Elsa sibuk merapikan pakaiannya serta menyisir rambutnya yang sedikit berantakan.
“Sayang, kamu mau kemana?” Tanya pria yang selama ini menjadi teman ranjang Elsa itu. Roki, begitulah ia disapa, pria bertato dengan wajah tampan yang tak seberapa itu adalah selingkuhan Elsa Olivia.
“Jangan panggil aku sayang! Semua ini gara-gara kamu! Kalau kau tidak memaksa aku untuk datang ke hotel ini menemuimu, Dikta tidak sampai menggrebekku.” Sesal wanita itu dengan emosi yang membuncah. Sudah tidak ada lagi hasrat dalam batinnya saat menatap sepasang netra teman ranjangnya itu. Yang ada hanya kebencian dan kebencian.
“Heh jangan berani menyalahkanku! Kau yang memulainya bahkan sejak awal kau yang mencari dan mendekatiku.” Tegas Roki dengan sorot tajam seakan hendak menguliti Elsa hidup-hidup. Dia mencengkram kuat tangan wanita itu.
“Saat ini rumah tanggaku lebih penting Roki, sedikit lagi baru kita akan menggapai impian kita.” Bujuk Elsa mulai melunak, sepertinya pria ini tidak boleh dihadapi dengan kekerasan.
Begitu mendengar Elsa berbicara soal harta, Roki langsung melunak.
“Baiklah, jangan lupa kirimkan aku uang ya.” Pria mata duitan, tentu saja bukan karena cinta pria itu mau menjalani hubungan terlarang dengan istri seorang presdir ternama di kota ini, tapi karena harta penyebabnya.
“Iya.” Jawab Elsa singkat padat dan tidak ikhlas sebenarnya. Dia sebal luar biasa, lama- lama pria ini seperti memerasnya. Namun terpaksa Elsa harus menurutinya agar supaya rahasia mereka tidak sampai ke telinga mertua Elsa. Bisa gawat kalau kedua mertuanya tahu, harapan Elsa untuk kembali pada Dikta akan pupus begitu saja.
Elsa berjalan terseyok-seyok menuju lantai dasar, tak peduli dengan hujatan banyak orang, anggaplah itu angin lewat.
Begitu sampai mobil, Elsa merogoh ponsel di dalam tasnya lalu menghubungi Dikta.
“Angkat mas!” Elsa berdecak sebal, yang ada di otaknya saat ini adalah bagaimana caranya agar Dikta luluh dan mau membatalkan gugatan yang hendak ia layangkan.
“Aaarggghh..” pekik Elsa dengan kekesalan yang tiada tara.
Ia menjambak rambutnya sendiri karena Dikta terus menolak panggilan telponnya.
“Aku harus ke pengadilan! Mas Dikta tidak boleh menceraikanku.” Elsa berujar tanpa dia ketahui bahwa, Dikta sudah sampai ke pengadilan terlebih dahulu.
Wanita itu menyalakan mesin mobil dan melajukan mobilnya membelah hujan siang itu.
Sementara di rumah, beberapa menit begitu ia baru sampai dari pengadilan, Dikta memeluk tubuh mungil putranya menyalurkan kasih sayang yang takkan tergantikan. Ketakutan Dikta semakin nyata, dia tidak ingin anaknya hidup bersama Elsa yang nantinya akan menikah dengan pria lain. Dikta hanya takut kasih sayang pria itu tidak akan sama dengan kasih sayangnya pada Ansel.
Sesayang itu dia pada Ansel, putra satu-satunya yang ia dapatkan dari pernikahannya bersama Elsa.
“Kau yakin kita akan ke apartemen?” Tanya Evan sekali lagi. Bukan kah lebih baik Dikta pulang ke rumah orang tuanya?
“Iya Van.”
“Siapa yang akan ke apartemen?” Tanya seorang wanita yang tiba-tiba muncul dari ambang pintu.
“Mama.”
“Pulang ke rumah mama, bawa sekalian cucu mama.”
Dikta tercengang, pasalnya selama ini Dikta tidak berani membawa Ansel di kediaman mama dan papanya karena dia pikir mama akan menolaknya.
Sesaat kemudian, mata mama Monita menangkap sosok Ansel yang berada dalam dekapan Dikta. Ia tersenyum hangat kemudian mendekat ke arah Dikta, untuk meraih cucunya.
“Yuk sama oma.”
Ansel yang merasa asing dengan sosok yang di hadapannya kini tidak menggubris. Ali-alih menggubris mama Monita, anak kecil itu hanya menatap datar wanita yang hingga kini masih terlihat cantik, bahkan sebagian orang tidak akan percaya jika tau mama Monita punya anak sedewasa Dikta.
“Dia tidak mau!” Monita tersenyum getir. “Ini semua salah kamu Dikta! Kamu tidak membiasakan dia datang ke rumah mama.”
“Maaf ma. Dikta pikir mama akan menolaknya seperti mama menolak Elsa.” Dikta menunduk dengan sejuta sesal yang sukses membuat jiwanya terguncang.
“Anak tidak bersalah Dikta. Kau pikir mama sekejam itu? Dia cucu pertama mama.”
“Ya sudah, ayo kita pulang sekarang.” Ajak mama Monita seraya mengayunkan kakinya menuju mobil.
Dikta pun mengangguk pasrah dan mengikuti langkah mamanya dari belakang.
Begitu mereka berada di dalam mobil, Elsa terlihat turun dari mobilnya lalu kemudian menggedor-gedor kaca jendela.
“Mas! Buka pintunya mas. Aku ingin bicara dengan Ansel. Tolong jangan ceraikan aku mas! Kasihan Ansel.”
Mendengar itu Dikta menurunkan kaca mobilnya, rupanya ucapan Elsa tadi sedikit menelisik indera pendengarannya.
“Kasihan Ansel katamu? Lantas di mana belas kasihmu saat berselingkuh dengan badjingan itu Elsa?!” Tanya Dikta meninggi. Nurani wanita ini sepertinya tak berfungsi lagi, dia mengasihani Ansel padahal dirinya berselingkuh. Rasa sakit itu mengendap ke dalam relung hati Dikta dan membunuh rasa cinta yang selama ini dia limpahkan untuk Elsa.
“Mas, aku mohon, jangan bawa Ansel. Kalau kau ingin menceraikanku, tolong biarkan aku bersama Ansel.” Bujuk Elsa dengan raut memelas.
“Sudah lah Elsa, saya tidak rela cucu saya tinggal bersamamu. Saya khawatir kau tidak mampu mendidik Ansel dengan baik dan akan mencemari otaknya hingga memiliki pribadi yang buruk sepertimu.” Tidak pernah bicara, tapi sekalinya bicara mampu membuat dada Elsa bak di hujam ribuan anak panah.
Wanita paruh baya yang masih terlihat segar ini ternyata berani mengatainya. Selama ini mama Monita tidak pernah berucap yang sekiranya akan menyakiti hati Elsa, dia menolak Elsa dengan diamnya.
Elsa tak berani berkata-kata lagi kala sesepuh sudah mulai angkat suara. Elsa membeku dengan hatinya yang teramat bengkak. Matanya membasah, dan merenungi perbuatannya di kamar hotel itu. Dia tidak menyangka, satu jam bersama Roki di hotel, nyatanya akan merubah statusnya dari istri menjadi mantan istri.
Semua hancur, namun Elsa tidak akan menyerah. Baginya Dikta masih suaminya, dia tidak ingin menganggap perceraian itu ada. Intinya sampai detik ini mereka masih suami istri yang sah, batin Elsa.
“Papa? Kenapa kita meninggalkan mama?” Tanya Ansel yang sejak tadi melihat keributan itu. Putra Dikta ini ternyata tidak begitu dekat dengan mamanya sehingga begitu melihat mamanya meraung seperti tadi, Ansel tak berkutik sama sekali.
Dikta mendaratkan kecupan bertubi-tubi di pipi gembul anak berusia lima tahun itu dengan air mata yang tertahan di pelupuk matanya. Dikta berusaha kuat, dia tidak boleh lemah saat di hadapan Ansel.
“Ansel dan papa akan tinggal di rumah oma.” Jawab Monita dengan lantang.
“Tanpa mama? Apa mama sibuk di luar kota?” Tanya Ansel seperti yang dia ketahui selama ini. Mamanya memang bukan wanita karir, tapi sibuknya melebihi wanita karir. Elsa kerap minta izin untuk menginap keluar kota demi menemui orang tuanya dan meninggalkan Ansel di rumah bersama pengasuh.
“Mulai sekarang, Ansel jangan cari mama lagi, mama tidak akan pernah ikut.”
Evan yang berbicara. Dia tidak ingin membohongi anak kecil ini dengan memberikan harapan palsu. Karena pada kenyataannya, Elsa tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.
Ansel mengangguk mengerti dan kembali tidur di pangkuan Dikta. Sesantai itu dia kala berpisah dengan mamanya, hubungan mereka memang tak seerat itu, meski mereka adalah ibu dan anak.
****
“Nana.”
“Hm?” Geona tersenyum hangat kala matanya menangkap wajah teduh itu yang kini sudah berada di hadapannya.
“Ini minumnya.”
“Terima kasih Devan.” Geona tersenyum sembari meraih botol minuman yang baru saja Devano beli dari supermarket.
“Oh ya Na, aku tidak suka loh kakak senior tadi menggodamu seperti itu.” Devano mencoba mengeluarkan uneg-uneg yang sejak tadi ia tahan.
“Tapi kan tidak nana respon juga Dev.”
“Iya, tapi tetap saja aku tidak suka. Saking kesalnya, begitu di luar kampus aku sengaja menemui lelaki itu dan memberikannya peringatan.”
Geona terkejut hingga tak sengaja menyemburkan kembali minuman yang sempat ia tenggak beberapa detik lalu.
Devano juga ikut terkejut lalu menepuk pelan punggung Geona demi menenangkannya.
“Pelan-pelan dong minumnya.”
“Kamu sih bikin kaget saja, lagi pula untuk apa kamu memberi peringatan segala pada kak Danu. Nanti kamu kena masalah Dev.” Keluh Geona tak habis pikir dengan tingkah pacarnya ini. Posesif yang tidak pada tempatnya, tak mengenal siapa pun itu, Devano yang cemburu buta suka seenaknya jika sang pujaan hati digoda pria lain.
“Aku tidak takut! Lagi pula itu kan di luar kampus, kalau masih di dalam kampus baru aku salah by.”
“Lalu? Apa kata kak Danu setelah itu?” Tanya Geona masih dengan wajah masamnya.
“Katanya selama janur kunig belum melengkung, artinya kamu masih milik umum. Aku kesal lah mendengar itu, lantas karena emosi yang membuncah, aku membungkam mulutnya dengan bogem mentah.”
Woah, Devan bukan sembarang Devan. Geona sampai terperangah mendengarnya, kelakuan Devan tidak berubah juga setelah dua tahun mereka menjalin kasih. Dan ini bukan kejadian pertama kali dalam hubungan mereka. Devano kerap ringan tangan jika sudah menyangkut Geona.
“Kamu berlebihan Dev. Aku tidak suka, kalau sampai dia kenapa-kenapa, nanti kamu yang masuk penjara.” Bukannya apa-apa, Geona justru mengkhawatirkan Devano, dia tidak mau Devano masuk penjara karena berbuat kekerasan pada anak orang.
“Aku lebih kaya dari dia Na, mana berani dia! Lagi pula, kalau sampai itu terjadi, papa pasti akan menebusku dengan uangnya.”
Lihat! Percaya diri sekali dia. Dia pikir papanya akan melindunginya walau dia sudah main tangan begitu. Dalam hal ini jelas saja dia yang salah karena berani menyerang lebih dulu, membelah anak yang melakukan kekerasan pada orang lain bukan gaya Ilham sama sekali.
Pria itu selalu menanamkan tanggung jawab meski ia sering menempatkan diri seolah teman bagi putranya. Memang Ilham juga kerap mengajarkan anak-anaknya agar jangan takut menyerang orang yang menyerang lebih dulu, namun siapa sangka ajaran itu digunakan Dikta dan Devan di segala aspek kehidupan. Dan dalam hal ini, menyerang yang dimaksud Devan adalah Danu yang lebih dulu mencari masalah dengan menggoda pacarnya.
“Aku tidak suka ya kamu sombong begitu Dev.” Tegur Geona dan sontak membuat Devano tersenyum sembari menampakkan gigi-gigi rapihnya dengan menunjukkan angka dua menggunakan jari sebagai isyarat permohonan ampun.
Menjalin kasih selama dua tahun lamanya bukan berarti sudah kenal dengan orang tua masing-masing. Dua-duanya masih takut untuk berterus terang di depan orang tua mereka. Geona masih di kekang ayahnya dan dilarang pacaran dulu sampai dia menyelesaikan kuliahnya, sementara Devano berbeda. Ilham dan Monita tidak membatasi Devan, tapi justru sang kakak lah yang mengekang hidupnya agar tidak pacaran lebih dulu.
Devano Maheswara Adhitama
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments