Perjodohan Wasiat

Perjodohan Wasiat

Alan Giovano

Tap Tap Tap!

Pria bertubuh tinggi dengan setelan jas berharga mewah melintasi pintu utama sebuah perusahaan besar disalah satu kota Jakarta. Wajahnya tampak dingin dan menakutkan bagi setiap orang yang melihatnya. Seandainya saja pria itu tersenyum sedikit saja, pasti wajah rupawannya akan digilai banyak wanita. Namun begitulah sikap Alan Giovano, pemilik perusahaan Real estate terbesar kedua di negara yang kini menjadi pijakan Mega bisnisnya.

Siapa tak kenal pria jenius dari keluarga Giovano? Semua orang tahu bagaimana kekuasaan keluarga itu di dunia bisnis.

Alan sudah berkecimpung didunia itu sejak 13 tahun yang lalu, saat ia harusnya menempuh pendidikan Universitas namun justru diharuskan menjadi pemimpin perusahaan keluarga ketika sang Ayah telah pergi. Masa-masa sulit  ia rasakan selama berjuang mempertahankan perusahaan. Menyelamatkannya dari orang-orang yang haus akan kekuasaan dan berniat menghancurkan perusahaan milik sang Ayah. Mulai dari rival bisnis maupun dari keluarganya sendiri.

Orang-orang yang tidak mengenalnya pasti mengira Alan adalah orang yang kejam dan tidak berperasaan, karena kepribadiannya yang jarang sekali tersenyum, terkesan dingin dan keras pada siapapun, dan itu memang fakta.

Alan tak suka dikelilingi banyak orang, ia suka membentengi diri dari orang luar apalagi kepada musuh bisnisnya, Alan tak segan-segan mengusik hidup mereka yang  berani mencampuri hidupnya meskipun harus menggunakan cara tak wajar. Itu adalah cara yang ia yakini mampu membuat siapapun takut padanya. Bagaimana pandangan orang kepadanya, ia seolah tak peduli dengan hal itu. Ia akan menyingkirkan mereka seolah menginjak batu kerikil dikaki.

"Selamat pagi Pak!" seru para sekretaris di luar ruangan kerja Direktur Utama yang juga memiliki meja khusus disana. Dua orang wanita dengan setelan baju kerja rapi. Sekaligus memiliki wajah yang cantik. Ketika sang Dirut datang, mereka kompak menundukkan kepala.

Sikap mereka tak luput dari perhatian Alan. Tubuh tinggi besarnya membawa pria itu menghampiri mereka. Kedua alis tebalnya bertautan memandang mereka bergantian.

"Kamu."

"Eh, i-iya pak?" salah satu dari mereka mendongakkan kepala cepat. Tubuh mulai gemetar dan pandangan mata tak fokus. Tak berani menatap langsung pada mata hitam tajam sang pimpinan perusahaan.

"Hari ini kamu keluar dari perusahaan ini. Saya tidak mau memperkerjakan orang tidak profesional."

"Eh, Ta-tapi pak ke-kenapa saya-"

Tanpa mendengar wanita itu membela diri, Alan langsung berbalik dan masuk ke dalam ruang kerjanya.

"Hiks, aku salah apa? Kenapa aku dipecat? Hiks.." Sang Sekretaris menangis dipundak temannya.

"Sudah, sudah... Jangan menangis. Dengarkan saja perintah Pak Alan. Kamu tahu kan, dia tidak suka dibantah. Sudah jangan menangis." Teman Sekretarisnya berusaha menenangkan wanita itu. Namun tetap saja wanita itu tidak tahu apa yang menjadi kesalahannya. Karena selama ini, ia merasa telah bekerja dengan baik.

Diruangan Direktur Utama, Alan duduk dikursi kebesarannya. Ia menyandarkan punggung lebarnya di kursi. Mengangkat salah satu kaki seraya kepala mendongak keatas. Ia pejamkan mata sejenak.

Tok Tok Tok!

"Masuk."

Seorang pria bersetelan rapi, dengan rambut dipomade klimis menampilkan jidat paripurna serta wajah tak kalah tampan dari sang Dirut. Berjalan tak sabar menuju tempat sang Bos mengistirahatkan diri.

"Apa-apaan itu?! Kenapa pecat Sisil? Dia salah apa?" seru sang pria dengan berkacak pinggang. Seolah tak terima dengan keputusan yang diambil pria didepannya, pemilik jabatan tertinggi perusahaan.

"Ada yang salah?" tanpa membuka mata, Sang Bos hanya bergeming ditempatnya. Tak merubah posisi duduknya yang sudah dirasa nyaman.

"Jawab dulu kenapa pecat dia?" sergah pria itu.

"Tanyakan pada Felix. Aku sibuk."

Kedua mata pria itu mendelik kesal, "Kak Alan! Sebentar lagi dia akan jadi kekasihku, ayolah kenapa kakak memecatnya!"

Mata Alan terbuka, ia lirik datar pria didepannya. Menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan, seolah sedang menahan diri agar emosinya tak keluar.

"Ini tempat kerja, bukan tempat mengumbar nafsu Reno Delvan Mahendra! Berani sekali kamu dekati sekretaris sepupumu sendiri? Aku memperkerjakan kamu disini untuk bisa memajukan perusahaan! Bukan untuk memikat wanita! Paham kamu?!" tegas Alan mulai meninggikan suara. Ia memang orang yang mudah terpancing emosi dalam situasi seperti ini.

Reno hampir terjingkat karena saking kaget mendengar Alan memarahinya. Ia menunduk malu, karena memang ucapan sang kakak sepupu benar adanya. Tapi sejak kapan kakaknya tahu ia sedang mendekati sekretarisnya?

"Ma-maafkan aku. Aku hanya belum mengerti semua tugas-tugasku disini. Maafkan aku Kak!" Reno geleng-geleng kepala cepat. Tak menyangka kelakuannya yang menyukai karyawan perusahaan membuat Alan marah padanya. Ia seharusnya tidak menunjukkan hal itu secara terang-terangan dan membuat Alan mengetahuinya.

Usia mereka terpaut 7 tahun, Reno lebih suka dekat dengan Alan dibanding saudaranya yang lain. Walaupun ia tahu, Alan bukan orang yang enak diajak bicara, tapi setidaknya, Alan selalu memperlakukannya dengan baik. Bagaikan saudara kandungnya. Walaupun terkadang perlakuannya sedikit unik.

"Bagus. Keluar sekarang!"

"Baik." Belum juga melangkahkan kaki, Reno kembali bersuara. "Kak, bolehkan aku memindah tugaskan Sisil ke Divisi ku? Boleh ya?"

Mendengar itu, Alan hanya melirik kearah Reno. Lirikan singkat namun tajam. Semua orang yang bekerja lama diperusahaan pasti tau arti lirikan itu. Big bos tak suka dibantah.

Reno tertawa kikuk, "Baiklah. Sisil akan segera keluar. Oke! Aku paham Kak! Jangan galak-galak oke!" Reno langsung berbalik dan ngacir keluar ruangan.

Alan mendengus melihat tingkah adik sepupunya. Ia tidak suka terlibat masalah sepele seperti ini. Masih banyak hal yang lebih penting yang harus ia kerjakan.

^^

"Sekretaris baru?"

"Hm, carikan untukku." Alan berada didalam mobil Mercedes-benz nya bersama Felik, Asisten pribadinya. Sekaligus kaki tangannya.

"Yang seperti apa?" tanya Felik yang berada dibalik kemudi.

"Terserah, kamu yang lebih tahu."

"Sudah ada Sania, perlukah kita cari lagi?" Felik merasa Sania cukup dijadikan Sekretaris. Kerjanya juga Bagus. Rapi dan cepat. Tidak seperti Sisil, yang lebih suka menjadi pusat perhatian orang lain.

"Dia akan kupindahkan."

Felix melirik ke kaca spion, menaikkan satu alisnya keatas, mencerna perkataan Alan. Ia kembali fokus menyetir. "Kemana?"

Alan tersenyum smirk, "Mengawasi Reno. Anak itu semakin lama semakin tak terkendali. Hanya dia orang dikantor yang tidak takut padaku. Ckck. Sungguh merepotkan!"

"Wajar dia seperti itu. Reno merasa nyaman denganmu. Dibanding dengan keluarganya sendiri." balas Felix.

"Tapi aku tidak suka sikapnya dikantor. Tidak ada yang boleh meremehkan pengaruhku. Reno bisa memanggilku kakak saat dirumah, tapi tidak dilingkungan kantor. Tegaskan itu padanya!" ujar Alan serius.

"Baiklah. Akan kutegur dia nanti. Tenangkanlah dirimu. Sebentar lagi kita sampai dipertemuan." ucap Felix

"Pertemuan sampah yang dihadiri oleh orang-orang picik! Aku tidak tertarik!" desis Alan.

"Ini pertemuan penting. Jaga sikap Anda disana. Jangan tunjukkan kelemahan Anda." nada bicara Felix mulai terdengar formal ketika mereka mendekati tempat tujuan.

"Aku mau lihat, reaksi mereka saat perusahaan jatuh ke tanganku. Pasti menyenangkan." Seringai kecil tercetak diwajah bengis seorang Alan Giovano. Memandang keluar dengan berbagai pikiran jahatnya.

Terpopuler

Comments

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

yuk ah

2023-10-22

0

Bunda Aw

Bunda Aw

untuk awal sudah cukup bagus 🫰

2023-10-10

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!