Dua orang perempuan beda generasi tengah berjalan beriringan setelah keluar dari kamar hotel masing-masing. Mereka berdua memakai kebaya yang berwarna senada. Perbedaan hanya terletak pada gaya rambut dan tentu saja usia mereka.
Langkah kaki mereka terhenti, manakala melihat laki-laki yang sudah tampan dengan setelan baju pengantinnya yang berwarna putih. Tengah berlari menuju kamar rias pengantin perempuan.
Kedua perempuan itu mempercepat langkahnya, demi mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Meskipun hanya sekilas, mereka melihat raut kepanikan dari wajah pengantin laki-laki.
“Ada apa Reyhan?” Tanya Hanifah, neneknya Reyhan.
Perempuan yang datang bersama dengan Nehta, sahabat Reyhan.
“Rey, kemana Devita?” Giliran Nehta yang bertanya.
Reyhan yang tadinya berdiri, kini duduk di pinggiran kasur dengan tanpa melepas secarik kertas di tangannya.
Karena Reyhan hanya diam, Nehta kemudian menghampiri Reyhan. Lalu mengambil kertas yang sedari tadi di pegang oleh Reyhan.
Dear, Reyhan...
Maaf... Maafkan aku...
Aku harus pergi dengan cara seperti ini...
Kamu tahu kan, kalau aku paling nggak bisa melawan daddy...
Jangankan membatalkan pernikahan ini, menolak pun aku nggak bisa...
Reyhan, aku mohon. Jangan marah padaku, kamu tahu sendiri hati kita sudah jadi milik orang lain...
Sekali lagi, maafkan aku...
Berbahagialah dengan pilihanmu nanti, karena aku akan bahagia dengan pilihanku sekarang...
Temanmu, Devita.
“Kenapa, Ta?” Hanifah kembali bertanya.
“Devita pergi, nek.”
Mendengar jawaban dari Nehta, kaki Hanifah tidak bisa lagi berdiri dengan tegak. Perempuan yang masih cantik di usianya yang sudah berumur itu, hampir limbung. Andai Reyhan tidak sigap menahan tubuh Hanifah.
“Nenek nggak apa-apa?” Raut khawatir terlihat jelas di wajah Nehta.
“Maafkan nenek Rey, ini semua karna keegoisan nenek.”
“Tidak nek. Aku tahu, nenek ingin yang terbaik untukku.”
“Minum dulu nek.” Nehta menyodorkan botol air mineral yang baru saja di bukanya.
“Makasih, Nehta.” Ucap Hanifah setelah meneguk sedikit air yang di berikan Nehta.
Untuk yang kedua kalinya, rencana pernikahan Reyhan harus batal. Bedanya, saat ini pernikahan itu batal saat hari H. Karena sebelumnya, pihak perempuan membatalkan perjodohannya seminggu setelah pertunangan terjadi.
Entah ujian apa yang sebenarnya harus di lalui oleh Reyhan. Perjodohan yang di lakukan Hanifah selalu mengalami kegagalan.
Bukan tanpa alasan, Hanifah yang sudah sering sakit-sakitan, ingin melihat cucu laki-lakinya menikah sebelum dia tutup usia.
Sayangnya, Reyhan tidak pernah sekalipun terlihat mempunyai hubungan dengan perempuan manapun. Dia hanya dekat dengan Nehta, sahabatnya.
Hanifah berinisiatif untuk menjodohkannya dengan perempuan pilihannya, keinginannya itu sama sekali tidak di tolak oleh Reyhan. Bahkan Reyhan setuju tanpa harus ada drama. Laki-laki itu bilang asal nenek bahagia.
Raut wajah kepanikan kembali terlihat dari wajah Nehta dan Reyhan, begitu juga Yuri selaku penata rias yang pertama kali mengetahui bahwa Devita menghilang ikut panik. Saat melihat Hanifah meringis memegangi dadanya.
“Rey, ayo bawa nenek ke rumah sakit!” Ucap Nehta hampir berteriak.
“Aku telepon ambulans dulu.”
Tapi tindakan Reyhan di cegah oleh Hanifah, dengan mencekal salah satu tangan cucu laki-lakinya itu.
“Nenek nggak apa-apa, Rey.” Hanifah mengulas senyum tipisnya.
“Tapi nek...”
“Rey, apa nenek boleh egois sekali lagi?” Lirihnya.
Reyhan bergeming.
“Sebelum nenek benar-benar pergi, nenek hanya ingin melihat kamu menikah.”
“Iya nek, aku pasti menikah. Sekarang kita ke rumah sakit dulu, nenek harus baik-baik aja. Supaya nenek bisa melihat aku menikah, bahkan nenek bisa menggendong cicit dariku.” Mata Reyhan terlihat memerah.
“Ibu? Ibu kenapa? Ada apa ini Rey?” Tanya Haris, anak dari Hanifah, sekaligus ayah kandung Reyhan.
Laki-laki itu datang karena melihat Reyhan pergi begitu saja.
“Kemana Devita?” Haris bertanya lagi saat menyadari calon menantunya tidak ada disana.
“Nanti aku jelaskan yah, sekarang kita harus bawa nenek ke rumah sakit dulu.”
Hanya lima belas menit perjalanan, mereka sudah sampai di rumah sakit. Tanpa menghubungi ambulans.
Saat di perjalanan, Hanifah sudah mengalami penurunan kesadaran. Kini, perempuan itu tengah di tangani oleh dokter di IGD.
“Hallo. Arman, tolong tunda acara pernikahanku dengan Devita. Sampaikan pada om Osman, kalau aku sedang di rumah sakit. Jantung nenek kambuh.” Titah Reyhan pada Arman, sahabat sekaligus asisten pribadinya.
“Baik, Rey.” Kalau hanya berdua, Reyhan melarang keras Arman memanggilnya bos atau tuan atau yang lainnya.
Reyhan tampak tidak bisa diam, laki-laki itu terus saja mondar-mandir tak karuan. Fokusnya teralihkan pada tangannya yang saat ini di genggam oleh Nehta.
“Tenanglah, nenek pasti baik-baik aja.” Nehta mengulas senyumnya.
Dasar, curut. Tenang katanya? Dia sendiri dari tadi tidak berhenti menangis. Batin Reyhan.
Nehta menuntunnya untuk duduk. Ajaibnya, Reyhan bagai sapi yang di cucuk hidungnya, menurut begitu saja.
Baru saja duduk, seorang dokter yang menangani Hanifah keluar dari ruang tindakan. Bersamaan dengan datangnya Osman bersama Reni, istrinya. Di susul Arman, Dewi dan juga Rasti di belakangnya.
“Dokter bagaimana keadaan nenek saya?”
“Bagaimana keadaan ibu saya dokter?”
Reyhan dan Haris bertanya bersamaan.
“Pasien mengalami serangan jantung ringan, beruntung pasien cepat di bawa ke rumah sakit. Untuk sekarang keadaan pasien berangsur stabil, tapi tidak menutup kemungkinan pasien mendapat serangan jantung lagi setelah ini. Setelah sadar, pasien akan di pindahkan ke ruang perawatan.”
“Terima kasih dokter.” Ucap Haris.
Alhamdulillah, hamba mohon sembuhkan nenek ya Allah. Batin Nehta dengan memejamkan matanya.
Mendengar penuturan dokter, Reyhan kembali terduduk. Meskipun Hanifah belum sadar, tapi Reyhan merasa sangat bersyukur.
“Sekarang, jelaskan Rey! Apa yang sebenarnya terjadi?” Haris menuntut penjelasan dari anak laki-lakinya itu.
“Apa ini?” Alis Haris saling bertaut saat Reyhan memberikan secarik kertas dari dalam jas pengantinnya.
“Itu kertas apa, Haris? Dimana Devita?”
Bugh.
“Putri yang kamu banggakan itu kabur di hari pernikahannya.” Haris menghempaskan kertas itu di dada Osman dengan keras.
Melihat brankar yang tengah di dorong oleh beberapa perawat, Reyhan bangun dari duduknya, karena yang tengah di dorong itu adalah neneknya.
“Pasien akan di pindahkan ke ruangan.” Ucap salah satu perawat.
Setelah sebelumnya Arman baru saja mengurus administrasi walaupun tanpa di suruh, secekatan itu Arman, jangan di tanya kenapa. Karena dia Arman.
Semua orang mengekor di belakang, ikut mengantar Hanifah di pindahkan ke ruang perawatan VVIP.
“Rey...” Lirih Hanifah, memanggil cucu laki-lakinya.
“Aku di sini nek.”
“Nenek merasa, waktu nenek tidak banyak Rey. Nenek mohon, menikahlah.”
“Nyonya tidak perlu khawatir, saya akan mencari putri saya sampai ketemu. Agar nyonya bisa melihat Reyhan menikah.” Ucap Osman meyakinkan.
“Tidak perlu Osman.” Tampaknya, Hanifah terlanjur kecewa dengan Devita.
“Nehta, sini sayang.”
“Iya nek, Nehta di sini.” Nehta menyambut tangan Hanifah yang ingin meraih tangannya.
“Nehta sayang... Apa kamu mau mengabulkan permintaan terakhir nenek?”
“Nenek bicara apa? Nenek akan baik-baik aja, Nehta selalu mendoakan nenek selalu sehat.” Setitik air mata kembali jatuh membasahi pipi Nehta.
“Menikahlah dengan Reyhan.” Pinta Hanifah.
Ucapan Hanifah membuat semua orang yang ada di sana menatap dengan tidak percaya, bukankah semuanya tahu bagaimana hubungan Reyhan dan juga Nehta. Dua orang itu bersahabat, namun setiap harinya selalu saja ada keributan atau pertengkaran kecil di antara keduanya. Jadi, rasanya tidak mungkin Reyhan dan juga Nehta mau menikah.
“Nek...”
Nehta ingin menolak, tapi dia tidak sampai hati jika harus membuat perempuan yang telah menyayanginya setelah ibunya itu kecewa dan bersedih.
“Baiklah, kalau itu yang nenek inginkan. Kita berdua bersedia menikah. Iya kan, Ta?” Jawaban dari Reyhan membuat semua orang terkejut.
Mereka pikir, Reyhan akan menolak permintaan neneknya itu. Tapi ternyata, dia menyetujui keinginan Hanifah tanpa berpikir terlebih dahulu.
“Reyhan...” Nehta sepertinya hendak protes, namun keburu di potong oleh Reyhan.
“Arman. Tolong bantu aku mengurus semuanya. Aku dan Nehta akan menikah hari ini juga.”
“Reyhan!” Nehta hampir saja berteriak di depan semua orang.
“Nenek, om tante semuanya, Nehta sama Reyhan keluar dulu.” Pamitnya sambil menarik tangan Reyhan agar mengikutinya keluar.
Meskipun Nehta menarik tangannya dengan kuat, Reyhan sama sekali tidak melawan. Dia mengikuti kemanapun Nehta membawanya. Hingga sampailah mereka di koridor yang tampak sepi.
“Rey, apa kamu berubah jadi gilla setelah di tinggal sama Devita di hari pernikahan kalian?” Kesal Nehta.
“Aku hanya ingin menuruti keinginan nenek, Nehta.”
“Rey... Pernikahan bukanlah hal yang bisa di permainkan. Asal kamu tahu, aku...”
“Pacaran dengan Gibran?” Potong Reyhan.
“Ka-kamu tahu dari mana?”
“Itu tidak penting. Asal kamu tahu juga, Nehta. Aku tidak pernah berniat mempermainkan pernikahan. Tapi aku sudah berjanji untuk menikah denganmu.”
Nehta sama sekali tidak menemukan kebohongan dari sorot mata Reyhan, tapi tetap saja, saat ini hatinya sudah terpaut dengan Gibran.
“Tapi Rey...”
“Nehta, apa kamu tega membuat nenek bertambah sakit, dengan penolakan kamu itu?”
Pertanyaan Reyhan membuat Nehta goyah. Benar dengan apa yang di katakan oleh Reyhan. Bisa saja, keadaan Hanifah bertambah buruk. Atau bahkan keinginannya tidak terpenuhi sampai akhir hayat.
“Tapi, jika memang itu keputusan kamu. Aku akan mencari perempuan lain, agar aku bisa segera menikah.”
Reyhan baru saja akan melangkahkan kakinya, namun lengannya keburu di cekal oleh Nehta. Padahal ucapannya hanya untuk menggertak Nehta, supaya perempuan itu bersedia menikah dengannya.
“Baiklah, ayo kita menikah, Rey.” Lirih Nehta.
“Apa, Ta? Aku tidak bisa mendengar suaramu.”
“Ayo kita menikah, Rey.” Pekik Nehta setengah kesal, karena laki-laki itu sengaja pura-pura tidak mendengar ucapannya.
“Tapi dengan satu syarat.” Imbuhnya.
“Aku ingin pernikahan kita di rahasiakan dulu untuk saat ini, terutama jangan sampai Gibran tahu. Biar aku yang memberitahunya nanti, kalau waktunya tepat. Jadi ayo kita menikah.”
Entah berapa kali perempuan itu berkata ayo kita menikah, yang jelas dia setuju untuk menikah dengan Reyhan.
“Aku terima lamaranmu, Nehta.” Ucap Reyhan sambil meninggalkan Nehta yang masih berdiri di tempatnya, dengan senyum smirk di wajahnya, namun jelas Nehta tidak bisa melihatnya.
“Dasar Reyhantuuuuuu...” Teriak Nehta, kakinya menghentak lantai dengan keras, saking kesalnya.
...*****...
Kemampuan uang memang tidak bisa di ragukan lagi, meski uang tidak bisa membeli cinta dan kebahagiaan. Tapi kenyataannya, dengan uang seseorang bisa melakukan apapun hanya dengan menjentikkan jari.
Seperti saat ini, Reyhan menyewa satu kamar VVIP yang berada di sebelah kamar dimana Hanifah berada, untuk di jadikannya ruangan untuk merias Nehta.
“Kak, apa aku boleh bertanya?” Pertanyaan Azka membuyarkan lamunannya yang sejak tadi menatap kosong penampilannya yang sudah cantik itu di cermin.
“Kenapa Ka?”
“Apa kakak yakin dengan pernikahan ini? Maksud aku, aku nggak mau kakak menjalani pernikahan dengan terpaksa. Karna pernikahan itu adalah ibadah terlama, bisa jadi seumur hidup, kakak akan terus bersama dengan bang Reyhan.” Azka sebenarnya ragu mengatakan itu, karena tidak ingin kakak kandungnya salah paham dengan ucapannya.
Nehta berbalik, kemudian menatap Azka dengan bibirnya tersenyum manis. Walaupun tidak ada yang tahu seperti apa perasaannya saat ini.
“Makasih ya. Kakak tahu, kamu mau yang terbaik untuk kakak. Kamu mau kakak bahagia. Tapi ini udah jadi keputusan kakak. Doakan aja ya, semoga kakak bisa menjadi istri yang baik untuk Reyhan.”
“Aku selalu mendoakan yang terbaik untuk kakak.” Azka memeluk kakaknya dengan erat.
Tok. Tok. Tok.
“Masuk.”
“Kenapa, Man?” Tanya Nehta saat tahu kalau yang mengetuk pintu adalah asisten calon suaminya.
“Nona, apa sudah selesai? Kalau sudah, mari ke ruangan sebelah, sebentar lagi penghulunya datang.” Tutur Arman.
“Sudah kok, sudah selesai. Ayo Azka.”
Azka menggandeng tangan Nehta saat berjalan masuk ke ruangan Hanifah.
Tidak ada satupun orang yang tidak terpesona dengan kecantikan Nehta. Meskipun kebaya pengantin yang di pakainya begitu sederhana, riasannya yang tidak terlalu menor, membuat aura kecantikannya semakin terlihat.
“Nenek...”
“Kamu cantik sekali sayang.” Mata Hanifah terlihat berkaca-kaca.
Sementara Dewi dan Rasti hanya menatap tidak suka pada Nehta. Menurut mereka, perhatian Hanifah pada Nehta selama ini terlalu berlebihan.
“Makasih, nek.”
“Tidak sayang, nenek yang seharusnya bilang makasih sama kamu.” Hanifah mengelus lembut dagu Ellaiana.
Atensi teralihkan pada seseorang yang masuk bersamaan dengan Arman. Orang itu tak lain adalah penghulu yang akan menikahkan Reyhan dan juga Nehta.
Reyhan dan Nehta sudah duduk bersebelahan di hadapan penghulu. Rasa gugup mendera keduanya, karena sebentar lagi, status keduanya akan berubah menjadi sepasang suami istri.
“Apakah semuanya sudah siap?”
“Sudah pak penghulu.”
“Sebelum saya memandu pernikahan kalian ada beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan.”
“Silakan pak.” Ucap Reyhan.
“Nak Reyhan, apa benar perempuan yang ada di samping nak Reyhan ini calon istrinya?”
“Benar pak.”
“Siapa namanya?”
“Nehta Tania Zara, pak.”
“Apa benar nak Nehta? Nak Reyhan ini calon suaminya?”
“Benar pak, Reyhan Arshavin Haris adalah calon suami saya.”
“Wali nikah ada?”
“Saya Azka pak, adik kandungnya kak Nehta. Papa kami sudah meninggal, jadi saya selaku adik kandung dari kakak saya, berkewajiban menikahkan kakak saya setelah kepergian papa saya.”
Penghulu pun mengangguk.
“Saksi nikah ada?”
“Ada pak.” Ucap dua orang saksi bersamaan, kedua orang itu tak lain adalah Arman selaku asisten Reyhan dan juga Leo, seorang pengacara hukum keluarga dari Hanifah.
“Mahar sudah di siapkan?”
“Sudah pak.”
“Baik, kalau begitu kita mulai ijab kabulnya. Sebelumnya mari kita berdoa terlebih dahulu.”
Semuanya serempak mengangkat tangan untuk berdoa, kecuali Dewi dan Rasti yang tampak ogah-ogahan mengangkat kedua tangannya.
“Silahkan, di mulai nak Azka.”
“Baik pak.”
“Nak Reyhan silakan jabat tangannya nak Azka.”
Rehyan mengangguk, lalu meraih tangan Azka yang sebelumnya sudah menunggu jabatan dari tangannya.
“Saudara, Reyhan Arshavin Haris bin Haris Wiratama. Saya nikahkan dan kawinkan engaku, dengan kakak kandung saya. Yang bernama Nehta Tania Zara binti Alvin Martadipura. Dengan mas kawin, perhiasan emas 27 gram bertahtakan berlian 9 karat dan seperangkat alat shalat di bayar tunai.” Azka mengguncang tangan Reyhan, sebagai isyarat bahwa dia telah selesai mengucapkan ijab.
“Saya terima nikah dan kawinnya, Nehta Tania Zara binti Alvin Martadipura dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.” Reyhan mengucapkan kalimat kabul dengan lancar dan lantang.
“Bagaimana saksi?”
“Sah... Sah...”
Ada tiga suasana yang tergabung di kamar rawat Hanifah, setelah berlangsungnya akad nikah Rehan dan juga Nehta.
Suasana bahagia tengah di rasakan oleh Hanifah, perempuan yang sudah berumur itu menangis haru. Setelah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, cucu laki-lakinya menikah dengan perempuan pilihannya. Hal yang sama di rasakan oleh Haris, Azka dan juga Arman. Bedanya, ketiga laki-laki itu tidak mengeluarkan air matanya.
Sedangkan rasa canggung mendera pasangan pengantin baru, karena candaan penghulu yang membuat mereka malu. Itu karena ulah Reyhan, yang mencium kening Nehta terlalu lama. Sehingga penghulu meledeknya untuk melanjutkannya nanti saat hanya berdua di kamar.
Lain dengan Hanifah dan juga pasangan pengantin baru, lain pula dengan Dewi dan juga Rasti. Dua perempuan itu terus saja saling berbisik kesal, lantaran mas kawin yang di berikan Reyhan bukan main-main.
“Nenek harus sehat, sekarang aku dan Nehta sudah resmi menikah.”
“Iya, kalian juga ya. Berbahagialah. Doa nenek selalu menyertai kalian.”
“Sekarang pulanglah, kalian pasti lelah.” Imbuh Hanifah.
“Tidak nek, aku akan tetap disini, menemani nenek.”
“Nehta juga. Nehta mau temenin nenek disini.”
Hanifah menggelengkan kepalanya sambil terus tersenyum. Dengan berat hati, pengantin baru itu akhirnya mengangguk setuju. Lagi pula, ada perawat khusus yang di bayarnya untuk menjaga Hanifah. Tapi sebelum mereka pulang, Reyhan ingin sekali berfoto bersama dengan Hanifah dan Nehta, mumpung masih memakai baju pengantin katanya.
“Kalau begitu Nehta pulang dulu ya nek, besok pagi Nehta kesini lagi.”
“Datanglah saat kamu tidak sibuk, sayang.”
“Nehta sayaaaaang... banget sama nenek. Makasih udah sayang sama Nehta.” Nehta memeluk Hanifah begitu erat, perempuan itu seakan berat meninggalkan Hanifah walaupun hanya untuk pulang ke rumah.
Bukan mengajak Nehta pulang ke rumahnya, tapi laki-laki itu malah membawanya ke sebuah apartemen yang terbilang sangat mewah.
“Apartemen ini milik kamu sekarang, kalau senggang, bawalah barang-barangmu ke sini.”
“Dan ini, untuk kamu juga.” Reyhan memberikan kunci mobil berserta STNK dan sebuah black card.
“Oh iya, pin black card dan apartemen ini tanggal pernikahan kita.”
Reyhan terus saja bicara, sedangkan Nehta di buat speechless dengan apa yang di berikan oleh Reyhan.
“Apa kamu sedang berperan jadi suami sungguhan, Rey?”
“Kenapa? Apa kamu juga menginginkan aku memberikan nafkah batin juga?” Reyhan melangkah mendekat ke arah Nehta, membuat perempuan itu beringsut mundur.
Glek.
Nehta menelan ludahnya dengan susah payah, apalagi Reyhan terus mendesaknya untuk mundur lebih jauh, sehingga punggungnya menyentuh dinding kamar.
“Re-Rey...!” Nehta menahan tubuh Reyhan menggunakan kedua tangannya.
Dering ponsel yang berasal dari kantung celana Reyhan, mengalihkan perhatiannya.
“Mandilah. Aku terima telepon dulu.”
Nehta menghela napas panjang sambil memejamkan matanya. Kemudian dia menatap tajam ke arah pintu kamar yang baru saja tertutup setelah Reyhan keluar dari kamar.
“Reyhan gilla.” Umpatnya karena terlalu kesal pada laki-laki yang statusnya sudah menjadi suaminya itu.
Sabar Ta, sabar. Jangan terbawa emosi, pasti dia hanya mau ngerjain kamu! Ingat siapa dia. Dia itu Reyhan si hantu, yang datang dan hilang tiba-tiba. Nehta memperingati dirinya sendiri.
“Belum mandi juga?”
Sontak saja, Nehta terkejut. Baru saja dia mengatakan sikap laki-laki itu yang seperti hantu, tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangannya mengelus pelan dadanya demi menetralisir degup jantungnya yang berdetak dengan cepatnya.
“Mau kamu atau aku duluan, atau kamu mau ma...” Ucapan Reyhan menggantung, karena Nehta sudah berlari ke kamar mandi.
Nehta menyandarkan punggungnya di balik pintu kamar mandi.
“Selain gilla, dia juga messum.” Gumam Nehta.
Selang dua puluh menit, Nehta selesai dengan ritual mandinya, tapi saat akan keluar, dia baru sadar kalau tidak ada baju ganti. Hanya ada handuk saja, karena dia lupa membawa baju ganti.
Nehta menyembulkan kepalanya, sedangkan tubuhnya masih berada di dalam kamar mandi. Merasa Reyhan tidak ada di dalam kamar, Nehta keluar dengan handuk yang melilit tubunya sebatas dada dan pahanya saja.
“Ya ampun, aku ke sini kan nggak bawa apa-apa. Apalagi baju ganti.” Nehta menepuk kepalanya sendiri.
Tapi saat dia masuk ke dalam walk in closet, setengah bagian tempat menyimpan pakaian terisi oleh baju-baju perempuan. Nehta hanya tahu Reyhan orang kaya, tapi hari ini dia benar-benar sadar bahwa Reyhan sangatlah kaya.
Dulu, sebelum papanya meninggal, Nehta juga termasuk ke dalam golongan kelas atas. Namun semuanya berubah setelah Alvin meninggal, Nehta harus bekerja keras untuk menghidupi mama dan juga adiknya, Azka.
Pilihannya jatuh pada piama berwarna maroon, dengan bagian tangannya pendek dan celananya yang panjang.
Keluar dari sana, Nehta melihat Reyhan baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang dililitkan di pinggangnya. Sedangkan tangannya sibuk mengeringkan rambutnya yang masih basah. Terbukti dengan tetesan air yang jatuh dari rambutnya.
Blush.
Pipinya tiba-tiba merona, saat matanya menangkap pemandangan roti sobek milik suaminya. Nehta memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Apa tidak ada kamar lain lagi, Rey?”
“Ada.” Singkatnya.
“Kalau begitu aku tidur di sana.”
Tapi baru beberapa langkah Nehta mengayunkan kakinya, tangannya di cekal oleh Reyhan.
“Kamu tidur di sini, ini kamar kita.” Ucapannya datar, tapi berhasil membuat Nehta gugup.
“Aku tidak akan ngapa-ngapain kamu, jadi berhentilah berpikiran messum.” Reyhan melepas cekalan tangannya kemudian berlalu menuju walk in closet.
Malam pertama mereka berlalu tanpa terjadi apa-apa, keduanya tertidur setelah larut dalam pikirannya masing-masing.
Paginya, saat Nehta baru saja selesai membuat sarapan untuk mereka berdua. Ponselnya terus saja berbunyi. Nehta tahu, siapa yang dari tadi menghubunginya. Karena dari kemarin, dia sengaja mematikan ponselnya.
Aku nggak bisa terus-terusan mengabaikan, Gibran. Dia pasti khawatir. Bagaimanapun juga, aku harus secepatnya memberitahunya tentang pernikahan ini. Batin Nehta.
“Ha-hallo, Gibran.”
“Astaga. Sayang, kamu kemana aja? Dari kemarin ponsel kamu susah sekali di hubungi, pesanku juga nggak kamu balas. Apa kamu baik-baik aja?” Nada suara Gibran jelas terdengar khawatir.
“Maaf, kemarin ponselku mati kehabisan daya. Aku baik-baik aja, Gibran. Oh iya, gimana shooting kamu kemarin? Lancar?”
“Syukurlah kalau kamu baik-baik aja, sayang. Kerjaanku lancar aja. Tapi aku kangen sama kamu.”
“Emmm... Gibran, apa bisa kita ketemu? Ada yang mau aku sampein ke kamu.” Tangannya yang bebas, meremat-remat ujung bajunya sambil menunduk.
“Sore nanti gimana? Pulang shooting, kita ketemu di tempat biasa.”
“Hmmm. Sampai ketemu nanti.”
Nehta memutuskan panggilannya dengan Gibran. Dia menghela napasnya kasar.
Sudah jadi kebiasaan bagi Reyhan, datang dan pergi tanpa suara. Padahal Nehta bersahabat dengan Reyhan sejak lama, tapi sama sekali hal itu tidak membuat Nehta terbiasa. Nehta tetap saja terkejut dengan kehadiran Reyhan di sampingnya.
Dengan santainya, laki-laki itu duduk di meja makan, sambil mendengarkan Nehta bertelepon dengan Gibran.
“Apa kamu nggak bisa bersikap layaknya manusia, Rey?”
“Kamu saja yang terlalu asyik bertelepon dengan pacar kamu itu.” Jawab Rey masa bodoh.
Keduanya makan dalam diam, hanya ada bunyi denting sendok yang beradu dengan piring.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!