Ku Kira Ini Cinta
Angin sore berbisik pelan di tepi pantai.
Aku duduk termenung, membiarkan angin laut menyapu wajahku, membelai rambutku yang berantakan. Ombak datang dan pergi, menenangkan, seolah tahu isi hatiku yang diam-diam bergejolak.
“Maya!”
Suara itu memecah lamunanku. Aku tersentak. Kak Galih menghampiriku sambil tersenyum—senyum yang entah kenapa selalu berhasil membuat jantungku berdetak tak karuan. Di tangannya, sebotol air putih dan sekantong makanan ringan.
“Haus dan lapar, ya?” katanya sambil menyodorkan minuman. Aku hanya mengangguk, pura-pura kesal.
“Lama banget sih, Kak,” ucapku manja. Ia mencubit pipiku, lalu mengusap kepalaku dengan hangat, seperti biasa. Sikapnya sederhana, tapi cukup untuk membuatku terdiam dalam debar yang tak pernah bisa kujelaskan.
Kami memang dekat, tapi tak pernah benar-benar terikat. Tak ada janji, tak ada status. Hanya dua hati yang saling merasa tapi tak pernah saling bertanya.
“Kamu senang Kakak ajak ke sini?” tanyanya pelan, menatapku dalam. Aku mengangguk sambil meneguk air. Tapi tiba-tiba—ia merangkul pundakku.
Tubuhku menegang. Air tersedak di tenggorokan.
Kami saling menatap. Hanya beberapa detik. Tapi cukup untuk membuatku ingin berlari dari rasa yang tak kumengerti.
Ponselku berdering. Ibu.
“Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
“Maya, jangan terlalu sore ya. Hati-hati.”
Kata-kata ibu sederhana, tapi entah mengapa, rasanya seperti panggilan kembali ke kenyataan. Kak Galih memandangku selama aku bicara. Setelah kututup telepon, aku pura-pura sibuk merapikan sisa makanan.
“Calon istri yang baik, nih,” gumamnya sambil tersenyum. Aku hanya bisa membalas dengan senyum tipis, meski dalam hati, aku sudah meledak dalam rasa malu yang manis.
“Pulang, yuk. Ibumu pasti khawatir,” katanya lembut.
Aku mengangguk. Ia membantuku berdiri, menggenggam tanganku. Hangat. Lembut. Tapi buru-buru kulepaskan. Karena tak tahu apakah tangan itu memang ditujukan untukku—atau bisa juga untuk siapa pun yang lain.
---
Kami naik motor. Ia menyuruhku berpegangan, tapi aku menolak. Aku takut... takut merasa lebih dari yang seharusnya.
Sesampainya di rumah, ia masih sempat mampir, sekadar pamit.
“Assalamualaikum,” ucap kami bersamaan. Di ruang tamu, ayah, ibu, dan adikku sedang makan apel.
“Cieee,” seru Akbar, adikku, sambil mencium tangan Kak Galih dan tanganku. Kak Galih mencubit perutnya, dan aku menarik tangannya dengan malu.
“Sini dulu, ngopi,” ajak Ayah.
“Nggak usah, Om. Cuma nganter Maya aja,” jawabnya, sopan. Ia pamit, mencium tangan kedua orang tuaku, lalu menatapku… hanya dengan senyuman.
“Hati-hati ya, Kak,” kataku pelan. Ia tak menjawab, hanya memberi acungan jempol. Tapi itu cukup untuk membuat hatiku tak karuan.
---
Semua ini berawal dari sesuatu yang sederhana. Sebaris kalimat di buku latihanku saat ekstrakurikuler:
> “Menatap bintang, meski bukan pemilik malam.”
“Jawab dari tanya itu, ada pada yang bertanya.”
“Rindu bukan berarti pertemuan; bisa saja menjadi pilu.”
Aku tak mengerti maksudnya. Saat ingin bertanya, ia malah menghindar. Tapi hari itu, ia meninggalkan sepucuk surat.
> “Jangan mengejar apa yang memang bukan milikmu. Cerita akan indah jika berjalan di porosnya sendiri.”
Aku tak merasa mengejar apa pun. Tapi diam-diam, aku mulai menunggu. Menanti sesuatu yang tak pernah dijanjikan.
Lalu, tiba-tiba ia menghadangku sepulang latihan. Mengambil bukuku, dan berkata:
“Hei, jangan cuek. Siapa namamu?”
“Maya, Kak. Nama Kakak siapa?”
“Galih.”
Ia tersenyum. Lalu mencubit pipiku.
“Ih, gemes.”
Aku memukul tangannya pelan, tertawa malu. Di sanalah semuanya mulai tumbuh—pelan-pelan, tapi pasti. Lewat telepon, lewat tulisan-tulisannya di bukuku. Aku mulai nyaman, lalu tanpa sadar... berharap.
---
Tapi harapan sering kali diuji.
Hari itu, seorang perempuan datang.
“Neng, pacarnya Galih?”
“Bukan.”
“Oh, kukira pacarnya. Aku Ria. Udah dianggap adiknya.”
Aku tersenyum, menyebut diri hanya adik kelas. Tapi dalam hati, ada sesuatu yang hancur. Satu per satu tanya mulai tumbuh:
Apakah aku hanya satu dari sekian banyak yang ia perlakukan manis?
Apakah debar ini hanya khayalan?
Saat Kak Galih kembali mengelus kepalaku, aku hanya tersenyum dan menggeleng. Ia menatap wajahku, memastikan aku baik-baik saja. Aku memalingkan wajah. Lalu menepuk pipinya pelan.
Kami tertawa, tapi aku tahu... ada yang tertahan.
---
Aku dekat, tapi tak pernah digenggam.
Aku nyaman, tapi tak pernah dipastikan.
Aku rindu, tapi tak pernah dimiliki.
Dan mungkin memang begitulah caranya.
Beberapa rasa hanya dititipkan, bukan untuk dimiliki.
Beberapa pertemuan hanya datang untuk mengajari kita bagaimana cara merelakan .
Hari-hari setelah itu berjalan biasa, namun tidak benar-benar biasa. Kak Galih tetap menjadi sosok yang hadir seperti biasa—manis, perhatian, dan ringan tangan. Ia masih sering menanyakan kabarku lewat pesan singkat, menelpon malam-malam hanya untuk memastikan aku sudah makan atau belum, dan tetap menuliskan hal-hal aneh tapi manis di buku latihanku.
> “Kamu kuat, bahkan saat kamu merasa tidak.”
> “Ada hati yang mendoakan diam-diam, tanpa ingin memiliki.”
Tiap aku membaca tulisannya, jantungku berdegup. Tapi anehnya, tak pernah sekalipun ada kata “suka” apalagi “cinta”. Ia seperti berjalan di sisi perasaanku tanpa benar-benar masuk ke dalamnya.
Dan aku?
Aku mulai terbiasa dengan keberadaannya. Terbiasa dengan caranya menyapaku di pagi hari, terbiasa dengan tawanya yang ringan, bahkan terbiasa dengan diamnya saat kami duduk berdampingan tapi tak bicara. Diam-diam, aku mulai takut. Takut kalau semua ini hanya akan berhenti tanpa pernah menjadi apa-apa.
Sore itu, kami duduk di bangku taman setelah latihan. Kak Galih membawakan es teh dan roti kesukaanku. Seolah ia tahu persis apa yang kubutuhkan tanpa aku harus berkata. Ia duduk di sebelahku, sedikit lebih dekat dari biasanya.
“Kamu capek?” tanyanya.
Aku menggeleng.
“Cuma takut,” jawabku pelan.
“Takut apa?”
“Takut nyaman sama sesuatu yang nggak pasti.”
Ia diam. Tapi tangannya menepuk pelan bahuku, lalu menarikku bersandar ke lengannya. Jantungku seperti mau meledak, tapi aku diam. Ia tak berkata apa-apa. Tidak ada pernyataan cinta, tidak ada janji.
Dan entah bagaimana, itu justru membuatku makin lemah.
“Kak Galih…”
“Hm?”
“Kenapa baik banget sama aku?”
Ia tertawa pelan.
“Kenapa? Nggak boleh, ya?”
Aku menggeleng, menunduk.
“Takut aja… nyaman sama orang yang nggak pernah bilang apa-apa.”
Ia menatapku. Lama.
Lalu mengusap kepalaku seperti biasa.
“Kadang nggak semua hal harus diucapin, May.”
“Tapi nggak semua hati juga bisa terus nebak, Kak,” balasku pelan.
Kami diam. Angin sore mengisi kekosongan kata-kata yang tak mampu kami ucapkan.
Hari itu, aku tahu—aku menyukai Kak Galih. Bukan karena kata-katanya. Tapi karena caranya membuatku merasa penting, bahkan saat ia tak menjanjikan apa pun.
Dan aku juga tahu, mungkin ini akan menjadi kisah yang tak pernah selesai. Tapi... aku tetap memilih diam, karena entah kenapa, dalam diam bersamanya... aku merasa paling hidup.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Amelia
semangat aku mampir Thor ❤️👍
2024-07-25
1