Hari demi hari kulewati bersamanya. Rasanya, untuk memulai kisah dengan orang lain seakan mustahil—seolah perasaanku telah berhenti pada Kak Galih. Sementara dirinya, tak pernah berkata apa-apa tentang rasa, tentang arah, atau bahkan tentang hubungan apa yang sebenarnya kami jalani.
Tanpa kusadari, kedekatan itu tumbuh. Kak Galih menjadi rumah, menjadi tempat segala resahku berlabuh. Ia memberiku ketenangan, menjadi pendengar yang tak pernah menghakimi. Aku terlalu nyaman... terlalu dalam berada di sisinya.
"Maya, bagaimana menurutmu?" tanyanya sambil menunjukkan hasil jepretan dari kameranya. Kami tengah duduk di taman dekat rumahku, di antara semilir angin dan daun-daun yang gugur.
"Bagus sih, Kak. Tapi kenapa cuma memotret dahan yang jatuh?" tanyaku penasaran. Ia hanya tersenyum kecil dan mengusap kepalaku lembut.
"Jangan salahkan dahan yang jatuh, juga jangan salahkan angin yang meniupnya," ucapnya sembari memungut dahan itu.
"Ish, Kak Galih! Aku serius nanya!" ucapku kesal, karena jawabannya seperti puisi yang menyembunyikan makna.
"Aku juga serius, Maya. Di mana salahku?" katanya sambil mencubit pipiku. Aku memanyunkan bibir, kesal sekaligus gemas.
"Sudahlah," jawabku singkat. Karena apapun yang kukatakan, dia selalu punya cara untuk menang dengan kata-katanya.
"Ayo," katanya sembari menggenggam tanganku, membawaku berjalan menyusuri taman. Tangannya hangat, ayunan langkah kami seirama. Aku tersenyum, dan ia juga. Sesekali aku mencuri pandang padanya—wajah yang terasa begitu dekat namun tetap saja asing. Wajah yang kurindukan bahkan saat bersamanya.
Tanpa kusadari, ia memergoki tatapanku. Ia hanya tersenyum sambil memandang ke langit.
Aku sadar, aku tak punya hak apa-apa atas dirinya. Tapi... mengapa perasaanku begitu kuat? Rasa ini berbeda. Jauh berbeda dari yang pernah ada.
"Maya, kamu nggak apa-apa?" tanyanya tiba-tiba, menghentikan langkahnya.
"Maksudnya?" tanyaku kembali, bingung.
"Nggak, cuma... aku ingin tahu kamu baik-baik saja. Kalau ada yang mengganggumu, bilang ya." ucapnya, lalu memetik bunga kecil dan menyodorkannya padaku. Tangannya melepas genggamanku, dan ia berjalan mendahului. Duduk di bangku taman, menungguku dengan sabar. Sikapnya... manis sekali. Terlalu manis.
> Bagaimana aku tidak jatuh cinta?
Setiap kalimatnya menyentuh, setiap tatapan menenangkan.
Saat jauh, aku rindu. Saat dekat, aku tak ingin waktu bergerak.
Tuhan… apa ini cinta? Atau hanya rasa nyaman yang menyesatkan?
Seperti menatap bintang, meski tahu aku tak pernah memiliki malamnya.
Aku berjalan perlahan, memandangi bunga di tanganku. Kak Galih menengok ke belakang, tersenyum seperti biasa—hangat, tulus, dan penuh ketenangan.
"Maya, kamu dari tadi melamun. Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya, menatapku dalam.
"Aku nggak mikir apa-apa..."
"Kamu pernah bilang punya kisah yang belum selesai. Kamu masih memikirkannya?" tanyanya lembut.
"Tahu nggak, Maya? Kita nggak perlu memiliki untuk menikmati. Seperti bintang, kita cukup memandang. Tapi... kadang, rasa itu keliru. Kita pikir bintang itu milik kita, padahal tidak.”
Kata-katanya seperti angin yang membuka luka yang nyaris sembuh. Aku ingin bicara. Tapi bibirku bisu.
"Kak Galih, jangan bahas masa lalu lagi, ya?" pintaku sambil menggenggam tangannya.
"Sekarang giliran Kakak cerita masa lalu Kakak." godaku, mencoba mencairkan suasana.
"Yang sudah berlalu, biarlah. Cukup aku yang simpan," jawabnya, tangannya kembali mengusap kepalaku. Ia memalingkan wajahnya.
"Terima kasih ya, Maya. Karena sudah mau menerimaku. Ketulusanmu... sangat berarti. Kamu itu baik, dan kamu pantas mendapatkan yang terbaik."
Aku tak bisa menahan air mataku. Kalimat itu... menyentuh sesuatu dalam hatiku yang paling dalam.
"Kenapa Maya? Yah, cengeng," ledeknya sambil menyeka air mataku dengan lembut.
"Kenapa harus yang terbaik? Kenapa bukan jadi terbaik bersama-sama?" jawabku sambil menangis. Kata-katanya mengingatkanku pada Bayu, pada lelaki-lelaki yang mengucap hal serupa... lalu pergi.
"Apa aku harus jadi nakal dulu? Supaya ada yang benar-benar mencintaiku tanpa syarat?" ucapku geram, antara marah dan luka yang belum sembuh.
Kak Galih hanya menatapku. Lama. Lalu tersenyum kecil, dan memelukku.
"Hei, adik kecilku Maya... semua akan indah pada waktunya."
"Adik?" hatiku berteriak. Adik? Aku cukup dewasa untuk memahami rasa, cukup dewasa untuk mengerti bahwa yang kujalani dengannya bukan hubungan biasa. Tapi aku hanya menangis. Sialnya... pelukannya begitu nyaman. Terlalu nyaman.
Namun aku sadar, pelukan itu tak boleh lama. Aku buru-buru melepas diri dan menghapus air mataku.
"Kak Galih, aku membuatmu marah?" tanyanya serius.
"Bukan, Kak... aku hanya... ingat luka-luka kecil yang entah kenapa terasa besar malam ini. Aku baik dibenci saat salah, aku dilupakan saat terlalu baik..." ucapku, menarik napas dalam-dalam.
"Kenapa aku bercerita sejauh ini padanya? Kenapa rasa nyaman ini membuatku begitu terbuka?" batinku. Kak Galih tak menjawab. Ia hanya tersenyum dan menggenggam tanganku lagi.
"Ayo pulang. Di jalan, Kakak belikan es krim ya," ucapnya sambil mengelus punggung tanganku.
Dan aku pun melangkah bersamanya. Hanya satu pikiran yang menggangguku:
> Untungnya ia belum memiliki kekasih. Aku pun belum.
Mungkin itulah sebabnya kami sedekat ini.
Tapi aku tahu… rasa nyaman tak bisa dibatasi. Ia bisa tumbuh menjadi cinta,
atau hancur menjadi luka.
Aku belum tahu…
Aku belum punya jawabannya.
(Disisi Lain , dan sudut pandang yang lain
Tanpa kami sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan dari kejauhan. Di balik rindangnya pohon flamboyan, seorang pria berdiri—diam, tak bersuara, namun tatapannya penuh cerita.)
Dani.Teman sekelas Maya yang tidak ada satu pun yang menyadari tentang perannya di dalam kelas atau di kehidupannya sendiri ,
Ia menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, tangan di saku, mata tak pernah lepas dari sosok Maya yang tertawa kecil bersama Galih. Senyuman yang selama ini hanya bisa ia bayangkan, kini nyata—tapi bukan untuknya.
"Ternyata kamu masih seperti dulu, Maya... mudah tertawa, mudah menangis. Tapi sekarang, ada dia yang memelukmu saat kamu lemah," gumam Dani lirih.
Langkah mereka menjauh. Tawa Maya terdengar samar. Dani masih berdiri di sana, menahan getir yang perlahan menyusup ke dadanya.
"Aku terlambat, ya?" tanyanya pada angin yang berhembus.
Ia menghela napas, menunduk sejenak, lalu berjalan perlahan ke arah berlawanan. Setiap langkahnya seperti membawa beban yang tak sempat ia lepaskan sejak dulu.
Hari itu, bukan hanya Maya yang tak menemukan jawaban atas perasaannya. Tapi juga Dani, yang menyadari bahwa kesempatan itu mungkin telah lewat... sebelum ia sempat menyapa kembali.
Dani Harus berpura pura tidak ada apa apa di depan semua nya , bersikap seperti teman sebaya nya agar tidak ada rasa canggung di dalam menjalin pertemanan tentu agar bisa selalu di dekat teman teman terkasih nya ,
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
ARSLAMET
terima kasih kasih support terus ya
2023-10-10
1
Muriel
Gue ngerasa kayak lagi masuk ke dunia dalam cerita ini, thor! Keren!
2023-10-10
0