Kanaya

Kanaya

Kanaya Fauziah Abimata

Kanaya Fauziah Abimata, wanita bercadar dengan mata bening nan cantik. Wajah cantik yang tersimpan sempurna di balik cadar. Senyum menawan yang tersembuyi, tanpa ada yang pernah melihatnya. Cadar laksana benteng tinggi yang membentengi diri Kanaya. Tak satupun yang mampu menembus benteng tinggi yang dibangun Kanaya selama tiga tahun terakhir.

Tiga tahun paling berat dalam hidup Kanaya. Selama tiga tahun, Kanaya menampung air mata yang tertahan jauh di dalam hatinya. Selama tiga tahun, Kanaya membangun benteng dalam jiwanya yang kosong. Bentuk rasa sakit yang dirasakannya tiga tahun yang lalu. Tepat tiga tahun yang lalu, Kanaya kehilangan pelita dan harapan dalam hidupnya. Kanaya mengubur tawa, melupakan bahagia, semua demi duka tiga tahun yang lalu. Hari dimana Kanaya kehilangan buah hatinya? Tulus cinta yang pergi bersama putra kecilnya.

Kanaya berdiri termenung, tepat di depan pintu masuk pemakaman umum. Sebuah pemakaman umum yang terletak di tengah kota. Pemakaman tempat sang putra tidur untuk selamanya. Pergi meninggalkan duka bagi Kanaya, ibu yang mengharapkan kehadirannya. Buah hati pelipur lara yang pergi untuk selamanya. Kanaya masih mengingat, hari pertama kali dia melihat sang putra? Hari yang sama, saat dia harus kehilangan sang putra untuk selamanya.

FLASH BACK

"Kak!"

"Sayang!" sahut Galuh tak percaya, dia melihat Kanaya sudah ada di sampingnya.

Galuh berjalan menghampirinya, duduk berjongkok tepat di depan Kanaya. Galuh mengusap wajah Kanaya, lalu mencium lembut tangan Kanaya. Galuh tidur di pangkuan Kanaya, Embun termenung melihat sikap Galuh. Kanaya mengusap pelan kepala Galuh, menenangkan Galuh yang gelisah. Kanaya memahami luka yang tak terucap dari bibir Galuh.

"Dimana dia?" ujar Kanaya, Galuh mendongak. Tatapannya terlihat sendu, tak ada cahaya. Semua terasa sunyi dan gelap. Galuh hancur menyadari rasa sakit Kanaya dan putranya. Sedangkan Galuh tak mampu berbuat banyak.

"Antar aku melihatnya!" ujar Kanaya, saat menyadari diam Galuh.

"Aku mohon!" ujar Kanaya lagi, ketika melihat Galuh menggelengkan kepalanya.

"Aku sanggup menahan air mataku. Putraku takkan pernah melihat lemahku. Aku akan selalu kuat demi dirinya!" ujar Kanaya menyakinkan Galuh, terlihat anggukan kepala Galuh. Kanaya tersenyum bahagia, akhirnya dia bisa melihat putranya.

Galuh memapah tubuh Kanaya, Embun memilih berdiri menjauh. Melihat betapa sabarnya Galuh, kala menuntun Kanaya mendekat ke arah ruang NICU. Kanaya berjalan dengan sangat pelan, seluruh tubuhnya terasa sakit. Namun demi melihat putranya, Kanaya merasa kuat dan sangat kuat. Galuh setia menopang tubuh Kanaya. Keduanya berjalan masuk ke ruangan NICU. Tentu saja setelah meminta izin pada perawat.

"Dia tampan sepertimu!" ujar Kanaya lirih, Galuh mengangguk pelan.

"Sayang, dia memiliki mata indahmu. Mata yang membuatku terpesona!" sahut Galuh menggoda Kanaya. Embun menatap pilu Galuh dan Kanaya. Jauh dalam lubuk hati Embun tersimpan rasa sakit yang teramat melihat putrinya hancur.

"Putra kecilku, kamu harus kuat seperti mama. Kamu harus bertahan, demi papa dan mama. Kamu putraku, tentu saja kamu kuat tak tertandingi!"

"Sayang!" ujar Galuh khawatir, Kanaya mengedipkan kedua matanya. Berpikir semua baik-baik saja. Tatapan Galuh penuh kecemasan, membayangkan kehancuran Kanaya. Tatkala luka tubuhnya belumlah sembuh, tapi harus melihat putranya lemah tak berdaya.

"Aku tidak akan menangis!"

"Kita akan menjaganya, dia buah cinta kita. Anugrah terbesar dalam perjalanan hidup kita. Dia yang akan mengisi hari-hari kita dengan tawa. Percayalah sayang, dia lahir lebih cepat bukan karena lelah dalam rahimmu. Namun dia lahir, agar kita bisa memeluknya dan membesarkannya dengan cinta!" ujar Galuh, Kanaya mengangguk. Tangannya menempel di jendela kaca ruang NICU. Berharap tangannya mampu membelai sang putra yang berada di dalam inkubator.

"Kak, dia sangat kecil. Namun cinta kita besar untuknya. Dia tidak akan pernah kekurangan kasih sayang. Kita akan menjaganya!" sahut Kanaya, lalu menyandarkan tubuhnya di dada bidang Galuh. Tak nampak air mata jatuh, Galuh dan Kanaya terlihat tegar. Semua demi sang putra yang akan menjadi pelita dalam hidup Galuh dan Kanaya.

"Dia pelita hati kita Kanaya, dia tidak akan meninggalkan kita!" Ujar Galuh lirih, lalu mencium puncak kepala Kanaya. Keduanya menatap nanar dan penuh harap pada sang putra. Berdoa demi kesehatan dan kebahagian malaikat kecilnya.

FLASH BACK OFF

Kanaya melangkah masuk ke dalam area pemakaman. Langkah yang semakin lemah, bersamaan semakin dekatnya makam sang putra. Sejenak Kanaya menghentikan langkah, menahan napas sekuat-kuatnya. Kanaya mencoba menahan air matanya yang berontak ingin menetes. Kedua mata Kanaya terasa panas, hatinya terasa ngilu. Kata ikhlas, hanya sekadar kata yang sulit terwujud. Tiga tahun, selama tiga tahun Kanaya mencoba mengikhlaskan kepergian sang putra. Namun tak semudah kata yang terucap. Kanaya begitu sulit melupakan segalanya. Hubungannya dengan Galuh hambar, seiring luka Kanaya yang belum sembuh.

"Assalammualaikum!" Batin Kanaya menyapa para alih kubur.

Kanaya melangkah sampai ke makam sang putra. Kanaya mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Kanaya mengucapkan dhizir dalam hati, bersyukur akan nikmat yang dia terima. Kanaya duduk berjongkok tepat di samping makam sang putra. Kanaya larut dalam doa, meluapkan rasa rindu pada sang putra tercinta. Kanaya menunduk, menutupi air mata yang tak lagi tertahan. Menangis di samping pusaran sang anak tercinta.

"Muhammad Gana Putra, maafkan mama yang belum bisa mengikhlaskan kepergianmu. Maafkan mama, kerinduan ini yang menghalangi hidup kekalmu. Gana putraku, mama selalu merindukanmu. Mama akan belajar ikhlas. Terima kasih sayang, pernah hadir dalam hidup mama!" Batin Kanaya di sela doa-doanya.

"Kanaya!"

"Kakak!" Sahut Kanaya, Rafan mengangguk pelan.

"Kanaya, kita pulang bersama!" Ujar Rafan, Kanaya mengangguk pelan.

Rafan kakak yang takkan pernah meninggalkan Kanaya. Seorang kakak yang ada mendukung adik kecilnya. Sedewasa apapun Kanaya? Dia tetap adik kecil di mata Rafan. Pertama kalinya Rafan merasa gagal menjadi seorang kakak. Tak lain, saat operasi kelahiran putra pertama Kanaya.

"Kanaya, sudah tiga tahun. Masihkah kamu tidak merelakannya!" Ujar Rafan, Kanaya menggeleng lemah. Kanaya menoleh ke luar jendela mobil. Keramaian jalan raya, tak sedikitpun mengusik dirinya. Kanaya larut dalam duka yang mendalam.

"Tiga tahun berlalu begitu cepat, dia pergi membawa senyumku. Aku tidak akan mengeluh, tapi aku tak memungkiri hatiku terluka. Aku merasa gagal menjadi seorang ibu. Meski semua ada tak lain, karena ketetapan-NYA. Aku belajar kata ikhlas, mengalihkan rasa sakitku akan kehilangan. Alasan aku bekerja di yayasanmu!"

"Kanaya, maafkan kakak!"

"Kakak tidak salah, semua ini takdir yang harus aku jalani. Ibu yang kehilangan putranya, bahkan sebelum aku menggendongnya!"

"Kanaya!" Sapa Rafan lirih.

"Tenanglah kak, aku baik-baik saja. Meski aku tak pernah menggendongnya. Setidaknya dia pernah tumbuh dirahimku. Menemani hari-hariku, merasakan detak jantungnya dan tendangan lemah kakinya!"

"Semoga berkenan membaca"

Terpopuler

Comments

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

Kirain anak Kanaya hidup,ternyta meninggal,kapan bahagia nya Kanaya kak😌

2023-12-29

0

Keiza Aliyah

Keiza Aliyah

bagus

2023-12-29

0

Adiba Shakila Atmarini

Adiba Shakila Atmarini

lnjut up ya..💪💪💪👍👍💖💖💖

2023-10-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!