NovelToon NovelToon

Kanaya

Kanaya Fauziah Abimata

Kanaya Fauziah Abimata, wanita bercadar dengan mata bening nan cantik. Wajah cantik yang tersimpan sempurna di balik cadar. Senyum menawan yang tersembuyi, tanpa ada yang pernah melihatnya. Cadar laksana benteng tinggi yang membentengi diri Kanaya. Tak satupun yang mampu menembus benteng tinggi yang dibangun Kanaya selama tiga tahun terakhir.

Tiga tahun paling berat dalam hidup Kanaya. Selama tiga tahun, Kanaya menampung air mata yang tertahan jauh di dalam hatinya. Selama tiga tahun, Kanaya membangun benteng dalam jiwanya yang kosong. Bentuk rasa sakit yang dirasakannya tiga tahun yang lalu. Tepat tiga tahun yang lalu, Kanaya kehilangan pelita dan harapan dalam hidupnya. Kanaya mengubur tawa, melupakan bahagia, semua demi duka tiga tahun yang lalu. Hari dimana Kanaya kehilangan buah hatinya? Tulus cinta yang pergi bersama putra kecilnya.

Kanaya berdiri termenung, tepat di depan pintu masuk pemakaman umum. Sebuah pemakaman umum yang terletak di tengah kota. Pemakaman tempat sang putra tidur untuk selamanya. Pergi meninggalkan duka bagi Kanaya, ibu yang mengharapkan kehadirannya. Buah hati pelipur lara yang pergi untuk selamanya. Kanaya masih mengingat, hari pertama kali dia melihat sang putra? Hari yang sama, saat dia harus kehilangan sang putra untuk selamanya.

FLASH BACK

"Kak!"

"Sayang!" sahut Galuh tak percaya, dia melihat Kanaya sudah ada di sampingnya.

Galuh berjalan menghampirinya, duduk berjongkok tepat di depan Kanaya. Galuh mengusap wajah Kanaya, lalu mencium lembut tangan Kanaya. Galuh tidur di pangkuan Kanaya, Embun termenung melihat sikap Galuh. Kanaya mengusap pelan kepala Galuh, menenangkan Galuh yang gelisah. Kanaya memahami luka yang tak terucap dari bibir Galuh.

"Dimana dia?" ujar Kanaya, Galuh mendongak. Tatapannya terlihat sendu, tak ada cahaya. Semua terasa sunyi dan gelap. Galuh hancur menyadari rasa sakit Kanaya dan putranya. Sedangkan Galuh tak mampu berbuat banyak.

"Antar aku melihatnya!" ujar Kanaya, saat menyadari diam Galuh.

"Aku mohon!" ujar Kanaya lagi, ketika melihat Galuh menggelengkan kepalanya.

"Aku sanggup menahan air mataku. Putraku takkan pernah melihat lemahku. Aku akan selalu kuat demi dirinya!" ujar Kanaya menyakinkan Galuh, terlihat anggukan kepala Galuh. Kanaya tersenyum bahagia, akhirnya dia bisa melihat putranya.

Galuh memapah tubuh Kanaya, Embun memilih berdiri menjauh. Melihat betapa sabarnya Galuh, kala menuntun Kanaya mendekat ke arah ruang NICU. Kanaya berjalan dengan sangat pelan, seluruh tubuhnya terasa sakit. Namun demi melihat putranya, Kanaya merasa kuat dan sangat kuat. Galuh setia menopang tubuh Kanaya. Keduanya berjalan masuk ke ruangan NICU. Tentu saja setelah meminta izin pada perawat.

"Dia tampan sepertimu!" ujar Kanaya lirih, Galuh mengangguk pelan.

"Sayang, dia memiliki mata indahmu. Mata yang membuatku terpesona!" sahut Galuh menggoda Kanaya. Embun menatap pilu Galuh dan Kanaya. Jauh dalam lubuk hati Embun tersimpan rasa sakit yang teramat melihat putrinya hancur.

"Putra kecilku, kamu harus kuat seperti mama. Kamu harus bertahan, demi papa dan mama. Kamu putraku, tentu saja kamu kuat tak tertandingi!"

"Sayang!" ujar Galuh khawatir, Kanaya mengedipkan kedua matanya. Berpikir semua baik-baik saja. Tatapan Galuh penuh kecemasan, membayangkan kehancuran Kanaya. Tatkala luka tubuhnya belumlah sembuh, tapi harus melihat putranya lemah tak berdaya.

"Aku tidak akan menangis!"

"Kita akan menjaganya, dia buah cinta kita. Anugrah terbesar dalam perjalanan hidup kita. Dia yang akan mengisi hari-hari kita dengan tawa. Percayalah sayang, dia lahir lebih cepat bukan karena lelah dalam rahimmu. Namun dia lahir, agar kita bisa memeluknya dan membesarkannya dengan cinta!" ujar Galuh, Kanaya mengangguk. Tangannya menempel di jendela kaca ruang NICU. Berharap tangannya mampu membelai sang putra yang berada di dalam inkubator.

"Kak, dia sangat kecil. Namun cinta kita besar untuknya. Dia tidak akan pernah kekurangan kasih sayang. Kita akan menjaganya!" sahut Kanaya, lalu menyandarkan tubuhnya di dada bidang Galuh. Tak nampak air mata jatuh, Galuh dan Kanaya terlihat tegar. Semua demi sang putra yang akan menjadi pelita dalam hidup Galuh dan Kanaya.

"Dia pelita hati kita Kanaya, dia tidak akan meninggalkan kita!" Ujar Galuh lirih, lalu mencium puncak kepala Kanaya. Keduanya menatap nanar dan penuh harap pada sang putra. Berdoa demi kesehatan dan kebahagian malaikat kecilnya.

FLASH BACK OFF

Kanaya melangkah masuk ke dalam area pemakaman. Langkah yang semakin lemah, bersamaan semakin dekatnya makam sang putra. Sejenak Kanaya menghentikan langkah, menahan napas sekuat-kuatnya. Kanaya mencoba menahan air matanya yang berontak ingin menetes. Kedua mata Kanaya terasa panas, hatinya terasa ngilu. Kata ikhlas, hanya sekadar kata yang sulit terwujud. Tiga tahun, selama tiga tahun Kanaya mencoba mengikhlaskan kepergian sang putra. Namun tak semudah kata yang terucap. Kanaya begitu sulit melupakan segalanya. Hubungannya dengan Galuh hambar, seiring luka Kanaya yang belum sembuh.

"Assalammualaikum!" Batin Kanaya menyapa para alih kubur.

Kanaya melangkah sampai ke makam sang putra. Kanaya mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Kanaya mengucapkan dhizir dalam hati, bersyukur akan nikmat yang dia terima. Kanaya duduk berjongkok tepat di samping makam sang putra. Kanaya larut dalam doa, meluapkan rasa rindu pada sang putra tercinta. Kanaya menunduk, menutupi air mata yang tak lagi tertahan. Menangis di samping pusaran sang anak tercinta.

"Muhammad Gana Putra, maafkan mama yang belum bisa mengikhlaskan kepergianmu. Maafkan mama, kerinduan ini yang menghalangi hidup kekalmu. Gana putraku, mama selalu merindukanmu. Mama akan belajar ikhlas. Terima kasih sayang, pernah hadir dalam hidup mama!" Batin Kanaya di sela doa-doanya.

"Kanaya!"

"Kakak!" Sahut Kanaya, Rafan mengangguk pelan.

"Kanaya, kita pulang bersama!" Ujar Rafan, Kanaya mengangguk pelan.

Rafan kakak yang takkan pernah meninggalkan Kanaya. Seorang kakak yang ada mendukung adik kecilnya. Sedewasa apapun Kanaya? Dia tetap adik kecil di mata Rafan. Pertama kalinya Rafan merasa gagal menjadi seorang kakak. Tak lain, saat operasi kelahiran putra pertama Kanaya.

"Kanaya, sudah tiga tahun. Masihkah kamu tidak merelakannya!" Ujar Rafan, Kanaya menggeleng lemah. Kanaya menoleh ke luar jendela mobil. Keramaian jalan raya, tak sedikitpun mengusik dirinya. Kanaya larut dalam duka yang mendalam.

"Tiga tahun berlalu begitu cepat, dia pergi membawa senyumku. Aku tidak akan mengeluh, tapi aku tak memungkiri hatiku terluka. Aku merasa gagal menjadi seorang ibu. Meski semua ada tak lain, karena ketetapan-NYA. Aku belajar kata ikhlas, mengalihkan rasa sakitku akan kehilangan. Alasan aku bekerja di yayasanmu!"

"Kanaya, maafkan kakak!"

"Kakak tidak salah, semua ini takdir yang harus aku jalani. Ibu yang kehilangan putranya, bahkan sebelum aku menggendongnya!"

"Kanaya!" Sapa Rafan lirih.

"Tenanglah kak, aku baik-baik saja. Meski aku tak pernah menggendongnya. Setidaknya dia pernah tumbuh dirahimku. Menemani hari-hariku, merasakan detak jantungnya dan tendangan lemah kakinya!"

"Semoga berkenan membaca"

Galuh Putra Kusuma

Selama tiga tahun, semenjak kepergian sang putra. Kanaya belajar menjadi pribadi yang semakin kuat. Kisah hidup yang selalu menguji dan terus mengujinya. Menjadikan Kanaya pribadi yang mandiri dan tegar. Air mata dan sakitnya tersimpan rapi di balik cadar. Kanaya tak pernah berpikir menyerah, tapi bertahan tanpa ada penopang. Ibarat tenggelam tanpa pelampung. Hidup yang begitu sulit, tak mudah keluar dari luka yang terus menganga.

Setiap tanggal yang sama dan di tahun yang sama. Kanaya pergi ke makam sang putra. Tanpa ada suami yang menemaninya. Kanaya tak pernah mengeluh, cukup izin darinya. Agar langkah Kanaya penuh berkah, bukan durhaka semata. Kemandirian Kanaya ada dengan izin sang suami. Tidak ada berkah dalam langkahnya, jika sang suami tidak pernah mengizinkan Kanaya. Suami yang begitu menghormatinya. Seorang suami yang tak pernah bertanya akan sikap diam Kanaya. Bahkan suami yang tak pernah ingin mengekang, sekadar bertanya Kanaya pergi kemana atau dengan siapa? Kepercayaan penuh yang membuat hubungan keduanya hambar.

Galuh Putra Kusuma, putra tunggal keluarga Kusuma. Sang pewaris perusahaan Kusuma Group. Sang CEO muda yang mulai mengepakkan sayap di dunia bisnis. Dunia yang penuh dengan kemewahan dan kekhilafan. Dunia yang membuat Galuh dikeliling banyak kupu-kupu manis. Meski Galuh menolak hadir mereka, tapi status dan kekayaannya. Menjadi daya tarik yang mudah diacuhkan. Pesona ketampanan Galuh, menjadi nilai tambah yang tak mudah ditepis.

Galuh mahasiswa yang menikahi Kanaya, empat tahun yang lalu. Pemuda tampan yang berani melamar sang dosen. Dengan keteguhan rasanya, Galuh menikah dengan dosen berstatus janda yang tetap suci dan murni. Lima tahun perbedaan usia mereka. Tak lantas menumbangkan hasrat Galuh memiliki Kanaya. Kisah cinta singkat yang akhirnya menjadikan Kanaya istri mahasiswanya sendiri. Ketulusan Galuh mampu menyakinkan Kanaya, jika dia mampu menjadi imam dunia akhiratnya.

Pernikahan yang didasari sebuah rasa kagum yang akhirnya menyemaikan cinta. Kanaya masih mengingat pertemuannya dengan Galuh. Mahasiswa yang berani mengatakan cinta dengan lantang padanya. Laki-laki yang dengan berani menantang dunia, demi bisa bersama Kanaya. Seorang anak yang menentang ayahnya, demi menjaga kehormatan Kanaya. Suami yang selama 4 tahun terakhir menemani hari-harinya yang dingin.

FLASH BACK

"Kanaya!" Panggil Galuh, tangan kekarnya menarik tubuh Kanaya dalam pelukannya.

"Kenapa kamu bersedia menikah denganku?" Bisik Galuh mesra, napas Galuh berhembus menerpa pipi putih Kanaya. Suara mesra Galuh, terdengar begitu merdu di telinga Kanaya. Terasa hangat, mengalir deras dalam nadi Kanaya. Membekukan tulang Kanaya, membuatnya terdiam tak berkutik.

"Kanaya!" Bisik Galuh hangat, membuyarkan lamunan Kanaya. Menyadarkan Kanaya dari rasa hangat yang sejenak membuatnya melayang jauh. Kanaya langsung menunduk, menyadari dirinya tengah terbuai dalam hangat pelukan Kanaya.

"Haruskah aku menjawabnya!" Ujar Kanaya, seraya memegang tangan Galuh yang tengah memeluknya. Kanaya membalas sentuhan Galuh, sentuhan yang membuat tubuh Galuh bergetar.

"Harus, aku ingin mendengar alasanmu. Sejak aku mendekatimu, kamu selalu menolak mengenalku. Sangat aneh, hanya dalam beberapa bulan kamu menerima rasaku!" Bisik Galuh, dekapan Galuh semakin erat. Hembusan napas Galuh memburu, terdengar menggemuruh di telinga Kanaya.

Suasana pagi yang sunyi, tetesan kabut yang tertinggal dengan kesejukkannya. Mengiringi hangat pelukan dua insan yang menyatu dalam ijab suci. Dingin kabut terkalahkan dekapan hangat Galuh. Kanaya membisu, sentuhan Galuh pertama kali dalam hidupnya. Menyiratkan sebuah rasa yang tak pernah ada dalam hidupnya. Galuh menutup mata, menyadarkan kepalanya tepat di pundak Kanaya. Sesekali Galuh menoleh, mencium leher Kanaya yang tertutup hijab panjang. Galuh larut dalam gemuruh cintanya. Dekapan Galuh semakin erat, kala tak terasa penolakan dari Kanaya.

"Air mata kerinduanmu, alasan aku menerima rasamu. Aku ingin menghapus air mata itu, menjadi sandaran akan rasa rindu yang takkan pernah tersampaikan. Sikap setiamu pada ibu yang melahirkanmu. Membuatku percaya, jika kamu takkan pernah mengkhianatiku. Kasih sayang seorang ayah yang ingin melihat kebahagianmu. Keyakinan terbesarku, jika kamu laki-laki yang baik dan berhak bahagia!" Tutur Kanaya lirih, Galuh terdiam.

"Papa!" Ujar Galuh, sembari memutar tubuh Kanaya.

"Ayah yang selalu merindukanmu!"

"Kapan kalian bertemu?" Ujar Galuh penasaran, Kanaya menunduk. Sontak Galuh mengangkat dagu Kanaya, menatap lekat wajah cantik Kanaya. Desiran hangat semakin membuncah, tubuh Galuh terasa bergetar. Menahan gairah rasa yang menguasai jiwanya.

"Beberapa bulan sebelum pernikahan kita. Tepatnya saat aku mengajukan syarat padamu. Memintamu menjadi mahasiswa terbaik!"

"Kamu tidak pernah mencintaiku!" Ujar Galuh, sembari tetap memegang dagu Kanaya. Galuh mendekatkan wajahnya, begitu dekat sampai Galuh bisa merasakan hangat hembusan napas Kanaya.

"Aku belum mencintaimu, bukan tidak mencintaimu. Namun selama hidupku, hanya tanganmu yang melingkar hangat di perutku!" ujar Kanaya, sembari menurunkan tangan Galuh.

"Haykal, kamu masih mencintainya!" ujar Galuh lantang. Kanaya menoleh, mendengar teriakkan Galuh.

"Dia masa laluku dan kini kamu masa depanku. Percaya atau tidak, tergantung suara hatimu. Jangan lakukan kesalahan yang sama seperti dirinnya!"

FLASH BACK OFF

Kanaya termenung menatap langit, empat tahun berlalu. Kanaya masih mengingah hangat yang dulu pernah ada. Namun kini, semua berubah tak sehangat dulu. Pelukan hangat, dekapan mesra tak lagi dirindukan. Galuh dan Kanaya larut dalam duka yang tak pernah terlupa. Mereka merasa lemah, kalah oleh rasa kehilangan. Mengingat Kanaya yang tidak mudah memiliki keturunan lagi. Bahkan setelah tiga tahun, Kanaya tak kunjung memberikan kabar gembira. Sedangkan suara-suara sumbang terdengar di telinga Kanaya. Mempertanyakan hadirnya keturunan yang dinanti. Meragukan ketulusan dan kesetiannya pada Galuh. Layaknya hari ini, Kanaya mendengar suara sumbang yang terus bertanya. Bukan dari orang lain, ibu mertua yang selalu mencari kesempatan menyakiti Kanaya.

"Ya Rabb, dia ibu mertuaku. Aku sudah menganggapnya sebagai ibuku sendiri. Meski aku sadari, dia tak pernah menganggapku ada. Satu doa hamba, kelak lembutkanlah hatinya. Agar bisa menerima hamba sebagai putri, bukan keponakan yang menjadi musuhnya!" Batin Kanaya.

"Bismillahhirrohaminnirrohim!" Ujar Kanaya lirih, sembari melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah megah keluarga Kusuma. Rumah yang telah ditinggalnya delama 4 tahun terakhir.

"Darimana saja kamu? Kamu lupa statusmu, kamu seorang istri. Tugasmu melayani suami, bukan keluar tidak jelas. Apa Embun tidak pernah mengajari sopan santun? Setidaknya dia mengingatkanmu, untuk sadar diri tinggal di rumah orang lain!" Ujar Clara lantang dan sinis, Kanaya diam tak menyahuti. Kanaya lelah berdebat dengan Clara, hanya karena masalah sepele.

"Maaf!" Sahut Kanaya singkat, lalu pergi menjauh dari Clara. Sikap Kanaya sontak membuat Clara marah. Sikap dingin Kanaya yang seolah tidak peduli akan kehadiran Clara.

"Berhenti, aku belum selesai bicara!" Teriak Clara, Kanaya menoleh dengan tatapan dinginnya.

"Apa yang ingin anda katakan? Saya harus memasak untuk makan malam. Saya harus melayani suami saya. Saya harus sadar diri, jika ini rumah suamiku bukan rumahku. Perkataan yang sama selama tiga tahun terakhir. Maaf, jika hari ini saya lelah dan malas berdebat dengan orang yang munafik!"

"Munafik, maksudmu aku!"

"Apa kata yang tepat, untuk orang yang tidak menyadari kesalahannya. Namun terus menyalahkan orang lain. Padahal jelas-jelas, kita berdua sama-sama menumpang di rumah ini!"

"Kanaya, jaga bicaramu!" Ujar Clara marah, sembari mengangkat tangan ke arah Kanaya.

"Jangan pernah menamparku lagi, karena tangan seorang ibu untuk memberi kasih sayang. Bukan mendaratkan tamparan yang akan menyakiti anaknya!" Ujar Kanaya tegas.

Adi Putra Kusuma

"Galuh, duduklah bersama papa!" Ujar Adi, Galuh menoleh dengan tatapan datar. Adi meras heran, kenapa Galuh bersikap dingin padanya?

Adi Putra Kusuma, pengusaha besar yang hanya memiliki satu penerus. Ayah kandung Galuh, seorang ayah yang sangat menyayangi putranya. Bahkan tak pernah sedetikpun, Adi melupakan Galuh. Hanya kebahagian Galuh, prioritas Adi selama ini. Adi bahkan sanggup tidak menganggap keberadaan Clara. Istri keduanya yang kini menjadi ibu sambung Galuh putranya. Semua demi senyum di wajah putranya. Namun malam ini, bukan senyum yang dilihat Adi di wajah Galuh. Tatapan dingin yang membekukan hatinya. Diam dan dingin Galuh yang menyiratkan sesuatu buruk telah terjadi.

"Galuh!"

"Sekarang aku lelah, nanti setelah aku membersihkan diri. Aku akan bicara dengan papa. Lagipula ada yang ingin aku katakan!" Ujar Galuh, Adi mengangguk tanpa bertanya lagi. Sikap dingin Galuh ada dengan sebuah alasan. Sebab itu, Adi percaya ada waktunya Galuh mengatakan semuanya.

"Baiklah, papa akan menunggumu disini!" Sahut Adi, Galuh berlalu tanpa menyahuti. Sekilas Galuh menoleh ke arah Clara. Tatapan Galuh sinis, seolah ada amarah yang siap meledak. Galuh meninggalkan Adi dan Clara. Tak ada hangat yang ditunjukkan Galuh. Entah apa yang ada dalam pikiran Galuh? Satu hal yang pasti, itu bukan hal yang baik.

Kreeekkk

Galuh membuka kamarnya, tak terdengar suara dari dalam kamarnya. Galuh menghela napas, ada sesuatu yang sudah bisa diduga. Galuh melempar tas dan jas ke arah sofa. Galuh masuk ke dalam kamar mandi. Kanaya tidak ada di dalam kamarnya. Sejak tadi siang, Kanaya pulang ke rumah ibunya. Kanaya sudah meminta izin pada Galuh dan Galuh sudah mengizinkan. Artinya malam ini, kemungkinan besar Kanaya akan menginap di rumah orang tuanya.

"Kamu tidak pernah mengeluh. Namun kamu juga tak pernah mengerti. Kamu tak pernah meminta. Namun tanpa kamu sadari, kamu juga tak pernah lagi memberi. Hubungan kita nyata, cinta kita suci. Namun dingin dan diammu, membuat kesucian itu rapuh. Kanaya, sedalam apa lukamu? Sesakit apa hatimu? Sebesar apa dukamu? Katakan padaku sekali saja, agar aku bisa menopangmu. Aku lelah menduga, aku rindu hangat yang pernah ada diantara kita. Janji tulus yang pernah ada diantara kita!" Batin Galuh pilu, suara helaan napas Galuh. Menampakkan betapa besar beban yang ada dipundaknya.

Tap Tap Tap

Galuh turun ke bawah, menemui Adi dan Clara. Ada sesuatu yang ingin dikatakan Galuh. Sesuatu yang mungkin akan merubah hidup Kanaya dan Galuh. Keputusan yang seharusnya diambil oleh Galuh sejak empat tahun yang lalu. Saat Galuh mengatakan siap menikah dengan Kanaya. Tanggungjawab besar yang seharusnya dipenuhi oleh Galuh sejak empat tahun yang lalu.

"Papa, aku ingin bicara!"

"Galuh, apa yang terjadi? Kenapa papa merasa kamu sedang marah?" Ujar Adi, Galuh mengangguk pelan. Galuh menoleh ke arah Clara, tatapan marah dan jijik menghunus ke arah Clara. Galuh merasa jijik melihat Clara yang tengah bermanja pada Adi.

"Clara, duduklah dengan benar!" Ujar Adi sembari mendorong tubuh Clara. Adi merasa Galuh risih melihat sikap Clara. Sebab itu Adi meminta Clara minggir.

"Sayang!" Ujar Clara manja, Adi langsung menatap tajam. Clara beringsut, duduk sedikit menjauh dari Adi.

"Galuh, katakan sekarang. Apa yang sedang terjadi? Papa akan membantumu, percayakan pada papa!" Ujar Adi lantang, Galuh mengangguk pelan. Galuh mendongak, menatap ke arah Adi. Ayah yang siap mengorbankan segalanya untuk dirinya.

"Besok pagi, aku akan pindah dari rumah ini. Sementara waktu, aku akan tinggal di apartement. Jika Kanaya tidak setuju, aku akan mencari rumah kontrakan. Setidaknya sampai pembangunan rumahku selesai!" Ujar Galuh lirih, Adi dan Clara langsung melotot. Mereka tidak percaya, Galuh akan pindah dari rumah. Adi orang yang paling terkejut. Bayangan jauh dari Galuh, membuat Adi merasa tak berdaya. Di usia senjanya, Adi hanya ingin bersama Galuh putranya.

"Tidak, jangan pergi. Apa yang sebenarnya terjadi? Katakan pada papa, apa Kanaya yang ingin pindah dari rumah ini? Jika iya, papa akan bicara dengannya. Asalkan kamu tidak pergi dari rumah ini dan tetap di rumah ini!" Ujar Adi lirih dengan nada menghiba. Galuh tetap diam, tak sedikitpun Galuh mengubah pemikirannya.

"Aku yakin, Kanaya yang mengusulkan kepindahan ini. Buktinya dia tidak pulang, dia takut menghadapi kita!" Ujar Clara sinis, Galuh langsung menatap tajam Clara.

"Diam kamu, jangan memperkeruh suasana. Apapun yang terjadi, kamu tidak berhak bicara atau menilai. Diam dan dengarkan saja, jika tidak bisa. Masuk ke dalam kamar, tidurlah!" Ujar Adi dingin dan sinis, sontak Clara terdiam. Clara terlalu takut melihat amarah Adi. Amarah yang akan merubah dunianya.

"Galuh, katakan yang sebenarnya. Jika papa salah, papa minta maaf. Namun jangan pernah tinggalkan papa. Tetaplah disini, papa mohon!"

"Aku pergi, karena kesalahan papa. Kelemahan papa yang tak mampu mengendalikan dia. Ibu sambung yang tak pernah menghargai istri pilihanku. Papa lupa akan ucapkan dulu, sebuah janji yang kini aku tepati!" Ujar Galuh dingin, Adi menunduk tak mengerti arti perkataan Galuh. Adi terdiam sejenak, mengingat perkataan Galuh beberapa tahun yang lalu. Peringatan yang diucapkan dengan lantang oleh Galuh. Kala Clara mengusik Kanaya untuk pertama kalinya.

FLASH BACK

"Galuh, apa kamu menyukai dia? Putri keluarga Abimata. Dia tidak hanya cantik, tapi juga pintar dalam menggoda laki-laki!" Ujar Clara, Abra langsung menoleh. Kanaya menggenggam erat tangan Abra. Berharap tidak ada amarah, setelah mendengar perkataan Clara.

"Clara, jangan pernah melibatkan putriku. Masalah hanya antara aku dan dirimu!" Ujar Abra, Clara tersenyum sinis mendengar perkataan Abra.

"Dia putrimu, darahmu yang mengalir dalam nadinya. Jadi dia akan selalu terhubung denganmu!" Ujar Clara sinis.

"Kanaya kita pergi!" Ujar Abra, lalu menarik tangan Kanaya. Clara tersenyum sinis, melihat Abra pergi demi menahan rasa malu.

"Nyonya Clara, jangan pernah menghina Kanaya. Satu menit yang lalu aku diam mendengarkan. Namun satu menit berikutnya, belum tentu aku bisa diam. Kanaya alasan hidupku, berani anda menyakitinya. Aku akan membalasnya berserta bunganya!" Ujar Galuh dingin dan sinis, Clara menatap tajam Galuh. Adi hanya menggelengkan kepalanya. Dia sudah bisa menduga, akhir dari perdebatan Clara dan Galuh.

"Sayang, Galuh mengancamku!" Ujar Clara manja, Adi hanya diam. Galuh tersenyum sinis, lalu berdiri tepat di depan Clara dan Adi ayahnya.

"Jangan pernah menghinanya atau menyentuhnya. Jika tidak ingin melihat amarahku!"

"Tapi dia memang perayu, buktinya dia sudah berpisah di usianya yang masih muda!"

"Nyonya Clara, diamlah!" Teriak Galuh lantang, dengan tangan menunjuk ke arah wajah Clara.

"Itu kenyataannya!"

"Papa, tutup mulutnya atau papa harus memilih diantara aku dan dia!" Ujar Galuh tegas dan sinis.

FLASH BACK OFF

"Apa yang kamu katakan pada Kanaya? Kenapa kamu mengusiknya?" Ujar Adi dengan emosi dan nada tinggi. Clara terdiam membisu, dua mata Adi memerah. Menandakan amarah yang siap membakar tubuhnya.

"Dasar pengadu!" Sahut Clara kesal dan sinis.

"Seandainya perkataanmu benar, aku tidak akan pergi dari rumah ini. Sebaliknya, sikap diam Kanaya yang membuatku merasa bersalah. Aku merasa lemah, tidak bisa melindungi istriku di rumahku sendiri. Katakan papa, apa aku pantas disebut suami? Jika air mata istriku saja, aku tidak bisa menghapusnya. Pantaskah aku disebut laki-laki, jika nyatanya aku hanya diam. Ketika wanita yang aku cintai, tersakiti di depan kedua mataku!"

"Galuh, maafkan papa!"

"Terlambat pa, aku akan pergi. Setelah itu, baru aku pantas disebut sebagai laki-laki sejati!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!