada apa?" Xavera kembali mengulang pertanyaan nya dengan nada lelahnya. Ia benar-benar capek untuk hanya sekedar meladeni Tania. Dan sekarang, ia malah terus dihadang oleh seseorang yang tidak dikenalnya.
"Nggak ada. Aku kan tadi udah bilang nggak sengaja." Ucap Kai dengan santainya.
"Iya terus yang gila siapa?" Ucap Xavera jengah.
"Nggak tahu, nggak kenal." Lagi-lagi Kai menjawabnya dengan santai, menahan senyumnya kala melihat kemarahan mulai terpancar di wajah Xavera.
Xavera membuang nafasnya kasar, "Terserah ah, nggak ngerti!" Xavera hendak melangkahkan kakinya lagi untuk pergi, namun sebuah tangan lagi-lagi menahan langkahnya.
"Kamu siapa sih?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!