Summer Dreams

Summer Dreams

Sebuah Awal

Angin berhembus membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Secara bertahap muncul kabut dalam kesunyian. Menganggu jarak pandang di antara celah-celah pepohonan tinggi menjulang. Daun-daun kering bertumpuk menutupi seluruh permukaan tanah.

Suara aneh muncul. Seperti gaung dari terompet besar, akan tetapi terdengar seperti tangisan paus besar yang memilukan. Namun bagaimana bisa ada suara hewan mamalia yang hidupnya di perairan laut? Sedangkan ini di tengah-tengah hutan yang jauh dari lautan.

Kebingungan itu membuat seorang gadis remaja cemas. Di menoleh setiap arah, akan tetapi tidak dapat menemukan apapun. Di sini hanya ada dia seorang. Bergaun putih sebatas lutut tanpa menggunakan alas kaki. Sehingga kaki telanjangnya menginjak dedaunan kering yang lembab.

Kegelisahannya semakin besar saat melihat bayangan hitam bergerak cepat. Bersembunyi dari balik pohon satu ke pohon lain. Terlalu cepat hingga terlihat seperti asap hitam. Dahi putih telah basah oleh keringat, wajah belia itu juga kian memucat. Bahkan detak jantungnya dapat ia dengar dengan sangat jelas.

Bayangan itu semakin mendekat. Namun yang lebih mengejutkan adalah, tanah yang ia pihak mulai bergerak. Terasa lebih lembek seperti lumpur. Kemudian semua dedaunan masuk ke dalam tanah. Kaki sang gadis pun ikut tersedot, seperti terjebak dalam lumpur hisap. Tapi siapa sangka, tanah yang harusnya berwarna hitam kini justru menjadi merah pekat.

Tidak hanya warna yang berubah. Aromanya tercium anyir hingga membuat perut bergejolak. Si gadis berjuang, sayangnya semakin ia bergerak justru semakin cepat pula terhisap. Kini sudah sampai batas dada lumpur merah tersebut menenggelamkan dirinya. Jejak ketakutan tercetak jelas.

Saat lumpur terus bergerak hingga menyentuh dagu, sosok bayangan hitam muncul di hadapannya. Menyeringai lebar, deretan gigi runcing terlihat jelas saat mata besar nan bulat itu menyorot dengan tatapan memangsa. Menangis, sebelum ia dapat bereaksi lebih lumpur telah menenggelamkan diri sang gadis seutuhnya.

Nakamura Rika terkejut, terbangun dengan napas putus-putus bersamaan dering alarm dari jam weker. Dadanya masih sesak, keringat sebesar biji jagung tinggal di dahi hingga lehernya yang putih.

Mematikan alarm. Gadis muda yang kini berada di tahun kedua sekolah menengah atas tersebut lantas menyibakkan selimut dan kemudian pergi ke kamar mandi.

Tak lama, teriakan dari bawah memanggilnya. "Rika-chan! Cepat turun dan pergi sarapan!"

Rika telah bersiap, mengabaikan teriakan sang ibu, dan hanya fokus ketika mengenakan kaos kaki. Lantas pergi meninggalkan ruangan dengan segala privasi yang ia jaga.

"Ohayou, Kaa-san." Rika menarik kursi di balik meja saat menyapa ibunya.

"Ohayou. Bagaimana tidur mu? Nyenyak?" Miyako-san bertanya tanpa mengalihkan pandanganya dari penggorengan. Membolak-balik kan telur omelet dan meletakkan di atas piring.

"Hn!" jawab Rika singkat.

Miyako-san, wanita dengan dua anak tersebut. Mematikan kompor, melepaskan apron dan kemudian menggantungnya sebelum pergi ke meja makan. Dia menyerahkan satu piring nasi telur omelet di depan Rika dan menyimpan satu untuk dirinya sendiri.

"Ittadakimasu!" Rika dan sang ibu mengucapkan selamat makan sambil menangkupkan kedua tangan. Dan pasangan ibu anak itupun makan dengan tenang.

Rika memotong omelet yang telah di lumuri saus sambal, menyendok dan memasukkan ke dalam mulut. Wajahnya tetap datar, meskipun sensasi panas menyentuh titik indera perasanya.

"Oh iya, Rika-chan. Liburan musim panas nanti Kaa-san berencana pergi ke Tokyo untuk mengunjungi Onii-san. Tou-san pun belum tentu bisa pulang jadi ...."

Gerakan tangan Rika berhenti. Menatap Miyako-san dengan mata menyipit.

"Jadi bisakah Rika-chan menjaga rumah untuk Kaa-san?"

Rika seketika meletakkan sendok, tak lagi berselera makan. "Apa menurut Kaa-san itu masuk akal?"

Miyako-san heran, menatap Rika menyimpan tanya. Namun gadis remaja itu enggan memberi penjelasan. Dia mengambil gelas dan mengosongkan isinya dalam sekali tenggak. Usai meletakkan gelas yang telah tandas, Rika mendorong kursi ke belakang. "Terimakasih atas hidangannya." Dia lantas bangkit dan meninggalkan tempat.

"Rika-chan! Jawab dulu pertanyaan Kaa-san!"

Rika terus berjalan. Tidak menoleh ataupun memberi tanggapan. Bagaimana bisa ibunya berpikir untuk pergi liburan ke Tokyo tanpa mengajak dirinya dan diminta untuk menjaga rumah seorang diri. Meksipun tidak takut, namun hatinya masam sebab merasakan kasih sayang sang ibu yang tidak merata.

Rika keluar rumah dengan kepala tertunduk dalam. Menatap jalan beraspal dengan pikiran kusut. Dia mengabaikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya, dia juga tidak menyadari jika ada seseorang yang berjalan tepat di belakangnya. Dia terlalu tak acuh, hanya menekuri setiap langkah kaki yang ia buat.

Ini masih pekan pertama di musim panas. Langit cerah dengan sedikit awan serta udara yang perlahan kering meksi tidak begitu terasa. Di musim ini biasanya orang-orang memiliki semangat yang bagus, tawa ceria akan terdengar di mana-mana. Namun tidak dengan Rika yang masih sama, tidak pernah berubah dari musim ke musim.

"Sayaka-chan, bukankah itu Nakamura Rika dari kelasmu?" Seorang gadis bermata bermata sipit berbisik pelan pada Sayaka Matsumoto.

Sayaka yang berada tak jauh dari tempat Rika berjalan pun menoleh. Matanya menyiratkan ejekan saat melihat Rika berjalan seorang diri seperti biasa. "Aih, wajah muram itu di bawa dari musim dingin, apa dia ingin menakuti semua orang?"

"Memangnya kenapa? Apa seburuk itu?"

Sayaka tidak terlalu senang, dia bahkan sempat mengolok-olok. "Ku akui di cantik. Tapi apalah kecantikan itu jika tidak ada semangat dalam hidup. Tidak pernah tersenyum dan mengisolasi diri. Pemuda mana yang akan tertarik padanya." Sayaka tertawa renyah. Sejujurnya ia meliki sedikit keirian di dalam hatinya.

Teman Sayaka tidak terlalu memikirkannya dan ikut mentertawakan orang lain sesuka hati. Rika bukannya tidak dengar, tetapi dia tidak ingin berurusan dengan hal-hal remeh seperti itu. Dia menyadari pihak lain sengaja melakukan itu untuk membuat dirinya terkesan semakin buruk.

"Rika-chan, jangan dengar dia."

Rika berhenti, menoleh ke belakang dan melihat teman sekelasnya yang lain datang menghampirinya.

"Rika-chan, ohayou!" Gadis yang memiliki surai panjang tersebut tersenyum hangat.

"Hn, ohayou."

Ishikawa Naomi mendekati Rika dengan mantap. Menatap fitur wajahnya yang terkesan galak dengan sorot mata tajam di bingkai alis yang tegas. Hidung kecil dan bibir tipis merah muda.

"Jangan dengarkan Sayaka-chan, dia itu hanya iri dengan kecantikan yang Rika-chan punya." Naomi berusaha menghibur.

"Tidak peduli."

"Itu bagus." Naomi bertepuk tangan mengapresiasi. "Itulah sikap Rika yang mengagumkan, tidak mengambil hati mulut bau sampah." Naomi melirik saat mengucapkan kalimat tersebut. Ia sengaja mengucapkan sedikit kuat agar pihak lain dengar.

Rika tidak peduli dan tak ingin peduli dengan tindakan Naomi yang disengaja. Sayaka tentu mendengar, dia bahkan mengepalkan tangannya dengan bibir mengerut, matanya berkilat akan kemarahan serta kebencian. Mengingat keadaan kini masih di jalan, dia tak ingin berurusan dengan mereka sekarang. Menggigit lidah, dia mengambil langkah lebar meninggalkan temannya.

"Oi, Sayaka-chan. Cotto matte."

Melihat wajah kesal Sayaka, Naomi tidak bisa menahan diri. Tawanya seketika pecah.

Rika memperhatikan punggung Sayaka yang menjauh, kemudian melirik Naomi sejenak lantas kembali melangkah. Menyadari pihak lain pergi begitu saja, Naomi pun berhenti.

"Rika-chan. Cotto matte." Rika tidak berniat melambat apalagi menunggu. Dia dengan sikap acuh tak acuhnya terus bergerak maju.

"Hei, aku sudah membantu mu mengurusi mereka. Tidakkah ada ucapan terimakasih?" keluh Naomi sambil berlari mengejar.

"Tidak butuh."

"Ah, baiklah. Aku mengerti. Aku yang terlalu bersemangat." Naomi kembali tertawa renyah, lantas menyamai langkah Rika saat pergi ke sekolah. Keduanya lantas saling diam hingga memasuki gerbang sekolah.

...*★*★*★*★*...

Kelas 2-3. Rika memasuki kelas dengan setia diikuti Naomi. Sayaka juga telah menempati duduknya dengan dikerumuni banyak orang. Dan ketika Rika mengambil tempat, Sayaka dan rombongannya menoleh ke arah Rika dengan tatapan mengejek, menghina dan bahkan ada yang menunjukkan sikap jijik.

Naomi yang melihat itu dan langsung menuju kerumunan. "Oi, apa yang kalian lakukan? Bermain secara berkelompok?"

Sayaka yang mendapat pukulan pertama di awal tak bisa diam. Dia bangkit dari kursi, menatap Naomi memprovokasi. "Hei, Naomi-chan. Menurut mu apa sepadan membela dia yang selalu acuh tak acuh padamu?"

"Apa? Itu urusanku, tidak usah ikut campur." Naomi kesal.

Salah satu dari mereka menimpali, "apa kamu bodoh, Ishikawa-san? Orang seperti dia itu hanya mengganggu pemandangan, lebih baik tidak ada."

Naomi hendak membalas. Mulutnya sudah terbuka, namun suaranya tertahan begitu mendengar suara tamparan begitu keras. Seisi kelas mengalami kejutan, semua menatap orang kerumunan Sayaka dengan mata terbuka lebar.

"Kamu ... kamu ... kamu berani memukulku, Nakamura Rika?"

Rika mencebik, melipat kedua tangannya di depan dada santai. Matanya penuh sorotan ejekan yang nyata. "Kenapa tidak berani dengan mulut bau sepertimu, Nanao-san?"

Nanao memegangi pipinya yang terasa panas. Matanya berkilat dengan kemarahan serta kebencian. Dia pikir gadis ini sudah gila, berani memukulnya di depan banyak orang. Tapi itu juga bagus, dia bisa mengadu pada Sensei dan meminta pengadilan. Semua teman sekelasnya bisa dijadikan saksi. Memikirkan hal itu Nanao menyeringai, merasa senang, bahkan pipinya tidak terasa begitu sakit lagi.

Naomi pulih, dia meraih tangan Rika. Berbisik tepat di telinganya. "Rika-chan, jangan bertindak impulsif. Itu akan merugikan mu di kedepannya dan mereka sengaja melakukan itu."

Bukannya Rika tidak tahu konsekuensi apa yang akan dia terima, hanya saja ia merasa mulut seperti Sayaka dan Nanao tidak dapat dibiarkan. Mereka akan mencemari dan menimbulkan masalah di masa mendatang jika mereka terus memuntahkan omong kosong. Ini bisa dianggap tindakan awal untuk menghindari perundungan terhadap dirinya.

Di bawah tatapan semua orang, Rika tetap tenang dan terkesan acuh tak acuh. Dia bahkan tidak menganggap penting tentang pemukulan yang telah ia perbuat. Ha itu kembali memancing diskusi.

"Rika-san benar-benar bernyali besar," seseorang berbisik di barisan terdepan.

"Sebenarnya wajar kalau Rika-chan bertindak seperti itu. Meskipun sikapnya memang membuat orang tidak nyaman, akan tetapi Rika-chan tidak pernah memprovokasi orang apalagi berkonfrontasi."

Mengangguk. "Benar apa yang dikatakan Hana-chan. Sebenarnya Nakamura-san tidak seburuk itu, hanya Sayaka-san dan Nanao-san saja yang tidak bisa menjaga lidah."

Tiga gadis yang sedang berkerumun tersebut mengangguk sependapat. Walaupun Rika terlihat menyebalkan dengan sikapnya yang seakan tidak mengenali teman sekelas, acuh tak acuh dan menjaga jarak. Akan tetapi Rika tak pernah bersikap buruk kecuali pihak lain menyinggung perasaannya terlebih dahulu. Seperti sekarang.

Kembali pada Rika yang kini menyaksikan Nanao dengan senyuman tipis di bibirnya. Dia dapat mengira-ngira apa yang akan gadis bermulut bau itu lakukan. Berbeda dengan Nanao berbeda pula dengan pemikiran Sayaka.

Gadis kurus bermata cekung tersebut berdiri, meraung sambil mengacungkan telunjuknya ke arah Rika. "Dasar gadis gila. Dengan kepribadian seperti itu cocok disebut monster."

Selesai Sayaka berucap, satu tamparan melayang ke arahnya. Tidak banyak airmuka yang Rika tunjukan, memukul wajah manusia tampak seperti memukul seekor nyamuk. Tanpa beban, rasa takut, apalagi penyesalan. Begitu ringan.

"Kamu ... kamu ... kamu berani memukulku?" Sayaka meraung hendak mencakar wajah Rika. Dia kesal dan sangat marah. Ingin sekali menghancurkan wajah itu hingga buruk rupa.

Rika menangkap pergelangan pihak lain dengan cepat. Menahan kekuatan sambil mendengus geli. "Kalian pikir aku siapa mudah kalian gertak? Kalian juga menganggap diri sendiri terlalu tinggi." Rika tersenyum sinis. Matanya berkilat dengan kebengisan saat mulai serius.

Sayaka tiba-tiba merasa merinding. Rika mencondongkan tubuhnya ke depan. Berbisik tepat di telinga Sayaka, "ini bukan pertama kalinya Sayaka menyemburkan omong kosong. Anggap saja ini sebagai peringatan karna aku sudah cukup bersabar ...." Rika menjeda, melirik wajah pucat Sayaka yang sudah muncul keringat dingin. Dia tersenyum simpul dan melanjutkan, "jika hari ini terjadi lagi. Aku tidak akan segan untuk menghancurkan hidupmu. Maka dari itu, jadi diri baik-baik."

Rika menegakkan badan, menepuk bahu Sayaka ringan dan kembali ke tempat duduknya. Orang-orang menatap bingung, kalimat apa yang telah Rika ucapkan sehingga mampu membuat Sayaka gemetar. Namun hanya sesaat, sebab seseorang yang akan membantunya telah tiba bersamaan dengan terdengarnya suara bel.

...*★*★*★*★*...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!