“Kau sudah membuat aku kehilangan putraku, akan kubuat kau kehilangan masa depanmu.”
Pria itu bermonolog seraya menatap sendu tanpa arah. Begitu Bastian pergi, Dikta kembali mengurung diri, bukan di kamarnya melainkan di ruang pribadinya.
Mama Monita yang sejak tadi berada di ruang keluarga bersama papa Ilham, tampak cemas sembari mendongak ke atas tepatnya di ruang kerja Dikta. Wanita paruh baya itu khawatir terjadi sesuatu pada Dikta.
“Mas, aku khawatir loh jika Dikta terus mengurung diri seperti itu.” Raut cemas di wajah Monita terukir jelas.
“Mas juga khawatir sayang, baiknya ayo kita ke atas dan pastikan sendiri.” Ajak papa Ilham yang masih nampak bugar dengan tubuh yang masih sama kokohnya.
Pasangan yang masih terlihat harmonis setelah puluhan tahun menikah itu, berjalan berdampingan menitih anak tangga.
Sama-sama khawatir dengan keadaan Dikta putranya, mereka mengetuk pintu ruangan putra sulungnya itu.
“Dikta, tolong buka pintunya nak.”
Pria bertubuh tegap itu membuka pintu tersebut, itu pun setelah ketukan yang kesekian kali.
Dengan langkah gontai, Dikta kembali mendudukkan diri di kursi kebesarannya seraya memejamkan mata dengan tubuh yang tersandar di sana.
Hati mama Monita begitu teriris melihat anaknya meratapi nasib dalam dekapan air mata seperti itu. Melihat putranya menangis, Monita juga turut menangis sembari menarik Dikta dalam pelukannya.
“Anakku ma, dia sudah tiada.” Lirih Dikta dengan tangis yang kian pilu.
“Semua manusia pasti akan menitih jalan yang sama seperti jalan yang dilalui Ansel, hanya waktunya yang berbeda nak. Mama, papa, Dikta juga semua yang ada di dunia ini akan merasakan hal yang sama. Mama tidak bisa mengatakan Dikta harus ikhlas di saat kuburan Ansel masih basah, mama hanya berpesan agar Dikta menjaga kesehatan dan makan teratur.” Nasehat mama Monita, seraya mengusap puncak kepala putra sulungnya.
Namun Dikta masih tenggelam dalam tangisnya. Melihat itu, Ilham menghampiri putra yang hingga kini masih ia anggap sebagai hadiah terindah yang diberikan Monita padanya.
“Dikta dengar papa.”
Suara tegas itu berhasil membuat Dikta terdiam lalu kemudian menatap lekat sepasang netra yang mempunyai kemiripan seratus persen dengannya itu.
“Kau harus kuat! Ansel akan semakin tersiksa di atas sana jika kau meraung berkepanjangan seperti ini. Kamu menyayanginya kan? Maka kamu juga harus kuat, agar dia tenang di alam sana. Jangan menambah beban pikiran anak sekecil Ansel, tolong mengertilah perasaannya Dikta.” Pesan papa Ilham seraya menepuk pelan pundak putranya.
“Pa..”
Dikta menghambur dalam pelukan papanya, sudah sedewasa itu, tapi Dikta masih termasuk kategori anak manja meski sudah berusia tiga puluh tahun dan menjadi seorang kakak.
“Dikta benci wanita yang dengan kejamnya membunuh anak Dikta pa.” Ungkap Dikta mengutuk si penabrak yang dia anggap tak berperasaan itu.
“Sudah lah nak, di cctv depan rumah kita jelas terlihat kalau gadis itu tidak sengaja, mobilnya juga membentur pohon, entah bagaimana kondisinya sekarang.” Jelas mama Monita yang tidak tahu menahu siapa penabrak itu dengan jelas.
Untuk sementara ini Dikta mencoba mengalah, pria itu tidak ingin berdebat dulu dengan mamanya. Biarlah semua itu jadi urusan Dikta, lagi pula sejak dulu Dikta tidak suka jika ada yang sampai melukai anaknya. Detik itu juga akan Dikta tumpas jika ada yang berani.
****
“Ini yang papa takutkan jika kamu membawa mobil sendirian Nana. Sudah berulang kali papa katakan kalau kamu harus didampingi supir. Papa belum mengizinkan kamu mengemudi sendirian Na, tapi kamu bebal sekali dan tidak pernah mendengarkan kata-kata papa. Lihatlah keluarga itu, anak mereka meregang nyawa karena ulahmu.” Omel papa Shaka yang membuat Geona meremas ujung bajunya, setakut itu dia pada pria yang ada di hadapannya kini, pria yang dengan sejuta kasih sayang yang ia limpahkan untuk putri bungsunya itu.
Bukannya, Shaka tidak mau tau perihal kejadian itu. Bukan juga sengaja menutup telinga dan menutup mata atas kejadian itu. Papa Shaka dan mama Amira sangat tahu jika korban tersebut adalah anak seorang CEO, namun dia tidak tahu pasti jelasnya itu anak siapa. Ia hanya melihat sekilas wajah bocah itu, namun tidak berani menyelidiki lebih lanjut karena hatinya juga sama hancurnya.
Bertahun-tahun Shaka didik agar Geona tidak akan mengalami pergumulan ini, kini pria itu merasakan luar biasa patah.
“Maaf pa.” Hanya kata itu yang berhasil lolos dari bibir ranum Geona.
Suara Geona terdengar lirih, ia menatap mamanya dengan wajah sembab yang kini tengah menggenggam erat jemarinya. Melihat mamanya menangis, batin Geona semakin terkoyak saja. Perih sekali rasanya.
Shaka berusaha menetralkan perasaannya, dia tidak boleh memarahi putrinya dengan keras. Bagaimana pun, ini murni kecelakaan dan putrinya tidak sengaja. Namun yang papa Shaka takutkan, keluarga dari anak itu akan menuntut tanggung jawab, terlebih mereka adalah orang kaya, yang jelas-jelas tidak butuh uang jika Shaka memberikan mereka uang tebusan.
Kepala Shaka seakan mau pecah memikirkan nasib putrinya ke depan. Baru juga menempuh pendidikan kedokteran yang Geona impikan sejak kecil, kini studynya harus putus di tengah jalan demi memenuhi tuntutan tanggung jawab yang sewaktu-waktu akan mereka layangkan.
Terlebih saat melihat beberapa perban yang melilit sebagia tubuh Geona, semakin terkoyak lah batin Shaka rasanya.
Hingga sepersekian detik berlalu, setelah memastikan keadaan Geona sudah agak mendingan, dokter mengizinkan gadis itu pulang. Papa Shaka pergi ke bagian administrasi untuk membayar biaya pengobatan Geona, sedangkan mama Monita keluar sebentar untuk membelikan Geona buah-buahan di supermarket dekat rumah sakit.
Sakit, lukanya memang tidak seberapa, tapi batinnya sakit tak terkira. Sebagaimana seseorang yang diajarkan tanggung jawab sejak kecil, Geona merasa bersalah yang teramat dalam tiap kali mengingat peristiwa naas kemarin.
Geona berusaha memejamkan mata dalam kesendirian, hingga sepersekian detik berlalu mata lelahnya terpejam dan perlahan mengantarkannya ke alam mimpi. Sementara asyik tenggelam dalam mimpi, tiba-tiba derap langkah dua orang terdengar memenuhi ruangan itu. Terdengar mengendap-endap, dua orang dengan pakaian serba hitam serta penutup kepala itu berjalan perlahan ke arah tempat tidur Geona.
Geona yang sejak tadi curiga dengan derap kaki yang terdengar mengendap-endap itu semakin terkejut kala matanya menangkap sosok dua orang pria berbadan kekar yang wajahnya ditutup. Matanya membola, dan hampir berteriak namun dengan sigap dua orang itu segera membekap mulut Geona dengan bius hingga gadis itu tak sadarkan diri.
Sebelum tertangkap basah, salah satu pria dengan pakaian serba hitam itu membopong tubuh mungil Geona persis karung beras.
Menit berikutnya mama Amira masuk ke dalam ruangan Geona, namun seketika kantong kresek berisi aneka macam buah-buahan itu jatuh berserakan di lantai begitu melihat tempat tidur Geona sudah tak berpenghuni lagi.
Mata mama Amira membulat sempurna dengan mulut yang menganga lebar, berbagai macam pikiran buruk menari-nari dalam kepala wanita yang juga masih terlihat sama cantiknya itu. Dadanya naik turun, dengan jantung yang bergemuruh hebat. Bagaimana tidak, masalah yang menimpah putrinya serta keluarga korban yang bukan orang sembarangan membuat keyakinan mama Amira semakin kuat dan berpikir jika kali ini tebakannya tidak salah.
“Nanaaaa!!!!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments