Mas Azril masih menatapku tidak berkedip. Pasti dia kaget aku bisa masak. Sejak pertama menikah aku tidak pernah masak sama sekali, karena Ms Azril selalu melarangku untuk mengerjakan apa pun di rumah. Aku kadang bosan sekali di rumah mau apa, karena pekerjaan rumah sudah ada yang mengerjakan semuanya.
“Kenapa lihat aku begitu?” tanyaku.
“I—ini kamu yang masak?” tanya Mas Azril dengan tatapan penuh penasaran.
“Iya, Mas?” jawabku lembut.
“Kamu bisa masak seenak ini?” Mas Azril belum percaya aku bisa memasak, padahal ia kan tahu aku punya bisnis kuliner, menu di restoku juga semua resep dariku, dan itu semua menu paling best seller.
“Ya, bisa! Ini kan sudah matang masakannya, sudah bisa dimakan dan dinikmati, Mas?” jawabku.
“Mbak Asih, gak bohong, kan? Benar ini semua Mala yang masak?” Belum puas dengan jawabanku, Mas Azril bertanya pada Mbak Asih.
Mbak Asih mengangguk sembari menjawab, “Iya, benar, ini masakan Mbak Mala.”
“Gak nyangka kamu bisa masak, Mal?” ucapnya heran. “Ini enak sekali, kamu membuat sarapanku nambah lagi, dan lagi,” pujinya dengan mengambil lauk lagi, dan sedikit nasi.
“Yakin nih, mau nambah?” tanyaku tidak percaya, karena Mas Azril tidak pernah makan sampai nambah seperti ini.
Mas Azril makan dengan lahapnya. Pagi ini aku merasa masakanku bisa mengalihkan dunia Mas Azril. Sebelum sarapan dia kelihatan bingung, dan tidak bisa lepas dari ponselnya, tapi setelah sarapan, dia melupakan semua itu. Matanya berbinar karena dia puas dengan rasa masakan yang cocok di lidahnya. Ia tak henti-hentinya memuji masakanku. Aku senang, bahagia, sudah membuat suamiku seperti ini, tapi tetap saja ada perasaan yang masih mengganjal dalam hatiku. Soal Farah, dan soal ucapan Mas Azril yang ingin menikahi Farah, saat tadi menelefon Farah.
“Mas, hari ini aku ke Werehouse, ya? Mau lihat produksi Gamis baru, yang sebentar lagi mau louching. Aku juga harus menemui suplier kain, sama mau ke kantor Notaris dan PPAT, mau urus masalah rumah yang kemarin aku ceritkan itu,” pamitku pada Mas Azril.
“Kok mendadak? Kamu gak mau aku antar?” tanya mas Azril.
“Gak usah deh, Mas. Nanti aku sama sopir saja,” jawabku.
“Jadi rumah itu milikmu, atau dari ayah dan bunda?” tanya Mas Azril.
“Sebetulnya aku yang beli, Mas. Alhamdulillah hasil dari Rumanah, Bisnis yang aku rintis dari nol. Alhamdulillah sudah Go Internasional,” jawabku.
Rumanah adalah nama brand-ku. Gamis, khimar, mukenah, dan pakaian muslim lainnnya. Setelah lulus SMA aku melanjutkan kuliah dengan mengambil jurusan Fashion Designer, aku terus mengembangkan bakatku dari SMA. Sejak SMP aku sudah suka menggambar sketsa baju-baju muslim, karena dari SMP aku sudah mengenakan hijab, aku yang pengin pakaianku terlihat modis, aku merancang model baju sendiri, aku gambar sendiri sketsanya, lalu aku kasih ke bude-ku yang penjahit.
Ternyata hasilnya membuat aku tercengang, aku bisa membuat design baju yang menurut bude laku di pasaran. Bude juga selalu membuat baju dari hasil design ku. Lalu dipajang di manekin di ruang display, dan ternyata laku. Aku sering dikasih bagi hasil dari budeku. Karena itu, aku ingin mengasah bakatku, dan terciptalah Rumanah, brand yang baru jalan tujuh tahun, tapi sudah mampu Go Internasional.
Ya, tujuh tahun sudah Rumanah menjadi favorit ibu-ibu, remaja, dan anak-anak. Rumanah lounching saat aku kelas tiga SMA. Aku diberikan modal dari Ayah, aku kembangkan, aku minta bantuan anak-anak bude yang bisa jahit, yang bisa cutting, dan semua aku persiapkan saat itu. Hingga kini, aku sudah bisa mengembalikan uang modal dari Ayah, sampai aku punya pabrik, yang akan aku perbesar nanti setelah urusan tanah sudah selesai, aku punya banyak kru, banyak karyawan, dan itu semua tidak lepas dari kegigihanku, juga doa dari orang-orang terkasih.
“Ternyata diam mu itu emas ya, Mal? Kamu diam-diam punya sesuatu yang aku saja tidak tahu. Aku tahunya Rumanah belum sebesar itu, Mal,” puji Mas Azril.
“Itu juga kan karena keuletan aku, Mas? Bahkan Rumanah berdiri saat aku belum kuliah lho, ya aku kelas tiga SMA, aku dibantu bude, dan keluarga lainnya untuk mengembangkan bisnis itu. Itu kenapa aku gak mau kuliah jauh-jauh, karena supaya aku bisa sambil memantau bisnisku,” jelasku.
“Lalu restoran dan kedai Ayam geprek yang lagi hits itu milik siapa?” tanya Mas Azril.
“Milik aku, Mas. Eh enggak, itu kerjasama bareng Mas Aqib, sama Mas Arsya juga. Jadi kayak bagi hasil sistemnya, tapi aku yang paling mahal bagiannya, karena semua resep menu di resto dari aku semua,” jelasku.
“Ternyata multitalenta sekali istriku, ya?” puji Mas Azril.
“Ya begitulah, memang aku seperti ini dari dulu,” jawabku membanggakan diri.
“Gak salah mama memilihkan kamu untukku, Mal,” ucapnya dengan menatapku dengan penuh cinta.
Ya, dramanya mulai lagi. Mereka memang gak salah memilihkan aku untuk kamu, Mas! Tapi, kamu yang salah! Kamu punya istri, tapi kamu masih menyebut nama perempuan lain dalam doamu, dan dengan lugas aku dengar kamu sangat mencintainya. Lalu, tadi pagi, kamu telefonan sama dia, dan bilang ingin menikahinya? Semudah itu kamu bilang akan berpoligami? Apa gak mikir bagaimana perasaan mamamu kalau tahu semua itu? Nyawa taruhannya, Mas! Mamamu punya sakit jantung, dengar kabar buruk saja bisa drop, apalagi dengar anaknya mau menikah lagi dan sembunyi-sembunyi?
“Mal, mas mungkin pulang agak malam, ya? Mau ada urusan dengan pekerja lapangan sore nanti, mungkin meeting sampai malam,” pamitnya.
“Iya, gak apa-apa, Mas. Asal mas pulang ke rumah, gak pulang ke rumah perempuan lain!” jawabku agak sedikit menekan nada bicaranya.
“Loh kok bilangnya begitu?”
Mas Azril bertanya dengan mimik wajah yang sulit untuk diartikan. Seperti dia sudah tahu kalau aku ini sudah mengetahui misinya untuk poligami.
“Ya kali saja, Mas? Banyak lho suami yang bilangnya meeting tapi ternyata pulang ke rumah simpanannya? Atau ke rumah pacarnya? Ya, aku percaya mas sih enggak, enggak mungkin lah! Masa baru menikah mau punya simpanan? Lagian kalau mama tahu, bisa down mama?” ucapku.
Biar saja aku bicara seperti itu, biar dia mikir! Nyawa mamanya taruhannya kalau dia mau poligami. Kalau aku, aku hanya sakit hati saja, dan mungkin bisa jadi tekanan batin kalau benar Mas Azril mau mengajukan poligami.
^^^
Sore ini, aku akan menemui orang dari Notaris. Kami buat janji untuk bertemu di kantor, tapi waktu siang tadi dia sedang sibuk, jadi bisanya kita bertemu di luar, dan sore hari. Untung saja orang dari kantor Notaris itu perempuan, jadi aku gak seperti sedang bertemu dengan laki-laki di luar. Karena kalau laki-laki aku harus mengajak Mas Aqib atau Mas Arsya, biar gak timbul fitnah, aku ini sekarang sudah jadi seorang istri, jadi aku harus menjaga nama baik suamiku.
Aku sudah sampai di restoran. Aku pakai taksi, karena sopir sudah aku suruh pulang untuk mengantarkan Mbak Asih belanja perlengkapan dapur dan lainnya.
Aku segera menemui orang dari Notaris, sudah diberitahu nomor mejanya, jadi aku langsung masuk saja dan mencari nomor mejanya.
“Selamat sore, dengan Mbak Safarah Aulia?” tanyaku pada sosok perempuan manis berambut lurus sebahu dengan pita tersemat di rambutny.
“Iya, benar. Selamat sore, apa Mbak yang bernama Nirmala Prameswari?”
“Iya, benar,” jawabku.
“Oh, silakan duduk, Mbak,” ucapnya mempersilakan aku duduk di depannya.
Kami langsung membahas topik yang akan dibicarakan, sambil mengunggu pesanan. Dengan lugas perempuan yang bernama Safarah itu menjelaskan dengena detail, sehingga bisa dimengerti olehku. Kami lama berbicara, kurang lebih sudah setengah jam. Kami bahas pembicaraan kami dengan menikmati makanan yang Safarah pesankan
“Ada yang belum paham, Mbak Mala?” tanya Safarah.
“Saya akan baca lagi dokumennya boleh?” jawabku.
“Iya, silakan,” jawabnya.
Dengan teliti aku baca lagi, Safara sibuk dengan ponselnya, sembari menyesap jus yang ia pesan. Sesekali terulas senyuman manis di wajahnya. Aku meliriknya sekilas, ia lambaikan tangannya ke depan, entah melambai ke arah siapa aku tidak tahu. Aku tidak mau menolah, mungkin ada teman dia yang datang juga untuk menemuinya, aku lanjutkan saja membaca beberapa lembar kertas dari Safara.
“Hai ... lama menunggu?” tanya seorang laki-laki pada Safarah. Aku seperti tidak asing dengan suaranya, tapi aku sedikit pun tidak ingin melihatnya, karena takut dugaanku benar adanya.
“Lumayan, tiga puluh menitan,” jawabnya. Tak segan-segan mereka seperti saling berciuman.
“Aku kangen ...,” ucap Safarah dengan manja.
“Sama, lanjutkan dulu kerjanya, aku menunggu di sini, ya? Gak apa-apa, kan?” ucap laki-laki itu.
Dengan dada bergemuruh, aku lanjutkan membaca beberapa lembar kertas dari Safarah. Aku dengar lagi suara laki-laki itu. Iya, sama persis, dengan suara Mas Azril.
“Mbak, boleh ya, calon suamiku duduk di sini?” tanya Safarah.
“Iya, Mbak. Silakan,” jawabku dengan tersenyum menunduk. Hatiku sudah bergermuruh, bak terjadi badai topan yang dahsyat.
“Oh iya, Mas. Ini klienku, namanya Mbak Mala. Dia pengusaha muda yang sukses sekali lho, Mas? Punya pabrik yang memprodukdi pakaian muslim, punya restoran, hebat sekali Mbak Mala ini.” Dengan memuji dan sopan dia mengenalkan aku pada Laki-laki tersebut.
“Mala?” ucapnya laki-laki itu dengan suara bergetar.
“Iya, Mas,” jawab Safarah. “Mbak Mala, ini calon suami saya, namanya Mas Azril,” ucap Safarah mengenalkan calon suaminya, yang tak lain adalah suamiku.
Aku beranikan diri melihat Mas Azril. Dengan kaget dia menatapku, mataku mulai panas, dadaku sesak, napasku memburu, seluruh tubuhku lemas, tapi aku harus kuat. Aku menyebut Asma Allah dalam hatiku, untuk menguatkan diriku ini. Suamiku ternyata mau menemui Farah, dan Safarah ternyata Farah yang selalu Mas Azril sebut dalam doanya.
Begini rupanya calon maduku? Ya Allah ... mimpi apa aku semalam? Di sore ini aku bertemu suamiku yang sedang menemui wanita lain, dan wanita itu bilang Mas Azril calon suaminya.
“Salam kenal, Pak. Aduh maaf ini saya jadi mengganggu. Mbak Safarah ini berlebihan sekali bilangnya?” ucapku sambil menunduk dan menangkupkan kedua telapak tanganku di depan Mas Azril.
“Iya, salam kenal. Saya sepertinya yang mengganggu kalian,” ucap Mas Azril.
“Oh tidak apa-apa. Kami sudah mau selesai kok, Pak?” jawabku. “Mbak Safarah pintar cari calon suami, ya?” pujiku.
“Mbak Mala bisa saja?” ucapnya.
“Yang penting bukan suami orang, Mbak?” ucapku.
“Eh ... enggak dong Mbak?” ucapnya gugup.
Aku hanya tersenyum, aku raih gelasku, aku teguk jus yang kupesan untuk mendinginkan tubuhku yang rasanya sudah mendidih.
“Sepertinya sudah selesai kan, Mbak Safarah?” tanyaku.
“Iya, Mbak. Nanti bisa lanjutkan ke kantor saja,” jawabnya.
“Iya, barangkali Mbak mau ada urusan dengan calon suaminya,” ucapku dengan melirik Mas Azril.
“Iya, kami mau menemui orangtuaku di luar kota, lalu mencari gaun untuk pernikahan kami,” ucap Safarah.
Dia perempuan sudah gila! Aku ini istrinya? Mana bisa kamu menikah dengan suamiku tanpa seizinku, Farah!
Aku pamit pulang, rasanya sakit sekali dada ini. Aku hentikan taksi, aku langsung masuk dan air mataku yang sudah tidak bisa aku bendung kini tumpah membasahi telapak tanganku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Mrs. Ketawang
Ya Allah😭😭😭😭
Beginilah kalo drama perselingkuhan,lbih baik jadi janda Mala
2024-07-08
0
Selvianah Bilqis
kenapa gak disiram aja si pake jus😮💨👊👊👊👊
2024-02-24
0
Yunerty Blessa
tega nya hati mu Azril pada Mala.. di depan matanya
2024-01-26
0