Setelah pengumuman kelulusan selesai, kami berfoto bersama Bu Wali Kelas—dalam tangannya tergenggam surat-surat yang menjadi tanda bahwa perjuangan kami di bangku SMA telah resmi usai. Satu per satu kami menerima surat itu, seolah menerima undangan menuju dunia baru yang belum kami kenal. Sesi foto berakhir, dan bersama Bu Wali, kami berjalan ke lapangan sekolah, menyambut wejangan terakhir dari Pak Kepala Sekolah. Kami melangkah riang, namun hatiku... tak ikut tertawa.
Semua tampak berseri. Gelak tawa memenuhi udara. Tapi di balik senyumanku, luka diam-diam berdiam. Haruskah aku mengejar penjelasan yang tak pernah datang? Haruskah aku menuntut kejelasan dari rasa yang bahkan tak pernah disebutkan? Kak Galih melintas di hadapanku seperti angin lalu. Tanpa sapa. Tanpa lirih "selamat." Hanya langkah angkuh yang menjauh tanpa kata.
Kata orang, Kak Galih akan segera dilantik menjadi guru olahraga—bukan lagi pelatih pencak silat. Aku ingin mengucapkan selamat. Tapi, untuk apa... jika tatapannya pun tak sudi singgah padaku? Aku hanya diam, menahan gejolak yang menyesak.
“Assalamualaikum, murid-murid angkatan terbaik tahun ini...” suara Pak Kepala Sekolah menggema dari podium, menggetarkan suasana lapangan yang semarak.
“Wa’alaikumsalam,” jawab kami kompak, berdiri rapi di bawah matahari yang mulai garang. Tapi bukan sinarnya yang menyakitkan, melainkan kenyataan yang perlahan menyisihkan ruang hatiku.
“Selamat atas kelulusan kalian. Dunia nyata kini menanti. Bagi yang melanjutkan ke universitas, semangatlah menuntut ilmu. Bagi yang memilih bekerja, semangatlah membangun masa depan. Jangan lupakan sekolah ini—tempat pertama kalian menggantung cita-cita di langit.” Suara beliau menggema, ditelan angin dan hati yang penuh kenangan.
Kami bersorak, bersorai, sementara aku—sekali lagi—menyeka air mata yang tak semestinya hadir dalam pesta kebahagiaan.
“Jangan lupa datang ke pentas seni minggu depan, ya! Pulang dari sini pawai, bukan?” seru beliau.
“Iyaaaaa!” teriak kami serempak, seperti anak-anak kecil yang menolak lepas dari pelukan sekolah ini.
Pak Kepala Sekolah menutup pidatonya, dan murid-murid mulai berhamburan—berfoto, menjerit bahagia, memeluk, dan menertawakan perpisahan yang manis-pahit.
“Maya, sini foto!” seru Dani, menarik tanganku. Aku terkejut, lalu tersenyum kecil. Setelah foto, tiba-tiba Tina menyemprotkan pilok ke bajuku. Tawa kami pecah bersama, menghapus sejenak luka yang diam-diam menyelinap.
Kami menulis tanda tangan di baju putih—simbol dari persahabatan yang ingin diabadikan. Spidol dan pilok menjadi senjata, dan rambutku yang semula tergerai kini kuikat agar tak terkena noda warna-warni itu.
“Maaf ya, Maya...” bisik Dani tiba-tiba. Sebelum sempat aku bertanya, ia mengecup keningku ringan. Aku tercekat. Yang lain bersorak dan tertawa, sementara Dani berlari ke parkiran, bersiap untuk pawai.
“Gak apa-apa lah Maya, bercanda. Lagi kelulusan ini,” ujar Tina sambil tertawa melihat wajahku yang merah padam dan kesal, buru-buru mengusap bekas ciuman yang tak kuinginkan tapi juga tak bisa kuingkari.
Aku menarik tangan Tina—kesal, malu, bingung. Tapi langkahku tetap melaju. Di tengah sorak pawai dan gemuruh tawa, aku tahu... ada bagian dari hatiku yang belum selesai dengan Kak Galih.
Namun hari ini, yang selesai hanyalah masa SMA. Bukan perasaan. Bukan luka. Dan mungkin... bukan harapan.
Tina menarik tanganku, seperti ingin menutupi mataku dari sesuatu yang tak ingin kulihat. Aku mendongak, kedua alisku bertaut, penuh tanda tanya.
“Kita lewat depan saja, yuk… belakang terlalu ramai,” ucapnya cepat, mencoba terdengar biasa, meski suaranya gemetar.
“Ada apa, Tin?” tanyaku curiga. Tapi sebelum jawaban meluncur, mataku menangkapnya sendiri—potongan kenyataan yang bahkan tak sempat diperingatkan oleh hati.
Kak Galih… memeluk Sheila, di tengah tawa dan jepretan kamera, seolah dunia milik mereka berdua. Tina hanya bisa tertunduk, kecewa pada dirinya sendiri karena gagal menutupi luka yang sudah terlanjur terlihat olehku.
“Ayolah, tak apa, Tin. Aku sungguh tidak apa-apa dengan Kak Galih…” ucapku pelan, mencoba menenangkan dirinya sekaligus diriku sendiri. Aku merangkulnya, memaksa kaki melangkah menuju pintu belakang, membuktikan bahwa aku masih bisa berpura-pura kuat.
Saat melewati mereka, aku menebar senyum dan ucapan selamat kepada Sheila dan teman-teman. Tapi kepada Kak Galih—aku tak memberi apapun, bahkan tidak sekilas pandang. Aku hanya berjabat tangan dengan Sheila, dan saat itu tatapan Kak Galih mengiris tajam ke arahku, penuh tanya yang tak berani aku jawab.
“Ayo, teman-teman! Kita pawai! Nanti kumpul di restoran dekat alun-alun kota, udah dipesan tempatnya. Jangan lupa pakai helm, ya!” seruku lantang, berusaha menyibukkan diriku dengan peran yang harus tetap dijalani.
Mereka membalas dengan tawa dan anggukan, Sheila tersenyum kecil sambil menggenggam tangan Kak Galih erat—milik yang kini jelas bukan untukku.
“Maya, are you okay?” tanya Tina saat kami berjalan menuju motor.
“I’m okay, Tin,” jawabku pelan, lalu menyodorkan kunci motor untuk dia bawa. Tanganku yang lain masih menggenggam pundaknya—berpegangan pada satu-satunya hal yang masih membuatku merasa tak sendiri.
“Bismillahirrahmanirrahim. Semoga pawainya menyenangkan. Hati-hati semua, sampai ketemu di restoran, ya!” seru Dani dari tengah kerumunan. Mesin motor mulai menyala, suara klakson bersahutan, menciptakan simfoni perpisahan yang gaduh tapi menghangatkan.
“Maya, kamu gak apa-apa kan kalau aku ngebut? Biar seru,” kata Tina dengan mata menatap spion.
Aku hanya mengangguk. Mungkin dari cermin kecil itu, Tina melihat luka yang tak sempat kusembunyikan. Maka, ia melajukan motor lebih cepat—seolah ingin membiarkan angin membantu menghapus air mataku.
“Ya Allah…” teriakku tiba-tiba, tangisku pecah, menggema dalam kebisingan jalan. Aku menangis sekencang-kencangnya, tak lagi peduli siapa yang mendengar.
“Aku terluka, Tina!” seruku sambil mengangkat tangan, mencoba melemparkan perihku ke udara. Udara yang penuh dengan semprotan pilok warna-warni, seolah ingin menyembunyikan luka dengan warna semu.
Aku menangis seperti anak kecil. Tangisan yang datang dari hati yang tak tahu harus berbuat apa dengan luka yang tak pernah dijelaskan. Kak Galih, jika memang ada kisah dengan Sheila, mengapa kau menjadikanku musuh? Mengapa luka ini hadir dari seseorang yang tak pernah kuanggap mampu menyakitiku?
Setelah lebih dari satu jam berkeliling kota, akhirnya kami sampai di restoran dekat alun-alun. Tangisanku telah mengering, menyisakan sembab di kelopak mata yang tak bisa berdusta. Di tengah tawa dan obrolan teman-teman, aku menoleh—mencari… dan menemukannya.
Sheila.
Ia memakai jaket kulit hitam milik Kak Galih, jaket yang biasa ia gunakan saat menjemputku dulu. Kali ini, jaket itu melindungi tubuh orang lain. Dan aku… hanya diam, sekali lagi membiarkan air mataku meluncur diam-diam.
Inikah awal baruku—berangkat dari luka yang tak pernah diberi alasan? Kepastian yang tak pernah sempat dimulai? Kenyamanan yang diberi, tapi lalu ditarik tanpa pamit?
Jika ini akhir kisahnya, biarlah aku mundur. Jika memang ada cinta yang harus direngkuh oleh Sheila, biarlah aku menjauh dengan tenang. Aku hanya ingin satu: jangan jadikan aku asing. Jangan jadikan aku luka.
Aku tak butuh menjadi kekasih, cukup jadi kenangan baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments