Sebulan kemudian pasca Dikta mendaftarkan perceraiannya di pengadilan agama, pergumulan itu akhirnya sudah ada di titik selesai. Kini dia sudah sah menyandang status duda beranak satu. Bukan hanya itu, Dikta bahkan memenangkan hak asuh Ansel.
Setelah sebulan lamanya menetap di rumah utama keluarga Adhitama, mama Monita dan oma Nancy sudah berhasil merebut perhatian Ansel. Mereka sering bermain bersama Ansel, agar supaya putra Dikta itu tidak merasakan kehilangan kasih sayang seorang ibu. Namun hari ini dua wanita itu absen bermain dengan Ansel karena oma Nancy yang harus ke rumah sakit untuk berobat dengan diantar oleh Monita. Hari ini Ansel bermain bersama pengasuh di halaman depan rumah.
Sore ini hujan sedikit lebat, selesai dari bertemu Devano di supermarket, Geona harus buru-buru ke bandara untuk menjemput mama dan papanya. Queen dan Samudra tidak sempat menjemput karena kesibukan masing-masing, Samudra sedang berada di luar kota sedangkan Queen sedang meeting bersama para petinggi perusahaan, ya kedua anak Shaka itu kini sudah terjun ke perusahaan masing-masing dengan harta yang dibagi sama rata.
Setelah puluhan tahun lamanya, akhirnya hari ini papa Shaka dan mama Amira pulang ke Indonesia.
Mereka pulang tanpa nenek Emely, karena sepuluh tahun silam nenek Emely tutup usia setelah menjalani berbagai pengobatan di Jerman.
Geona pulang sendiri karena dia menolak tawaran Devan untuk mengantarnya ke bandara dengan alasan, takut ketahuan papa.
Akhirnya Devano mengalah dan terpaksa pulang karena permintaan Geona. Kini tinggal lah Geona sendiri berdiri di depan supermarket yang kebetulan berada tak jauh dari rumah Devano.
Dalam hidup, kita tidak bisa memprediksi kejadian apa yang akan menimpah ke depannya, begitu pun dengan Geona. Di saat gadis cantik itu berjalan ke arah mobilnya, tiba-tiba tasnya yang berisi laptop serta beberapa tugas penting dari salah satu dosen terkiler di kampusnya dirampas jambret di depan supermarket itu.
Karena panik, tugas yang harusnya dikumpulkan besok pagi pada pak Jeremy terpaksa harus Geona rebut kembali. Bagaimana tidak, tugas yang terlanjur banyak itu selesai dalam tiga hari, tidak mungkin dia kembali memulai dari awal, sementara tugas pak Jeremy harus dikumpul besok. Karena tidak memungkinkan jika hanya mengejar pakai kaki, Geona mengejar jambret itu menggunkan mobil karena jambret itu lari menggunakan motor.
Geona menancap gas, melajukan mobil dengan kecepatan penuh dalam keadaan emosi. Matanya begitu fokus menatap ke depan demi mempertahankan kewarasannya.
Ini adalah rekor tercepat Geona berkendara, jalanan yang tampak lengang sore ini membuat ia puas berkuasa.
Semakin panik, semakin cepat lah ia berkendara. Hingga tanpa sempat Geona sadari, di depannya ada seorang anak yang tengah menyebrang jalan. Geona yang panik berusaha menghindar, namun karena kecepatan yang luar biasa tinggi membuat mobilnya menabrak anak itu dalam hitungan detik saja.
BRAAAKKK
“Papa…”
Dentuman keras memecah keheningan sore itu, tabrakan maut yang tidak dapat terhindarkan lagi hingga membuat anak laki-laki berumur 5 tahun itu terpental jauh ke jalanan.
Sirene ambulance memekakkan telinga, dengan pandangan yang mulai gelap dia masih bisa melihat darah yang mengalir di tubuh anak yang terpental beberapa meter di sana. Geona hanya bisa melihatnya dari kejauhan, batinnya terpanggil untuk menghampiri anak itu namun ia tak bisa. Ya, Geona juga pingsan setelah kepalanya terbentur setir mobil sebab mobil kesayangannya menabrak pohon begitu Geona usai menabrak anak itu.
Geona tidak tau apa yang terjadi kini, tenaga medis bergerak cepat. Beberapa orang yang hanya menjadi saksi kecelakaan itu hanya bergidik ngeri begitu melihat kepala anak itu mengeluarkan banyak darah bergumpal karena membentur aspal dengan aroma darah yang menyeruak rongga hidung Geona.
“Papa, Nana takut.”
Detik berikutnya dunia Geona mendadak gelap usai memanggil papanya. Geona tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya, yang jelas saat ini orang-orang tengah berusaha mengeluarkannya dari dalam mobil.
Benturan yang terlampau keras menyebabkan korban meninggal di tempat. Mereka hanya mengurut dada begitu melihat darah yang kian menyebar di jalanan aspal tersebut.
“Kasihan sekali cucu pertama keluarga Adhitama.”
Begitu sampai di rumah sakit, pria itu menatap nanar tubuh anaknya yang terkapar tak berdaya di brankar. Tak pernah ia sangka, kejadian tragis ini akan menimpah anaknya, padahal beberapa menit sebelum kejadian dia sempat melakukan panggilan virtual bersama anaknya dan bersenda gurau di sana.
“Selamatkan anakku!” Titahnya dengan suara dingin tak terbantahkan, dokter yang berada di sisinya hanya saling pandang dan tak bisa berbuat apa-apa.
“Apa kalian tuli? Tulang anakku patah, kenapa kalian diam saja?!” Dengan emosi yang berapi-api, dia membentak dua dokter itu. Matanya mulai membasah dan tak lepas dari tubuh anaknya dengan luka yang sudah dijahit.
“Maaf pak, anak anda sudah_”
“Omong kosong! Sejak tadi kalian tidak melakukan apa-apa, kalian hanya menatapnya, putraku tidak butuh selimut hingga menutupi wajahnya!” Dia mengguncang tubuh pria berjas putih di sana, sejak datang dia sudah tahu jika tubuh yang berada di hadapannya ini sudah tak berjiwa lagi.
“Cepat dokter! Berapa pun akan saya bayar asal dokter bisa menyelamatkan anak saya.”
Susah payah dia memohon agar dua pria itu tersentuh, saat ini tidak ada yang ia butuhkan selain anaknya. Namun nyatanya dokter itu hanya diam hingga akhir.
“Sayangnya papa, ayo bangun nak, kita tidur di rumah ya, tempat tidur ini keras nanti badanmu sakit.” Pria itu menangis sendu, bagaimana pun hatinya perih bak diiris sembilu.
Putranya diam begitu saja, setelah beberapa menit Dikta memanggilnya tanpa henti.
Seluruh keluarga Adhitama sudah tiba di rumah sakit, mama Monita dan oma Nancy menangis pilu begitu melihat tubuh Ansel terbujur kaku di brankar.
****
Semua stasiun televisi menayangkan berita kematian putra tunggal Dikta Adhitama. Peristiwa naas itu mengguncang jiwa Dikta sebrutal ini. Pria tampan itu hanya menatap nanar tanpa arah begitu dia melempar ponselnya ke tembok hingga hancur tak berbentuk. Bagaimana tidak berita kematian putranya bertebaran di mana-mana. Suaranya tercekat, wajahnya sudah pucat sejak malam itu anaknya menjadi topik utama sampai berhari-hari.
“Ansel!!!!!”
Batinnya sudah sangat sakit begitu ia harus menerima kepergian anaknya yang mendadak itu. Kini media tak henti-hentinya membahas kejadian tragis itu. Terlebih Elsa selaku ibunya baru datang setelah Ansel selesai dikuburkan, benar-benar miris. Bahkan dengan tak tau malunya, perempuan itu berontak menyalahkan semuanya karena tidak mengabarkan dirinya padahal sudah dikabari, hanya saja kontaknya tidak bisa dihubungi.
Salah Elsa sendiri, kabar duka itu sudah berpendar di mana-mana. Hampir semua berita menayangkan kematian Ansel mulai dari kejadian berdarah itu, hingga prosesi penguburan Ansel selesai. Namun Elsa tak kunjung datang. Nyatanya dia sering mengabaikan berita mengenai kecelakaan dengan alasan bosan saja melihatnya, wanita itu lebih asyik menonton tayangan tidak penting hingga berita kecelakaan maut itu dia skip begitu saja tanpa tau kalau sebenarnya itu berita putra kandungnya sendiri.
Lagi pula Elsa tau kabar kematian Ansel dari Roki selingkuhannya. Itu pun setelah Roki melakukan panggilan sampai dua puluh kali percobaan.
Betapa terpukulnya jiwa Dikta atas musibah yang menimpah putranya. Bahkan Dikta sempat menolak agar prosesi pemakaman itu tidak dilangsungkan dengan harapan agar anaknya dihidupkan kembali.
“Kembali lah nak, papa tidak bisa hidup tanpamu.”
Dikta menangis pilu seraya memeluk foto dirinya bersama Ansel. Seorang Dikta Adhitama berurai air mata, pria itu meraung meminta Tuhan membawa serta dirinya.
“Pembunuh! Jika kau tidak bisa mengembalikan anakku maka akan aku hancurkan duniamu anak kecil!” Dikta menatap tajam sekitarnya, rahangnya mengeras dengan tangan yang terkepal hingga buku tangannya memutih.
Dikta beranjak setelah berdiam diri cukup lama di kamar, wajar dia terpukul, putra tunggalnya pergi tanpa aba-aba. Apa lagi begitu mengingat kondisi kepala anaknya yang bersimbah darah dengan robekan yang luar biasa besar itu. Beberapa tulanganya patah, dan hal itu semakin membuat dada Dikta kian memanas.
“Bastian! Kemari!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments