Ada tiga suasana yang tergabung di kamar rawat Hanifah, setelah berlangsungnya akad nikah Rehan dan juga Nehta.
Suasana bahagia tengah di rasakan oleh Hanifah, perempuan yang sudah berumur itu menangis haru. Setelah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, cucu laki-lakinya menikah dengan perempuan pilihannya. Hal yang sama di rasakan oleh Haris, Azka dan juga Arman. Bedanya, ketiga laki-laki itu tidak mengeluarkan air matanya.
Sedangkan rasa canggung mendera pasangan pengantin baru, karena candaan penghulu yang membuat mereka malu. Itu karena ulah Reyhan, yang mencium kening Nehta terlalu lama. Sehingga penghulu meledeknya untuk melanjutkannya nanti saat hanya berdua di kamar.
Lain dengan Hanifah dan juga pasangan pengantin baru, lain pula dengan Dewi dan juga Rasti. Dua perempuan itu terus saja saling berbisik kesal, lantaran mas kawin yang di berikan Reyhan bukan main-main.
“Nenek harus sehat, sekarang aku dan Nehta sudah resmi menikah.”
“Iya, kalian juga ya. Berbahagialah. Doa nenek selalu menyertai kalian.”
“Sekarang pulanglah, kalian pasti lelah.” Imbuh Hanifah.
“Tidak nek, aku akan tetap disini, menemani nenek.”
“Nehta juga. Nehta mau temenin nenek disini.”
Hanifah menggelengkan kepalanya sambil terus tersenyum. Dengan berat hati, pengantin baru itu akhirnya mengangguk setuju. Lagi pula, ada perawat khusus yang di bayarnya untuk menjaga Hanifah. Tapi sebelum mereka pulang, Reyhan ingin sekali berfoto bersama dengan Hanifah dan Nehta, mumpung masih memakai baju pengantin katanya.
“Kalau begitu Nehta pulang dulu ya nek, besok pagi Nehta kesini lagi.”
“Datanglah saat kamu tidak sibuk, sayang.”
“Nehta sayaaaaang... banget sama nenek. Makasih udah sayang sama Nehta.” Nehta memeluk Hanifah begitu erat, perempuan itu seakan berat meninggalkan Hanifah walaupun hanya untuk pulang ke rumah.
Bukan mengajak Nehta pulang ke rumahnya, tapi laki-laki itu malah membawanya ke sebuah apartemen yang terbilang sangat mewah.
“Apartemen ini milik kamu sekarang, kalau senggang, bawalah barang-barangmu ke sini.”
“Dan ini, untuk kamu juga.” Reyhan memberikan kunci mobil berserta STNK dan sebuah black card.
“Oh iya, pin black card dan apartemen ini tanggal pernikahan kita.”
Reyhan terus saja bicara, sedangkan Nehta di buat speechless dengan apa yang di berikan oleh Reyhan.
“Apa kamu sedang berperan jadi suami sungguhan, Rey?”
“Kenapa? Apa kamu juga menginginkan aku memberikan nafkah batin juga?” Reyhan melangkah mendekat ke arah Nehta, membuat perempuan itu beringsut mundur.
Glek.
Nehta menelan ludahnya dengan susah payah, apalagi Reyhan terus mendesaknya untuk mundur lebih jauh, sehingga punggungnya menyentuh dinding kamar.
“Re-Rey...!” Nehta menahan tubuh Reyhan menggunakan kedua tangannya.
Dering ponsel yang berasal dari kantung celana Reyhan, mengalihkan perhatiannya.
“Mandilah. Aku terima telepon dulu.”
Nehta menghela napas panjang sambil memejamkan matanya. Kemudian dia menatap tajam ke arah pintu kamar yang baru saja tertutup setelah Reyhan keluar dari kamar.
“Reyhan gilla.” Umpatnya karena terlalu kesal pada laki-laki yang statusnya sudah menjadi suaminya itu.
Sabar Ta, sabar. Jangan terbawa emosi, pasti dia hanya mau ngerjain kamu! Ingat siapa dia. Dia itu Reyhan si hantu, yang datang dan hilang tiba-tiba. Nehta memperingati dirinya sendiri.
“Belum mandi juga?”
Sontak saja, Nehta terkejut. Baru saja dia mengatakan sikap laki-laki itu yang seperti hantu, tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangannya mengelus pelan dadanya demi menetralisir degup jantungnya yang berdetak dengan cepatnya.
“Mau kamu atau aku duluan, atau kamu mau ma...” Ucapan Reyhan menggantung, karena Nehta sudah berlari ke kamar mandi.
Nehta menyandarkan punggungnya di balik pintu kamar mandi.
“Selain gilla, dia juga messum.” Gumam Nehta.
Selang dua puluh menit, Nehta selesai dengan ritual mandinya, tapi saat akan keluar, dia baru sadar kalau tidak ada baju ganti. Hanya ada handuk saja, karena dia lupa membawa baju ganti.
Nehta menyembulkan kepalanya, sedangkan tubuhnya masih berada di dalam kamar mandi. Merasa Reyhan tidak ada di dalam kamar, Nehta keluar dengan handuk yang melilit tubunya sebatas dada dan pahanya saja.
“Ya ampun, aku ke sini kan nggak bawa apa-apa. Apalagi baju ganti.” Nehta menepuk kepalanya sendiri.
Tapi saat dia masuk ke dalam walk in closet, setengah bagian tempat menyimpan pakaian terisi oleh baju-baju perempuan. Nehta hanya tahu Reyhan orang kaya, tapi hari ini dia benar-benar sadar bahwa Reyhan sangatlah kaya.
Dulu, sebelum papanya meninggal, Nehta juga termasuk ke dalam golongan kelas atas. Namun semuanya berubah setelah Alvin meninggal, Nehta harus bekerja keras untuk menghidupi mama dan juga adiknya, Azka.
Pilihannya jatuh pada piama berwarna maroon, dengan bagian tangannya pendek dan celananya yang panjang.
Keluar dari sana, Nehta melihat Reyhan baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang dililitkan di pinggangnya. Sedangkan tangannya sibuk mengeringkan rambutnya yang masih basah. Terbukti dengan tetesan air yang jatuh dari rambutnya.
Blush.
Pipinya tiba-tiba merona, saat matanya menangkap pemandangan roti sobek milik suaminya. Nehta memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Apa tidak ada kamar lain lagi, Rey?”
“Ada.” Singkatnya.
“Kalau begitu aku tidur di sana.”
Tapi baru beberapa langkah Nehta mengayunkan kakinya, tangannya di cekal oleh Reyhan.
“Kamu tidur di sini, ini kamar kita.” Ucapannya datar, tapi berhasil membuat Nehta gugup.
“Aku tidak akan ngapa-ngapain kamu, jadi berhentilah berpikiran messum.” Reyhan melepas cekalan tangannya kemudian berlalu menuju walk in closet.
Malam pertama mereka berlalu tanpa terjadi apa-apa, keduanya tertidur setelah larut dalam pikirannya masing-masing.
Paginya, saat Nehta baru saja selesai membuat sarapan untuk mereka berdua. Ponselnya terus saja berbunyi. Nehta tahu, siapa yang dari tadi menghubunginya. Karena dari kemarin, dia sengaja mematikan ponselnya.
Aku nggak bisa terus-terusan mengabaikan, Gibran. Dia pasti khawatir. Bagaimanapun juga, aku harus secepatnya memberitahunya tentang pernikahan ini. Batin Nehta.
“Ha-hallo, Gibran.”
“Astaga. Sayang, kamu kemana aja? Dari kemarin ponsel kamu susah sekali di hubungi, pesanku juga nggak kamu balas. Apa kamu baik-baik aja?” Nada suara Gibran jelas terdengar khawatir.
“Maaf, kemarin ponselku mati kehabisan daya. Aku baik-baik aja, Gibran. Oh iya, gimana shooting kamu kemarin? Lancar?”
“Syukurlah kalau kamu baik-baik aja, sayang. Kerjaanku lancar aja. Tapi aku kangen sama kamu.”
“Emmm... Gibran, apa bisa kita ketemu? Ada yang mau aku sampein ke kamu.” Tangannya yang bebas, meremat-remat ujung bajunya sambil menunduk.
“Sore nanti gimana? Pulang shooting, kita ketemu di tempat biasa.”
“Hmmm. Sampai ketemu nanti.”
Nehta memutuskan panggilannya dengan Gibran. Dia menghela napasnya kasar.
Sudah jadi kebiasaan bagi Reyhan, datang dan pergi tanpa suara. Padahal Nehta bersahabat dengan Reyhan sejak lama, tapi sama sekali hal itu tidak membuat Nehta terbiasa. Nehta tetap saja terkejut dengan kehadiran Reyhan di sampingnya.
Dengan santainya, laki-laki itu duduk di meja makan, sambil mendengarkan Nehta bertelepon dengan Gibran.
“Apa kamu nggak bisa bersikap layaknya manusia, Rey?”
“Kamu saja yang terlalu asyik bertelepon dengan pacar kamu itu.” Jawab Rey masa bodoh.
Keduanya makan dalam diam, hanya ada bunyi denting sendok yang beradu dengan piring.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments