Kembalikan Semuanya Pada Tempatnya

Nehta memanggil seorang pelayan, lalu memesan dua porsi makanan dan minuman yang sama. Perempuan itu mengajak Gibran untuk makan terlebih dahulu, baru setelah itu mereka bicara.

Tapi sebelum Nehta benar-benar membuka mulutnya untuk bicara, dering ponselnya berbunyi.

“Hallo...?”

Entah siapa yang menelepon, tapi Gibran menangkap raut wajah Nehta seketika berubah. Perempuan itu terlihat sangat khawatir.

“Gibran maaf. Tapi aku ke rumah sakit sekarang. Kita bicara lagi nanti.” Nehta pergi dengan terburu-buru, hingga melupakan ponselnya.

Dengan langkah lebarnya, Gibran berlari mengejar Nehta yang keluar dengan terburu-buru.

“Nehta...” Panggil Gibran.

“Gibran, sekali lagi aku minta maaf. Aku buru-buru. Neneknya Reyhan kritis.” Nehta celingukan mencari taksi yang lewat.

“Ponsel kamu ketinggalan.”

Reyhan lagi... Kenapa, Ta. Kenapa selalu Reyhan atau orang-orang yang berhubungan dengannya, yang jadi prioritas utama kamu. Keluh Gibran dalam hatinya.

“Ah iya, ya ampun. Makasih ya.”

“Aku antar aja ya, sayang.”

“Aku sendiri aja, nggak apa-apa. Kamu kan harus kembali ke lokasi shooting.” Tolak Nehta.

Meskipun tidak mau di antar olehnya, tapi Gibran membantu Nehta mencari taksi. Memang agak susah mencari taksi di saat jam makan siang seperti ini. Beruntung ada taksi yang baru saja menurunkan penumpang tak jauh dari mereka berada.

“Hubungi aku kalau sudah sampai.”

“Hmmm.” Nehta menganggukkan kepalanya.

Gibran sadar, bahwa selama menjalin hubungan dengan Nehta. Perempuan itu selalu pasif, disini Gibranlah yang paling aktif dalam segala hal.

Kini taksi yang di tumpangi oleh Nehta, sudah sampai di depan lobi rumah sakit. Tanpa peduli dengan orang-orang yang menatapnya aneh, dia tetap berjalan dengan setengah berlari menuju ke kamar rawat Hanifah.

Nehta adalah orang paling terakhir yang datang kesana. Semua orang berkumpul di sana, termasuk dokter yang merawat Hanifah.

“Nenek, Nehta minta maaf. Nehta baru dateng ke sini.”

Hanifah tidak menjawab, tapi tangannya meraih tangan Nehta untuk di genggamnya bersama tangan Reyhan.

“Nenek mohon sama kalian. Kalau sampai nenek sudah nggak ada lagi, kalian harus tetap bersama.” Lirih Hanifah.

“Reyhan janji, nek.” Laki-laki itu sama sekali tidak menangis, namun wajahnya terlihat sendu.

Nehta gugup sendiri saat mendapat tatapan dari Reyhan. Laki-laki itu menatap bukan menanti jawaban, tapi seakan menyuruh Nehta juga ikut berjanji bersamanya.

“I-iya, nek. Nehta juga janji.”

Maafkan aku Gibran... Imbuhnya dalam hati.

Seolah-olah dia tengah mengkhianati hubungannya dengan Gibran.

“Makasih ya sayang, kalau begitu nenek bisa tenang menitipkan Reyhan sama kamu.”

“Reyhan, jaga Nehta baik-baik.”

Reyan mengangguk pasti. Tanpa harus berpikir lebih dahulu seperti Nehta.

“Nenek ngantuk, boleh ya nenek tidur dulu.” Perlahan, Hanifah menutup matanya dengan bibirnya masih tersenyum tipis.

Hanya terdengar detak jantung yang terdeteksi monitor yang ada di samping tempat tidur Hanifah. Meskipun semua berkumpul disana, tidak ada yang berani membuka suaranya.

Seorang dokter perempuan dengan sigap mendekat, manakala monitor tidak lagi mendeteksi detak jantung Hanifah.

Reyhan menarik tangan Nehta untuk memberi jarak pada dokter. Dengan bergesernya Nehta dan juga Reyhan, dokter perempuan tersebut naik ke atas brankar dan memulai tindakan resusitasi.

Selama resusitasi tidak ada sirukulasi spontan yang terjadi. Dokter juga bergantian melakukan tindakan, sampai keduanya kelelahan. Namun sama sekali tidak ada perubahan sedikitpun.

Karena tindakan yang di lakukan tidak membawa perubahan, maka dokter memutuskan untuk menghentikan resusitasi. Dokterpun juga menyampaikan bahwa Hanifah telah meninggal dunia.

“Hari ini pukul 13:45, nyonya Hanifah Wiratama yang berusia enam puluh tiga tahun, telah meninggal dunia. Saya mewakili pihak rumah sakit, turut berduka atas meninggalnya nyonya Hanifah.” Tutur salah satu dokter perempuan tersebut.

Dalam ruangan itu, hanya Reyhan yang tidak menangis. Matanya memerah namun, dia tetap menahan air matanya agar tidak jatuh. Bahkan seorang Haris yang terkenal dingin dan juga tegas, ikut menetes kan air matanya.

Nehta? Jangan di tanya. Perempuan itu menangis paling kencang di antara yang lainnya. Perempuan itu memeluk tubuh Hanifah yang sudah tidak bernyawa. Terbujur kaku. Tidak bisa bergerak, apalagi meredakan tangis Nehta.

Dewi dan Rasti juga ikut menangis, tapi tetap dengan tatapan sebalnya tertuju pada Nehta.

“Apa sih, lebay banget. Kita juga sama sedihnya kali.” Kesal Rasti.

“Rasti!” Pekik Reyhan.

“Bela aja terus.” Rasti melangkah keluar sambil mengentakkan kakinya, meninggalkan semua orang, kemudian di susul oleh bundanya.

“Sudah Rey. Lebih baik kita mulai urus pemakaman nenekmu, ayah juga sedih, tapi kewajiban kita adalah menyegerakan pemakamannya.” Tutur Haris.

...*****...

Tepat sebelum adzan maghrib, jenazah Hanifah sudah selesai di kebumikan. Para pelayat yang ikut mengiringi prosesi pemakaman, satu per satu meninggalkan area pemakaman. Hanya menyisakan Reyhan, Nehta dan juga Haris.

“Semoga ibu tenang di sana. Semoga Allah menempatkan ibu di sisi-Nya yang terbaik.” Haris mengusap papan nama yang ada di atas pusara ibunya.

“Rey. Ayo pulang, sebentar lagi maghrib.”

Langkah kaki Reyhan begitu berat dia ayunkan untuk meninggalkan pusara neneknya. Tapi mau bagaimanapun, dia tetap harus pulang.

Pasangan suami istri itu pulang dengan berjalan berjauhan, Nehta sengaja melakukan itu, karena dia khawatir akan ada wartawan yang mengambil gambar atau merekam kedekatan mereka.

Menyadari istrinya berjalan begitu lama, Reyhan berbalik, lalu menarik tangan Nehta agar berjalan beriringan dengannya.

“Kita pulang ke rumah utama dulu.” Ajak Reyhan dengan suara yang terdengar terselip kesedihan di sana.

“Nggak masalah.”

Entah karena seatbeltnya yang susah di pasang atau karena tubuhnya lemas. Sehingga dia harus berulang kali membenarkannya agar terpasang dengan sempurna.

Tiba-tiba tangan Reyhan menarik seatbelt yang akan di pakai Nehta, meskipun tanpa bicara, laki-laki itu memasangkan seatbelt dengan baik.

Setelah yakin tidak ada lagi masalah, Reyhan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju ke rumah utama.

Dalam tradisi keluarga mereka, tidak pernah melakukan pengajian atau yang biasa di sebut dengan tahlilan seperti orang-orang pada umumnya. Takziah hanya di lakukan saat jenazah belum di kebumikan dan berakhir setelah prosesi pemakaman selesai.

Ini adalah pertama kalinya, Nehta menginjakkan kaki di rumah utama dengan status bukan lagi sahabat tapi istrinya Reyhan.

Sejak dulu, Dewi dan juga Rasti selalu tidak suka padanya. Selama ini Nehta selalu menerka-nerka sendiri, tapi tidak kunjung menemukan jawabannya.

“Apa yang kalian lakukan?” Bentak Reyhan.

“Kenapa barang-barang milik nenek di keluarkan seperti ini? Siapa yang menyuruh kalian?” Reyhan terlihat mengetatkan rahangnya.

“Ka-kami hanya di suruh nyonya tuan muda.”

“Kembalikan semuanya pada tempatnya, jangan ada satu orang pun yang berani menyentuh barang-barang nenek!” Nada suara Reyhan naik satu oktaf.

Reyhan terkesiap, saat tangannya di genggam oleh Nehta, yang entah sejak kapan berada di sampingnya.

“Tinggalin aja bi, biar aku yang beresin semuanya.”

“Baik, nona. Kami permisi.” Kedua pelayan itu berlalu dari kamar Hanifah dengan kepala yang terus menunduk.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!