NovelToon NovelToon

Ku Kira Ini Cinta

Apa yang kurasa ?

Angin sore berbisik pelan di tepi pantai.

Aku duduk termenung, membiarkan angin laut menyapu wajahku, membelai rambutku yang berantakan. Ombak datang dan pergi, menenangkan, seolah tahu isi hatiku yang diam-diam bergejolak.

“Maya!”

Suara itu memecah lamunanku. Aku tersentak. Kak Galih menghampiriku sambil tersenyum—senyum yang entah kenapa selalu berhasil membuat jantungku berdetak tak karuan. Di tangannya, sebotol air putih dan sekantong makanan ringan.

“Haus dan lapar, ya?” katanya sambil menyodorkan minuman. Aku hanya mengangguk, pura-pura kesal.

“Lama banget sih, Kak,” ucapku manja. Ia mencubit pipiku, lalu mengusap kepalaku dengan hangat, seperti biasa. Sikapnya sederhana, tapi cukup untuk membuatku terdiam dalam debar yang tak pernah bisa kujelaskan.

Kami memang dekat, tapi tak pernah benar-benar terikat. Tak ada janji, tak ada status. Hanya dua hati yang saling merasa tapi tak pernah saling bertanya.

“Kamu senang Kakak ajak ke sini?” tanyanya pelan, menatapku dalam. Aku mengangguk sambil meneguk air. Tapi tiba-tiba—ia merangkul pundakku.

Tubuhku menegang. Air tersedak di tenggorokan.

Kami saling menatap. Hanya beberapa detik. Tapi cukup untuk membuatku ingin berlari dari rasa yang tak kumengerti.

Ponselku berdering. Ibu.

“Assalamualaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

“Maya, jangan terlalu sore ya. Hati-hati.”

Kata-kata ibu sederhana, tapi entah mengapa, rasanya seperti panggilan kembali ke kenyataan. Kak Galih memandangku selama aku bicara. Setelah kututup telepon, aku pura-pura sibuk merapikan sisa makanan.

“Calon istri yang baik, nih,” gumamnya sambil tersenyum. Aku hanya bisa membalas dengan senyum tipis, meski dalam hati, aku sudah meledak dalam rasa malu yang manis.

“Pulang, yuk. Ibumu pasti khawatir,” katanya lembut.

Aku mengangguk. Ia membantuku berdiri, menggenggam tanganku. Hangat. Lembut. Tapi buru-buru kulepaskan. Karena tak tahu apakah tangan itu memang ditujukan untukku—atau bisa juga untuk siapa pun yang lain.

---

Kami naik motor. Ia menyuruhku berpegangan, tapi aku menolak. Aku takut... takut merasa lebih dari yang seharusnya.

Sesampainya di rumah, ia masih sempat mampir, sekadar pamit.

“Assalamualaikum,” ucap kami bersamaan. Di ruang tamu, ayah, ibu, dan adikku sedang makan apel.

“Cieee,” seru Akbar, adikku, sambil mencium tangan Kak Galih dan tanganku. Kak Galih mencubit perutnya, dan aku menarik tangannya dengan malu.

“Sini dulu, ngopi,” ajak Ayah.

“Nggak usah, Om. Cuma nganter Maya aja,” jawabnya, sopan. Ia pamit, mencium tangan kedua orang tuaku, lalu menatapku… hanya dengan senyuman.

“Hati-hati ya, Kak,” kataku pelan. Ia tak menjawab, hanya memberi acungan jempol. Tapi itu cukup untuk membuat hatiku tak karuan.

---

Semua ini berawal dari sesuatu yang sederhana. Sebaris kalimat di buku latihanku saat ekstrakurikuler:

> “Menatap bintang, meski bukan pemilik malam.”

“Jawab dari tanya itu, ada pada yang bertanya.”

“Rindu bukan berarti pertemuan; bisa saja menjadi pilu.”

Aku tak mengerti maksudnya. Saat ingin bertanya, ia malah menghindar. Tapi hari itu, ia meninggalkan sepucuk surat.

> “Jangan mengejar apa yang memang bukan milikmu. Cerita akan indah jika berjalan di porosnya sendiri.”

Aku tak merasa mengejar apa pun. Tapi diam-diam, aku mulai menunggu. Menanti sesuatu yang tak pernah dijanjikan.

Lalu, tiba-tiba ia menghadangku sepulang latihan. Mengambil bukuku, dan berkata:

“Hei, jangan cuek. Siapa namamu?”

“Maya, Kak. Nama Kakak siapa?”

“Galih.”

Ia tersenyum. Lalu mencubit pipiku.

“Ih, gemes.”

Aku memukul tangannya pelan, tertawa malu. Di sanalah semuanya mulai tumbuh—pelan-pelan, tapi pasti. Lewat telepon, lewat tulisan-tulisannya di bukuku. Aku mulai nyaman, lalu tanpa sadar... berharap.

---

Tapi harapan sering kali diuji.

Hari itu, seorang perempuan datang.

“Neng, pacarnya Galih?”

“Bukan.”

“Oh, kukira pacarnya. Aku Ria. Udah dianggap adiknya.”

Aku tersenyum, menyebut diri hanya adik kelas. Tapi dalam hati, ada sesuatu yang hancur. Satu per satu tanya mulai tumbuh:

Apakah aku hanya satu dari sekian banyak yang ia perlakukan manis?

Apakah debar ini hanya khayalan?

Saat Kak Galih kembali mengelus kepalaku, aku hanya tersenyum dan menggeleng. Ia menatap wajahku, memastikan aku baik-baik saja. Aku memalingkan wajah. Lalu menepuk pipinya pelan.

Kami tertawa, tapi aku tahu... ada yang tertahan.

---

Aku dekat, tapi tak pernah digenggam.

Aku nyaman, tapi tak pernah dipastikan.

Aku rindu, tapi tak pernah dimiliki.

Dan mungkin memang begitulah caranya.

Beberapa rasa hanya dititipkan, bukan untuk dimiliki.

Beberapa pertemuan hanya datang untuk mengajari kita bagaimana cara merelakan .

Hari-hari setelah itu berjalan biasa, namun tidak benar-benar biasa. Kak Galih tetap menjadi sosok yang hadir seperti biasa—manis, perhatian, dan ringan tangan. Ia masih sering menanyakan kabarku lewat pesan singkat, menelpon malam-malam hanya untuk memastikan aku sudah makan atau belum, dan tetap menuliskan hal-hal aneh tapi manis di buku latihanku.

> “Kamu kuat, bahkan saat kamu merasa tidak.”

> “Ada hati yang mendoakan diam-diam, tanpa ingin memiliki.”

Tiap aku membaca tulisannya, jantungku berdegup. Tapi anehnya, tak pernah sekalipun ada kata “suka” apalagi “cinta”. Ia seperti berjalan di sisi perasaanku tanpa benar-benar masuk ke dalamnya.

Dan aku?

Aku mulai terbiasa dengan keberadaannya. Terbiasa dengan caranya menyapaku di pagi hari, terbiasa dengan tawanya yang ringan, bahkan terbiasa dengan diamnya saat kami duduk berdampingan tapi tak bicara. Diam-diam, aku mulai takut. Takut kalau semua ini hanya akan berhenti tanpa pernah menjadi apa-apa.

Sore itu, kami duduk di bangku taman setelah latihan. Kak Galih membawakan es teh dan roti kesukaanku. Seolah ia tahu persis apa yang kubutuhkan tanpa aku harus berkata. Ia duduk di sebelahku, sedikit lebih dekat dari biasanya.

“Kamu capek?” tanyanya.

Aku menggeleng.

“Cuma takut,” jawabku pelan.

“Takut apa?”

“Takut nyaman sama sesuatu yang nggak pasti.”

Ia diam. Tapi tangannya menepuk pelan bahuku, lalu menarikku bersandar ke lengannya. Jantungku seperti mau meledak, tapi aku diam. Ia tak berkata apa-apa. Tidak ada pernyataan cinta, tidak ada janji.

Dan entah bagaimana, itu justru membuatku makin lemah.

“Kak Galih…”

“Hm?”

“Kenapa baik banget sama aku?”

Ia tertawa pelan.

“Kenapa? Nggak boleh, ya?”

Aku menggeleng, menunduk.

“Takut aja… nyaman sama orang yang nggak pernah bilang apa-apa.”

Ia menatapku. Lama.

Lalu mengusap kepalaku seperti biasa.

“Kadang nggak semua hal harus diucapin, May.”

“Tapi nggak semua hati juga bisa terus nebak, Kak,” balasku pelan.

Kami diam. Angin sore mengisi kekosongan kata-kata yang tak mampu kami ucapkan.

Hari itu, aku tahu—aku menyukai Kak Galih. Bukan karena kata-katanya. Tapi karena caranya membuatku merasa penting, bahkan saat ia tak menjanjikan apa pun.

Dan aku juga tahu, mungkin ini akan menjadi kisah yang tak pernah selesai. Tapi... aku tetap memilih diam, karena entah kenapa, dalam diam bersamanya... aku merasa paling hidup.

---

Rasa Nyaman

Hari demi hari kulewati bersamanya. Rasanya, untuk memulai kisah dengan orang lain seakan mustahil—seolah perasaanku telah berhenti pada Kak Galih. Sementara dirinya, tak pernah berkata apa-apa tentang rasa, tentang arah, atau bahkan tentang hubungan apa yang sebenarnya kami jalani.

Tanpa kusadari, kedekatan itu tumbuh. Kak Galih menjadi rumah, menjadi tempat segala resahku berlabuh. Ia memberiku ketenangan, menjadi pendengar yang tak pernah menghakimi. Aku terlalu nyaman... terlalu dalam berada di sisinya.

"Maya, bagaimana menurutmu?" tanyanya sambil menunjukkan hasil jepretan dari kameranya. Kami tengah duduk di taman dekat rumahku, di antara semilir angin dan daun-daun yang gugur.

"Bagus sih, Kak. Tapi kenapa cuma memotret dahan yang jatuh?" tanyaku penasaran. Ia hanya tersenyum kecil dan mengusap kepalaku lembut.

"Jangan salahkan dahan yang jatuh, juga jangan salahkan angin yang meniupnya," ucapnya sembari memungut dahan itu.

"Ish, Kak Galih! Aku serius nanya!" ucapku kesal, karena jawabannya seperti puisi yang menyembunyikan makna.

"Aku juga serius, Maya. Di mana salahku?" katanya sambil mencubit pipiku. Aku memanyunkan bibir, kesal sekaligus gemas.

"Sudahlah," jawabku singkat. Karena apapun yang kukatakan, dia selalu punya cara untuk menang dengan kata-katanya.

"Ayo," katanya sembari menggenggam tanganku, membawaku berjalan menyusuri taman. Tangannya hangat, ayunan langkah kami seirama. Aku tersenyum, dan ia juga. Sesekali aku mencuri pandang padanya—wajah yang terasa begitu dekat namun tetap saja asing. Wajah yang kurindukan bahkan saat bersamanya.

Tanpa kusadari, ia memergoki tatapanku. Ia hanya tersenyum sambil memandang ke langit.

Aku sadar, aku tak punya hak apa-apa atas dirinya. Tapi... mengapa perasaanku begitu kuat? Rasa ini berbeda. Jauh berbeda dari yang pernah ada.

"Maya, kamu nggak apa-apa?" tanyanya tiba-tiba, menghentikan langkahnya.

"Maksudnya?" tanyaku kembali, bingung.

"Nggak, cuma... aku ingin tahu kamu baik-baik saja. Kalau ada yang mengganggumu, bilang ya." ucapnya, lalu memetik bunga kecil dan menyodorkannya padaku. Tangannya melepas genggamanku, dan ia berjalan mendahului. Duduk di bangku taman, menungguku dengan sabar. Sikapnya... manis sekali. Terlalu manis.

> Bagaimana aku tidak jatuh cinta?

Setiap kalimatnya menyentuh, setiap tatapan menenangkan.

Saat jauh, aku rindu. Saat dekat, aku tak ingin waktu bergerak.

Tuhan… apa ini cinta? Atau hanya rasa nyaman yang menyesatkan?

Seperti menatap bintang, meski tahu aku tak pernah memiliki malamnya.

Aku berjalan perlahan, memandangi bunga di tanganku. Kak Galih menengok ke belakang, tersenyum seperti biasa—hangat, tulus, dan penuh ketenangan.

"Maya, kamu dari tadi melamun. Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya, menatapku dalam.

"Aku nggak mikir apa-apa..."

"Kamu pernah bilang punya kisah yang belum selesai. Kamu masih memikirkannya?" tanyanya lembut.

"Tahu nggak, Maya? Kita nggak perlu memiliki untuk menikmati. Seperti bintang, kita cukup memandang. Tapi... kadang, rasa itu keliru. Kita pikir bintang itu milik kita, padahal tidak.”

Kata-katanya seperti angin yang membuka luka yang nyaris sembuh. Aku ingin bicara. Tapi bibirku bisu.

"Kak Galih, jangan bahas masa lalu lagi, ya?" pintaku sambil menggenggam tangannya.

"Sekarang giliran Kakak cerita masa lalu Kakak." godaku, mencoba mencairkan suasana.

"Yang sudah berlalu, biarlah. Cukup aku yang simpan," jawabnya, tangannya kembali mengusap kepalaku. Ia memalingkan wajahnya.

"Terima kasih ya, Maya. Karena sudah mau menerimaku. Ketulusanmu... sangat berarti. Kamu itu baik, dan kamu pantas mendapatkan yang terbaik."

Aku tak bisa menahan air mataku. Kalimat itu... menyentuh sesuatu dalam hatiku yang paling dalam.

"Kenapa Maya? Yah, cengeng," ledeknya sambil menyeka air mataku dengan lembut.

"Kenapa harus yang terbaik? Kenapa bukan jadi terbaik bersama-sama?" jawabku sambil menangis. Kata-katanya mengingatkanku pada Bayu, pada lelaki-lelaki yang mengucap hal serupa... lalu pergi.

"Apa aku harus jadi nakal dulu? Supaya ada yang benar-benar mencintaiku tanpa syarat?" ucapku geram, antara marah dan luka yang belum sembuh.

Kak Galih hanya menatapku. Lama. Lalu tersenyum kecil, dan memelukku.

"Hei, adik kecilku Maya... semua akan indah pada waktunya."

"Adik?" hatiku berteriak. Adik? Aku cukup dewasa untuk memahami rasa, cukup dewasa untuk mengerti bahwa yang kujalani dengannya bukan hubungan biasa. Tapi aku hanya menangis. Sialnya... pelukannya begitu nyaman. Terlalu nyaman.

Namun aku sadar, pelukan itu tak boleh lama. Aku buru-buru melepas diri dan menghapus air mataku.

"Kak Galih, aku membuatmu marah?" tanyanya serius.

"Bukan, Kak... aku hanya... ingat luka-luka kecil yang entah kenapa terasa besar malam ini. Aku baik dibenci saat salah, aku dilupakan saat terlalu baik..." ucapku, menarik napas dalam-dalam.

"Kenapa aku bercerita sejauh ini padanya? Kenapa rasa nyaman ini membuatku begitu terbuka?" batinku. Kak Galih tak menjawab. Ia hanya tersenyum dan menggenggam tanganku lagi.

"Ayo pulang. Di jalan, Kakak belikan es krim ya," ucapnya sambil mengelus punggung tanganku.

Dan aku pun melangkah bersamanya. Hanya satu pikiran yang menggangguku:

> Untungnya ia belum memiliki kekasih. Aku pun belum.

Mungkin itulah sebabnya kami sedekat ini.

Tapi aku tahu… rasa nyaman tak bisa dibatasi. Ia bisa tumbuh menjadi cinta,

atau hancur menjadi luka.

Aku belum tahu…

Aku belum punya jawabannya.

(Disisi Lain , dan sudut pandang yang lain

Tanpa kami sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan dari kejauhan. Di balik rindangnya pohon flamboyan, seorang pria berdiri—diam, tak bersuara, namun tatapannya penuh cerita.)

Dani.Teman sekelas Maya yang tidak ada satu pun yang menyadari tentang perannya di dalam kelas atau di kehidupannya sendiri ,

Ia menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, tangan di saku, mata tak pernah lepas dari sosok Maya yang tertawa kecil bersama Galih. Senyuman yang selama ini hanya bisa ia bayangkan, kini nyata—tapi bukan untuknya.

"Ternyata kamu masih seperti dulu, Maya... mudah tertawa, mudah menangis. Tapi sekarang, ada dia yang memelukmu saat kamu lemah," gumam Dani lirih.

Langkah mereka menjauh. Tawa Maya terdengar samar. Dani masih berdiri di sana, menahan getir yang perlahan menyusup ke dadanya.

"Aku terlambat, ya?" tanyanya pada angin yang berhembus.

Ia menghela napas, menunduk sejenak, lalu berjalan perlahan ke arah berlawanan. Setiap langkahnya seperti membawa beban yang tak sempat ia lepaskan sejak dulu.

Hari itu, bukan hanya Maya yang tak menemukan jawaban atas perasaannya. Tapi juga Dani, yang menyadari bahwa kesempatan itu mungkin telah lewat... sebelum ia sempat menyapa kembali.

Dani Harus berpura pura tidak ada apa apa di depan semua nya , bersikap seperti teman sebaya nya agar tidak ada rasa canggung di dalam menjalin pertemanan tentu agar bisa selalu di dekat teman teman terkasih nya ,

---

tak ingin jauh .

Waktu perpisahan kelas akan segera terlaksana hingga saat itu mungkin aku masih bisa bertemu dengan kak galih , kak galih adalah pelatih pencak silat ekstrakurikuler di sekolah ku , aku hanya dekat dengannya dan mulai merasakan kenyamanan padanya rasa nya bagaimana aku sendiri pun tidak tahu .

aku mulai dekat dengannya mungkin saat kelas sebelas , karena kelas dua belas jarang ikut kelas aku bertemu dengannya diluar jam sekolah entahlah mungkin karena di jantan dia selalu datang ke rumahku .

tak sengaja aku melihat di jendela kak galih sedang berjalan bersama Sheila teman sekelas ku , tertawa bersama , dan aku baru tahu bahwa mereka sedekat itu .

cemburu tidak mungkin aku justru bahagia melihat kak galih tertawa bahagia seperti itu .

"Maya itu kak Galih sama Sheila " ledek Dani teman sekelas ku yang lain . aku membalasnya dengan tersenyum dan kembali ke bangku untuk menulis .

"Lagu ini aku persembahkan untuk Maya teman kita " ucap Dani sembari duduk di depan bangku ku dan yang lain bersorak tepuk tangan .

"Biarkan waktu teruslah berputar

Mencintai kamu penuh rasa sabar

Meski sakit hati ini kau tinggalkan

Ku ikhlas tuk bertahan

Cintaku padamu begitu besar

Namun kau tak pernah bisa merasakan

Meski sakit hati ini kau tinggalkan

Ku ikhlas tuk bertahan

Kau meninggalkanku tanpa perasaan

Hingga ku jatuhkan air mata

Kekecewaan ku sungguh tak berarah

Biarkan ku harus bertahan

Jangan pernah kau coba untuk berubah

Tak relakan yang indah hilanglah sudah

Jangan pernah kau coba untuk berubah

Tak relakan yang indah hilanglah sudah" Dani menyanyi sambil memetik gitar yang ada di kelas Dani bernyanyi lagu ST12 yang berjudul jangan pernah berubah aku yang tadi nya duduk tegap berpura pura tidur di bangku sementara tak sadar air mata mengalir seakan lirik itu adalah ungkapan hatiku .

"sudahlah Maya tak usah menangis biar aku yang bilang ke kak galih ya , jangan selingkuh gitu ya " ucap Dani meledek sambil tertawa .

"Dani , siapa juga yang pacaran sama kak galih aku hanya berteman biasa sudahlah jangan menyebar berita yang tidak tidak , sana kembali lagi ke bangku mu " ucapku marah pada Dani , Dani pergi meninggalkanku dan menuju bangku nya sementara dia memberikan air minum kepadaku dan menepuk pundak ku

"kenapa aku harus menangis mendengar lagu itu , kenapa aku harus marah pada Dani seakan mengiyakan bahwa aku memang cemburu pada Sheila karena dekat dengan Kak Galih " lirih ku dalam hati , sementara saat melamun datang ke kelas sembari tersenyum manis sesekali melirik padaku , menyunggingkan bibirnya , dan lantas berbincang dengan teman yang lainnya sambil tertawa terbahak bahak . aku semakin penasaran kenapa harus tertawa sambil sesekali melihatku .

saat hendak pergi dan menanyakan sikap nya tanganku di tarik Dani dan Dani menggelengkan kepalanya dan menyuruhku untuk duduk .

"sudah Maya tak usah ke sana , yang perlu kamu tanya kak galih , tapi untuk apa bertanya juga biarkan lah kamu pantas bahagia " ucap Dani seakan paham apa yang ada di benakku , mendengar ucapan Dani tak terasa air mataku menetes bahkan mungkin aku menangis Dani menyimpan jari telunjuk nya di mulutnya untuk mengisyaratkan tidak terlalu keras , lantas Dani menutup kepala ku dengan jaket yang ia pakai agar tak terlihat oleh orang lain , Dani meninggalkan ku sendiri , ia pergi ke bangku para laki laki sedang bernyanyi .

Sepulang sekolah aku mampir ke tempat biasa kak galih ada , kak Galih menghampiri ku dan seperti biasa mengelus kepalaku .

"kenapa Maya kok cemberut ? " tanya kak galih , aku baru menyadarinya sebenarnya tak perlu aku bersikap seperti itu , aku menggelengkan kepala dan tersenyum .

"aku duluan ya kak Galih , aku di tunggu ibuku katanya mau pergi ke rumah nenekku " ucapku pada kak galih sembari tersenyum padanya .

"Baiklah , hati hati dijalan adik " ucap Kak Galih anehnya kenapa dia tidak menawariku untuk di antar ? bahkan akhir akhir ini saja dia memanggilku adik , aku hanya membalasnya dengan tersenyum dan kak galih melihat aku pulang sembari melambaikan tangannya .

"apa ini , ini terasa canggung sekali aku tak ingin mulai jauh dari kak galih biarkan sebatas kakak adik saja asal jangan terasa menjauh " lirih ku dalam hati sembari memukul kepalaku ,

"Maya ayo pulang " bunyi motor Dani mengagetkan ku aku tidak butuh lama aku naik ke motor Dani agar cepat cepat pulang dari pada harus menunggu ojek online menyita waktu yang cukup lama .

"Sudah sampai ya Maya " ucap Dani kepadaku , aku tak menyadari nya segera aku turun dari motornya dan tak sengaja aku terjatuh saat hendak turun .

"terima kasih Dani untuk hari ini " ucapku pada Dani sembari tersenyum Dani mengacungkan jempolnya dan beranjak pergi dari rumah .

"salam ke ibu , ayahmu ya " ucapnya sembari pergi aku menjawabnya dengan anggukan kepala dan tersenyum .

"Assalamualaikum" ucapku masuk ke rumah tapi Ayah , ibu dan adikku sedang packing untuk persiapan ke rumah nenekku menghabiskan weekend bersama nenekku .

"wa'alaikumsalam" ucap mereka berbarengan sementara masih sibuk dengan kegiatan yang ada.

aku bergegas mandi dan ganti baju agar tidak terlalu malam sampai rumah nenekku . aku baru ingat perjalanan ke rumah nenekku melewati rumah Kak Galih lagi lagi aku tersenyum mengingat kembali kak galih .

"Kaka ini kak Galih telpon , " teriak adikku aku kaget karena baru sadar handphone ku tidak ada di saku ku dan bergegas mengambil handphone di ruang Keluarga , sementara adikku menggeliatkan matanya sambil bibirnya tersungging , aku membalas nya dengan senyum tiga jari .

"iya kak ada apa ?" tanyaku langsung saat mengangkat telpon dari kak galih .

"Hati hati ya di jalannya , berapa hari ?" tanya kak galih padaku membuatku berbunga kembali dan lupa bahwa kak galih mulai dekat dengan Sheila .

"Minggu malam pulang lagi kak , iya siap Terima kasih " ucapku sambil menggigit jari telunjukku .

"ya sudah , " ucap kak galih terhenti .

" jangan berubah ya kak " Ucapku memotong ucapan kak galih , dan seketika menetes lah air mataku .

"jangan menjauh pula " lirihku pada kak Galih terdengar suara senyum kecil dari kak galih .

"iya" lirih nya " sudah tutup dulu ya , ada kegiatan lain nih " ucapnya aku menjawabnya nya dengan suara mulut saja .

lagi lagi aku melamun seharusnya tak ku ucapkan kata seperti itu , itu akan membuatnya risih . aku mengacak acak rambutku dan menghentakkan kaki ke lantai .

" ayo , kak siap belum " ucap adikku mengagetkan ku , aku menjawab nya dengan anggukan kepalanya dan mengisyaratkan untuk segera pergi dulu keluar .

Aku hanya takut akan ada jarak nantinya , bukan lagi tentang perasaan namun Rasa itu sendiri , aku hanya ingin bersikap seperti biasanya tetap merasakan kenyamanan , dan. ketenangan . aku menunggu nya mengungkapkan rasanya , namun sepertinya bukan rasa yang didapati melainkan jarak yang akan di dapat , hanya tak ingin menjauh dengan siapapun .

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!