Hari Senin datang lagi, dengan segala ketegangan yang mengiringinya. Pagi itu, aku bergegas menuju sekolah dengan langkah cepat, karena hari ini adalah hari pengumuman kelulusan. Seperti biasa, aku sarapan bersama keluarga—ibu, ayah, dan adikku, Adit—sebelum meninggalkan rumah.
"Maya, sekarang pengumuman kelulusan, ya?" tanya ayah, suaranya penuh perhatian sambil meneguk kopi yang ibu siapkan dengan penuh kasih. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala, mencoba menenangkan diri, meskipun jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya.
"Adit, nanti SMA di almamater Kak Maya saja, ya?" Ayah menatap Adit dengan tatapan yang hangat, seolah merencanakan masa depan kami dengan penuh harapan. Adit, yang biasanya ceria, tiba-tiba tampak ragu.
"Ayah, aku ingin masuk SMK saja. Aku mau fokus di satu bidang, meskipun tahu ini akan sulit," jawab Adit dengan suara pelan, mengungkapkan pilihan yang selama ini ia simpan dalam diam. Ayah mengangguk, senyumnya tak lepas, meskipun ada keharuan di matanya.
"Iya, Adit. Kamu boleh memilih apapun yang kamu inginkan. Tapi, ingat, kamu harus bertanggung jawab atas pilihanmu. Kamu laki-laki, jadi harus siap menghadapi segala konsekuensinya." Ayah berbicara dengan tegas, namun ada kelembutan yang menyelip di dalam kata-katanya. Adit tersipu malu, sementara aku hanya bisa merenung, mendengar kata-kata itu.
"Kak, hati-hati ya. Kalau ikut pawai kelulusan, jangan berlebihan," pesan ibuku sambil mengelus rambutku, sebuah perhatian yang terasa begitu dalam. Aku membalasnya dengan anggukan kepala, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menyelinap dalam hati.
"Tapi, satu minggu ini, Kak... Kak Galih nggak antar jemput Kakak, ada apa?" tanya Adit tiba-tiba, membuatku berhenti makan dan langsung meneguk minuman yang ada di depan. Semua mata kini tertuju padaku. Ayah dan ibu menatapku dengan penuh harap, sementara jantungku terasa terhimpit.
"Iya, terus? Emang kenapa? Kak Galih itu bukan pacar, kan? Kalau dia nggak antar jemput, ya sudah, berarti dia lagi sibuk," jawabku dengan ketus, berusaha menutupi sesuatu yang mulai pecah dalam dadaku. Semua orang tertawa, tapi aku bisa merasakan ketegangan yang semakin menguat. Aku segera beranjak pergi, menuju kamar untuk mengambil barang-barang yang belum ku bawa. Namun, tanpa aku sadari, air mataku mulai menggenang. Begitu tiba di kamar, aku tidak bisa menahan diri lagi dan menangis sejadi-jadinya.
"Tok... tok... tok..." Suara ketukan pintu terdengar, dan aku tahu siapa yang datang. Ibu masuk dengan langkah lembut, memelukku erat-erat. Aku segera menghapus air mata yang membanjiri pipiku, berusaha menyembunyikan kepedihan yang semakin dalam.
"Maya, Kak Maya, kamu punya ibu. Kalau ada yang ingin kamu ceritakan, ceritakan saja, jangan dipendam sendirian," kata ibu dengan suara penuh kasih, mengelus rambutku dengan lembut.
"Aku nggak apa-apa, Bu," jawabku, meskipun hatiku penuh dengan rasa sesak yang tak bisa kuungkapkan. Aku memeluknya kembali, merasakan kehangatannya yang menenangkan. Ibu perlahan melepaskan pelukannya dan meninggalkanku untuk berkemas. Sebelum pergi, ia mencium keningku dengan penuh kelembutan, seolah memberi penenang pada jiwaku yang kacau. Aku tahu, meskipun ibu tak berkata banyak, dia pasti merasakan kegelisahan yang sama.
"Hati-hati ya, sayang," ucap Ayah dan ibu saat aku beranjak pergi. Aku mencium tangan mereka, tanda hormat dan kasih sayang yang tak terucapkan. Ibu mencium keningku dengan lembut, sebuah kebiasaan yang selalu membuat hatiku terasa hangat, bahkan ketika aku merasa kehilangan. Aku hanya bisa mengangguk dan memberi senyuman tipis, meskipun hatiku terasa sangat berat untuk meninggalkan rumah.
Pagi itu aku bersiap menuju sekolah. Hari pengumuman kelulusan, hari yang katanya membahagiakan—namun entah mengapa hatiku justru dipenuhi luka yang belum sempat kering.
Dengan motor yang biasa kupakai, aku menembus jalanan yang mulai ramai. Namun langkahku terhenti saat pandanganku menangkap sosok yang tak asing—Kak Galih—berboncengan dengan Sheila. Perempuan itu memeluk Kak Galih dengan erat, seolah dunia mereka hanya milik berdua. Aku sengaja menyalip mereka, membunyikan klakson pelan... sekadar ingin Kak Galih menoleh. Ia menoleh, memang. Tapi bukan padaku. Bukan dengan senyum hangat yang dulu ia beri. Hatiku seperti diremukkan oleh sesuatu yang tak terlihat, menusuk tanpa pisau, melukai tanpa suara.
Aku hanya bisa diam. Menahan sesak yang makin menguat. Bukankah aku bukan siapa-siapanya? Bahkan kata “sayang” pun tak pernah ia ucapkan untukku. Lalu mengapa hatiku terasa seperti dikhianati? Apakah ini cinta? Atau hanya cemburu yang membisu?
Sesampainya di sekolah, aku disambut beberapa teman yang baru saja memarkir motor.
"Tina, kamu bawa motor gak hari ini? Buat pawai. Kalau nggak, aku bonceng kamu, kamu aja yang bawa motorku," ucapku, mencoba terdengar biasa saja, meski hatiku kacau balau.
"Pas banget. Kupikir tadi bakal ramai. Oke deh," jawab Tina sambil tersenyum. Kami berjalan ke kelas, menanti pengumuman kelulusan.
"Maya, itu Kak Galih. Kayaknya mau ke tempat latihan kelas sebelas," ucap Tina sambil menunjuk ke arah tangga. Dan aku melihatnya. Sosok itu. Yang dulu selalu menyapaku hangat, kini hanya berjalan melewatiku begitu saja. Saat aku menyapanya—“Kak”—ia hanya tersenyum kecil, dingin, lalu memalingkan muka. Tapi saat bertemu Sheila, senyumnya sehangat mentari pagi, seperti dulu... saat ia menyapaku.
Hatiku remuk. Tapi air mata belum jatuh. Entah bagaimana aku masih bisa menahannya.
Tepat ketika aku berdiri di ambang pintu, Dani menghampiriku. Ia mengajak bicara tentang rencana masa depan—kuliah, kerja, dan cita-cita. Aku mencoba fokus, meski pikiranku tak berhenti bertanya: Kenapa Kak Galih berubah?
Sheila lewat, menatapku dengan senyum tipis, dan di belakangnya, Kak Galih berjalan ke atas menuju tempat latihan. Ia melihatku... sedang berbicara dengan Dani. Tapi tak ada senyum. Hanya wajah datar yang asing. Seolah aku bukan siapa-siapa.
"Maya, kenapa Kak Galih tiba-tiba begitu?" bisik Tina, lirih. Aku hanya menggeleng pelan.
"Sudahlah," jawabku, menarik napas panjang, mencoba meredam gelombang luka yang hampir pecah.
Kelas mulai penuh. Wali kelas kami masuk membawa secarik harapan dan juga perpisahan.
"Assalamualaikum," ucap Bu Wali Kelas. Suaranya mengagetkanku dari lamunan. “Wa’alaikumussalam,” jawab kami serempak.
"Anak-anakku kelas dua belas IPA... terima kasih sudah menjadi bagian dari perjalanan ini. Hidup di luar sana tak semudah yang kalian bayangkan. Tapi ibu percaya, kalian semua bisa."
Kata demi kata beliau menggema di hati kami. Air mata mulai menggenang di sudut mataku.
"Bismillahirrahmanirrahim... insya Allah kalian semua lulus," lanjut beliau, disambut sorak dan tepuk tangan teman-teman sekelas.
Semua bersorak bahagia. Namun aku...? Aku menangis dalam diam. Bukan karena kelulusan, tapi karena kehilangan. Bukan kehilangan ijazah, bukan kehilangan nilai, melainkan... kehilangan arah dalam perasaanku sendiri. SMA yang menyenangkan ini, kenangan manis bersama Kak Galih, berakhir dalam senyap dan jarak yang tak bisa kujelaskan.
Di bangkuku, ada secarik kertas bertuliskan:
“Janganlah menjadi awan hitam di antara pelangiku...”
Tina membacanya sebelum aku buru-buru menyimpannya. Siapa yang menulis? Sheila? Kak Galih? Aku tak tahu. Tapi rasa ini semakin menyesakkan. Mengapa harus begini akhirnya?
Lalu Tina memelukku. Aku membalas pelukannya dengan tangis yang tak bisa kucegah lagi. Tangisan kami mungkin berbeda makna, tapi sama-sama basah oleh rasa yang dalam.
Dan dalam benakku, hanya ada satu kalimat yang menggema lirih...
Terima kasih untuk hari ini, Kak Galih. Aku cukup terluka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments