Pov Ana
Aku Ana. Panggil saja begitu. Kalau harus menyebutkan nama lengkap panjang sekali. Hanya dua kata tapi aku lebih suka Ana saja kalau ditanya nama. Umurku saat itu baru 15 tahun, bahkan masih belum genap. Baru saja aku menjejakkan diri di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan jurusan Akuntansi di kotaku. Dan yang mengherankan adalah aku belum menstruasi. Orang tuaku terutama ibuku sempat was was. Tapi aku merasa biasa saja dan mungkin memang belum waktunya.
Aku anak pertama. Adikku baru berumur 5 tahun. Muhammad Hafiz namanya. Tahun ini dia masuk kelas TK A. Laki laki kecil yang selalu membuat ku naik darah. Usia kami terpaut 10 tahun. Lama ya. Waktu itu aku yang mendesak ibuku untuk hamil lagi karena ingin punya adik. Akhirnya ibu hamil, tapi adikku harus lahir prematur. Sekarang dia tumbuh menjadi anak laki laki yang lincah dan riang sekali.
Bapakku seorang jasa tukang pijat. Biasa dipanggil Mbah Lim. Sehari tidak selalu ada yang datang, tapi Bapak selalu membantu ibu mengurus warung kami. Banyak yang betah di warung karena celetukan celetukan bapak yang humoris dan selalu berhasil membuat orang lain tertawa.
Ibuku tentu saja mengurus warung, aku, adik, dan bapak. Beliau adalah ibu yang hebat. Walaupun sesekali kami harus mendengar galaknya ibu, tapi bukankah itu bentuk kasih sayangnya terhadap kami? Orang orang akrab memanggil dengan Mak Ti.
Tunggu dulu, ada satu nama lagi. Nama yang baru saja aku dengar kemarin. Farhan. Anak guruku. Laki laki yang pagi ini menggodaku dengan sarungnya. Ya. Dia datang lagi. Dengan masih membawa sarung hitamnya, dan mengayunkan sarung itu padaku. Berniat menggoda. Memulai percakapan dengan canggung dan acuh tak acuh. Karena belum terlalu mengenal nya aku jadi belum leluasa untuk berbincang. Juga belum sesantai saat dia berbicara dengan bapak.
Waktu itu sore, waktu senja sehabis ashar, dari lubang pintu aku lihat motor kuning memasuki pekarangan rumah. Loh, dia lagi. Batinku dalam hati. Besok tidak ada acara majelis, tapi kenapa dia kesini ya? Ah, mungkin mau ke warung. Pikirku berkelana. Tapi aku tetap saja terfokus pada sarung hitam yang dibawanya. Mungkin dari masjid, atau nanti kalau mau sholat tidak usah pinjam atau bisa langsung ke masjid. Pikirku menerka nerka.
Aku belum keluar kamar, masih beberes karena besok sekolah. Merapikan jadwal pelajaran dan tugas yang baru saja kuselesaikan. Kumasukkan dalam tas, tidak lupa dengan alat tulis dan topi untuk upacara hari Senin besok agar tidak tertinggal.
Sudah beres. Aku keluar kamar. Melihat ibu di warung sedang apa. Kulihat laki laki bernama Farhan itu masih dengan santainya menyeruput kopi yang hanya secangkir itu, tapi bisa awet sampai satu jam lebih. Aku mana bisa, hehe. Kuamati dalam diam. Mencoba mencuri dengar obrolannya dengan Bapak.
Tiba tiba terdengar suara, "anaknya namanya siapa Mbah?" tanyanya pada Bapak.
"La itu anaknya, tanya sendiri lah" jawab Bapak menggoda.
"Nggak berani aku Mbah, anaknya diam saja" jawabnya sambil tersenyum.
Aku yang mendengar sontak ikut tersenyum. Bingung harus melakukan apa disana. Salah tingkah. Baru kali ini ada yang begini. Padahal biasanya ditanya nama saja sudah langsung kujawab. Mungkin karena belum pernah melihatnya sebelumnya, jadi canggungnya lebih kentara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments