Angin berhembus membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Secara bertahap muncul kabut dalam kesunyian. Menganggu jarak pandang di antara celah-celah pepohonan tinggi menjulang. Daun-daun kering bertumpuk menutupi seluruh permukaan tanah.
Suara aneh muncul. Seperti gaung dari terompet besar, akan tetapi terdengar seperti tangisan paus besar yang memilukan. Namun bagaimana bisa ada suara hewan mamalia yang hidupnya di perairan laut? Sedangkan ini di tengah-tengah hutan yang jauh dari lautan.
Kebingungan itu membuat seorang gadis remaja cemas. Di menoleh setiap arah, akan tetapi tidak dapat menemukan apapun. Di sini hanya ada dia seorang. Bergaun putih sebatas lutut tanpa menggunakan alas kaki. Sehingga kaki telanjangnya menginjak dedaunan kering yang lembab.
Kegelisahannya semakin besar saat melihat bayangan hitam bergerak cepat. Bersembunyi dari balik pohon satu ke pohon lain. Terlalu cepat hingga terlihat seperti asap hitam. Dahi putih telah basah oleh keringat, wajah belia itu juga kian memucat. Bahkan detak jantungnya dapat ia dengar dengan sangat jelas.
Bayangan itu semakin mendekat. Namun yang lebih mengejutkan adalah, tanah yang ia pihak mulai bergerak. Terasa lebih lembek seperti lumpur. Kemudian semua dedaunan masuk ke dalam tanah. Kaki sang gadis pun ikut tersedot, seperti terjebak dalam lumpur hisap. Tapi siapa sangka, tanah yang harusnya berwarna hitam kini justru menjadi merah pekat.
Tidak hanya warna yang berubah. Aromanya tercium anyir hingga membuat perut bergejolak. Si gadis berjuang, sayangnya semakin ia bergerak justru semakin cepat pula terhisap. Kini sudah sampai batas dada lumpur merah tersebut menenggelamkan dirinya. Jejak ketakutan tercetak jelas.
Saat lumpur terus bergerak hingga menyentuh dagu, sosok bayangan hitam muncul di hadapannya. Menyeringai lebar, deretan gigi runcing terlihat jelas saat mata besar nan bulat itu menyorot dengan tatapan memangsa. Menangis, sebelum ia dapat bereaksi lebih lumpur telah menenggelamkan diri sang gadis seutuhnya.
Nakamura Rika terkejut, terbangun dengan napas putus-putus bersamaan dering alarm dari jam weker. Dadanya masih sesak, keringat sebesar biji jagung tinggal di dahi hingga lehernya yang putih.
Mematikan alarm. Gadis muda yang kini berada di tahun kedua sekolah menengah atas tersebut lantas menyibakkan selimut dan kemudian pergi ke kamar mandi.
Tak lama, teriakan dari bawah memanggilnya. "Rika-chan! Cepat turun dan pergi sarapan!"
Rika telah bersiap, mengabaikan teriakan sang ibu, dan hanya fokus ketika mengenakan kaos kaki. Lantas pergi meninggalkan ruangan dengan segala privasi yang ia jaga.
"Ohayou, Kaa-san." Rika menarik kursi di balik meja saat menyapa ibunya.
"Ohayou. Bagaimana tidur mu? Nyenyak?" Miyako-san bertanya tanpa mengalihkan pandanganya dari penggorengan. Membolak-balik kan telur omelet dan meletakkan di atas piring.
"Hn!" jawab Rika singkat.
Miyako-san, wanita dengan dua anak tersebut. Mematikan kompor, melepaskan apron dan kemudian menggantungnya sebelum pergi ke meja makan. Dia menyerahkan satu piring nasi telur omelet di depan Rika dan menyimpan satu untuk dirinya sendiri.
"Ittadakimasu!" Rika dan sang ibu mengucapkan selamat makan sambil menangkupkan kedua tangan. Dan pasangan ibu anak itupun makan dengan tenang.
Rika memotong omelet yang telah di lumuri saus sambal, menyendok dan memasukkan ke dalam mulut. Wajahnya tetap datar, meskipun sensasi panas menyentuh titik indera perasanya.
"Oh iya, Rika-chan. Liburan musim panas nanti Kaa-san berencana pergi ke Tokyo untuk mengunjungi Onii-san. Tou-san pun belum tentu bisa pulang jadi ...."
Gerakan tangan Rika berhenti. Menatap Miyako-san dengan mata menyipit.
"Jadi bisakah Rika-chan menjaga rumah untuk Kaa-san?"
Rika seketika meletakkan sendok, tak lagi berselera makan. "Apa menurut Kaa-san itu masuk akal?"
Miyako-san heran, menatap Rika menyimpan tanya. Namun gadis remaja itu enggan memberi penjelasan. Dia mengambil gelas dan mengosongkan isinya dalam sekali tenggak. Usai meletakkan gelas yang telah tandas, Rika mendorong kursi ke belakang. "Terimakasih atas hidangannya." Dia lantas bangkit dan meninggalkan tempat.
"Rika-chan! Jawab dulu pertanyaan Kaa-san!"
Rika terus berjalan. Tidak menoleh ataupun memberi tanggapan. Bagaimana bisa ibunya berpikir untuk pergi liburan ke Tokyo tanpa mengajak dirinya dan diminta untuk menjaga rumah seorang diri. Meksipun tidak takut, namun hatinya masam sebab merasakan kasih sayang sang ibu yang tidak merata.
Rika keluar rumah dengan kepala tertunduk dalam. Menatap jalan beraspal dengan pikiran kusut. Dia mengabaikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya, dia juga tidak menyadari jika ada seseorang yang berjalan tepat di belakangnya. Dia terlalu tak acuh, hanya menekuri setiap langkah kaki yang ia buat.
Ini masih pekan pertama di musim panas. Langit cerah dengan sedikit awan serta udara yang perlahan kering meksi tidak begitu terasa. Di musim ini biasanya orang-orang memiliki semangat yang bagus, tawa ceria akan terdengar di mana-mana. Namun tidak dengan Rika yang masih sama, tidak pernah berubah dari musim ke musim.
"Sayaka-chan, bukankah itu Nakamura Rika dari kelasmu?" Seorang gadis bermata bermata sipit berbisik pelan pada Sayaka Matsumoto.
Sayaka yang berada tak jauh dari tempat Rika berjalan pun menoleh. Matanya menyiratkan ejekan saat melihat Rika berjalan seorang diri seperti biasa. "Aih, wajah muram itu di bawa dari musim dingin, apa dia ingin menakuti semua orang?"
"Memangnya kenapa? Apa seburuk itu?"
Sayaka tidak terlalu senang, dia bahkan sempat mengolok-olok. "Ku akui di cantik. Tapi apalah kecantikan itu jika tidak ada semangat dalam hidup. Tidak pernah tersenyum dan mengisolasi diri. Pemuda mana yang akan tertarik padanya." Sayaka tertawa renyah. Sejujurnya ia meliki sedikit keirian di dalam hatinya.
Teman Sayaka tidak terlalu memikirkannya dan ikut mentertawakan orang lain sesuka hati. Rika bukannya tidak dengar, tetapi dia tidak ingin berurusan dengan hal-hal remeh seperti itu. Dia menyadari pihak lain sengaja melakukan itu untuk membuat dirinya terkesan semakin buruk.
"Rika-chan, jangan dengar dia."
Rika berhenti, menoleh ke belakang dan melihat teman sekelasnya yang lain datang menghampirinya.
"Rika-chan, ohayou!" Gadis yang memiliki surai panjang tersebut tersenyum hangat.
"Hn, ohayou."
Ishikawa Naomi mendekati Rika dengan mantap. Menatap fitur wajahnya yang terkesan galak dengan sorot mata tajam di bingkai alis yang tegas. Hidung kecil dan bibir tipis merah muda.
"Jangan dengarkan Sayaka-chan, dia itu hanya iri dengan kecantikan yang Rika-chan punya." Naomi berusaha menghibur.
"Tidak peduli."
"Itu bagus." Naomi bertepuk tangan mengapresiasi. "Itulah sikap Rika yang mengagumkan, tidak mengambil hati mulut bau sampah." Naomi melirik saat mengucapkan kalimat tersebut. Ia sengaja mengucapkan sedikit kuat agar pihak lain dengar.
Rika tidak peduli dan tak ingin peduli dengan tindakan Naomi yang disengaja. Sayaka tentu mendengar, dia bahkan mengepalkan tangannya dengan bibir mengerut, matanya berkilat akan kemarahan serta kebencian. Mengingat keadaan kini masih di jalan, dia tak ingin berurusan dengan mereka sekarang. Menggigit lidah, dia mengambil langkah lebar meninggalkan temannya.
"Oi, Sayaka-chan. Cotto matte."
Melihat wajah kesal Sayaka, Naomi tidak bisa menahan diri. Tawanya seketika pecah.
Rika memperhatikan punggung Sayaka yang menjauh, kemudian melirik Naomi sejenak lantas kembali melangkah. Menyadari pihak lain pergi begitu saja, Naomi pun berhenti.
"Rika-chan. Cotto matte." Rika tidak berniat melambat apalagi menunggu. Dia dengan sikap acuh tak acuhnya terus bergerak maju.
"Hei, aku sudah membantu mu mengurusi mereka. Tidakkah ada ucapan terimakasih?" keluh Naomi sambil berlari mengejar.
"Tidak butuh."
"Ah, baiklah. Aku mengerti. Aku yang terlalu bersemangat." Naomi kembali tertawa renyah, lantas menyamai langkah Rika saat pergi ke sekolah. Keduanya lantas saling diam hingga memasuki gerbang sekolah.
...*★*★*★*★*...
Kelas 2-3. Rika memasuki kelas dengan setia diikuti Naomi. Sayaka juga telah menempati duduknya dengan dikerumuni banyak orang. Dan ketika Rika mengambil tempat, Sayaka dan rombongannya menoleh ke arah Rika dengan tatapan mengejek, menghina dan bahkan ada yang menunjukkan sikap jijik.
Naomi yang melihat itu dan langsung menuju kerumunan. "Oi, apa yang kalian lakukan? Bermain secara berkelompok?"
Sayaka yang mendapat pukulan pertama di awal tak bisa diam. Dia bangkit dari kursi, menatap Naomi memprovokasi. "Hei, Naomi-chan. Menurut mu apa sepadan membela dia yang selalu acuh tak acuh padamu?"
"Apa? Itu urusanku, tidak usah ikut campur." Naomi kesal.
Salah satu dari mereka menimpali, "apa kamu bodoh, Ishikawa-san? Orang seperti dia itu hanya mengganggu pemandangan, lebih baik tidak ada."
Naomi hendak membalas. Mulutnya sudah terbuka, namun suaranya tertahan begitu mendengar suara tamparan begitu keras. Seisi kelas mengalami kejutan, semua menatap orang kerumunan Sayaka dengan mata terbuka lebar.
"Kamu ... kamu ... kamu berani memukulku, Nakamura Rika?"
Rika mencebik, melipat kedua tangannya di depan dada santai. Matanya penuh sorotan ejekan yang nyata. "Kenapa tidak berani dengan mulut bau sepertimu, Nanao-san?"
Nanao memegangi pipinya yang terasa panas. Matanya berkilat dengan kemarahan serta kebencian. Dia pikir gadis ini sudah gila, berani memukulnya di depan banyak orang. Tapi itu juga bagus, dia bisa mengadu pada Sensei dan meminta pengadilan. Semua teman sekelasnya bisa dijadikan saksi. Memikirkan hal itu Nanao menyeringai, merasa senang, bahkan pipinya tidak terasa begitu sakit lagi.
Naomi pulih, dia meraih tangan Rika. Berbisik tepat di telinganya. "Rika-chan, jangan bertindak impulsif. Itu akan merugikan mu di kedepannya dan mereka sengaja melakukan itu."
Bukannya Rika tidak tahu konsekuensi apa yang akan dia terima, hanya saja ia merasa mulut seperti Sayaka dan Nanao tidak dapat dibiarkan. Mereka akan mencemari dan menimbulkan masalah di masa mendatang jika mereka terus memuntahkan omong kosong. Ini bisa dianggap tindakan awal untuk menghindari perundungan terhadap dirinya.
Di bawah tatapan semua orang, Rika tetap tenang dan terkesan acuh tak acuh. Dia bahkan tidak menganggap penting tentang pemukulan yang telah ia perbuat. Ha itu kembali memancing diskusi.
"Rika-san benar-benar bernyali besar," seseorang berbisik di barisan terdepan.
"Sebenarnya wajar kalau Rika-chan bertindak seperti itu. Meskipun sikapnya memang membuat orang tidak nyaman, akan tetapi Rika-chan tidak pernah memprovokasi orang apalagi berkonfrontasi."
Mengangguk. "Benar apa yang dikatakan Hana-chan. Sebenarnya Nakamura-san tidak seburuk itu, hanya Sayaka-san dan Nanao-san saja yang tidak bisa menjaga lidah."
Tiga gadis yang sedang berkerumun tersebut mengangguk sependapat. Walaupun Rika terlihat menyebalkan dengan sikapnya yang seakan tidak mengenali teman sekelas, acuh tak acuh dan menjaga jarak. Akan tetapi Rika tak pernah bersikap buruk kecuali pihak lain menyinggung perasaannya terlebih dahulu. Seperti sekarang.
Kembali pada Rika yang kini menyaksikan Nanao dengan senyuman tipis di bibirnya. Dia dapat mengira-ngira apa yang akan gadis bermulut bau itu lakukan. Berbeda dengan Nanao berbeda pula dengan pemikiran Sayaka.
Gadis kurus bermata cekung tersebut berdiri, meraung sambil mengacungkan telunjuknya ke arah Rika. "Dasar gadis gila. Dengan kepribadian seperti itu cocok disebut monster."
Selesai Sayaka berucap, satu tamparan melayang ke arahnya. Tidak banyak airmuka yang Rika tunjukan, memukul wajah manusia tampak seperti memukul seekor nyamuk. Tanpa beban, rasa takut, apalagi penyesalan. Begitu ringan.
"Kamu ... kamu ... kamu berani memukulku?" Sayaka meraung hendak mencakar wajah Rika. Dia kesal dan sangat marah. Ingin sekali menghancurkan wajah itu hingga buruk rupa.
Rika menangkap pergelangan pihak lain dengan cepat. Menahan kekuatan sambil mendengus geli. "Kalian pikir aku siapa mudah kalian gertak? Kalian juga menganggap diri sendiri terlalu tinggi." Rika tersenyum sinis. Matanya berkilat dengan kebengisan saat mulai serius.
Sayaka tiba-tiba merasa merinding. Rika mencondongkan tubuhnya ke depan. Berbisik tepat di telinga Sayaka, "ini bukan pertama kalinya Sayaka menyemburkan omong kosong. Anggap saja ini sebagai peringatan karna aku sudah cukup bersabar ...." Rika menjeda, melirik wajah pucat Sayaka yang sudah muncul keringat dingin. Dia tersenyum simpul dan melanjutkan, "jika hari ini terjadi lagi. Aku tidak akan segan untuk menghancurkan hidupmu. Maka dari itu, jadi diri baik-baik."
Rika menegakkan badan, menepuk bahu Sayaka ringan dan kembali ke tempat duduknya. Orang-orang menatap bingung, kalimat apa yang telah Rika ucapkan sehingga mampu membuat Sayaka gemetar. Namun hanya sesaat, sebab seseorang yang akan membantunya telah tiba bersamaan dengan terdengarnya suara bel.
...*★*★*★*★*...
Daichi Yamaguchi memasuki ruangan dengan membaca beberapa buku yang ia selipkan di bawah ketiaknya. Tampilan modis dengan dengan kacamata yang membingkai wajahnya. Usianya yang matanya dan terlihat tampan memang mengundang banyak perhatian.
"Minna, ohayou."
"Ohayou gozaimasu, Sensei."
Daichi Sensei mengucapkan beberapa kalimat pembuka, lantas melakukan absensi. "Baik, ayo kita mulai absen," ujarnya dan langsung menyebutkan daftar nama dari buku absen.
"Aoki Kenji!" Daichi Sensei mengangkat pandangannya, menatap pemuda berkacamata.
"Hadir."
"Fujiwara ...."
Satu persatu nama-nama disebutkan. Rika tampak bosan, meskipun begitu dia tidak membuka suara ataupun bertindak sesuka hati. Ia tetap tenang menunggu namanya di panggil, meskipun meletakkan kepalanya di atas meja dengan malas.
"Ishikawa Naomi!"
Mendengar namanya disebutkan. Naomi segera mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dengan semangat dia merespon, "Naomi, hadir, Sensei."
Daichi Sensei tersenyum. "Semangat yang bagus, Naomi-chan."
Dipuji dengan tulus bagaimana Naomi tidak merasa tersanjung, dengan malu-malu dia mengucapkan terimakasih. Beberapa orang mencibir dengan kecemburuan, namun tidak berani diucapkan secara langsung.
"Kishimura Hana!" Hana juga merespon dengan baik.
"Matsumoto Sayaka!" Sayaka juga menjawab, namun suaranya sedikit tertahan sehingga menimbulkan menimbulkan rasa penasaran. Hanya sesaat, Daichi Sensei kembali melanjutkan.
"Nakamura Rika!" Rika mengangkat tangannya, tidak bersuara seperti yang lainnya. Seisi kelas melihat ke arah Rika dengan tatapan aneh.
"Rika-chan, tolong bersuara jika saya memanggil lain kali," pinta Daichi Sensei, antara memaklumi dan menegur.
"Hai, Sensei." Rika menyetujui dengan mudah.
"Nishimura Takeru!" Takeru sama antusiasnya dengan Naomi. Pemuda berambut gondrong tersebut bahkan sempat mengoceh, seperti anak kecil yang sedang meminta perhatian. Namun Daichi Sensei tidak menanggapi lama.
"Ogawa Shinjiro." Teman sebangku Takeru menjawab.
"Takashi Mayu!" Mayu merespon biasa, tidak arogan, bersemangat, ataupun enggan seperti halnya yang dilakukan Rika teman sebangkunya.
Hingga tiba giliran Nanao, semuanya sedikit berbeda.
"Ueda Nanao!"
Nanao mengangkat tangan, suaranya terbata pelan saat memberikan jawaban. "Ha-ha-dir, Sensei!"
Daichi Sensei belum menutup buku absensi, pria dewasa tersebut menatap Nanao dengan dahi alis yang saling bertaut. Dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "ada masalah, Nanao-chan?"
"Eto ... Sensei. Sensei, kami telah dianiaya dan Sensei harus menegakkan keadilan untuk kami," pinta Nanao dengan wajah memerah dan menahan airmata di pelupuk matanya terjatuh.
Rika melirik gadis di seberang mejanya malas. Dia dapat menebak niat yang Nanao miliki.
Saat Nanao mengucapkan kalimat yang berbelit-belit, Mayu berbisik rendah pada Rika. "Rika, apa menurut mu Nanao sengaja melakukan itu?"
"Melakukan apa?" Rika bertanya balik dengan acuh tak acuh, meksipun dia tahu apa yang Mayu coba sampaikan. Tapi dia tidak begitu peduli.
"Maksudku, Nanao sengaja memeras wajahnya hingga merah seakan telah dianiaya hanya untuk mengadu masalah tadi pagi bukan? Jika memang benar, kamu tidak akan bisa lepas dari hukuman."
"Hn, aku tahu."
Mayu dalam hati menghela napas, seakan sia-sia telah mengkhawatirkan gadis ini. Namun melihat ketidakpedulian yang Rika tunjukan, walaupun cemas hati Mayu sedikit tenang. Yakin jika Rika memiliki rencananya sendiri.
"Berbicaralah yang jelas, Nanao-chan. Sensei akan membantu dan mendapatkan keadilan untukmu." Daichi Sensei telah berucap.
Nanao merasa senang mendengar jaminan yang pria itu berikan. Sayaka yang tidak tahu rencana awal Nanao kini sudah dapat menebak ke arah mana ucapan itu dilanjutkan. Apalagi kalau bukan perkara tadi pagi.
Dan benar saja, Nanao memberitahukan apa yang telah Rika lakukan pada mereka berdua. Beruntungnya Nanao dan Sayaka, tamparan yang Rika berikan masih membekas merah. Tuhan tahu seberapa besar kekuatan yang Rika keluarkan untuk membuat tanda tersebut. Sayaka juga tidak diam saja, dia membantu Nanao untuk berbicara. Bahkan ada bumbu-bumbu kebohongan yang ia taburkan.
Wajah Daichi Sensei perlahan keruh saat mendengar setiap kalimat yang Nanao sampaikan. Dia mengira anak didiknya telah membuat omong kosong untuk menjebak yang lain. Namun jika melihat lagi pipi yang memerah itu, dia tidak lagi meragukan dan berseru meminta kepastian si pelaku.
"Rika-chan! Apa benar yang dikatakan Nanao-chan dan Sayaka-chan?"
Rika tidak mengelak dan secara terbuka mengkonfirmasi apa yang telah ia perbuat. Mayu dan Naomi menatap Rika dengan perasaan kompleks, kenapa Rika tidak memilih untuk menyangkal saja?
"Baiklah. Setelah kelas selesai pergilah ke kantor saya." Daichi Sensei menghela napas panjang dan kemudian melanjutkan, "sekarang kita mulai saja pelajarannya."
Nanao dan Sayaka bersorak dalam hati. Mereka berdua bahkan sudah tidak sabar melihat hukuma apa yang Sensei berikan pada Rika. Begitu menantikannya sehingga sepanjang perjalanan keduanya tak dapat menjaga pikiran agar tetap fokus.
Menunggu pergantian waktu biasanya tidak berlangsung lama. Namun bagi Nanao dan Sayaka terasa sangat panjang. Sesekali dia melihat jam dinding, hanya lima menit waktu bergerak dari terkahir kali ia melihat. Berbeda jauh dengan Rika yang tetap tenang dan bahkan mampu mengikuti pelajaran dengan baik.
Sayaka merasa heran. "Apa dia tidak takut?" Tapi siapa yang dapat menebak apa yang gadis beralis tegas itu pikirkan.
...*★*★*★*★*...
Saat ini Rika telah berada di depan meja Daichi Sensei. Ia mengikuti sang wali kelas begitu kelas pertama berakhir beberapa saat yang lalu. Pria mapan tersebut tidak langsung mengintrogasi, tapi justru masih menatap tumpukan buku di bawah matanya dengan serius.
Rika sangat bosan. Dia menoleh ke arah meja guru lain. Pandangannya bertubrukan dengan pemuda berambut ikal. Netra hitam menyimpan keterkejutan yang tidak biasa. Rika tumbuh tidak nyaman, ia segera membuang muka. Memutuskan kontak dan duduk dengan kepala tertunduk.
Tangannya berkeringat, jantungnya berdebar-debar. Perasaan tidak nyaman serta berat menghinggapi hatinya usai ditatap oleh pemuda itu. Rika melirik ke arah muda tadi, ternyata dia sudah pergi.
"Rika-chan, apa ada pembelaan?" Daichi Sensei bertanya, meletakkan pena serta melepas kacamatanya tatkala mengurut pangkal alisnya.
Rika tahu arah pembicaraan sang wali kelas. "Tidak, Sensei."
Daichi Sensei tidak percaya. Secara alami orang akan membela diri meskipun melakukan kesalahan. Tapi dia tidak. "Jadi Rika-chan mengakui tindakan kasar tersebut?"
Rika mengangguk mantap.
"Kenapa?" Ya, kenapa dia melakukan itu dan mengakuinya dengan mudah? Apa dia tidak takut dengan konsekuensi yang akan diterima atau dia telah diremehkan? Memikirkan pemikirannya yang berkelana, Daichi Sensei menjadi kesal.
"Karena mereka pantas mendapatkannya."
Jawaban yang Rika berikan sama sekali tidak memuaskan. Justru membuat sang guru menjadi geram. "Apakah karena menurut Rika-chan pantas, maka boleh melakukannya?"
Rika terdiam.
Daichi Sensei kembali bertanya, "apa ada penyesalan?"
"Tidak." Rika menjawab dengan lugas.
Daichi Sensei merasa sedikit frustasi menghadapi siswi satu ini. "Saya tahu, Rika-chan gadis dengan pemikiran terbuka. Saya memaklumi dan menutup mata persoalan Rika yang enggan bergaul dengan yang lain. Tapi kali ini sudah tidak bisa, ini sudah termasuk penganiayaan."
Rika terdiam. Daichi Sensei pikir, murid pendiamnya sedang merenung. Hatinya pun melunak, menghembuskan napas panjang Daichi Sensei pun berkata, "baiklah. Saya tidak akan mempersulit asalkan Rika-chan meminta maaf pada Sayaka-chan dan Nanao-chan?"
Mendengar permintaan tersebut, Rika mengernyit, menatap Daichi Sensei keberatan. "Kenapa harus saya yang meminta maaf? Sensei tidak sedang bias bukan?"
"Apa maksud mu, Rika-chan?" Daichi Sensei menatap Rika dengan perasaan rumit. Sepertinya murid ini tidak mudah untuk dihadapi.
"Sensei! Di sekolah kita, apa ada peraturan tentang perundungan antar siswa?" Rika bertanya dengan tenang, sabar dan tidak terburu-buru.
"Tentu saja ada. Perundungan dilarang di dunia pendidikan dan dalam kehidupan bermasyarakat."
Rika mengangguk, senyum simpul pun terbit. Daichi Sensei merasa ada sesuatu, sehingga pria dewasa tersebut bertanya dengan penasaran. "Ada apa dengan itu, Rika-chan?"
"Ueda-san dan Matsumoto-san melakukan perundungan, lalu sebagai korban ... apakah Rika hanya diam saja dan tidak perlu melakukan perlawanan?"
Bibir Daichi Sensei berkedut. Beliau menurut pangkal alisnya, permasalahan ini ternyata tak semuda itu untuk diselesaikan. Melihat perkembangan kasus serta temperamen Rika, hal ini tidak akan dilepaskan begitu saja. Daichi Sensei merasa tak berdaya.
Menarik kursi ke depan, beliau meletakkan kedua tangannya di atas meja dengan jari saling bertaut. Sepasang netra hitam menatap lurus ke arah anak didiknya. "Jika memang ada hal semacam itu, seharusnya Rika-chan tidak perlu mengambil tindakan sendiri. Rika-chan bisa memberitahukan pada saya untuk mengatasi masalah itu untuk Rika-chan."
"Apakah akan bertahan lama?" Rika tersenyum mengejek, dia tidak sependapat dengan ide tersebut. Lagipula dengan adanya pihak ketiga belum tentu belenggu itu akan terputus begitu saja. selain itu, Rika dengan percaya diri mengakui dirinya masih mampu mengatasi hal tersebut.
Kekeraskepalaan Rika terlukis jelas di wajahnya. Daichi Sensei kehabisan akal untuk membujuk siswinya, dia hanya bisa berkata, "Rika-chan tahu memukul orang itu tidak baik ...."
Rika buru-buru menyela, "lalu apa saya harus menunggu untuk dipukul, Sensei?"
Daichi Sensei menggeleng, tentu bukan itu maksudnya. Dan Rika tahu akan hal itu, dia hanya sedang memanipulasi pria dewasa dihadapannya sebab tidak senang.
Daichi Sensei melirik arlojinya saat merasa banyak waktu yang terbuang. Menghela napas panjang, beliau akhirnya memutuskan hukuman untuk Rika. Mengingat ini pelanggan pertama yang ia buat. Daichi Sensei merasa sayang, jika nama Rika harus masuk daftar nama siswa-siswi bermasalah. Tapi dengan sikap Rika yang sukar untuk bersikap kooperatif dalam hal ini, dengan berat hati si wali kelas mencatatnya.
...*★*★*★*★*...
Rika masih acuh tak acuh bahkan saat mengetahui namanya sedang dimasukkan ke dalam daftar. Sambil menulis, Daichi Sensei berucap, "saya harap ini yang pertama dan terakhir kali. Jika ada lain kali, saya tidak akan segan untuk memanggil orangtua Rika-chan. Dan saya harap masalah ini tidak berbuntut panjang."
Daichi Sensei mengangkat kepalanya, "apa Rika-chan mengerti?"
"Ya, mengerti."
Daichi Sensei menghembuskan napas panjang. Lantas menjabarkan hal apa saja harus Rika lakukan untuk mengambil sanksi. Tidak ada penolakan ataupun reaksi keberatan dari Rika, dia hanya tetap diam sambil mendengarkan. Daichi Sensei sempat ragu jika ucapannya didengarkan dengan baik, melihat betapa tidak fokusnya Rika. Raganya memang ada di sini, namun tidak dengan pikirannya. Meski begitu, Daichi Sensei tetap menjelaskan dengan sabar.
"Sekarang, Rika-chan bisa pergi dan laksanakan hukuman."
Daichi Sensei sudah berbicara. Maka dari itu, Rika tidak diam lebih lama lagi. Dia bangkit, membungkuk lantas pergi. Usai sepeninggalan Rika, pria dewasa tersebut menghela napas panjang. Baru kali ini dia mendapati sikap apatis dari seorang siswi hingga tingkat ini, seakan tidak ada yang penting ataupun menakutinya.
Rika berjalan menyusuri koridor yang mulai lengang. Dia tidak bisa kembali ke dalam kelas, ia justru pergi ke tempat penyimpanan kebersihan sekolah. Membawa sebuah pel serta sapu di tangan kanan serta sebuah ember di tangan yang lain.
"Oi, Rika-chan!" Naomi yang baru kembali dari kafetaria sekolah berseru saat melihat Rika.
"Di minta bersih-bersih?" Mayu yang berdiri di sebelah Naomi bertanya penasaran.
"Bersih-bersih di mana? Mau kami bantu?" tawar Naomi tulus.
"Tidak perlu. Kalian bisa pergi." Rika tak lagi menghiraukan mereka berdua.
"Cotto matte kudasaiyo, Rika-chan!" Naomi berlari, berjalan di sisi kiri Rika, "apa Rika-chan pergi ke toilet untuk melakukan pembersihan?"
Rika menoleh secepat kilat ke arah Naomi. Dahinya berkerut dalam mengandung tanya dalam tatapannya.
"Aku hanya asal menebak. Jadi itu benar?"
Rika tidak menyangkal ataupun mengiyakan. Dia tetap berjalan, namun tidak melihat tanda-tanda mereka akan berhenti mengikutinya, Rika pun berhenti dan berbalik.
"Kembalilah!"
Naomi hendak mengatakan keberatannya. Akan tetapi Mayu lebih dulu menarik untuk menghentikannya, "sudah cukup, Naomi. Jangan memaksa."
"Tapi, Mayu Neechan?"
Mayu menggeleng, melarang untuk bertindak lebih jauh lagi.
"Hai, wakatta." Naomi menghembuskan napas berat, "kalau begitu, nanti kita pulang bersama, ok?"
Mayu merasa tidak enak hati dengan sikap Naomi yang pantang menyerah. Padahal pihak lain jelas-jelas sudah ditolak. Tapi tetap saja ingin dekat. Mayu meminta maaf pada Rika dan menarik adik sepupunya untuk kembali ke kelas.
Ditarik paksa, Naomi tidak begitu senang. Dia mengeluh, mengomeli tindakan yang Mayu perbuat untuknya.
Mereka berdua telah pergi. Rika menatap punggung Naomi dan Mayu dengan perasaan rumit. Meksipun sikap mereka sedikit berbeda dengan yang lain, tapi tetap saja dia tidak bisa begitu saja percaya untuk membuka hati pada mereka.
Menghembuskan napas panjang. Rika lantas memasuki toilet perempuan.
Di sisi lain, Naomi berusaha membebaskan diri dari cekalan Mayu. Usaha yang ia keluarkan membuat bajunya kusut dan tak lagi rapi. "Oneechan," rengek Naomi meminta dilepaskan.
Mayu mendengus, melempar tangan Naomi. Dia pun mencebik, bersidekap menatap Naomi dengan kesal. "Kenapa begitu bersemangat?"
"Apa?" Naomi cemberut, merapikan seragamnya kembali.
"Jelas-jelas Rika-chan sudah menolak, tapi kenapa masih begitu bersikeras untuk lebih dekat?" Mayu tidak tahu apa yang adik sepupunya itu pikirkan.
"Oneechan! Apa Oneechan berpikir seperti mereka?" Ada jejak cibiran dari kalimat yang Naomi ucapkan.
"Apa maksud mu?"
Naomi mundur, bersandar pada dinding sambil menatap jauh ke arah luar jendela. "Apa Oneechan tidak tahu? Sebenarnya Rika-chan sangat kasihan, dia baik, tidak pernah menganggu orang, tapi kenapa dia mendapatkan perlakuan seperti itu dari yang lain?"
Mayu termenung. Sejujurnya dia juga menyadari akan hal itu. Rika tak pernah memprovokasi orang, berkonfrontasi ataupun berselisih paham. Satu-satunya kekurangannya adalah, Rika sulit bergaul. Lebih tepat jika dikatakan tidak ingin bergaul. Terlalu acuh tak acuh dan wajahnya yang muram terkadang memiliki ekspresi galak saat berbicara dengan orang lain.
"Karena dia baik, kenapa tidak berteman? Mungkin Rika hanya gadis pemalu atau mungkin ... memiliki masalah." Naomi mengecilkan suara pada dua kata terkahir.
Menghela napas panjang. "Baiklah. Maka seperti apa yang kamu katakan," ucap Mayu mengalah.
Naomi berseru riang. Dia bangkit dan berlari ke arah Mayu untuk memeluknya erat. "Arigatou, Oneechan."
"Hn!"
...*★*★*★*★*...
Rika sudah hampir siap, semua noda baik di lantai, dinding, wastafel maupun cermin telah ia lap dengan bersih serta mengkilap. Aroma hujan serta buah pinus sangat menenangkan. Meski lelah, namun aroma segar yang menguar di udara membuat pikiran Rika menjadi rileks.
Rika mengambil semua peralatan kebersihan dan hendak keluar, tiba-tiba seseorang masuk ke toilet. Dia adalah Sayaka dan Nanao. Tampilan mereka tampak angkuh dengan dagu tarangkat saat menatap Rika penuh penghinaan.
"Oi, Nanao-chan? Apa kamu mencium bau busuk?" Sayaka berjalan melewati Rika seolah tidak melihat apapun selain mereka berdua.
Rika belum bereaksi. Dia melangkah maju, ia sempat mengambil ponsel di dalam kantong bajunya sebelum Nanao memanggilnya provokatif.
"Sayaka-chan, aku tahu bau busuk yang Sayaka-chan maksud. Baunya berasal dari sini." Nanao berjalan mendekati Rika, hidungnya kecilnya berkerut seolah benar-benar mencium bau tidak sedap.
"Astaga! Ini benar-benar menyakiti hidungku." Sayaka mengibaskan tangan di depan wajahnya, "oi, Nakamura Rika? Apa kamu tidak pernah membersihkan tubuhmu? Kenapa ada bau busuk yang begitu kuat dari tubuhmu?"
Membahas tentang tubuh adalah sebuah penghinaan. Apalagi Sayaka dengan sengaja sedikit memberi dorongan. Mata Rika memicing, alisnya yang tegas menukik disertai kilatan kobaran api.
Meski tubuhnya terbakar oleh amarah, Rika berusaha mengendalikan diri. Tanpa membuka suara ataupun bertindak secara sembrono, Rika lebih memilih untuk pergi. Dia tidak perlu bertindak sekarang, akan ada masanya untuk membuat perhitungan.
Rika menarik napas diam-diam, namun tindakan mengalahnya diartikan lain. Sayaka menahan tangan Rika tak membiarkan gadis pendiam tersebut pergi. "Oi, aku belum selesai bicara!"
Rika tidak senang. Dia menjatuhkan ember dalam pegangannya. Seketika terdengar bunyi ember jatuh dan menggelinding. Emosi Sayaka menggebu-gebu, wajahnya memerah dengan dada naik turun. Rika yakin, jika dia diam saja hal buruk akan menimpa dirinya cepat atau lambat.
Mengambil kuda-kuda, Rika menarik tangan Sayaka dan memutar tubuh gadis tersebut, kemudian Rika mendorong punggung Sayaka dengan kakinya hingga gadis bermarga Matsumoto tersebut terdorong ke depan. Nanao segera menahan temannya agar tidak jatuh.
Memanfaatkan momentum tersebut, Rika mengambil ember lantas berlalu pergi. Sayaka hendak mengutuk, namun orang yang ingin ia maki telah pergi meninggalkan mereka dalam penghinaan.
"Na.Ka.Mu.Ra.Ri.Ka!" Sayaka mengucapkan setiap huruf dengan penuh penekanan, "lihat apa yang bisa ku perbuat nanti."
Di tempat lain, Rika kembali menyimpan peralatan kebersihan. Dia akan pergi menemui Daichi Sensei, namun urung saat di tengah perjalanan telah terdengar suara bel yang diperdengarkan lewat pengeras suara.
Saat melewati kelas 2-7, orang-orang di dalam ruang tersebut berbondong-bondong keluar dari kelas. Terlalu ramai dengan obrolan serta candaan. Rika menyingkir, memberi ruang bagi mereka untuk jalan. Namun siapa sangka, ia justru menabrak bahu seseorang.
Mundur selangkah, Rika mengusap dahinya sambil meringis pelan. Pihak lain juga merasakan hantaman tersebut tidak bisa menahan rasa sakit. Ia mencengkeram bahunya dan hendak mempertanyakan maksud dari tindakan tersebut. Akan tetapi setelah melihat seorang gadis yang tingginya tak lebih dari daun telinganya sedikit menunduk sambil memegang dahi, ia hanya bisa menelan kembali umpatan yang hendak keluar.
"Gomen nasai, daijoubu desuka?"
Rika mengangkat pandangannya, melihat seorang pemuda berambut hitam sedikit ikal menutupi tengkuk. Ekor mata yang panjang menatap tak berbahaya. Rika mengambil langkah mundur, lantas berlalu pergi begitu saja mengabaikan sepenuhnya pertanyaan pihak lain.
Sang pemuda menatap punggung Rika yang menjauh dengan perasaan rumit. Tidak belum pernah diabaikan seperti ini, perasaan semacam ini benar-benar tidak nyaman.
"Ada apa, Renji-kun?" Seorang siswi bertubuh tinggi semampai menghampiri si pemuda.
"Tadi ... apakah Hime-chan mengenal gadis tadi?" Renji menunjuk punggung Rika.
Hime memicingkan netra cokelatnya, pandangnya terus mengikuti kepergian Rika hingga memasuki kelas 2-3.
"Hiro-kun, itu tadi Rika bukan?"
"Rika? Nakamura Rika?"
Hime menoleh ke arah Hiro dengan tatapan mengejek. "Memangnya ada Rika siapa lagi selain Nakamura Rika?"
Hiro menggaruk pipinya, malu.
"Nakamura Rika?" Renji mengulangi apa yang ia dengar.
"Iya. Dilihat dari punggungnya sepertinya memang dia. Ada apa, Renji-kun?"
Renji menggeleng. "Hn, tidak apa-apa."
Hime tidak percaya, dia memicingkan matanya. Menatap lurus ke arah netra hitam Renji. "Apa Renji-kun bertemu dengan Rika?"
"Hn." Renji mengangguk pelan, "tadi dia sempat menabrak bahuku. Aku bertanya padanya apa dia baik-baik saja, tapi dia malah lari begitu saja," terang Renji apa adanya.
Hime mendengus. "Lain kali jangan bersinggungan dengan dia. Gadis membosankan itu terlihat angkuh dan bertemperamen buruk."
"Kelihatannya tidak seperti itu," ujar Renji tak sependapat.
Hiro tiba-tiba tertawa. Memukul bahu Renji dengan kuat. Tawa itu terdengar disengaja, bahkan terdengar ejekan yang samar.
...*★*★*★*★*...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!