Nungguin Kamu

Sebelum berangkat ke kantor, Reyhan menyempatkan diri untuk datang menemui neneknya bersama Nehta. Perempuan itu membawakan Hanifah makanan yang di masaknya tadi pagi.

Tentu dengan senang hati, Hanifah mau memakan masakan cucu menantu kesayangannya. Bahkan Hanifah memakannya hingga habis, saking enaknya masakan Nehta.

“Nenek nggak salah, pilih kamu sebagai istrinya Rey. Masakan kamu memang yang paling enak.”

“Nenek bisa aja.” Nehta merapikan kotak makanan, lalu memasukkannya kembali ke dalam goody bagnya.

“Kamu nggak ke kantor, Rey?”

“Ini baru mau berangkat.” Padahal aslinya, dia sama sekali tidak bersemangat untuk pergi bekerja.

“Sekalian antar, Nehta kan?”

“Nggak nek, Nehta nggak ke butik hari ini. Nehta mau nemenin nenek di sini.”

“Nenek nggak apa-apa, lihat, nenek baik-baik aja. Pergilah, kamu bisa kembali lagi ke sini nanti.” Hanifah mengusap lembut pipi Nehta.

Perempuan itu menengok ke arah suaminya, meminta jawaban yang bisa membuatnya tetap di sini.

“Ayo, biarkan nenek istirahat.”

Dasar kulkas. Gerutu Nehta dalam hatinya.

Mau tak mau, Nehta pun menurut. Perempuan itu berjalan di belakang Reyhan. Langkah kakinya tidak bisa menyeimbangi kaki panjang Reyhan. Sehingga dia harus berlari kecil demi menyamai langkah suaminya.

“Ini!” Reyhan mengepalkan sebuah kunci mobil dan black card yang semalam di kembalikan oleh Nehta.

“Aku kan udah bilang, aku nggak mau menerimanya.” Lagi-lagi Nehta menolak.

“Aku tidak mau tahu. Mau kamu pakai atau tidak, terserah. Yang penting aku sudah memberikannya.” Ucap Reyhan sambil melajukan mobilnya.

“Ck. Dasar pemaksa.” Kesal Nehta.

Selang lima belas menit, mereka sudah sampai di butik yang di kelola oleh Nehta.

Butik itu sebenarnya bukan milik Nehta, dia hanya di percaya oleh Hanifah untuk mengelola butik itu.

Di luar dugaan, ternyata butik itu kembali ramai setelah di pegang oleh Nehta. Selain karena hasil karyanya yang sangat luar biasa, Nehta juga mampu mewujudkan keinginan pelanggannya yang menurut orang lain sulit untuk di lakukan. Nehta tidak pernah menolak secara langsung, tapi dia lebih menyarankan ada hal yang mungkin di sukai dan akan lebih bagus saat rancangannya itu sudah jadi.

“Kabari aku kalau mau pergi atau pulang telat.”

“Kenapa?”

“Karna sekarang kamu istriku, tanggung jawabku.”

“Ya... ya... kalau begitu, saya pamit dulu tuan suami.” Ucap Nehta dengan gaya meledek, sambil meminta uluran tangan Reyhan untuk salim.

Nehta masih berdiri di depan butik setelah turun. Memandang mobil yang di kendarai oleh Reyhan pergi menjauh hingga tidak terlihat lagi.

Saat kakinya melangkah masuk, ponsel miliknya berbunyi. Di lihatnya, pesan masuk dari Gibran.

Sayang, kamu di butik? Kalau iya nanti aku jemput ke sana ya. siang ini aku udah nggak ada kerjaan.

Iya, aku di butik. Kamu nggak perlu jemput, kita ketemu di sana aja. Balasnya.

Hubungannya dengan Gibran memang belum lama terjalin. Mereka pernah bertemu secara tidak sengaja, saat Gibran datang ke butiknya untuk memesan sebuah gaun yang di perlukan untuk keperluan shooting. Gibran tidak datang sendiri, laki-laki itu datang dengan satu orang rekan kerjanya.

Mungkin karena tertarik dengan Nehta, Gibran sering datang ke butik dengan alasan yang aneh-aneh. Padahal sudah tidak ada hal penting yang mengharuskan mereka bertemu. Seriring berjalannya waktu, Nehta yang hatinya mudah untuk menerima perhatian-perhatian kecil, membuat Gibran lebih mudah untuk masuk ke dalam kehidupannya. Meskipun sebenarnya, Nehta hanya merasa nyaman berada di dekat Gibran, tapi tanpa ragu dia menerima pernyataan cinta dari Gibran.

Menurutnya, cinta bisa datang seiring waktu, karena dia sendiri tidak bisa menepis rasa sayang yang mulai tumbuh di hatinya untuk Gibran.

“Nehta!” Panggil Wina setengah berteriak.

“Astaghfirullah.” Nehta sampai terlonjak karena saking kagetnya.

“Kenapa sih? Pagi-pagi udah ngelamun, kesambet baru tahu rasa.” Seloroh Wina.

“Aku hanya lagi banyak pikiran, Win. Oh iya, ada apa? Apa ada pesanan baru yang masuk?”

“Tentu ada. Rizki lagi susun sesuai tenggat yang di minta pelanggan dulu. Baru nanti di kasih ke kamu.”

Nehta mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kemarin ada asistennya tuan Reyhan datang ke sini. Buat ngambil kebaya rancangan kamu itu, dia bilang di suruh kamu. Memangnya buat di pakai siapa? Bukannya kamu buat kebaya itu buat kamu sendiri?”

Orang yang di tanya, nampak kebingungan. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Apakah dia harus jujur apa adanya?

“Ta...?”

“Ah iya, Win. Kenapa?”

“Malah kenapa? Kamu sakit atau apa? Dari tadi bengong melulu.”

“Maaf, Win.”

“Sudah... gaperlu kamu jawab, aku tahu, pasti si ratu kecentilan itu kan yang minta supaya tuan Reyhan meminta kebaya itu agar bisa di pakai sama dia. Bener-bener ya perempuan satu itu.” Omel Wina.

“Tapi kemarin aku dengar beritanya, pesta yang harusnya bisa di konsumsi publik, tiba-tiba jadi tertutup. Katanya jamnya sempat mundur karena nyonya Hanifah masuk rumah sakit, ya Ta?”

“Iya nenek kemarin sempat kena serangan jantung ringan, Win.”

Jadi Reyhan membuat pernikahannya dengan Devita seolah-olah di undur, bukan memberikan pernyataan bahwa pernikahannya batal ‘lagi’. Malah sekarang dia jadi menikah denganku. Apa dampaknya sangat besar ke perusahaan kalau berita itu tersebar?

“Sebenernya...”

“Ta, ini pesanan yang masuk. Aku udah susun sesuai tenggat waktunya.” Nehta urung menceritakan apa yang terjadi pada Nehta, karena kedatangan Rizki ke ruangannya.

Rizki juga sahabatnya, sama seperti Wina. Tapi sahabatnya yang satu ini mulutnya seperti ember bocor, dia takut kalau suatu saat mulutnya bocor, akan berdampak pada Reyhan dan juga orang-orang di sekitarnya, termasuk Gibran. Karena dia sendiri, yang ingin memberi tahu Gibran tentang kebenarannya.

“Makasih ya, Riz.”

“Sama-sama.” Perempuan yanga namanya seperti laki-laki ini, tersenyum dengan manisnya pada Nehta dan juga Wina.

Entahlah, sahabatnya itu rasanya selalu ada lebihnya. Wina, perempuan cantik dengan kerudungnya itu selalu banyak bicara. Sering kali, Nehta kewalahan menanggapi pertanyaan dan ocehannya. Rizki, perempuan manis dengan gaya tomboinya ini mulutnya ember, tapi juga benar-benar lemot dan polos. Reyhan, entahlah, manusia satu ini terlalu banyak lebihnya.

“Kalian mau makan siang apa?” Wina yang selalu antusias jika berhubungan dengan makanan, tapi anehnya, tubuhnya susah sekali untuk melar.

“Aku ada janji sama Gibran, maaf ya. Lain kali kita makan siang barengnya.” Sesal Nehta.

“Nggak apa-apa, Ta. Kalian kan susah ketemunya.” Ucap Rizki.

“Makan baksonya mas Aryo aja gimana? Kayaknya mau PMS nih, pengen makan yang pedes-pedes.” Tawar Wina.

“Idih, kamunya aja yang doyan makan pedes.” Seloroh Nehta.

Ketiga perempuan itu tertawa dengan ucapan Nehta, pasalnya memang selalu begitu, banyak alasan yang di keluarkan oleh Wina kalau soal makan.

Tiba waktunya makan siang, Nehta pamit pada kedua sahabatnya dan juga karyawan butik yang lain untuk pergi makan siang dengan Gibran. Nehta pergi menggunakan taksi online yang di pesannya.

Selang beberapa menit, Nehta sampai di tempat biasa mereka bertemu selain butik yang di kelolanya. Ternyata kekasihnya itu sudah menunggunya di sana.

“Maaf lama.”

“Nggak apa-apa kok. Aku juga baru nyampe.”

“Kamu udah pesen makan?”

“Belum, nungguin kamu.” Ucap Gibran tersenyum menunjukkan deretan giginya yang rapi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!