Bukan Sekedar Janji

Bukan Sekedar Janji

Menikahlah Dengan Reyhan

Dua orang perempuan beda generasi tengah berjalan beriringan setelah keluar dari kamar hotel masing-masing. Mereka berdua memakai kebaya yang berwarna senada. Perbedaan hanya terletak pada gaya rambut dan tentu saja usia mereka.

Langkah kaki mereka terhenti, manakala melihat laki-laki yang sudah tampan dengan setelan baju pengantinnya yang berwarna putih. Tengah berlari menuju kamar rias pengantin perempuan.

Kedua perempuan itu mempercepat langkahnya, demi mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Meskipun hanya sekilas, mereka melihat raut kepanikan dari wajah pengantin laki-laki.

“Ada apa Reyhan?” Tanya Hanifah, neneknya Reyhan.

Perempuan yang datang bersama dengan Nehta, sahabat Reyhan.

“Rey, kemana Devita?” Giliran Nehta yang bertanya.

Reyhan yang tadinya berdiri, kini duduk di pinggiran kasur dengan tanpa melepas secarik kertas di tangannya.

Karena Reyhan hanya diam, Nehta kemudian menghampiri Reyhan. Lalu mengambil kertas yang sedari tadi di pegang oleh Reyhan.

Dear, Reyhan...

Maaf... Maafkan aku...

Aku harus pergi dengan cara seperti ini...

Kamu tahu kan, kalau aku paling nggak bisa melawan daddy...

Jangankan membatalkan pernikahan ini, menolak pun aku nggak bisa...

Reyhan, aku mohon. Jangan marah padaku, kamu tahu sendiri hati kita sudah jadi milik orang lain...

Sekali lagi, maafkan aku...

Berbahagialah dengan pilihanmu nanti, karena aku akan bahagia dengan pilihanku sekarang...

Temanmu, Devita.

“Kenapa, Ta?” Hanifah kembali bertanya.

“Devita pergi, nek.”

Mendengar jawaban dari Nehta, kaki Hanifah tidak bisa lagi berdiri dengan tegak. Perempuan yang masih cantik di usianya yang sudah berumur itu, hampir limbung. Andai Reyhan tidak sigap menahan tubuh Hanifah.

“Nenek nggak apa-apa?” Raut khawatir terlihat jelas di wajah Nehta.

“Maafkan nenek Rey, ini semua karna keegoisan nenek.”

“Tidak nek. Aku tahu, nenek ingin yang terbaik untukku.”

“Minum dulu nek.” Nehta menyodorkan botol air mineral yang baru saja di bukanya.

“Makasih, Nehta.” Ucap Hanifah setelah meneguk sedikit air yang di berikan Nehta.

Untuk yang kedua kalinya, rencana pernikahan Reyhan harus batal. Bedanya, saat ini pernikahan itu batal saat hari H. Karena sebelumnya, pihak perempuan membatalkan perjodohannya seminggu setelah pertunangan terjadi.

Entah ujian apa yang sebenarnya harus di lalui oleh Reyhan. Perjodohan yang di lakukan Hanifah selalu mengalami kegagalan.

Bukan tanpa alasan, Hanifah yang sudah sering sakit-sakitan, ingin melihat cucu laki-lakinya menikah sebelum dia tutup usia.

Sayangnya, Reyhan tidak pernah sekalipun terlihat mempunyai hubungan dengan perempuan manapun. Dia hanya dekat dengan Nehta, sahabatnya.

Hanifah berinisiatif untuk menjodohkannya dengan perempuan pilihannya, keinginannya itu sama sekali tidak di tolak oleh Reyhan. Bahkan Reyhan setuju tanpa harus ada drama. Laki-laki itu bilang asal nenek bahagia.

Raut wajah kepanikan kembali terlihat dari wajah Nehta dan Reyhan, begitu juga Yuri selaku penata rias yang pertama kali mengetahui bahwa Devita menghilang ikut panik. Saat melihat Hanifah meringis memegangi dadanya.

“Rey, ayo bawa nenek ke rumah sakit!” Ucap Nehta hampir berteriak.

“Aku telepon ambulans dulu.”

Tapi tindakan Reyhan di cegah oleh Hanifah, dengan mencekal salah satu tangan cucu laki-lakinya itu.

“Nenek nggak apa-apa, Rey.” Hanifah mengulas senyum tipisnya.

“Tapi nek...”

“Rey, apa nenek boleh egois sekali lagi?” Lirihnya.

Reyhan bergeming.

“Sebelum nenek benar-benar pergi, nenek hanya ingin melihat kamu menikah.”

“Iya nek, aku pasti menikah. Sekarang kita ke rumah sakit dulu, nenek harus baik-baik aja. Supaya nenek bisa melihat aku menikah, bahkan nenek bisa menggendong cicit dariku.” Mata Reyhan terlihat memerah.

“Ibu? Ibu kenapa? Ada apa ini Rey?” Tanya Haris, anak dari Hanifah, sekaligus ayah kandung Reyhan.

Laki-laki itu datang karena melihat Reyhan pergi begitu saja.

“Kemana Devita?” Haris bertanya lagi saat menyadari calon menantunya tidak ada disana.

“Nanti aku jelaskan yah, sekarang kita harus bawa nenek ke rumah sakit dulu.”

Hanya lima belas menit perjalanan, mereka sudah sampai di rumah sakit. Tanpa menghubungi ambulans.

Saat di perjalanan, Hanifah sudah mengalami penurunan kesadaran. Kini, perempuan itu tengah di tangani oleh dokter di IGD.

“Hallo. Arman, tolong tunda acara pernikahanku dengan Devita. Sampaikan pada om Osman, kalau aku sedang di rumah sakit. Jantung nenek kambuh.” Titah Reyhan pada Arman, sahabat sekaligus asisten pribadinya.

“Baik, Rey.” Kalau hanya berdua, Reyhan melarang keras Arman  memanggilnya bos atau tuan atau yang lainnya.

Reyhan tampak tidak bisa diam, laki-laki itu terus saja mondar-mandir tak karuan. Fokusnya teralihkan pada tangannya yang saat ini di genggam oleh Nehta.

“Tenanglah, nenek pasti baik-baik aja.” Nehta mengulas senyumnya.

Dasar, curut. Tenang katanya? Dia sendiri dari tadi tidak berhenti menangis. Batin Reyhan.

Nehta menuntunnya untuk duduk. Ajaibnya, Reyhan bagai sapi yang di cucuk hidungnya, menurut begitu saja.

Baru saja duduk, seorang dokter yang menangani Hanifah keluar dari ruang tindakan. Bersamaan dengan datangnya Osman bersama Reni, istrinya. Di susul Arman, Dewi dan juga Rasti di belakangnya.

“Dokter bagaimana keadaan nenek saya?”

“Bagaimana keadaan ibu saya dokter?”

Reyhan dan Haris bertanya bersamaan.

“Pasien mengalami serangan jantung ringan, beruntung pasien cepat di bawa ke rumah sakit. Untuk sekarang keadaan pasien berangsur stabil, tapi tidak menutup kemungkinan pasien mendapat serangan jantung lagi setelah ini. Setelah sadar, pasien akan di pindahkan ke ruang perawatan.”

“Terima kasih dokter.” Ucap Haris.

Alhamdulillah, hamba mohon sembuhkan nenek ya Allah. Batin Nehta dengan memejamkan matanya.

Mendengar penuturan dokter, Reyhan kembali terduduk. Meskipun Hanifah belum sadar, tapi Reyhan merasa sangat bersyukur.

“Sekarang, jelaskan Rey! Apa yang sebenarnya terjadi?” Haris menuntut penjelasan dari anak laki-lakinya itu.

“Apa ini?” Alis Haris saling bertaut saat Reyhan memberikan secarik kertas dari dalam jas pengantinnya.

“Itu kertas apa, Haris? Dimana Devita?”

Bugh.

“Putri yang kamu banggakan itu kabur di hari pernikahannya.” Haris menghempaskan kertas itu di dada Osman dengan keras.

Melihat brankar yang tengah di dorong oleh beberapa perawat, Reyhan bangun dari duduknya, karena yang tengah di dorong itu adalah neneknya.

“Pasien akan di pindahkan ke ruangan.” Ucap salah satu perawat.

Setelah sebelumnya Arman baru saja mengurus administrasi walaupun tanpa di suruh, secekatan itu Arman, jangan di tanya kenapa. Karena dia Arman.

Semua orang mengekor di belakang, ikut mengantar Hanifah di pindahkan ke ruang perawatan VVIP.

“Rey...” Lirih Hanifah, memanggil cucu laki-lakinya.

“Aku di sini nek.”

“Nenek merasa, waktu nenek tidak banyak Rey. Nenek mohon, menikahlah.”

“Nyonya tidak perlu khawatir, saya akan mencari putri saya sampai ketemu. Agar nyonya bisa melihat Reyhan menikah.” Ucap Osman meyakinkan.

“Tidak perlu Osman.” Tampaknya, Hanifah terlanjur kecewa dengan Devita.

“Nehta, sini sayang.”

“Iya nek, Nehta di sini.” Nehta menyambut tangan Hanifah yang ingin meraih tangannya.

“Nehta sayang... Apa kamu mau mengabulkan permintaan terakhir nenek?”

“Nenek bicara apa? Nenek akan baik-baik aja, Nehta selalu mendoakan nenek selalu sehat.” Setitik air mata kembali jatuh membasahi pipi Nehta.

“Menikahlah dengan Reyhan.” Pinta Hanifah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!